Latar Belakang Model Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kota Bandarlampung)
4
Provinsi Lampung yang dekat dengan Jakarta dan sebagai pintu gerbang Pulau Sumatera memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan Kota
Bandarlampung dan wilayah lainnya di Provinsi Lampung. Diperkirakan dimasa yang akan datang, Provinsi Lampung akan menjadi motor penggerak ekonomi
regional Sumatera. Peningkatan arus kendaraan, orang dan barang dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera dan sebaliknya memberi dampak yang besar terhadap
perkembangan perkotaan di Provinsi Lampung, terutama di sekitar Kota Bandarlampung. Rencana pembangunan bidang infrastruktur skala internasional,
nasional dan regional seperti: Jembatan Selat Sunda, toll Sumatera, jalan kereta api Sumatera, dan trans Sumatera yang merupakan bagian dari trans ASEAN akan
menambah beban kawasan perkotaan Bandarlampung di masa yang akan datang.
Tingkat urbanisasi di kota dan kawasan perkotaan Bandarlampung cukup tinggi. Penduduk kawasan perkotaan Bandarlampung tahun 2006 berjumlah 1 394
543 orang dengan laju pertumbuhan 3.25 dan tingkat kepadatan 1108 jiwakm2 BPS 2008. Tingginya tingkat urbanisasi ini menyebabkan banyak muncul pusat
pertumbuhan baru di sekitar Kota Bandarlampung yang ditandai dengan pembangunan kawasan permukiman, terutama di kecamatan-kecamatan kawasan
pinggiran kota yaitu Kecamatan Jati Agung dan Natar di Kabupaten Lampung Selatan. Minimnya prasarana dan sarana di kawasan ini, menyebabkan jumlah
penduduk yang pulang pergi ke Pusat Kota Bandarlampung jumlahnya besar.
Sebelum otonomi daerah pada tahun 1999, ada 7 KabupatenKota di Provinsi Lampung, setelah pemekaran jumlah tersebut bertambah 2 kali lipat yaitu
14 Kabupaten Kota di Provinsi Lampung pada tahun 2010. Sebanyak 4 dari Daerah Otonomi Baru DOB tersebut berjarak 1
– 1.5 jam perjalanan dari Bandarlampung, sebagai ibukota Provinsi Lampung. Salah satu dari DOB tersebut
ibukotanya berada pada hinterland Bandarlampung, yaitu Kabupaten Pesawaran dengan ibukota Gedong Tataan. Aksesibilitas yang tinggi ini memudahkan para
pegawai di DOB baru tersebut untuk ulang-alik commuting setiap hari, sehingga sebagian pegawai masih bertempat tinggal di Kota Bandarlampung. Hal ini
menyebabkan tingkat urbanisasi Kota Bandarlampung menjadi tinggi. Diperkirakan pada tahun 2015, Kota Bandarlampung akan menjadi kota
metropolitan dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa Pontoh dan Kustiwan 2009, pada tahun yang sama kawasan perkotaan Bandarlampung diperkirakan akan
dihuni sebanyak lebih dari 1.5 juta jiwa DPU 2008. Angka perkiraan ini sudah terlewati di tahun 2012, BPS Kota Bandarlampung mencatat jumlah penduduk
Kota Bandarlampung sebanyak 1 446 160 jiwa, artinya kepadatan penduduk kota sudah mencapai 73,4 jiwakm2 BPS 2013.
