Ritus dan Latar Belakang Mitologisnya

idak bisa menyaingi para pendatang yang memiliki kebudayaan yang sudah lebih maju. Kenyataan ini dibukikan dengan adanya ‘pengungsian poliik’ yang terjadi sekitar abad ke-15, keika kelompok pendatang yakni orang Belu memenuhi daerah sekitar gunung Muis.

C. Sunat dalam Masyarakat Dawan: Mitos dan Ritus

1. Ritus dan Latar Belakang Mitologisnya

Susanne Langer lihat Dhavamony, 1995: 174 memperlihatkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikui modelnya masing- masing. Mitos asal usul tradisi sunat dan sifon dalam masyarakat Dawan masih belum dapat dilacak. Tidak ada ‘living history’ yang secara jelas menceritakan jejak sejarah awal mula munculnya tradisi tersebut, baik menyangkut waktu, kondisi, maupun moivasi awal yang menyebabkan munculnya tradisi tersebut. Hal ini idak mengherankan karena semua sejarah mengenai tradisi dan adat-isiadat Dawan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Masyarakat ini hanya mengenai tradisi lisan sebagai satu-satunya warisan ingatan karena mereka idak memiliki tradisi tulisan sendiri. Itulah pula sebabnya Weiss 1966: 69 mengungkapkan bahwa para antropolog dan ahli etnograis menjadi frustrasi keika mencoba menjelaskan mengenai moivasi awal masyarakat primiif melaksanakan tradisi penyunatan. Oleh karena idak ada rekaman tertulis ataupun buki-buki arkeologis mengenai tradisi sifon dalam masyarakat Dawan, barangkali idak ada harapan bagi kita untuk mengetahui apa sesungguhnya moivasi awal pelaksanaan ritual sunat ini. Hal ini barangkali sudah dilupakan atau sudah idak diperhitungkan lagi. Sementara itu, keyakinan dan anggapan-anggapan sekarang ini idak dapat dipercaya sebagai sumber penjelasan otenik mengenai tradisi ini. Current beliefs and supersiions about circumcision cannot be accepted to elucidate its funcion and meaning millennia ago.... The signiicance of the original rite has been reinterpreted several imes or changed at diferent imes ater its adopion in various parts of the world” E. Isaac, 1962. “We cannot explain . .. the concepion of the universe during primiive imes on the basis of our present day civilizaion” Jensen, 1933. At the end of his exhausive study Betelheim 1962 concluded, “I am sill unable fully and unequivocally to explain circumcision Weiss, 1966: 69-88. Sekalipun masih sulit mendapatkan cerita-cerita otenik tentang asal-usul dan latar belakang mitologis munculnya tradisi sunat dan sifon, beberapa indikasi yang ditemukan dalam wacana-wacana di atas dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melacaknya lebih jauh. Pertanyaan-pertanyaan yang tetap idak terjawab adalah: apa yang menyebabkan masyarakat purba melaksanakan tradisi sunat yang ‘melawan alam’ no parallel in nature , yang idak saja mendatangkan rasa sakit yang hebat tetapi juga mempertaruhkan nyawa? Benarkah masyarakat Dawan purba mewariskan tradisi sunat dan sifon hanya demi kepeningan kenikmatan seksual atau alasan rekreaif semata? Penelii berpandangan bahwa tradisi sunat dan sifon berakar pada sistem kepercayaan lokal masyarakat Dawan sendiri. Dalam uraiannya tentang “Pandangan-pandangan Religius Masyarakat Dawan”, Sawu 2004: 78-97 mengungkapkan bahwa masyarakat Dawan mengenal dua tradisi memberikan korban, yaitu korban manusia dan korban hewan. Yang dimaksudkan dengan ‘korban’ adalah sebuah indakan sakral yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat sederhana yang berkebudayaan bertani. 3 Korban dimengeri sebagai suatu penghargaan atau penghormatan kepada nenek moyang dan kekuasaan ajaib dengan memberinya “makanan”. Tradisi korban manusia adalah asli milik seiap suku bangsa petani, termasuk masyarakat Dawan. Masyarakat Dawan Noemui pernah mengenal sistem bahan korban manusia. Seiap tahun pada pesta syukur panen, seorang laki-laki harus dikorbankan hingga suatu saat raja sendiri menjadi korban Sawu, 2004: 79. Anak yang dipandang pantas untuk dikorbankan adalah anak laki-laki. 4 Anak perempuan dipandang idak layak dijadikan bahan korban. Korban jenis ini memiliki nilai sosial-religius yang inggi. Secara tegas dikemukakan bahwa lelaki sebagai bahan korban mengungkapkan kesediaan sukupenguasa untuk 3 Sawu menegaskan bahwa mata pencaharian pokok orang Dawan adalah bercocok tanam, sedangkan beternak adalah kegiatan sambilan saja. Pernyataan ini pening untuk membantah pandangan segelinir orang yang beranggapan bahwa masyarakat Dawan adalah masyarakat peternak. 