Simmel membagi pendekatan konsep ruang sosial menjadi tiga kategori. Pertama; ruang sosial dikembangkan dari asumsi dasar interaksi non
fisik dalam arti interaksi menggunakan simbol-simbol tertentu dalam dominasi kepentingan untuk mencapai tujuan.Kepentingan menjadi salah satu elemen
penting yang berfungsi sebagai sekat yang membatasi ruang satu dengan lainnya.Meskipun dibatasi oleh sekat, interaksi dapat berlangsung karena adanya
kesamaan unsur-unsur yang dipergunakan sebagai pengait untuk mengatakan kepentingan yang sama. Kedua; model interaksi tersebut merupakan bentuk
interaksi “alternatif” dari bentuk normatifnya karena adanya perilaku konformitas atas sebuah situasi tertentu—yang terpaksa masyarakat harus meresponsnya ke
dalam bentuk-bentuk konformitas. Ketiga; sebagaimana kelanjutan poin pertama dan kedua maka dimensi ruang membentuk pengelompokan berdasarkan pada
atribut-atribut tertentu berskala horizontal maupun vertikal.
Teori tentang ruang sosial juga dikemukakan oleh Jurgen Habermas 2010. Ruang sosial oleh habermas disebutnya sebagai ruang publik public
sphere, Prinsip ruang publik adalah adanya diskusi terbuka yang diperbincangkan dalam berntuk argumentasi untuk membentuk minat umum
public good. Ruang publik dengan begitu mensyaratkan kebebasan untuk menyuarakan dan hak mengambil bagian dalam pengambilan keputusan politis.
Menurut Habermas, ruang publik terdiri dari “ruang –ruang sosial” di mana individu berkumpul untuk mendiskusikan isu publik dan untuk mengorganisir
perlawanan terhadap format sosial yang menekan dan sewenang-wenang. Pada ruang publik individu dan kelompok bisa membentuk aksi-aksi sosial dalam
bentuk pendapat umum public opinion, memberi ungkapan langsung kepada minat dan kebutuhan mereka yang memiliki pengaruh secara politis. Dalam arena
atau ruang ini, masyarakat diandaikan memiliki independensi untuk mengemukakan segala sikap kritisnya. Hal ini amat dimungkinkan karena ruang
publik menjadikan warga mampu terbebas dari rengkuhan represi-administratif yang dioperasikan negara.
Dari sudut pandang pengkaji sosiologi agama, ruang publik adalah tempat dimana agama menemukan sisi profannya. Masdar Hilmy 2008
berpendapat bahwa rasionalitas publik yang ada dalam ruang publik berperan sebagai mahkamah tertinggi nilai-nilai agama. Rasionalitas publik meniscayakan
proses substansiasi bukan formalisasi, maka aspek agama yang dikukuhkan sebagai regulasi publik merupakan sari pati terhalus the finish extract dari nilai-
nilai agama itu.
Penjelasan mengenai ruang-ruang ekonomi juga dapat didekati dengan pendekatan kritis Karl Marx terhadap kapitalisme. Menurutnya Ruang ekonomi
menjadi kunci dari akumulasi kapital. Struktur ekonomi masyarakat alat-alat produksi dan hubungan hubungan sosial dalam produksi merupakan dasar dari
rangkaian ruang ekonomi. Usaha menggerakkan modal dalam proses produksi baik berupa tenaga kerja, uang, barang, maupun jasa tidak dapat berjalan tanpa
adanya ruang. Ruang ekonomi juga dipertegas oleh Henri Levebre 1991 dalam teorinya yang disebut produksi ruang production of space.Argumen Levebre
mengenai produksi ruang lebih memfokuskan pada persoalan bagaimana peradaban barat menciptakan konsep ruang melalui kontruksi dan struktur
pengetahuan, yang kemudian divisualisasikan dalam praktek sosial dan diposisikan sebagai produksi. Menurut Levebre produksi ruang menjadi kunci
dari keberhasilan kapitalisme. Ruang ekonomi difahami sebagai perilaku manusia dalam mengorganisi ruang produksi melalui hubungan sosial yang berorientasi
pada kepentingan kapital. Ruang- ruang dikonstruksikan dan diciptakan sebagai alat kontrol. Ruang yang dikonstruksikan dan diciptakan oleh menusia melalui
hubungan sosial yang melahirkan sebuah pengetahuan merupakan upaya dari dominasi dan melanggengkan sebuah kekuasaan. Selanjutnya ruang ekonomi
dalam konteks global membentuk ruang hampa yang diciptakan sebagai pusat produksi kapitalis. Seperti pusat-pusat kegiatan bisnis dan kegiatan yang menjadi
tempat perputaran uang dan modal.
