F. Penutup
Akhirnya dengan dieksplorasi peran dan fungsi cerita rakyat seperi wujud mitos,legenda ataupun cerita lainnya diharapkan
dapat terdokumentasi keberagaman dan kekayaan budaya bangsa kita, Akhirya wuud kearifan lokaldapat dimanfaatkan dengan baik,
karena dalam kebudayaanini ada pesan yang tersirat yang dapat dimanfaatkan sebagai pembentukan kharakter dan idenitas
jai diri kebangsaan secara umum, secara khusus dapat menjadi pengembangan dan kearifan local daerah.
98
Bagian Empat
TRADISI WIWIT DAN NINI THOWONG PETANI PUNDONG BANTUL YOGYAKARTA
Oleh Prof. Dr. Ki Kasidi Hadiprayitno, M.Hum. Institut Seni Indonesia Yogyakarta
A. Latar Belakang Sosial Budaya Wiwit
Pundong berada di wilayah kabupaten Bantul Yogyakarta. Sebagian masyarakatnya adalah petani. Walaupun idak menutup
kemungkinan sebenarnya banyak kegiatan lain di luar pekerjaannya sebagai petani, misalnya pegawai negeri, guru, pedangan kecil,
perajin, atau buka warung, bengkel sepeda motor, buka usaha lain selain sebagai petani. Sulit rasanya membedakan petani dan bukan
petani, kebanyakan dari mereka jika ditanyakan tentang mata pencaharian hampir dipasikan jawaban tentulah memilih sebagai
petani.Kenyataannya terjadi orang yang bekerja sebagai pembagi hasil tanah garapan atau buruh pun mengaku sebagai petani,
demikian halnya dengan penduduk yang lainnya. Hal seperi disampaikan Koentjaraningrat 1981: 194-198 Bahwa situasi
seperi disebutkan merupakan gejala yang sangat umum terjadi pada kehidupan pedesaan saat ini,orang sulit sekali menyatakan
jenis pekerjaan yang mereka tekuni, disebabkan mereka sebagian besar idak memiliki pekerjaan tetap. Misalnya sebagai seniman
ketoprak, pengrawit, wayang orang, dan sebagainya sebenarnya
mereka memiliki penghasilan yang lebih menguntungkan daripada menjadi petani biasa. Tetapi saat-saat panggilan manggung itu
idak dapat dipasikan ruinitasnya, sehingga lebih aman apabila dinyatakan sebagai petani. Oleh sebab profesi pekerjaan yang lain
hampir idak terpikirkan di samping hanya sebagai petani saja, dengan demikian sikap menerima keadaan yang telah dimilikinya
atau sikap narima ing pandum adalah perilaku kesederhanaan yang terus dipertahankan. Demikian juga konsep gotong royong
pun masih menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat pedesaan, walaupun diakui juga bahwa konsep ini telah mengalami
pergeseran.Misalnya dalam pembuatan rumah, pengerjaan fasilitas umum, hajatan, dan sebaginya. Namun agaknya dalam
alam sekarang ini konsep gotong royong menjadi terbatas sifatnya, arinya jika ada warga memiliki beban pekerjaan besar seperi
membangun rumah, maka para tetangga akan melakukan ikut mengerjankan dalam tempo terbatas barang dua iga hari, selepas
dari itu tenaganya akan diperhitungkan sebagai buruh biasa. Hal ini merupakan suatu kebijaksaan yang adil, karena jika seseorang
terlalu lama dalam bergotong royong tanpa memperoleh imbalan
atau bayaran, dapat dibayangkan siapa yang akan menopang keuangan rumah tangganya sendiri. Barangkali gotong royong
seperi ini idak saja berlaku di Pundong tetapi hampir di semua wilayah pedesaan saat ini, terutama di Bantul Yogyakarta. Keadaan
dan situasi yang tampak adalah semua penduduk telah menikmai kemerdekaan serta gelegar pembangunan selama pemerintahan
yang terdahulu. Tradisi wiwit yang menjadi pokok pembahasan dalam
tulisan ini kaitannya dengan tradisi pergelaran Nini Thowong,
merupakan salah satu upacara yang berhubungan dengan ritus padi, yang hingga saat dilakukan penulisan ini masih berlangsung
pada masyarakat pendukungnya.Tradisi wiwit adalah salah satu upacara yang dikenal oleh masyarakat Pundong di samping
upacara-upacara yang lainnya.Hal ini menunjukkan bahwa perilaku religi pada masyarakat yang bersangkutan masih kuat
dalam mempertahankan warisan budaya leluhur setempat. Panen merupakan rahmat yang paling berharga dari pemberian rezeki
yang dalam kelompok masyarakat setempat disebut mboyong
Dewi Sri‘membawa pulang padi dari sawah ke rumah’.Oleh sebab itulah panen dilengkapi dengan upacara khusus yang pada
dasarnya berisi pernyataan atau representasi penghormatan
terhadap sumber hidup yaitu padi atau beras yang dilambangkan dengan Dewi Sri, yang juga dipahami sebagai rezeki.
