Kebaruan Model Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kota Bandarlampung)

10 Konsep pembangunan berkelanjutan lahir sebagai hasil perdebatan cara pandang antara pendukung pembangunan dan pendukung lingkungan environmentalist. Perbedaan ini mempengaruhi bagaimana manusia melihat gagasan bahwa sumber daya alam itu terbatas dan oleh karenanya harus ada pengaturan penggunaannya. Namun ada titik temu keduanya, konsep pembangunan berkelanjutan kemudian merupakan upaya untuk mengkombinasikan kebutuhan mendesak akan pembangunan dan pentingnya menjaga lingkungan. Pembangunan berkelanjutan memiliki arti yang berkaitan dengan ekonomi dan ekologi sekaligus, dimana pertumbuhan ekonomi ingin ditopang oleh kelestarian fungsi ekologis dari alam sekitar, sehingga ekonomi dapat terus-menerus tumbuh tanpa batas. Pembangunan ekonomi biasanya memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi barang dan jasa untuk meningkatkan kesejahteraan, sedangkan ekologi untuk menghasilkan jasa lingkungan. Nijkamp 2001 dalam “Pathways to Urban Sustainability” menuliskan bahwa isu pembangunan berkelanjutan telah menjadi paradigma kebijakan yang dominan sejak akhir abad 20 sampai dengan sekarang. Dengan demikian pengembangan kebijakan yang mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri yaitu: 1 visioner menuju ruang dan waktu masa depan jangka menengahjangka panjang yang lebih baik non declining dan pemerataan antar waktu, 2 keterpaduan sistem sosial, ekonomi, ekologi dan sistem politik, 3 membangun partisipasi dan kebersamaan semua stakeholder dalam rencana dan tindakan yang menjamin keberlanjutan.

2.2 Konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan

Semenjak Konferensi Tingkat Tinggi KTT Stockholm tahun 1972, diperkuat dengan KTT Rio De Janeiro 1992, City Summit di Istambul 1996 dan terakhir World Summit di Johannesburg 2002, maka disepakati bahwa pembangunan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan meliputi aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya. Sitorus 2014 mendukung pendapat tersebut untuk pembangunan wilayah termasuk di dalamnya kota berkelanjutan erat kaitannya dengan rencana pemanfaatan lahan dan dapat diwujudkan melalui keterkaitan pengelolaan yang tepat antara sumber daya alam lingkungan, dengan aspek sosio-ekonomi, dan budaya. 2.2.1 Perkembangan Konsep Kota Berkelanjutan Konsep kota berkelanjutan dipelopori gerakan kota taman Garden City Movement oleh Ebenezer Howard abad ke 19 pada tahun 1898. Konsep ini menekankan keseimbangan antara kawasan hunian, industri dan ruang-ruang terbuka di perkotaan yang dibatasi wilayahnya oleh adanya sabuk hijau green belts. Konsep Howard tampaknya hanya mungkin diaplikasikan pada kota berskala kecil. Kota modern sulit mengadopsi konsep tersebut karena dimensi 11 kota yang selalu membesar akibat berkembangnya aktivitas modern yang harus diakomodasi kota. Kota modern memerlukan berbagai bangunan dan infrastruktur. Kemudian pada tahun 1925, Burgess mengembangkan teori konsentris atau konsep Central Bussiness District CBD. CBD merupakan pusat kota, letaknya tepat di tengah kota dan merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan aksesibilitas tertinggi dalam suatu kota. Konsep pembangunan kota berkelanjutan mulai dikenal awal 1970-an yang mendorong keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Pada tahun 1967 sebuah kota satelit London yaitu Milton Keynes yang dirancang oleh belasan arsitek ternama diantaranya: James Stirling, Richard Rogers, dan Norman Foster, dikembangkan sebagai kota hemat energi. Meskipun secara mendasar Milton Keynes masih melanjutkan konsep garden city Ebenezer Howard, dalam banyak hal penyelesaian rancangan kota sudah menerapkan kaidah perencanaan modern, termasuk penghematan energi kota. Pola jalan kota dirancang dengan penyediaan jalur pedestrian dan sepeda yang menerus di seluruh kota, sehingga mendorong warga Milton Keynes untuk berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum. Hal ini memungkinkan konsumsi energi kota dapat dihemat secara signifikan. Awal abad 20, konsep eco-town atau green city atau kota ramah lingkungan yang berbasis ekologi dan mensyaratkan zero carbon atau carbon neutral melalui penggunaan energi yang efisien dan pengolahan limbah secara terpadu mulai dikenal. Register 2006, dalam Ecocity-Building Cities in Balance with Nature menyatakan bahwa ecocity adalah kota yang minimum dalam penggunaan energi, penggunaan air dan pengeluaran limbah, serta menggunakan material bangunan ramah lingkungan. Di negara barat yang telah memiliki banyak pengalaman dalam pengelolaan kota, konsep kota berkelanjutan yang berkembang seperti: Sustainable Cities oleh Walter tahun 1992, The Ecological City oleh Platt tahun 1994, Postmodern Cities and Space oleh Watson, tahun 1995 dan City as Landscape oleh Turner tahun 1996, Dimensions of the Eco-city oleh Roseland tahun 1997 dan Advances in urban ecology Alberti 2009. Menurut Suzuki et al. 2010 ecogreen city adalah kota yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui perencanaan dan pengelolaan kota terpadu yang memanfatkan sepenuhnya sistem ekologis serta melindungi dan memeliharanya bagi generasi mendatang. Konsep green city banyak digunakan para perencana kota dalam beberapa tahun terakhir, walaupun sebenarnya konsep ini sudah lama dikembangkan dalam eco-city atau urban ecology. Di seluruh dunia, kota hijau sudah menjadi model pengembangan perkotaan yang baru, seperti: di benua Amerika, Asia, Eropah, Australia, maupun Afrika Ernawi 2012. Menurut Kahn 2006, green cities adalah kota yang memiliki air dan udara yang bersih, taman dan jalan yang nyaman, berketahanan resilient terhadap bencana alam, tingkat infeksi terhadap penyakit rendah, mendorong perilaku hijau dengan penggunaan transportasi umum, dan dampak lingkungan yang rendah. Jadi eco-city atau green-city merupakan dasar pemikiran yang mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan kota yang seimbang dan berkelanjutan, dengan kata lain konsep tersebut