bakul kecil yang memiliki tutup yang disebut ‘tanasak’ yang diikat dengan benang berwarna-warni. Di badan ‘tanasak’ itu
ditancapkan bulu ayam sejumlah orang yang disunat. Tanasak ini ditempatkan di lokasi yang mudah dilihat orang banyak, biasanya
di perigaan. Orang-orang desa yang melihat ‘tanasak’ itu segera mengetahui bahwa sudah ada orang-orang ‘meo’, yaitu laki-laki
perkasa dan tangguh yang berada di desa mereka.
Pemuda yang sudah disunat dan melakukan sifon dipandang sebagai manusia terhormat secara adat, siap untuk menikah dan
diperlakukan sebagai warga dewasa. Mereka memiliki privilege dan tanggung jawab yang lebih besar. Dalam acara-acara ritual-
formal, mereka idak lagi menjadi objek sindiran sebagai orang yang ‘idak bersih’, ‘berbau’, ‘kotor’.
Tiik akhir perjalanan panjang sunat tradisional ini adalah semacam ‘slametan’ sebagai ucapan syukur atas proses panjang
yang sudah dilalui dengan selamat. Mereka yang baru saja ‘lolos’ dari indakan heroik itu memotong satu ekor ayam puih dan
minum sopi bersama.
15
D. Sifon dan Identitas Kultural
Pertanyaan fundamental yang perlu diajukan adalah, apakah tradisi sunat pening dan memadai untuk merumuskan sebuah
masing satu botol. Sebelum diminum, tukang sunat memanjatkan doa syukur kepada arwah nenek moyang atas perlindungan mereka sehingga sunat dan sifon
berjalan dengan selamat. 15 Acara ‘slametan’ ini pun idak memiliki sebuah standar umum
yang sama. Ada tukang sunat yang hanya meminta masing-masing pasiennya memberikan 1 botol sopi.
‘poliik idenitas’ atau ‘idenitas kultural’ masyarakat Dawan? Apakah mungkin mengideniikasikannya melalui sebuah momen yang
sebenarnya sulit ditebak, sebuah moment of rupture ? Bagaimana
cara menganalisisnya? Dalam melakukan ideniikasi terhadap sifat- sifat poliik idenitas, apakah hal itu mengacu pada kumpulan prakik-
prakik dan sensibilitas-sensibilitas kunci? Pertanyaan-pertanyaan ini pening diajukan karena jawabannya akan sangat berpengaruh
terhadap hasil akhir kajian ini yakni: apa yang ingin dicapai oleh masyarakat Dawan melalui sunat dan sifon
sebagai prakik poliik idenitas? Apa dampaknya pada kehidupan mereka?
Salah satu penjelasan kunci key explanaion terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tampak dalam kuatnya tradisi
ini bertahan dalam terpaan zaman. Sudah banyak sekali upaya yang dilakukan pemerintah dan Gereja untuk menghapus tradisi
ini dari prakik kehidupan sehari-hari orang Dawan. Tradisi sunat tradisional yang dipandang idak memenuhi standar kesehatan
dan pelaksanaan sifon yang rentan terhadap berbagai penyakit terutama Penyakit Menular Seksual PMS dan lebih-lebih HIV
AIDS menyebabkan kedua tradisi ini cenderung dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan dan kehidupan manusia. Karena itulah
pejabat pemerintah dan pejabat Gereja berusaha menghapus tradisi ini dari tatanan budaya orang Dawan. Upaya pejabat pemerintah
dan pejabat Gereja yang cukup gencar untuk menghilangkan tradisi sunat dan sifon didasarkan pandangan bahwa tradisi ini
‘“bertentangan dengan nilai-nilai moral” dan beresiko terhadap kesehatan. Dalam kenyataannya, upaya-upaya tersebut senaniasa
menemui kegagalan Talan, 2004. Gereja dan pemerintah telah mendidik tukang-tukang sunat untuk melaksanakan sunat dengan
peralatan yang steril dan melarang pelaksanaan sifon. Gereja Katolik di Kabupaten SoE bahkan menerapkan sangsi yang lebih keras, yaitu
melarang umat Katolik untuk menerima Sakramen Pertobatan dan Sakramen Komuni jika mereka idak “bertobat.” Pada umumnya
anak-anak muda Dawan idak merasa bersalah dan menganggap hukuman itu biasa-biasa saja.
