245.97 Model Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kota Bandarlampung)

75 Tabel 37 lanjutan N o GunungBuki t Lereng Lokasi Peruntukan Kondisi sekarang 21 Gunung Kunyit Kec. Teluk Betung Selatan Kel. Bumi Waras Terjadi kerusakan bukit sangat parah. Masih terjadi penambangan oleh masyarakat sekitar bukit penambangan tradisional. Potensi bahaya apabila terjadi tsunami tidak ada yang mengahalangi 22 Bukit Serampok Jaha dan Lereng sampai berbatasan dengan Bukit Pidada Kec. Panjang Kel. Srengsem Panjang Kawasan penyangga hutan lindung Kondisi topografi tidak mengalami kerusakan yang berarti tidak terjadi penggundulan hutan dan masih baik digunakan sebagai kawasan penyangga hutan lindung. Terdapat sumber mata air. Banyak bangunan penduduk di lereng bukit. 23 Bukit Pidada Kec. Panjang Kel. Wa Laga Terdapat banyak perumahan penduduk di lereng bukit. Terdapat penambangan batu split. Beberapa tempat diambil batuan untuk pondasi. Zone pergudangan. 24 Bukit Balau Pemancar Terusan Sutami sampai Km 8 Kec. Panjang, Tanjung karang Timur Terdapat mata air dengan debit yang besar. Terdapat kerusakan akibat penambangan untuk pembuatan batu bata. Banyak perumahan yang dibangun pengembang. 25 Bukit Asam Kec.Panjang Kel. Way Lunik Berubah menjadi tempat pergudangan, sisa bukit 10 26 Bukit Langgar Kec. Tanjung Karang Timur Kel. Campang Raya - Sebagai kawasan Konservasi - Untuk jalur Listrik Tegangan Tinggi - Hutan Kota - Sarana penunjang pariwisata Kawasan konservasi untuk listrik tegangan tinggi. Topografi banyak yang rusak. Banyak dibangun perumahan oleh pengembang di lereng bukit. Banyak penggalian batu oleh perusahaan. 27 Bukit Camang Timur dan Barat Kec. Tanjung Karang Timur Kel. Tanjung Gading Kerusakan topografi sudah parah 25. Terdapat perumahan oleh pengembang. 28 Bukit Kelutum Kec. Tanjung Karang Timur Kel, Kota Baru - Hutan Kota paru-paru Kota Kondisi topografi masih baik 29 Bukit Randu Kec. Yanjung Karang Timur Kel. Kebun Jeruk Hutan Kota Hutan Kota sarana penunjang Pariwisata. Banyak perumahan penduduk di lereng bukit. Sudah banyak bangunan di puncak bukit hotel dan restoran. 30 Gunung Sulah Kec. Sukarame Kel. Gunung sulah Hutan Kota Kondisi topografi masih baik tidak terjadi kerusakan yang berarti. Terdapat Bangunan penampung PDAM. Banyak perumahan penduduk di lereng bukit. Tabel 38 Evaluasi RTH gunungbukit berdasarkan Citra Satelit No. Nama BukitGunung Luas Saat Ini ha Luas Asli ha Pengurangan ha 1 Gunung Sulah 8.55 8.551 - 2 Gunung Banten 3.98 3.978 - 3 Gunung Perahu 12.58 15.230 2.654 4 Gunung Kucing 8.55 8.551 - 5 Bukit Srengsem - 246.034 246.034 6 Bukit Rasuna Said 14.41 14.410 - 7 Bukit Sukamenanti 5.09 8.108 3.021 8 Bukit Susunan Baru 101.35 101.350 - 9 Bukit Pasir Gintung 11.60 11.900 0.300 10 Bukit Sukajawa Timur 7.76 7.757 - 11 Bukit Sukajawa Barat 0.34 12 Bukit Kaliawi 4.54 4.544 - 13 Bukit Palapa II 15.59 15.594 - 14 Gunung Celigi 209.58 209.580 - 15 Bukit Cipagoh 76.00 75.996 - 16 Gunung Bakung 12.21 12.210 - 17 Bukit Hatta 474.07 474.073 - 18 Gunung Depok 14.51 14.51 - 19 Bukit Langgar 6.71 8.932 2.227 20 Bukit Kelutum 3.47 6.132 2.662 21 Bukit Way Gubak Pemancar 538.63 607.465 68.834 22 Bukit Sukadanaham 13.31 13.314 - 23 Bukit Asam 32.729 32.729 24 Bukit Kaki Gunung Betung 211.796 211.796 25 Bukit Kunyit 7.742 7.742 26 Gunung Camang 160.612 160.612 27 Bukit Randu 11.408 11.408 28 Bukit Serampok 400.940 400.900 29 Gunung Sari 7.401 7.401 1 664.16 2 700.35 1 036.19 Sumber: Masterplan RTH Kota Bandarlampung, KPU 2012 5 PENENTUAN STATUS KEBERKELANJUTAN INFRASTRUKTUR KOTA BANDARLAMPUNG Abstrak Kota membutuhkan alat ukur untuk mengidentifikasi kemampuan membangun infrastruktur yang berkelanjutan. Penelitian ini akan difokuskan pada pembangunan infrastruktur perkotaan dengan studi kasus Kota Bandarlampung. Tujuan penelitian ini adalah: 1 merumuskan kriteria dan