Wilayah perkotaan Bandarlampung dilalui jalan lintas Sumatera sepanjang 113 km Natar
– Bakauheni yang dilalui kendaraan menuju dan dari 7 provinsi lainnya di Pulau Sumatera. Volume transportasi darat, laut dan udara keluar dan
masuki kawasan perkotaan Bandarlampung meningkat terus dari tahun ke tahun. Arus orang di Pelabuhan Bakauheni 3.7 juta per tahun, arus kendaraan 2.6 juta
per tahun 2008. Di Bandara Raden Inten II laju pertumbuhan penumpang 23 tahun 2011, dengan jumlah penumpang sebanyak 1 050 000 orang. Jumlah
kunjungan kapal luar negeri 683 kapal dan dalam negeri 2075 kapal. Arus barang di Pelabuhan Laut Internasional Panjang tahun 2008, untuk luar negeri ekspor 5
660 105 ton, dan impor 1 251 830 ton, sedangkan dalam negeri bongkar 3 419 731 ton dan muat 5 025 227 ton BPS, BAPPEDA 2009.
5
Rata-rata peningkatan luas kawasan terbangun antara tahun 2000 – 2007 di
wilayah metropolitan Bandarlampung adalah 3.7 . Hasil studi Tridarmayanti 2010 menunjukkan peningkatan luas kawasan terbangun permukiman di Kota
Bandarlampung antara tahun 2000 – 2007 sebesar 6.19 1218 ha, sedangkan di
kawasan sekitar Bandarlampung sebesar 1.14 1412 ha. Pola perkembangan permukiman yang ada saat ini mengarah ke utara dan timur Bandarlampung,
karena ke arah Selatan terkendala Teluk Lampung dan ke arah Barat merupakan kawasan lindung Tahura WAR. Pola ini mengikuti jalan utama dan ada
kecenderungan terjadi peningkatan setiap tahunnya, sehingga perlu adanya antisipasi agar tidak terjadi perkembangan yang tidak terarah urban sprawl,
terutama di wilayah Timur dan Utara Bandarlampung.
Permasalahan lingkungan sudah terlihat pada kawasan perkotaan Bandarlampung, terutama konversi lahan pertanian, hutan dan perkebunan
menjadi kawasan terbangun, serta menurunnya kualitas dan kuantitas air. Rata- rata penurunan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan Bandarlampung cukup
tinggi yaitu 7.3 . Hasil studi Tridarmayanti 2010 menunjukkan penurunan luas ruang terbuka hijau kebun, sawah, hutan antara tahun 2000-2007 untuk Kota
Bandarlampung sebesar 7.35 1449 ha, sedangkan di kawasan sekitar Bandarlampung 7.2 8935 ha. Perubahan penggunaan lahan terbuka menjadi
lahan terbangun tidak saja terjadi pada lahan kebun dan sawah, tetapi juga hutan lindung dan register yang dilakukan tanpa ijin. Jika dilihat dari jumlah,
ketersediaan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan Bandarlampung memang masih mencukupi tahun 2010 ruang terbuka hijau di Bandarlampung 63.4 dari
luas wilayah. Tetapi jika dicermati distribusi atau penyebarannya, maka terlihat bahwa penyebaran tidak merata terutama di kawasan padat penduduk pusat kota,
kawasan perumahan dan kawasan kritis atau rentan bantaran sungai, kawasan pesisir, pinggir rel kereta api.
Ketersediaan air terbatas pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Permukiman berkembang ke kawasan pertanian yang menjadi daerah
tangkapan air, sehingga kalau musim hujan menjadi banjir. Dalam wilayah Kota Bandarlampung terdapat 2 kawasan hutan yaitu: register 19 di Kecamatan Panjang
dan Register 17 Tahura WAR di Kecamatan Teluk Betung Timur, dimana sebagian kawasan tersebut sudah menjadi areal terbangun. Peta Penggunaan
Lahan kawasan Perkotaan Bandarlampung tahun 2008 Lampiran 9 menunjukkan perkembangan
kawasan permukiman
di kawasan
perkotaan sekitar
Bandarlampung sudah menyebar secara acak di sepanjang jalan utama DPU 2008.