Terminologi Islam mengenai ruang sosial sering disebut sebagai jami’ah. Menurut Islam sebaik-baiknya kegiatan adalah dilakukan secara
bersama-sama atau berjamaah. Aktivitas sosial maupun untuk hal spesifik ibadah didorong untuk membangun komunitas. Komunitas-komunitas itulah yang disebut
Jamaah bersama dan ruang tempat berkumpulnya disebut jamiah bersama menjadi satu kesatuan. Jamiah yang sehat mensyaratkan empat elemen. Pertama,
keterlibatan seluruh elemen masyarakat, baik yang dipinggir atau yang di tengah pusaran kekuasaan dalam sebuah proses interaksi yang sehat dan manusiawi.
Kedua, adanya proses interaksi dalam bentuk diskursus publik yang sehat di kalangan elemen-elemen itu. Ketiga, isu yang dikembangkan dalam diskursus
publik senantiasa terkait kepentingan segenap warga masyarakat, bukan sekadar representasi dari kepentingan kelompok atau sekelompok masyarakat dalam
mendefenisikan apa yang terbaik bagi mereka secara keseluruhan common good. Keempat, faktor otoritas sebagai arbiter legimate dalam proses kontestasi kuasa
Masdar Hilmy 2008.
Islam menyadari bahwa dalam ruang sosial terdapat perbedaan penghidupan dan kehidupan antara seseorang atau satu kelompok dengan orang
atau kelompok lain, hal tersebut sesungguhnya merupakan suatu sunnatullah aturan Allah yang bersifat pasti dan tetap, kapan dan dimanapun. Kaya dan
miskin akan selalu ada, sama halnya seperti adanya siang dan malam.
16
Perbedaan tersebut, bukanlah untuk dipertentangkan apalagi sampai melahirkan pertentangan
antar kelas, akan tetapi untuk disillaturrahimkan dan dipertemukan dalam bingkai ta’awun tolong menolong bantu membantu, saling mendukung dan saling
mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. Betul, orang miskin membutuhkan orang kaya, akan tetapi juga orang kaya membutuhkan orang miskin dan kaum
dhuafa lainnya
17
.Karenanya ruang ekonomi bagi islam adalah ketika berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT kepada
manusia dimana pemilikan pribadi ada dalam batas-batas tertentu, tidak terjadi akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja dan penggerak
utama ekonomi adalah kerja sama.
2.4 Tindakan Rasional, Rasionalisasi dan Struktur
Teori-teori tindakan rasional dan struktur sosial yang dibahas pada sub bab 2.3. digunakan sebagai acuan teoritik tujuan 3 penelitian dan kegunaan 3
penelitian, yaitu Menganalisis dan mengkonstruksi proses rasionalisasi struktur pada ruang–ruang ekonomi pesantrendengan tujuan tersebut didapatkan
16
QS. Az-Zukhruf [43] ayat 32.
17
QS. Al-An’am [6]: 165.
konstruksi pilihan dan bentuk rasional ekonomi Pesantren. Disamping itu dapat dilihat transformasi kelembagaan Pesantren pada Ruang-Ruang Ekonomi sebagai
hasil rasionalisasi yang terjadi.