indikator pembangunan infrastruktur berkelanjutan kota 2 menilai tingkat keberlanjutan infrastruktur kota 3 identifikasi faktor kunci dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan kota. Kriteria dan indikator infrastruktur berkelanjutan yang diperoleh dari studi pustaka dan konsultasi pakar melalui Focus Group Discussion FGD adalah 5 kriteria dan 47 indikator. Indikator untuk kriteria lingkungan meliputi efisiensi penggunaan sumber daya dan minimalisasi limbah. Indikator untuk kriteria sosial ditekankan pada kemudahan memperoleh pelayanan dasar, keamanan, kenyamanan, dan partisipasi masyarakat. Indikator untuk kriteria ekonomi lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ruang untuk pengembangan ekonomi lokal. Indikator untuk teknologi berkaitan dengan tingkat pelayanan infrastruktur. Indikator untuk kriteria tata kelola pemerintahan meliputi kepemimpinan, kapasitas kelembagaan, perencanaan dan penegakan hukum. Hasil analisis Multi Dimensional Scalling MDS dengan Rapid Appraisal of Infrastructure Rapinfra menunjukkan bahwa status keberlanjutan infrastruktur Kota Bandarlampung kurang berkelanjutan dengan nilai 38.05 . Indeks keberlanjutan untuk kriteria lingkungan 42.88 , ekonomi 43.88 , teknologi 28.32 dan tata kelola pemerintahan 44.58 atau kurang berkelanjutan. Indeks keberlanjutan paling rendah adalah kriteria sosial yaitu 15.80 atau tidak berkelanjutan. Indikator kunci diperoleh dari hasil analisis leverage factor terhadap nilai indeks keberlanjutan sebanyak 26 indikator yang terdiri dari: kriteria lingkungan 4 indikator, kriteria sosial 6 indikator, kriteria ekonomi 3 indikator, kriteria teknologi 8 indikator dan kriteria tata kelola pemerintahan 5 indikator. Kata kunci: infrastruktur berkelanjutan, indikator kunci, kota, multi dimensional scalling MDS, Rapinfra

5.1 Pendahuluan

Pertambahan penduduk yang tinggi di perkotaan berimplikasi pada kebutuhan masyarakat akan infrastruktur perkotaan juga meningkat, namun mewujudkan ketersediaan infrastruktur yang memadai bukanlah hal yang mudah. Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan infrastruktur muncul di perkotaan seperti: kemacetan, banjir, sampah tidak terolah, kekurangan air bersih, terbatasnya ruang terbuka hijau dan sebagainya. Dalam dimensi yang lebih luas, pembangunan infrastruktur tidak hanya berpengaruh pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan yang merupakan dimensi utama pembangunan berkelanjutan. Kota Bandarlampung, sebagaimana kota-kota besar di Indonesia lainnya juga menghadapi permasalahan penyediaan infrastruktur yang tidak berkelanjutan. Tingkat pelayanan prasarana dasar seperti jalan, air bersih, saluran drainase, pengelolaan air kotor dan pengelolaan sampah Kota Bandarlampung masih rendah. Derajat kejenuhan jalan yang menjadi indikator kemacetan di Kota Bandarlampung meningkat dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan kendaraan dalam 10 tahun terakhir cukup tinggi dan tidak diikuti penambahan kapasitas jalan Abeto 2008. Data dalam RTRW Kota Bandarlampung 2011 menunjukkan bahwa pelayanan air bersih baru menjangkau lebih kurang 30 dari kebutuhan penduduk perkotaan, akibatnya banyak penduduk, dan kawasan industri yang menggunakan air tanah.Dalam jangka panjang ini tentu mengancam ketersediaan air tanah kawasan perkotaan Bandarlampung. Di beberapa lokasi, krisis air bersih selalu terjadi, seperti di kawasan Teluk Betung, Kota Bandarlampung, penduduk harus membeli air bersih setiap hari. Di kawasan pesisir pantai, tingkat intrusi air laut cukup tinggi, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh air bersih. Saluran drainase kota belum ditata dengan baik, beberapa bagian wilayah kota menjadi langganan banjir, terutama kawasan pesisir. Saluran air limbah rumah tangga dan industri masih bercampur dengan saluran air hujan atau dibuang ke