Tingkat pelayanan prasarana dasar seperti jalan, air bersih, saluran drainase, pengelolaan air kotor dan pengelolaan sampah masih rendah. Derajat
kejenuhan jalan yang menjadi indikator kemacetan di Kota Bandarlampung meningkat dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan kendaraan dalam 10 tahun
terakhir cukup tinggi dan tidak diikuti penambahan kapasitas jalan Abeto 2008. Pelayanan air bersih baru menjangkau lebih kurang 30 dari kebutuhan
penduduk perkotaan, akibatnya banyak penduduk, dan kawasan industri yang menggunakan air tanah RTRW Kota Bandarlampung 2011. Dalam jangka
panjang ini tentu mengancam ketersediaan air tanah kawasan perkotaan Bandarlampung. Di beberapa lokasi, krisis air bersih selalu terjadi, seperti di
kawasan Teluk Betung, Kota Bandarlampung, penduduk harus membeli air bersih
6
setiap hari. Di kawasan pesisir pantai, tingkat intrusi air laut cukup tinggi, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh air bersih.
Kota Bandarlampung merupakan salah daerah di Indonesia yang sudah menjalankan program P2KH dari Kementerian Pekerjaan Umum. Sebagai suatu
program aksi yang atributnya sebagian besar berkaitan dengan infrastruktur, maka dibutuhkan alat ukur yang sama antar sektor atau jenis infrastruktur untuk
mengidentifikasi kemampuan kota dalam menjaga keberlanjutan pembangunan infrastrukturnya
. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan praktis di lapangan yang dapat mendukung perlunya penelitian ini dilakukan yaitu:
1. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pembangunan infrastruktur perkotaan
berkelanjutan yang memerlukan adanya suatu tolok ukur dan sampai saat ini belum ada kriteria dan indikator sebagai tolok ukur pembangunan infrastruktur
perkotaan berkelanjutan tersebut.
2. Pembangunan infrastruktur perkotaan belum mempertimbangkan pilar pembangunan berkelanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terpadu,
sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan dan cenderung tidak berkelanjutan.
3. Kebijakan pembangunan infrastruktur perkotaan cenderung belum terpadu dan tidak akomodatif terhadap berbagai kepentingan pihak terkait. Kebijakan
tersebut ada dalam beberapa bentuk rencana pembangunan yang menjadi acuan pembangunan daerah, sehingga tidak mudah untuk koordinasi baik
secara vertikal pusat-daerah maupun secara horisontal antar sektor. Pembangunan infrastruktur juga belum melibatkan berbagai kepentingan
antara lain masyarakat, pemerintah, swasta, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat.
Penelitian terdahulu berkaitan dengan permasalahan praktis di atas, umumnya masih bersifat parsial, belum menyusun indikator untuk berbagai jenis
infrastruktur secara terpadu, sehingga model kebijakan pembangunan infrastruktur perkotaan yang dihasilkan masih terbatas pada jenis infrastruktur tertentu. Dari
sisi metodologi yang digunakan pada studi terdahulu, juga belum menganalisis kebijakan yang sudah ada saat itu dan belum melakukan proses umpan balik
feedback terhadap hasil modeling yang dilakukan. Jadi belum ada desain kebijakan perkotaan yang menyeluruh yang memadukan aspek fungsi sosial
budaya, ekonomi, dan lingkungan serta elemen pembangunan seperti: pendanaan, kelembagaan, wilayah, teknologi dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan infrastruktur perkotaan. Adapun pertanyaan penelitian adalah:
1. Apakah kriteria dan indikator untuk mengukur tingkat keberlanjutan pembangunan infrastruktur kota dan indikator manakah yang paling
berpengaruh atau
prioritas dalam
pembangunan infrastruktur
berkelanjutan? 2. Bagaimanakah status keberlanjutan berbagai jenis infrastruktur kota saat
ini berdasarkan kriteria dan indikator tersebut ? 3. Bagaimanakah model kebijakan pembangunan infrastruktur agar dapat
meningkatkan status keberkelanjutan infrastruktur kota di masa yang akan datang?