Alu-Aluan Tembang Dolanan sebagai Wacana Puitik

189 Bagian Delapan EKSISTENSI TEMBANG DOLANAN ANAK DI TENGAH KOMPLEKSITAS MASALAH BANGSA Oleh Sahid Teguh Widodo, Ph.D. Universitas Sebelas Maret Surakarta

A. Alu-Aluan

Saya sadari sepenuhnya, judul tulisan pendek ini mungkin menimbulkan prasangka serius yang mengarah kepada suatu bentuk sangkalan.Boleh jadi, sesuatu yang mengawang dibanding kompleksitas masalah bangsa yang terus menderai. Tentu, saya idak akan menyerah untuk satu tujuan yang lebih baik di tengah kondisi yang kian runyam. Ibaratnya menii lorong-lorong yang redup, temaram, dan pekat, semua memiliki pesona dan passion yang dapat “dimainkan”, menyihir kita menjadi sosok pelupa, pengingkar, penyangkal dan bahkan berselingkuh dari jai diri. Gelombang modernisme idak saja berpengaruh, berakibat atau berdampak kepada satu generasi, namun juga generasi berikutnya yang memiliki posisi strategis sebagai amanah penjamin kelangsungan peradaban masa depan kebudayaan. Modernisasi adalah realitas yang terus menjadi, takmungkin dihindari kecuali hanya diresapi, dipahami, dan dimuliakan dalam satu proses yang dinamis-organisik. Inilah dasar pendirian dari paper ini, sebuah uraian perenungan sederhana bagaimana menegakkan kembali kehidupan dengan kebajikan dan kearifan sendiri, tembang dolanan anak. Tembang dolanan anak sebagai tradisi lisan merupakan sistem wacana niraksara dan beraksara Pudenia, 1998yang sebagian besar adalah anonim, disebarkan dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya Keller, 1984.Saya membatasi pengerian tembang dolanan anak ini sebagai lelagon‘tembang’ yang dimainkan oleh anak-anak dengan fragmen permainan gerak yang lucu, spontan, dan energik. Bertolak dari judul di atas, berturut-turut hendak diuraikan tembang dolanan sebagai wacana puiik, ajaran simbolik, wacana komunikasi, dan kontribusinya untuk menegakkan kembali karakter budaya Nusantara, Indonesia.

B. Tembang Dolanan sebagai Wacana Puitik

Sebagai wacana puiik, tembang dolanan merupakan wacana puiik imajinaif yang membawa anak mengenal kosmik individual dan sosialnya sendiri secara sukarela dalam suasana terbuka dan riang gembira. Bahasa sederhana yang tumbuh dari milleu sendiri menebar benih-benih memori yang kuat, memberikan pengalaman interaksi yang konkret. Lebih dari itu,kesederhanaan menumbuhkan persepsi yang posiif anak, baik pada diri sendiri maupun orang lain serta lingkungannya. Melalui perlambangan dan berbagai bentuk leksikon arikulasi metaforis, misalnya binatang lokal Menthok, kupu, kancil, Gajah, Kebo, dsb., alam sekitar pari, ngluku, ani-ani, terong, kencur,dll, sifat bodho, pinter, gemi , dllanak-anak memahami dirinya melalui hal-hal diluar dirinya dan yang “bukan dirinya”. Melalui lorong-lorong metaphor inilah anak akan membangun “self” dalam dirinya dan membentuk idenitas karakter pribadinya masing-masing. Ya jelas, idenitas bukan sesuatu yang dibangun secara langsung jadi, melainkan terbentuk dan terwujud dari berbagai endapan pemahaman yang dinamis. Bahasa dalam tembang dolanan memiliki ciri metaphor yang sangat kuat dan sulit untuk dikatakan sebagai bahasa literal.Oleh karenanya memahami tembang sepatutnya dilakukan secara metaforis, adanya kenyataan non-inderawi yang “berbicara”. ILIR-ILIR Lir-ilir lir-ilir tandure wis sumilir tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodoira Pada bait tembang Ilir-Ilir di atas, kita dihadapkan pada masalah univositas ‘ketunggalan makna’ dan ekuivositas ‘kejamakan makna’. Di sini, kita dapat mengenal pasi adanya perbedaan antara “ari” dan “penggunaannya”.Wacana puiik ada di dalam wilayah ekuivositas dan penggunaan. Mengapa, karena sulit bagi kita memahami makna tembang Ilir-Ilir tersebut hanya dengan mengandalkan standar relasi inferensial baku. Tandure wus sumilir adalah lukisan perkembangan Islam di Jawa pasca runtuhnya Majapahityang begitu pesat dan berterima di kalangan masyarakat luas ijo royo-royo, buah blimbing sebagai lukisan Rukun Islam yang menurut para wali sudah saatnya membersihkan ageman dodot para raja penguasa Jawa Hindu Budha. Hal serupa juga tampak pada tembang Menthog-Menthog hewan iik sebagai lukisan sifat pemalas dan kurang giat bergerak.Gudel anak kerbau sebagai lukisan orang yang bodoh, Suweng sebagai metaphor dari kemampuan menerima informasi, dst. Tembang dolanan anak sebagai wacana puiik masuk dalam genre sastra puisi niraksara dan beraksara.Menarik, di dalam syair tembang yang sederhana itu ternyata bersalut begitu banyak rekaman sejarah, pengetahuan, dan beraneka kesenangan.Tembang dolanan anak idak saja melaih kogniif anak, namun juga afekif dan psikomotorik anak melalui permainan anak seperi gatheng, dakon, macanan, sumbar-suru, sumbar-manuk, sumbar-dulit, kubuk, adu-kecik, adu-miri, nekeran, jirak, dekepan,dan jethungan.

C. Tembang Dolanan Anak sebagai Simbolik Ajaran