sungai. Sampah yang dapat diolah kurang dari 20 dari sampah yang dihasilkan penduduk kota. Permasalahan lingkungan sudah terlihat pada kawasan pinggiran Kota Bandarlampung, terutama konversi lahan pertanian, hutan dan perkebunan menjadi kawasan terbangun, serta menurunnya kualitas dan kuantitas air. Rata- rata penurunan ruang terbuka hijau di Kota Bandarlampung cukup tinggi, hasil studi Tridarmayanti 2010 menunjukkan penurunan luas ruang terbuka hijau kebun, sawah, hutan antara tahun 2000-2007 untuk Kota Bandarlampung sebesar 7.35 1449 ha, sedangkan di kawasan sekitar Bandarlampung 7.2 8935 ha. Perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi lahan terbangun tidak saja terjadi pada lahan kebun dan sawah, tetapi juga hutan lindung dan register yang dilakukan tanpa ijin. Jika dilihat dari jumlah, ketersediaan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan Bandarlampung memang masih mencukupi tahun 2010 ruang terbuka hijau di Bandarlampung 63.4 dari luas wilayah. Tetapi jika dicermati distribusi atau penyebarannya, maka terlihat bahwa penyebaran tidak merata terutama di kawasan padat penduduk pusat kota, kawasan perumahan dan kawasan kritis atau rentan bantaran sungai, kawasan pesisir, pinggir rel kereta api. Ketersediaan air terbatas pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Permukiman berkembang ke kawasan pertanian yang menjadi daerah tangkapan air, sehingga kalau musim hujan menjadi banjir. Dalam wilayah Kota Bandarlampung terdapat 2 kawasan hutan yaitu: register 19 di Kecamatan Panjang dan Register 17 Tahura WAR di Kecamatan Teluk Betung Timur, dimana sebagian kawasan tersebut sudah menjadi areal terbangun. Peta Penggunaan Lahan kawasan Perkotaan Bandarlampung tahun 2008 lihat Lampiran 12 menunjukkan perkembangan kawasan permukiman di kawasan perkotaan sekitar Bandarlampung sudah menyebar secara acak di sepanjang jalan utama DPU 2008. Pembangunan infrastruktur berkelanjutan sudah mulai dirintis kota-kota di Indonesia, salah satu melalui melalui Program Pengembangan Kota Hijau P2KH oleh Kementerian Pekerjaan Umum. P2KH memiliki 8 atribut yaitu green planning and design, green community, green open space, green transportation, green waste, green water, green energy dan green building KPU 2010. Sebagian besar atau 6 dari 8 atribut P2KH merupakan aspek infrastruktur perkotaan yang pembangunannya pada instansi atau kelembagaan yang berbeda. Menurut Ernawi 2012, salah satu kendala pelaksanaan P2KH adalah rendahnya kerjasama dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan pembangunan, sehingga diperlukan inovasi dalam pembuatan perencanaan dan kebijakan. Banyaknya sektor yang terkait dalam pembangunan infrastruktur, maka dibutuhkan alat ukur yang sama antar sektor atau jenis infrastruktur untuk mengidentifikasi kemampuan kota-kota dalam menjaga dan meningkatkan keberlanjutan pembangunan infrastrukturnya. Kota Bandarlampung merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sudah menjalankan program P2KH dari Kementerian Pekerjaan Umum. Tujuan penelitian ini adalah pertama: merumuskan kriteria dan indikator pembangunan infrastruktur berkelanjutan kota, kedua: mengetahui tingkat keberlanjutan infrastruktur kota dan ketiga: merumuskan indikator kunci dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan kota. Penelitian ini mengambil studi kasus Kota Bandarlampung, sebagai salah satu kota besar yang cepat tumbuh di Indonesia dan diperkirakan tahun 2015 menjadi metropolitan Pontoh dan Kustiwan 2009. Infrastruktur kota yang diamati dalam penelitian ini dibatasi prasarana dasar yang berupa jaringan dan sangat mempengaruhi pembangunan perkotaan yaitu: transportasi, jaringan air air bersih, air hujan dan air limbah, ruang terbuka hijau dan persampahan, mengingat adanya keterbatasan data dan waktu yang tersedia dalam melaksanakan penelitian ini.