Max Weber 2012 mengemukakan mengenai hubungan agama dan ekonomi, menurutnya ideal agama dan kepentingan ekonomi sebenarnya saling
berkaitan. Dengan kata lain, hubungannya itu bersifat timbal balik. Agama dan ekonomi sama-sama mendorong munculnya ideal typhus yaitu abstraksi esensial
fenomena sosial yang mendorong perubahan suatu masyarakat kepada tipe yang dikehendaki. Dalam kehidupan sosial ideal typhus dapat diciptakan dengan
penciptaan gagasan baru
18
. Alat dari penciptaan gagasan baru tersebut oleh Weber disebut dengan rasionalisasi, yaitu perhitungan yang masuk akal untuk
mencapai sasaran-sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal, dengan sarana-sarana yang efisien, dan mengacu kepada perumusan nilai-nilai tertinggi,
yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana demi pencapaian nilai-nilai tersebut.
Weber mengemukakan dua tipe dasar tindakan rasional yaitu rasionalitas-instrumental
dan rasionalitas-berorientasi
nilai.Rasionalitas Instrumental Zweckkrationalitat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai semacam cost and benefit ratio. Rasionalitas ini juga berisi
harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain bersifat
transaksional. Kedua,
Rasionalitas yang
Berorientasi Nilai
Wertrationalitat,tindakan yang tetap memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku
hanya beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat di sekitarnya.
Tindakan pada rasionalitas nilai ditentukan oleh keyakinan akan nilai etika, estetika, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek
keberhasilannya. Disamping kedua tindakan rasional tersebut, Weber mengemukakan tindakan tidak rasional irrational action, yaitu tindakan
tradisional traditional action yaitu tindakan yang ditentukan berdasarkan kebiasaan dan kelaziman. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan.
Tindakan tidak rasional lainnya adalah tindakan afeksi affective action, tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual
atau perencanaan secara sadar Ritzer, G. Goodman, D.J 2003.
Tindakan- tindakan tersebut oleh Weber disebut sebagai penafsiran- pemahaman interpretative understanding yang dalam terminologi aslinya
disebut verstehen yang diartikan sebagai pendekatan untuk memahami motif tindakan aktor. Bagi Weber, pendekatan verstehen, tidak sekedar menggunakan
introspeksi pada diri sendiri tetapi juga menggunakan empati dengan menempatkan kerangka diri pada kerangka pikir orang lain. Menurut Weber,
dengan verstehen dapat dilakukan pembongkaran terhadap setiap makna yang terkandung dari tindakan dalam Stephen Kalberg 1980.
18
Stanford Encyclopedia of Philosophy. pp. Max Weber 5.2: Ideal Type. Retrieved 2009-06- 04.
Habermas 2010 memandang rasionalitas secara kritis empiris. Tindakan rasional dikelompokkan menjadi dua macam jenis tindakan, yakni tindakan
rasional-bertujuan dalam dimensi kerja, dan tindakan komunikatif dalam dimensi komunikasi. Konsep tindakan rasional bertujuan atau zweckrationale itu mengacu
pada konsep rasionalitas tujuan seperti yang sudah dirumuskan oleh Weber. Tindakan macam ini bersifat instrumental.Artinya, tindakan ini mematuhi aturan-
aturan teknis, mendasarkan diri pada pengetahuan empiris untuk menentukan hasil-hasilnya, dan memilih sarana-sarana yang tepat untuk merealisasikan tujuan-
tujuan. Dalam arti lain, tindakan ini juga bersifat strategis, dalam arti tergantung pada penilaian yang tepat mengenai pilihan-pilihan alternatif yang mungkin
berdasarkan perhitungan nilai-nilai dan kaidah-kaidah.
Kaitannya antara rasionalitas individu dengan struktur, Weber telah menyusun proposisi tentang individu dan sosial, pertama bahwa Struktur sosial
yang ada bersifat probabilistik bukan sebagai suatu empirik, yang terlepas dari individu-individu. Kedua kenyataan sosial merupakan sesuatu yang didasarkan
pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosialnya.Ketiga, individu dan tindakannya dijadikan acuan dasar untuk digunakan dalam membedakan tipe-tipe
struktur sosial dan memahami arah perubahan sosial. Karenanya dunia sosial sesungguhnya dikonstruksi berdasarkan kehendak individu Johnson, Doyle. P
1986.