1. Bentuk Upacara Wiwit
Upacara wiwit ini dapat dipahami sebagai sarana mendatangkan Dewi Sri agar hadir di dalam kehidupan keseharian
petani. Adapun maksudnya idak lain adalah untuk memohon perkenan dan perlindungan keselamatan dalam memboyong
panenan padi pulang ke rumah, selanjutnya juga pengharapan dan permohonan agar Dewi Sri berkenan menjaga kelestarian bulir-
bulir padi itu yang mereka simpan di dalam lumbung. Sebenarnya upacara wiwit itu merupakan satu rangkaian semenjak petani
menanam padi di sawahnya.Sebelum orang memanen seluruh padi, maka dibuatlah upacara pemboyongan padi lengkap dengan
mantra dan sesaji. Sesaji itu terdiri atas: a. Nasi liwet sebakul berikut kerap atau inip nasi yang ditaruh di
atas nasi liwet tersebut
b. Air kendhi c. Daun dadap srep
d. Telor ayam kampung e. Ikan asingereh pethek
f.
Sambal gepeng yaitu terbuat dari kedelai yang digoreng kemudian dikasih bumbu garam, cabe, kencur, terus ditumbuk
dicampur dengan gereh Petek sejenis ikan asin kecil.
g. Sebongkok merang untuk menyalakan dupa atau kemenyan wangi
h. Kain selendang yang masih baru untuk menggendong Dewi Sri. Setelah semua sesaji dipersiapkan barulah dibawa ke sawah,
biasanya anak-anak kecil menyertai upacara ini dengan harapan akan menjadi burung-burung gagak yang menyantap sesaji tadi.
Seorang sesepuh kampung yang ditunjuk oleh yang punya sawah segera melakukan doa untuk pemboyongan tersebut. Beberapa
padi hingga segenggam dipotong dengan alat yang disebut ani-
ani selanjutnya disatukan dan digendong oleh seorang gadis yang
bersih arinya dalam keadaan idak sedang datang bulan atau haid. Sesampai di rumah padi itu diletakkan di dalam senthongatau
pedaringan, kelak setelah semua panenan di simpan di dalam lumbung segenggam padi pokok Dewi Sri itu, barulah disatukan
di dalam lumbung tujuannya agar hasil panenan idak lekas habis sampai musim tanam yang akan datang.
Ada hal menarik dari penuturan seorang tetua dusun bernama Suwitorejo 73 bahwa upacara wiwit di samping untuk
memboyong Dewi Sri ternyata salah satu yang menjadi sasaran doa berupa seekor singa berkepala gandarwa bernama Kala Bulkiya.