5.2 Metode Penelitian

5.2.1 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer datasekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari nara sumber dan data sekunder diperoleh dari data statistik dan laporan studi yang berkaitan dengan infrastruktur yang diamati. Teknik pengumpulan data primer adalah melalui wawancara kepada stakeholder dan pakar. Teknik pengambilan sampel dalam rangka mendapatkan dan menggali informasi dan pengetahuan dari para stakeholder dan pakar adalah dengan menggunakan metode expert survey dengan melakukan wawancara mendalam in-depth interview dengan sampel yang telah ditentukan atau dipilih secara sengaja purposive sampling. Expert survey dilakukan berkaitan dengan tahapan pada prosedur Rapfish, dimana diperlukan Focus Group Discussion FGD untuk menetapkan indikator dan penilaian skor setiap indikator. Lihat Tabel Penilaian Skor Indikator Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan pada Lampiran 1. Berdasarkan persyaratan penentuan responden pakar menurut Marimin 2004, maka ditetapkan sebanyak 15 orang responden yaitu: Direktur Perkotaan, Kementerian Pekerjaan Umum 1 orang, Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Lampung 1 orang; Kepala Dinas Pengairan dan Permukiman Provinsi Lampung 1 orang Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandarlampung 1 orang; Ketua BAPPEDA Provinsi Lampung 1 orang; Ketua BAPPEDA Kota Bandarlampung 1 orang; Kepala BPLHD Kota Bandarlampung 1 orang; Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bandarlampung 1 orang; Kepala Dinas Tata Kota Kota Bandarlampung 1 orang, PDAM Way Rilau 1 orang, KonsultanKontraktor Perencana Bidang Pekerjaan Umum 1 orang; Akademisi 3 orang 1 orang dari Universitas Lampung dan 2 orang dari Universitas Bandarlampung; Profesional dari organisasi Ikatan Ahli Perencana IAP Lampung sebanyak 1 orang; Aktivis LSM kebijakanlingkungan 1 orang. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui data statistik,hasil- hasil penelitian atau laporan tahunan, dokumen perencanaan, regulasi, NSPM norma, standard, pedoman dan manual, peta dan data hasil olahan lainnya. Data tersebut berkaitan dengan 5 dimensi berkelanjutan yang akan dinilai pakar, seperti: data kependudukan, lingkungan, prasarana dan sarana, ekonomi, sosial- budaya dan tata kelola pemerintahan. Data sekunder juga dapat bersumber dari laporan, studi dan dokumen lainnya dari pihak-pihak yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur perkotaan seperti: Departemen Pekerjaan Umum, Dinas Bina Marga Provinsi Lampung, Dinas Permukiman dan Pengairan Provinsi Lampung dan BAPPEDA Provinsi Lampung, Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandarlampung dan BAPPEDA Kota Bandarlampung. 5.2.2 Dimensi dan Indikator Keberlanjutan Dalam penentuan dimensi infrastruktur berkelanjutan, mengacu pada kerangka yang disusun oleh Sahely 2005 seperti pada Gambar 2 terdahulu, dan berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan sebelumnya, maka 5 dimensi yang digunakan dalam studi ini adalah lingkungan, sosial, ekonomi, teknologi dan tata kelola pemerintahan. Dari berbagai kriteria dan indikator untuk kota dan infrastruktur berkelanjutan yang dikembangkan dalam berbagai penelitian pada kajian pustaka, maka dapat dirangkum dan diaplikasikan untuk kriteria dan indikator infrastruktur berkelanjutan kota untuk penelitian ini. Kriteria, sub kriteria dan indikator dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan tersebut adalah: 1 Kriteria lingkungan dengan sub kriteria yaitu konservasi dan efisiensi penggunaan sumber daya alam. Indikator yang dapat dikembangkan adalah penggunaan lahan, efisiensi penggunaan sumber daya alam lahan, air dan udara. 2 Kriteria sosial dengan sub kriteria keamanan, kesejahteraan, dan keterlibatan masyarakat. Indikator yang dapat dikembangkan adalah angka IPM indeks pembangunan manusia, keamanan dan ketertiban serta partisipasi dan perilaku masyarakat dalam pengembangan infrastruktur kota. 3 Kriteria ekonomi dengan sub kriteria pertumbuhan dan pemerataan. Indikator yang dikembangkan adalah berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi kota yang pro rakyat miskin. 4 Kriteria teknologi infrastruktur dengan sub kriteria kebutuhan dan ketersediaan. Indikator yang dikembangkan adalah berkaitan dengan kualitas dan kuantitas infrastruktur. 5 Kriteria tata kelola dengan sub kriteria pemerintahan yang baik, kapasitas kepemimpinan dan kelembagaan. Indikator yang dapat dikembangkan adalah regulasi, perencanaan, penegakan hukum, anggaran, kepemimpinan, kapasitas