pertama kali diciptakan. Tindakan sunat tradisional yang berlumuran darah segar dengan resiko kemaian merupakan sebuah indakan
sakral yang secara simbolis menjadi persembahan yang dipandang layak bagi Dewa dan leluhur dengan imbalan kesuburan bagi alam.
Pelaksanaan kegiatan sunat pada musim panen jagung merupakan ucapan syukur atas panenan yang melimpah.
Tindakan sifon pelaksanan hubungan seks ritual dengan tujuan ‘mendinginkan panas’ akibat luka sunat merupakan simbol
“mendinginkan bumi yang dipanasi” akibat musim panen yang hampir berlalu. Perempuan pasangan sifon dihargai sebagai
sumber kesuburan. Di sini perempuan dikorbankan karena seringkali mendapat penyakit kelamin demi tujuan kesuburan.
Perempuan dikorbankan dengan penuh kesadaran tanpa penyesalan Sawu, 2004: 82, suatu indakan yang dipandang mulia
karena harus mengorbankan yang melindungi dan membuahi
serta menyuburkan kehidupan itu sendiri. Fungsi kesuburan dari tradisi sunat dan sifon ini menunjukkan
bahwa tradisi ini sesungguhnya memiliki akar yang kuat dalam religiositas lokal masyarakat Dawan. Ritus ini dapat dipandang sebagai
sebuah ritus intensiikasi, yang mengarah pada pembaharuan dan mengintensikan kesuburan, serta ketersediaan buruan dan panenan
Dhavamony, 1995: 179-180. Orang Dawan purba yang melaksanakan ritus sunat dan sifon menginginkan agar leluhur memberikan musim
tumbuh yang baik dan panenan yang berhasil.
2. Fungsi Sosial Budaya Rites of Passage
Fungsi sunat dan sifon mengalami pergeseran dari fungsi awalnya sebagai sebuah ritus kesuburan alam moif religious
menjadi sebuah ritus peralihan moif upacara antroposentris:
peralihan anak laki-laki remaja menuju alam kedewasaan. Apabila anak perempuan melewai fase remajanya dengan ritus ‘mengasah
gigi” supaya tampil lebih canik, maka anak laki-laki mengikui ritus sunat dan sifon supaya tampil lebih perkasa. Ritus yang
dulunya ‘religius’ karena melipui indakan dan keyakinan yang ditujukan kepada makhluk-makhluk adikodrai untuk kepeningan
kesuburan alam, maka kini sunat dan sifon hanya bersifat teknis ataupun rekreasional dan berkaitan dengan penggunaan indakan
yang ekspresif dari hubungan sosial.
Sebagai sebuah ritus peralihan, tampak jelas adanya pentahapan ritual yang melipui: tahap pemisahan, tahap
peralihan atau liminalitas, dan tahap reintegrasi yang masih cukup lengkap diprakikkan dalam masyarakat dawan. Anak yang
dipandang masih remaja pertama-tama dipisahkan dari lingkungan pergaulannya dan memasuki hutan tempat pelaksanaan sunat.
Dalam fase pelaksanaan sunat ini, yang merupakan fase liminal, anak-anak harus inggal di kebun selama minimal delapan hari
untuk mengobai dan menyembuhkan luka sunat. Setelah lukanya hampir sembuh, anak tersebut memasuki fase reintegrasi dengan
masyarakatnya setelah melakukan sifon, ritus hubungan seks wajib sebagai ‘pendinginan’.
Fungsi sunat sebagai sebuah proses maskulinitas ini mirip dengan tradisi sunat dalam masyarakat Dogon di wilayah Sanga
Afrika Selatan Beek, 1991. Bagi mereka, sunat merupakan sebuah ritus peralihan di mana peserta sunat dipindahkan ke pinggir desa
dan dilindungi dari pandangan kaum perempuan. Mereka pun dipisahkan dari keluarga dan orang tuanya. Kulup bagi mereka
merupakan sebuah unsur feminin yang harus dipotong agar anak
itu dapat menjadi benar-benar laki-laki. Dalam masyarakat Dawan, perlakukan sosial-budaya terhadap
anak-anak yang belum disunat berbeda dengan anak-anak yang telah disunat. Anak-anak yang belum disunat dipandang sebelah
mata, baik dari kaum pria maupun kaum wanita. Sindiran-sindiran seringkali harus mereka terima. Sebaliknya mereka yang telah
disunat dipandang sebagai laki-laki ‘meo’, laki-laki perkasa yang siap menikah. Mereka lebih dihargai dan dipandang sebagai orang
dewasa. Ritus sunat dan sifon pun memiliki fungsi sosial-budaya sebagai sebuah indakan presisius
3. Fungsi Seksualitas Maskulinitas