Tokoh ini dikenal oleh petani sebagai penunggu sawah dan tegalan
sekaligus penunggu Dewi Sri di sawah. Pemujaan dan sesji yang dipersembahkan kepadanya adalah representasi dari pernyataan
terima kasih para petani terhadap jasa-jasa yang telah menjaga tegal dan persawahan petani. Pada jaman dulu setelah upacara mboyong
Dewi Sri secara masal akan diakhiri dengan dekahan gedhenatau mejemuk umum, dalam upacara dekahan gedhen itu menanggap
wayang dengan cerita lakon Sri Boyong atau lakon Makukuhan, yaitu cerita lakon wayang yang berkisah tentang asal muasal tanaman
padi dan terjadinya Kala BulkiyaKasidi, 2011: 54. Namun karena situasi ekonomi yang melanda hampir di seluruh Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir biaya mejemuk umum dialihkan untuk pembangunan prasarana umum di kampung mereka.
2. Fungsi Upacara Wiwit
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas dapat diketahui bahwa upacara wiwit bagi masyarakat Pundong merupakan
kegiatan yang dilakukan guna meminta perlindungan kepada Dewi Sri agar hasil panenan terjaga. Walaupun idak seiap orang
sekarang ini melakukan upacara tersebut namun orang-orang tua dari daerah pedasaan tetap melaksanakannya. Barangkali karena
faktor komunikasi yang kurang dikembangkan berakibat putusnya nilai warisan budaya leluhur, apabila hal ini idak diperhaikan dan
diteruskannya tradisi wiwit ini, maka bukan idak mungkin tradisi itu akan punah.
3. Sifat Upacara Wiwit
Mayoritas penduduk wilayah Pundong beragama Islam, walaupun idak semuanya menjalankan sholat 5 waktu dapat
dibandingkan dengan pendapat Geerzt 1992.Ada anggapan dari kalangan terpelajar dan modernist bahwa indakan upacara
ritual yang diadakan oleh leluhur mereka adalah perbuatan misik. Namun demikian mereka tetap menghormai para orang tua dan
para leluhur hal ini dibukikannya dalam keikutsertaan mereka dalam perisiwa itu.Hal ini idak terlepas dari bagimana para
orang tua menyampaikan tujuan dan maksud dari segala upacara yang meraka lakukan.Salah satu yang paling bijaksana adalah
bahwa semua perisiwa sebagai perisiwa budaya warisan leluhur yang perlu dilestarikan dan dikenal oleh seiap generasi yang ada
dan mengawal perjalanan sejarah Pundong. Oleh karena itulah perisiwa ini justru dikemas sedemikian rupa guna perayaan desa
yang disatukan dengan perisiwa nasional misalnya peringatan 17 Agustus hari kemerdekaan Republik Indonesia atau perisiwa
lainnya. Inilah sikap moralisic yang lebih biijaksana segenap warga masyarakat Pundong, satu pihak pewarisan budaya leluhur
jalan terus, di lain pihak idak bertentangan dengan ajaran agama, dengan demikian idak terjadi konlik sosial yang perlu
dikhawairkan oleh banyak pihak yang kadang menghembuskan issue yang kurang baik di masyarakat petani.
B. Nini Thowong
Nini Thowong adalah jenis tarian tradisional sebagai salah satu upacara ritual setelah petani Pundaong memanen padi dari
sawah. Dianggap sebagai ritual karena tarian ini masih merupakan satu rangkaian dengan pemboyongan Dewi Sri sebutan untuk
bulir-bulir padi yang diupacarai, sehingga keberadaannya sampai dengan saat ini masih dilakukan kaika panen iba. Jenis tarian ini
pun menjadi primadona dan unggulan di wilayah Pundong.Sebagai salah satu seni rakyat unggulan dari Pundongsehingga menjadi
sebuah perkumpulan kesenian rakyat, yang sering mendapatkan kesempatan pentas di tempat-tempat pening misalnya di Pendapa
Kabupaten Bantul, fesival kesenian rakyat, dan yang lainnya.