4 Dalam hal korban hewan pun, selalu hewan jantanlah yang dipandang pantas untuk menjadi bahan korban. “mendinginkan bumi yang dipanasi” 5 sekaligus “memperbaharui dan mengembalikan keadaan dunia seperi pada permulaan keika pertama kali diciptakan”. Tampak di sini bahwa korban manusia dan kemudian juga hewan diabdikan untuk tujuan kesuburan alam semesta. Weiss 1966: 70 mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Meksiko purba, bayi-bayi dibunuh dan darahnya ditumpahkan ke bumi untuk menjamin tersedianya hasil panen yang melimpah seiap tahunnya. Korban manusia kemudian digani dengan memotong kulup penis sunat, hidung, telinga, atau bagian lain dari tubuh. Karena itu, sunat dipandang oleh beberapa ilmuwan sebagai salah satu jenis muilasi tubuh 6 yang berfungsi sebagai korban persembahan. Dalam perkembangannya, bahan korban manusia digani dengan bahan korban lain yang dipandang layak dan seimbang. Bahan korban penggani yang dikenal dalam tradisi masyarakat Dawan adalah hewan-hewan jantan dan bahan makanan lain serta ‘sopi’ sebagai pelengkap. Hewan beina dipandang idak layak dijadikan bahan persembahan kepada dewa-dewa. Dari studi lapangan, idak diperoleh sebuah penjelasan pun yang secara eksplisit mengungkapkan bahwa tradisi sunat dan sifon dalam masyarakat Dawan merupakan sebuah pergeseran dari 5 Patut diperhaikan bahwa konsep pembunuhan anak laki-laki sebagai “mendinginkan bumi yang dipanasi” merupakan konsep yang mendasari indakan ritual sunat darahpanas dan sifon mendinginkan akibat sunat. 6 Menurus Weiss 1966, kelompok muilasi tubuh termasuk memasukkan sesuatu ke dalam tubuh susuk dalam kebudayaan Jawa, tato, amputasi jari, kastrasi, pemotongan rambut, menggosokkan atau menanggalkan gigi, memotong payudara wanita, dan amputasi tangan dan telinga. ritus korban persembahan dengan tujuan memohon kesuburan bagi alam semesta. Meskipun demikian, indikator-indikator yang ditemukan memiliki petunjuk yang jelas bahwa tradisi sunat dan sifon pada awal mulanya merupakan indakan religious sebagai sebuah ritus kesuburan alam. Indikator utama adalah konsep yang paling mendasar bahwa indakan ‘sifon’ merupakan indakan ‘mendinginkan’ penis yang ‘panas’ akibat luka dan darah yang mengalir keluar. Tindakan ritual ‘pendinginan’ ini memiliki kemiripan dengan tujuan ‘ritual pengorbanan manusia’ laki- laki. Tradisi sunat dalam masyarakat Dawan purba diduga idak bertujuan untuk kenikmatan seksual semata-mata. Fungsi seks dalam masyarakat purba –hampir di dalam semua kebudayaan--- didominasi hampir secara mutlak oleh fungsi ko-kreaif, yaitu fungsi seks untuk mendapatkan keturunan. Selain itu, indakan ritual yang dilakukan menjelang sunat seperi berdoa kepada Tuhan dan leluhur juga menunjukkan bahwa indakan sunat merupakan sebuah indakan sakral. Ritus sunat selalu diawali dengan berdoa, memohon perlindungan Tuhan dan nenek moyang agar proses sunat dapat berjalan dengan selamat. Tampak adanya kesadaran dalam diri tukang sunat melalui doa-doa ritual yang dipanjatkan oleh tukang- tukang sunat bahwa darah yang mengucur dari luka sunat dapat berakibat fatal bagi peserta sunat. Kesadaran akan campur tangan lelubur dan dewa-dewi ini merupakan sebuah ekspresi religiositas tradisi sunat ini. Bahan persembahan yang selalu dimanfaatkan dalam proses ritual sunat adalah sopi dan seekor ayam jantan merah. Bahan-bahan persembahan ini termasuk dalam kategori bahan persembahan ritual yang memiliki nilai sakral. Dalam perkembangannya, resonansi antara simbol dengan perilaku dan perasaan-perasaan subjekif menjadi pudar. Hilangnya nilai sakral ini dapat menyebabkan alienasi keterasingan.

2. Sunat dan Sifon sebagai Ritus Inisiasi