Kepercayaan akan kemujaraban dan keampuhan tradisi sunat dan sifon ini tampaknya sudah sangat kuat berakar dalam kesadaran
historis masyarakat Dawan. Anjuran pemerintah dan gereja agar masyarakat meminta pelayanan sunat dari para petugas medis di
Puskesmas, bukan dukun, idak banyak mempengaruhi mereka. Bahkan generasi muda di daerah itu yang sudah mengenyam
pendidikan inggi diam-diam mengunjungi dukun setempat untuk disunat. Sunat dan sifon sudah dianggap sebagai sebuah solusi
yang tepat bagi pembentukan harga diri dan kejantanan bagi pria Dawan.
Hubungan antara individu dan masyarakat, khususnya dalam masyarakat Melanesia, memiliki karakterisik umum yang unik.
Sebagaimana diungkapkan Iteanu 1990: 35-53, ada dua level urutan nilai dalam masyarakat. Masyarakat sebagai sebuah
keseluruhan ditempatkan pada level teringgi, dan individu sebagai subordinasi masyarakat ditempatkan pada level yang
lebih rendah. Berikut ini akan dikaji kaitan antara tradisi sunat, sifon, dan pembentukan idenitas pria Dawan. K o n i n u i t a s
hubungan antara adat masyarakat Dawan dan pengaruhnya terhadap individu dan pembentukan idenitas melalui pelaksanaan
ritual sunat dan sifon akan dikaji di bawah ini. Dalam perspekif semacam ini, tradisi sunat dan sifon dapat kita pandang sebagai
sebuah performance.
16
Sunat dan sifon merupakan sebuah tradisi yang sangat pervasif dalam masyarakat Dawan, yang didukung baik oleh kaum
pria maupun wanitanya. Hal ini membukikan bahwa tradisi sunat dan sifon telah menjadi bagian dari idenitas budaya masyarakat
Dawan. Asumsi utama dalam mengungkap hubungan antara tradisi sifon dan idenitas budaya ini adalah bahwa tradisi sifon
telah menjadi salah satu makna konsep ideal ideal noion dalam mengkonstruksi idenitas person atau diri laki-laki male person
Dawan. Tema ‘person’
merupakan tema pening dalam ritus peralihan Caton, 1993: 359. Imaji tentang ‘menjadi laki-laki
sejai’ inilah yang secara psikologis memungkinkan seorang pria Dawan terlibat secara intens dalam ritus inisiasi ini.
Caton 1993: 360 juga menegaskan bahwa ritus peralihan idak saja bisa dijelaskan dalam konteks kebudayaan dan simbol-
simbolnya melainkan juga sebagai sebuah kategori psikologis, yang memiliki hubungan sangat erat dengan konstruksi personal
individu sebagai makhluk sosial. Dalam studi ini, yang dimaksud dengan ‘idenitas kultural’ adalah perasaan feeling sebagai
sebuah kelompok kebudayaan. Kebudayaan sebagai prakik
16
Isilah ‘performance’ merupakan isilah Linguisik dalam teori indak tutur yang dipinjam oleh Richard Bauman lihat Caton, 1993: 359 untuk menganalisis
seni-seni verbal. Chomsky membedakan ‘performance’ dari ‘competence’. Peformance adalah apa yang dilakukan penutur keika dia menggunakan
bahasanya indak tutur prakis, sedangkan competence adalah apa yang secara intuisi diketahui penutur mengenai bahasa pengetahuan bahasa. Diandaikan
bahwa performance hanyalah representasi dari competence yang dimiliki. Konsep
ini merupakan sebuah kunci untuk memahami ‘konstruksi’ sebuah kebudayaan. Bagaimanapun, secara universal terdapat tema-tema kultural di dalam ritus
peralihan Caton, 1993: 360. Dari ritus tersebut, dapat dipelajari ‘competence’ yang berupa poliik idenitas atau idenitas budaya komunitas masyarakatnya.
sosial bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh individu. Kebudayaan culture
adalah sebuah proses sosial di mana individu-individu berparisipasi di dalamnya, dalam konteks situasi-situasi historis
yang berubah-ubah Nicola, 2005. Sebagai sebuah ‘bendungan historis’ historical reservoir kebudayaan memiliki makna yang
pening dalam membentuk idenitas. Dalam proses pembentukan kebudayaan inilah seorang individu dikonstruksi secara sosial.
Melalui proses konstruksi sosial
social construcion, individu memperoleh sebuah ‘status sosial’ dan menyetujui untuk
beringkah laku menurut aturan-aturan konvensional tertentu. Emile Durkheim menyebutnya sebagai ingkah laku kolekif
collecive behaviour. Tingkah laku kolekif inilah yang menjadi representasi mental terhadap ingkah laku lainnya, dan hal ini
akan, dalam isilah Berger 1966 menjadi sebuah kebiasaan habitualized dalam peran-peran pelaku atau individu. Jika telah
menjadi kebiasaan dan ruinitas, kebiasaan ini akan berubah menjadi sebuah insitusi budaya insituionalized.
Secara kultural, kebudayaan Dawan memiliki gambaran yang ideal mengenai “pria sejai” yang diwujudkan dalam tradisi
sunat dan sifon. Kuatnya prakik tradisi ini didukung oleh adanya keyakinan umum yang ‘dibiasakan’ habitualized mengenai
bahaya penyakit dan menurunnya kejantanan apabila pria Dawan idak melaksanakan sunat dan sifon. Hal itu lebih diintensikan
lagi dengan adanya sindiran-sindiran yang harus diterima dalam berbagai pertemuan formal maupun informal. Orang yang idak
menjalankannya akan merasa minder dari pergaulan sosial. Karena itu dapat dikatakan bahwa keyakinan ini telah membentuk
kesadaran historis masyarakat Dawan hingga membentuk
semacam insitusi budaya insituionalized yang memiliki daya paksa untuk ditaai oleh masyarakat penganutnya.
Dari penjelasan di atas, dapat diduga bahwa individu Dawan pasi akan berusaha menaai dan selalu berada di dalam kumparan
bendungan historis historical reservoir tradisi yang sudah berabad-abad diwariskan oleh leluhur mereka. Persoalan ‘idenitas
budaya’ yang perlu dibahas secara akademis adalah hubungan antara individu dan kelompok. Malinowsky membedakan dimensi
personal dan dimensi sosial dari akivitas manusia lihat Iteanu, 1995: 35, tetapi cara dia menjembatani kedua dimensi tersebut
kurang memuaskan. Studi kasus hubungan antara individu dengan lembaga sosial masyarakat Dawan dengan pranata budayanya
menunjukkan dinamika yang menarik dalam hubungan antara dimensi personal dan dimensi sosial budaya.
Dalam studi kasus ini, individu dapat disebut sebagai salah satu
“agency”
17
yang di satu pihak masih percaya dan taat pada “structure”
18
, akan tetapi di lain pihak, dia pun secara ‘rasional’ menyeleksi indakan-indakan ritual yang sesuai dengan posisi
dan argumen akademisnya, sebagaimana telah diungkapkan di atas. Meskipun terdapat penyimpangan-penyimpangan yang
signiikan dalam pelaksanaan sunat maupun sifon, Marin masih memegang teguh adat sunat tradisional dan pelaksanaan sifon-
17
Studi kasus menggunakan metode Life History terhadap seorang tokoh muda berpendidikan inggi, yang saat ini menjadi dosen sebuah perguruan
inggi swasta di Kefa, bernama Marin 35 tahun. Agency adalah isilah di dalam sosiologi yang mengacu kepada kemampuan individu berindak secara
independent dan membuat pilihannya sendiri secara bebas.
18
Structure adalah faktor-faktor seperi kelas sosial, agama, gender, etnik,
adat isiadat yang membatasi atau mempengaruhi indakan individu.
nya.
19
Keyakinan yang paling dominan mempengaruhi keputusan Marin untuk disunat adalah perimbangan ‘kepuasan seksualitas’
yang terutama akan diperoleh sang istri bila dirinya sudah disunat. Kesadaran semacam inilah yang sudah begitu mengakar dalam
kebudayaan maskulinitas masyarakat Dawan.
Melalui indakan sunat dan sifon yang dilaksanakan secara sadar sebagai sebuah proses kepatutan budaya, Marin memiliki
keyakinan dan kepercayaan diri yang lebih mantap, bahwa kulitnya lebih awet muda, kekuatan dalam hal seksnya lebih baik, dan yang
terutama adalah dia diterima dalam pergaulan sosial masyarakat Dawan sebagai seorang lelaki dewasa dengan berbagai hak dan
kewajibannya sebagai seorang pria dewasa. Hal ini dihargai dalam kebudayaan Dawan. Laki-laki Dawan dipandang bertanggung
jawab untuk mendukung kesehatan reproduksi dan kepuasan seksual pasangannya. Pada iik inilah sunat dan sifon dapat
dikategorikan sebagai bagian dari idenitas kultural orang Dawan.
E. Fungsi Sunat dan Sifon