Nini Thowong ada yang menyebutnya Nini Thowok adalah jenis tarian permainan yang diselenggarakan setelah musim panen
berlalu, biasanya bersamaan dengan perisiwa mejemuk. Dari penjelasan Pigeaud dalam Javaanshe Volkvertoningen1938:365
bahwa jenis tari permainan ini digolongkan sebagai permainan hipnois.Mungkin karena tari permainan ini berkaitan dengan
mendatangkan roh halus, sehingga disebut sebagai tarian hipnois.Banyak jenis-jenis permainan rakyat yang menghadirkan
roh halus itu misalnya Jailangkung, Ni Korek, Jathilan, Reyog dan seterusnya. Sama-sama si pelaku kesurupan atau dalam keadaan
trance
seperi dalam jathilan dan reyog, Nini Thowong dan Jailangkung menggunakan media khusus untuk menghadirkan roh
halus. Di samping itu juga harus disediakan saji-sajian dan syarat- syarat khusus misalnya alat-alat yang akan dipergunakan sebagai
media penghadiran harus diletakkan di tempat yang dianggap
dan memiliki kekuatan gaib yang disebut tempat wingit, misalnya makam, pohon besar di pojok desa, dan tempat keramat lainnya.
1. Bentuk Nini Thowong
Dari segi bentuk Nini Thowong berbentuk seni kerakyatan, yaitu berupa tarian permainan yang dilakukan oleh beberapa
orang penopang boneka yang disebut Nini Thowong.Boneka Nini Thowong terbuat dari sebagai berikut.
a. Kepalanya terbuat dari siwuryaitu gayung yang terbuat dari tempurung batok kelapa. Bagian depan batok kelapa dilukisi
wajah orang lengkap dengan make up tradisi termasuk lip sikc.
b. Badannya terbuat dari bamboo, kemudian di bagian atas dibuat sedemikian rupa sebagai bahu kanan dan kiri.
c. Busana adalah pakaian wanita terdiri atas kain kebaya, kain jarit lengkap dengan setagen.
d. Sesaji, berupa jajan pasar, kembang 7 warna, satu gelas atau cangkir minuman kopi atau teh, minyak wangi, dan anggur
puih dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama jenewer. e. Iringan musik bamboo terdiri dari kentongan dari ukuran yang
kecil sampai yang besar disesuaikan dengan kebutuhannya. f.
Merang yaitu batang padi bagian atas yang telah dikeringkan sebagai alat untuk membakar kemenyan.
g. Tersedianya syair-syair lagu khusus untuk mendatangkan roh halus
Setelah semua syarat disiapkan, maka sang pawang pun segera membakar kemenyan dengan mengucapkan mantra-mantra khusus.
Boneka Nini Thowong yang ingginya seukuran manusia itu bagian pantatnya yang terbuat dari bakul atau tenggok cilik
diangkat pelan- pelan, selanjutnya musik dan syair khusus pun dilantunkan oleh para
pelaku. Sayup-sayup terdengar syair pengundang roh halus. Nyanyian untuk menghadirkan roh halus ke dalam boneka
yang digerak-gerakkan oleh beberapa orang, dan menyerupai gerakan-gerakan tarian manusia.Sebagai berikut.
Rame gugup, wanci surup, Nini Thowong le manggut-manggut,
Siwur di reka-reka pacakane kaya wong duwe nyawa, Diklambeni, setageni biyung sing duwe sapu diuyak-uyak,
Sing nakal galo uyaken, Nini Thowong sing nakal galo cakoten.
‘Riuh rame tepat waktu matahari terbenam Nini Thowong mengangguk-angguk kepalanya
Siwur direka dibuat sedemikian berbusana seperi orang punya nyawa
Pakai baju, mengenakan setagen orang tua perempuan yang membawa sapu dikejar-kejar,
Siapa yang nakal kejarlah, Nini Thowong yang nakal itu gigitlah’.
2. Sifat Nini Thowong
Secara misik permainan tari Nini Thowong hanya menekankan pada segi trance
saja, sehingga idak berkaitan secara langsung dengan konsep-konsep religi. Namun apabila dirunut dari proses
dihadirkannya roh dalam wewujudan boneka kayu tersebut, kiranya lebih mendekai kepada dunia totem Pigeaud, 1938: 365 yaitu
pemujaan terhadap totemisme tokoh-tokoh binatang yang dianggap memiliki daya kekuatan gaib yang mampu mempengaruhi pola
pemikiran petani. Seperi halnya dalam tradisi wiwit yang ternyata salah satu tujuan diadakan upacara karena terkait dengan tokoh
totem yaitu Kala Bulkiya yakni binatang singa berkepala gandarwa. Apakah hal ini berkaitan dengan wujud Nini Thowong yang sebenarnya
memang berorientasi pada tanaman atau pun hasil-hasil pertanian. Dari gambaran itu dapat dikatakan bahwa sifatnya adalah profan,
yang paling tampak dari tarian ini sebatas pada tarian hiburan di waktu senggang yang dilakukan oleh para petani, dan waktunya pun
memilih setelah matahari terbenam yaitu surupsebagaimana syair yang dilantunkan oleh para pelaku pertunjukan tari Nini Thowong.
3. Fungsi Tarian Nini Thowong
Keberadaan tarian Nini Thowong dalam kepercayaan yang arkais dinyatakan, bahwa setelah seseorang dalam keadaan
trance, baik diawali dengan menari secara khusus, atau minum
minuman yang memabukkan, maka orang tersebut kemudian dapat ditanyai berbagai keperluan yang berkaitan dengan hal-
hal pokok pada komunitas tertentu. Misalnya kapan harus mulai menanam padi, waktu mendirikan rumah, menjodohkan anak
gadisnya dan sebagainya.Hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kemampuan seperi itu dan biasanya hanya diwariskan
kepada anak keturunannya saja. Hal seperi disebut sebagai telangkai atau dukun prewangan
Cassirrer, 1944: 19, yang hampir mirip dengan Nini Thowong misalnya Jailangkung di mana orang
dapat menanyakan sesuatu kepada roh halus yang masuk di dalamnya,sedangkan Nini Thowong sama sekali idak komunikasi
antara orang yang berada di sana ataupun lewat tulisan-tulisan dan bahasa isyarat, sehingga fungsi dari tarian ini melulu pada segi
hiburan belaka. Penonton menjadi tertawa dan geli keika boneka itu mengejar berusaha memukul dengan kepala siwurnya kepada
penonton yang menyalahi keberadaannya misalnya mengejek atau menjaili Nini Thowong.
Barangkali yang lebih tepat adalah sebagai sarana pemujaan kepada Dewi Padi sehingga tarian ini merupakan salah satu
ritus padi yang dikenal oleh masyarakat petani Pundong.Hal itu dapat dilihat dalam persiapan maupun adanya sesaji yang harus
diwujudkan serta mantra pemujaan oleh pawang Nini Thowong. Pergeseran dari fungsi itu kini dapat dilihat keika tarian Nini
Thowong ditanggap untuk pentas memperingai suatu perayaan di tempat keramaian, sehingga dengan demikian dominasi unsur
hiburan sangat kuat. Di samping itu telah ditentukan pula nilai bayaran tanggapannya yang sekitar Rp. 1.000.000,-- sampai
dengan Rp. 2.000.000,-- Semua pendukung mengenakan seragam tradisional lengkap, demikian halnya boneka siwur dibuat sangat
glamour penuh assesoris yang menarik penonton. Komersialisasi
nilai tradisi seperi ini pun akhirnya terjadi dalam komunitas kehidupan petani setempat.
Kemajuan dunia teknologi modern mendera seluruh wilayah di Indonesia, sehingga membanjirnya barang-barang eletronika
berbagai merek dan jenis menjadi barang komoditas kebutuhan masyarakat. Orang tua sampai anak-anak pun idak pernah
terlepas dari genggaman alat komunikasi modern yang di sebut
hand phone tanpa disadari kehadiran alat tersebut sedikit mengubah perilaku seidaknya orang menjadi lebih asyik dengan
dirinya sendiri.Masyarakat Pundong pun memanfaatkan hal ini untuk memajukan kehidupannya dengan menjadi pedagang HP
dan jualan pulsa, akibatnya garapan sawah hanya dilakukan orang- orang tua, yang muda alih profesi di berbagai bidang.