Francis Abraham 1982, dalam Modern Sociological Theory bahwa interaksi pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-
psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Interaksi akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, perilaku individual atau sifat-sifat batin
yang bersifat dugaan, dan pada pola-pola dinamis dari tindakan dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap
diletakkan menjadi latar belakang. Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika
dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya
bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang
dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar
sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki
pikiran mind, namun juga diri self yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman
dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna
itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi.
Talcot Parson 1977 memberikan penjelasan tentang konsepsi rasionalitas Weber tentangmasalah agama. Ada tiga perspektif rasionalisasi
agama menurut Weber: pertama, pengklarifikasian dan pensistematisasian ide-ide secara intelektual. Ide-ide tersebut dibangkitkan oleh makna-makna teleologis
tentang tempat manusia di alam semesta. Ide-ide tersebut melegitimasi orientasi
kehidupan manusia bersifat metafisik dan moralitas. Kedua, rasionalisasi yang mencakup kontrol normatif atau sanksi. Rasionalisasi ini bersifat intelektual,
mengacu kepada ide eksistensi bagaimana manusia “seharusnya” menjalani hidup. Ketiga, rasionalisasi yang mengandung konsep komitmen motivasi.
Komitmen motivasi ini tidak hanya pada tataran kepercayaan tetapi memasuki tataran kognitif yang lebih praktis.
Habermas 2010 menjelaskan tekanan struktural maupun kultural merangsang dilakukannya konstruksi rasional. Habermas merumuskan dua
macam rasionalisasi.Pertama adalah rasionalisasi dari atas, yakni terjadinya krisis legitimasi tradisional. Proses ini terjadi karena mitos, agama, dan metafisika
kehilangan daya ikatnya pada tindakan sosial dan melahirkan apa yang disebut sekularisasi.Di titik ini, ekonomi menjadi dimensi yang dominan di dalam
kehidupan.Kedua adalah dari bawah, yakni interaksi sosial yang semakin diatur oleh norma-norma tindakan rasional bertujuan. Kerangka kerja institusional
semacam itu berakhir ketika masyarakat berada di dalam tahap kapitalisme. Dalam prosesnya rasionalisasi “dari atas”, mencakup penanaman motivasi dan
perwujudan struktur-struktur kesadaran. Sedangkan proses rasionalisasi “dari bawah”, meliputi penyelesaian konflik-konflik kepentingan yang muncul karena
“masalah reproduksi ekonomis dan perebutan kekuasaan politis”.
Isu relasi agama dan rasio pada akhirnya menyebabkan seorang Kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya “God and Intelligence in Modern Philosophy”,
mengatakan, “Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan
yang kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua hal tersebut tak mungkin terpisahkan”. Reaksi para teolog dan pemuka
rohaniawan Kristen dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi tantangan tersebut cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk reaksi:
• Pertama, Strong Rasionalism; reaksi ini meyakini bahwa rasio dan
argumentasi pasti mampu menjelaskan segala ajaran agama secara benar.
• Kedua. Fideism; reaksi ini berkeyakinan bahwa ajaran agama adalah
doktrin yang tidak bisa disentuh oleh rasio manusia. Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan kapasitas rasio.
• Ketiga. Critical Rasionalism; sikap ini menegaskan bahwa rasio mampu
menjelaskan ajaran-ajaran agama, hanya saja kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Michael Petterson 1991.
Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan
pendapat, baik yang berkaitan dengan ushuluddin maupun furu’uddin adalah salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya dari sisi
muatan ajaran saja mereka berbeda pendapat, akan tetapi dari sisi metode penetapan kebenaran berargumentasi ajaran pun terjadi perbedaan pendapat.
Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi