SDM Gambaran Faktor Penyebab Kekosongan Stok Obat

132 manajemen persediaan obat akan berjalan baik dan optimal apabila dilakukan oleh SDM yang berkualitas dan kuantitas yang memadai. Peran SDM sangat penting untuk kelancaran suatu proses hingga tercapainya tujuan organisasi. Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta dapat melakukan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit. Apoteker bertugas menjamin seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, apoteker juga wajib dalam melakukan pelayanan farmasi klinik yaitu pelayanan langsung yang diberikan kepada pasien PMK no.58 th 2014. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dirumah sakit dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah FarmasiAsisten Apoteker. Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan telaah dokumen diketahui bahwa instalasi farmasi di RSUD Kota Bekasi dikepalai oleh seorang Apoteker dan adapun penanggung jawab gudang farmasi dipegang oleh kepala gudang yang berpendidikan S1 Farmasi. Menurut Permenkes no.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit 133 bahwa instalasi farmasi rumah sakit harus dikepalai oleh seorang apoteker yang merupakan apoteker penanggung jawab seluruh pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Kepala IFRS diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di instalasi farmasi rumah sakit minimal 3 tiga tahun. Berdasarkan kuantitas jumlah tenaga kefarmasian di RSUD Kota Bekasi masih belum mencukupi dengan standar kefarmasian dirumah sakit, hal ini dilihat dari kurangnya tenaga apoteker dirumah sakit. Kurang mencukupinya SDM yang ada menyebabkan petugas kefarmasian di gudang maupun di instalasi farmasi sering dipindahtugaskan untuk membantu pelayanan kefarmasian di depo apotek rumah sakit. Hal ini membuat tugas yang diemban menjadi lebih banyak dan waktu kerja menjadi kurang ideal. Sedangkan berdasarkan PMK no.56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan RS bahwa di RS tipe B harus memiliki tenaga kefarmasian berjumlah 13 apoteker. Hal ini belum sesuai dengan data telaah dokumen pada bulan Agustus 2015 bahwa jumlah apoteker di RSUD Kota Bekasi berjumlah 6 orang apoteker. Menurut PMK No.56 tahun 2014 tenaga kefarmasian di rumah sakit paling sedikit terdiri dari 4 apoteker dirawat jalan, 4 apoteker dirawat inap, 1 orang apoteker di IGD, 1 orang apoteker diruang ICU, 1 orang apoteker dipenerimaan yang dapat merangkap pada pelayanan farmasi klinik, dan 1 134 orang apoteker diproduksi yang dapat merangkap pada pelayanan farmasi klinik. Petugas kefarmasian sering merasa kelelahan dan menunda pekerjaannya sehingga dapat menumpuk dikemudian harinya. Walaupun sudah tertulis dalam SOP namun seringkali petugas gudang dan instalasi mendapatkan tugas tambahan di luar deskripsi tugas yang tertera dalam SOP Instalasi Farmasi RSUD Kota Bekasi. Menurut Griffin 2004, deskripsi kerja job description adalah menyebutkan tugas dari suatu pekerjaan, kondisi kerja pekerjaan, alat, bahan dan peralatan yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan. Kesesuaian pengetahuan dengan ketrampilan yang dimiliki petugas gudang farmasi dengan pelaksanaan kegiatan pengelolaan obat dinilai sudah sesuai. Dalam pelaksanaannya petugas gudang tidak merasa kesulitan untuk melaksanakan tugasnya karena sudah disesuaikan dengan kegiatan rutin kefarmasian dirumah sakit. Latar belakang pendidikan SDM Kefarmasian juga telah sesuai dengan standar kefarmasian dirumah sakit. Sebagaimana tertera dalam Permenkes no.58 tahun 2014 bahwa kualifikasi SDM pekerjaan kefarmasian dirumah sakit terdiri dari Apoteker dan Tenaga teknis kefarmasian S1 Farmasi, D3 Farmasi, atau SMF. Salah satu yang masih menjadi kendala dalam SDM melakukan pengelolaan obat yaitu kurangnya koordinasikomunikasi terhadap ketidakhadiran petugas dipelayanan kefarmasian. Menurut Handoko 2003 ,koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan pada 135 satuan-satuan yang terpisah pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Koordinasi antar pegawai yang baik sangat dibutuhkan dalam melakukan tugasnya sehingga dapat memperkokoh kerjasama dan mengurangi kesalahan dalam bekerja. Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stock out pada SDM dapat terjadi karena kurangnya ketelitian petugas dalam menentukan jumlah pemesanan barang yang sebelumnya tidak ada mutasi atau konsumsi di bulan sebelumnya dan kurangnya tenaga dalam melakukan pengelolaan obat dirumah sakit. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Mellen dan Widodo 2013 di RSU Haji Surabaya bahwa penyebab stockout obat karena kurangnya tenaga kerja untuk kegiatan inventory dan perencanaan pengadaan yang tidak akurat. Dalam penelitian Jayani 2013 di RSUD Bhakti Dharma diketahui bahwa penyebab stockout juga dikarenakan kondisi SDM yang kurang mencukupi.

6.4.2. Dana

Dana atau anggaran merupakan penunjang dalam pengelolaan obat dirumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa terdapat dana dalam pemesanan cito yang disediakan oleh rumah sakit yang berkaitan dengan kekosongan obat. Dana ini disediakan rumah sakit untuk membayar tagihan pembelian barang secara cito terhadap obat yang mengalami kekosongan di gudang farmasi. Tidak tersedia obat yang 136 dibutuhkan dirumah sakit dapat menghambat kegiatan pelayanan kefarmasian dan mempengaruhi kepuasan pasien terhadap pelayanan dirumah sakit. Oleh karena itu, dana dalam pemesanan cito disediakan agar pelayanan tetap dapat berjalan lancar dan optimal. Dana yang disediakan rumah sakit dalam kegiatan pengelolaan obat berasal dari dana BLUD rumah sakit, APBD Kota Bekasi, dan