C. Manfaat
Bagi masyarakat petani Pundong upacara wiwit berikut upacaranya, ternyata memiliki nilai posiif yang perlu dilestarikan
dan disosialisasikan kepada generasi penerus.Kemungkinan terjadi komunikasi budaya yang putus dapat ditekan sejak dini. Proses
pewarisan budaya leluhur seperi ini bukan saja menjadi tugas dari dinas tertentu, namun justru menjadi tugas semua pihak yang
merasa memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai budaya bangsa sendiri, dengan penjelasan yang wajar dan sesuai porsinya kesan
yang sumbang yang menganggap bahwa upacara ritual adalah bertentangan dengan agama dapat dihindari.
D. Sistem Kepercayaan
Hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat petani dikenalinya dari berbagai macam upacara
ritual. Semua itu dilakukan karena banyak hal di luar batas kemampuan serta akal manusia, sering sekali dituturkan di dalam
mitos yang menggambarkan betapa besar pengaruh kekuatan di luar dirinya,sehingga dengan demikian di samping religi agami
Jawi dikenal pula adanya konsep dunia gaib yang dianggap ikut berpengaruh terhadap pekerjaan, nasib, rezeki, prestasi kerja,
dan sebagainya Geerzt, 1981: 35. Misalnya kepatuhan terhadap tokoh-tokoh mitos seperi raja Mataram, Nyi Lara Kidul, penghuni
dan penguasa Gunung Merapi, dan sebagainya. Kepatuhan mereka ini dipercayai karena senaniasa akan terlidung dari berbagai
bencana, sehingga muncul unkapan ndherek hajad dalem arinya mengikui kehendak sang raja.
Mengapa mereka percaya sekali bahwa inggal di selatan kraton Yogyakartaakan luput dari bencana lahar Gunung Merapi?
Jawabannya idak lain adalah disebabkan kepatuhannya terhadap raja Ngayogyakarta Hadiningrat dalam menjaga keseimbangan
dengan tokoh miis tersebut. Seiap waktu tertentu yaitu pada bulan Mulud dan Bakda Mulud mengadakan upacara di lereng
Gunung Merapi sebagai persembahan agar jika terjadi letusan idak mengarah ke kraton Yogykarta dan wilayahnya, oleh sebab
itulah jika ada bahaya letusan jarang muntahan lahar mengarah ke Selatan. Contoh kepatuhan terhadap sang raja tergambar pada
upacara Suran keika masyarakat menganggap ada sesuatu yang mengancam eksistensi mereka, yaitu akan ada pagebluk maka
mereka pun menggantungkan nasibnya kepada raja, dengan serta
merta maka raja memerintahkan untuk mengadakan upacara keliling beteng Ngayogyakarta berikut pusaka-pusaka kraton.
Bencana pun hilang dan masyarakat merasa aman Baal, 1989: 34. Demikian pula dengan upacara jamasan pusaka-pusaka
kraton banyak dikunjungi masyarakat untuk meminta air sisa siraman, kemudian mereka percaya bahwa air itu akan menjadi
daya tersendiri keberhasilan panen di waktu mendatang. Itulah sebabnya maka masyarakat Pundong pun terutama yang tua-tua
masih percaya terhadap hal-hal di luar batas kemampuan logiknya dalam rangka menghadapi permasalahan hidup. Bahkan sampai
permasalahan nasional pun mereka pasrah dan percaya akan hadirnya seorang tokoh yang akan mampu mengatasai berbagai
macam kesulitan negeri, yaitu hadirnya sang ratu adil.
Berbagai macam upacara dan ritual spiritual inilah yang hingga kini hidup subur di lingkungan masyarakat Bantul pada
umumnya dan dusun Gruda pada khususnya. Bahwa di sana terjadi pergeseran-pergeseran nilai dan makna adalah hal sangat wajar
seiring dengan kemajuan jaman dan lajunya proses globalisasi yang sulit dihindarkan.
E. Kesimpulan