sejak pertama kali lembaga pesantren didirikan dan masih tetap eksis dan tetap dipakai sampai sekarang.
Santrinya ada yang menetap didalam pondok santri mukim, dan santri yang tidak menetap di dalam pondok santri kalong.Sedangkan sistem madrasah
schooling diterapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran
umum.Dhofier 1994. Disamping sistem sorogan juga menerapkan sistem bandonganW. Bachtiar 1990.Ciri khas kultural yang terdapat dalam pesantren
salaf yang tidak terdapat dalam pondok modern antara lain:
•
Santri sangat hormat dan santun kepada kyai, guru dan seniornya.
•
Santri senior tidak melakukan tindak kekerasan pada yuniornya. Hukuman atau sanksi yang dilakukan biasanya bersifat non-
fisikal seperti dihukum mengaji atau menyapu atau mengepel, dll.
•
Dalam keseharian memakai sarung.
•
Berafiliasi kultural ke Nahdlatul Ulama NU dengan ciri khas seperti fikih bermadzhab Syafi’i, akidah tauhid Asy’ariyah
Maturidiyah, tarawih 20 rakaat plus 3 rokaat witir pada bulan Ramadan, baca qunut pada shalat Subuh, membaca tahlil pada
tiap malam Jum’at, peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj.
•
Sistem penerimaan tanpa seleksi. Setiap santri yang masuk langsung diterima. Sedangkan penempatan kelas sesuai dengan
kemampuan dasar ilmu agama yang dimiliki sebelumnya.
•
Biaya masuk pesantren salaf umumnya jauh lebih murah dan itdak ada daftar ulang setiap tahunnya.
Dilihat dari ciri Ciri Khas Kualitas Keilmuannya, Santri pesantren salafiyah memiliki kualitas keilmuan yang berbeda dengan santri pondok modern
antara lain sebagai berikut: 1.
Menguasai kitab kuning atau literatur klasik Islam dalam bahasa Arab dalam berbagai disiplin ilmu agama.
2. Menguasai ilmu gramatika bahasa Arab atau Nahwu, Sharaf,
balaghah maany, bayan, badi’, dan mantiq secara mendalam karena ilmu-ilmu tersebut dipelajari serius dan menempati
porsi cukup besar dalam kurikulum pesantren salaf di samping fikih madzhab Syafi’i.
3. Dalam memahami kitab bahasa Arab santri salaf memakai
sistem makna gandul dan makna terjemahan bebas sekaligus.
Contoh dari pesantren salaf antara lain adalah Pesantren Lirboyo dan Pesantren Ploso di Kediri, PesantrenTremas di Pacitan, Pesantren Maslahul Huda
di Pati, Pesantren An-Nur di Sewon Bantul, Pesantren Mukhtajul Mukhtaj di Mojo tengah Wonosobo Dhofier 1994, Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan,
Pesantren Cidahu Pandeglang Banten.
2. Pesantren Modern Khalafiyah Pondok modern adalah anti-tesa dari pesantren salaf. Sistem ini
dipopulerkan pertama kali oleh Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo
yang kemudian diduplikasi di pesantren lain yang memakai label modern. Pondok Modern disebut juga dengan pesantren kholaf modern sebagai akronim dari salaf
atau ashriyah.
Pesantren modern khalafiyah yaitu pondok pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok
pesantren.Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang
studi, karenanya pemahaman terhadapkitab kuning kurang mendalam. Perkembangan ini sangat menarik untuk diamati sebab hal ini akan memengaruhi
keseluruhan sistem tradisi pesantren, baik sistem kemasyarakatan, agama, dan pandangan hidup. Homogenitas kultural dan keagamaan akan semakin menurun
dengan keanekaragaman dan kompleksitas perkembangan masyarakat Indonesia modern.
Meskipun kurikulum Pesantren Modern Khalafiyah memasukkan pengetahuan umum di pondok pesantren dan menerima kurikulum pemerintah,
akan tetapi tetap dikaitkan dengan ajaran agama. Sebagai contoh ilmu sosial dan politik, pelajaran ini selalu dikaitkan dengan ajaran agama.
3. Pondok Pesantren Komperehensif Pondok
pesantren komprehensif
yaitu pondok
pesantren yang
menggabungkan sistem pendidikan dan pengajaran antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab
kuning dengan metode sorogan, bandongan dan wetonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan.
Lebih jauh daripada itu pendidikan masyarakatpun menjadi garapannya, kebesaran pesantren dengan akan terwujud bersamaan dengan meningkat-nya
kapasitas pengelola pesantren dan jangkauan programnya di masyarakat. Karakter pesantren yang demikian inilah yang dapat dipakai untuk memahami watak
pesantren sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat.
4Pondok pesantren Salafi Wahabi Disamping 3 jenis pondok pesantren sebagaimana dikemukakan di atas, di
Indonesia saat ini juga berkembang apa yang disebut pesantren “Salafi Wahabi”. Sekalipun sama-sama menggunakan kata “salaf”, “salafi wahabi” berbeda dengan
pengertian “salafiyah” yang digunakan untuk menyebut pesantren tradisional.
Kalau pesantren salafiyah lebih terkait dengan metode pendidikan yang berada di sebuah pesantren, sedangkan Pesantren Salafi lebih bermakna sebuah
pesantren yang berideologi Wahabi atau Wahabi Salafi. Salafi sebagai gerakan yang dikampanyekan oleh kelompok Islam yang bernama gerakan Wahabi.
Pesantren Salafi dengan makna kedua ini berbeda jauh dengan pesantren salafiyah salafiyah. Keduanya berbeda jauh Pesantren Wahabi Salafi adalah pesantren yang
akidahnya menganut idelogi Wahabi Arab Saudi atau Yaman.Akan tetapi mereka lebih suka menyebut dirinya dengan Pesantren Salafi, bukan Pesantren Wahabi.
Atau, Salafi Wahabi.
Akidah pesantren Salafi Wahabi sama dengan akidah gerakan Wahabi itu sendiri yang ciri khasnya sebagai berikut: Doktrin tauhid sebagaimana yang
diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Wahabi yang mengambil
inspirasi dari Ibnu Taimiyah.Dalam bidang fikih merujuk pada madzhab Hanbali.Yang salah satu ciri khasnya yang menonjol adalah tidak ada qunut waktu
shalat subuh, dan tidak najisnya kotoran hewan.Dalam persoalan hukum baru, mereka merujuk pada pandangan ulama fikih kontemporer mereka yaitu Abdullah
bin Baz dan Ibnu Uthaimin.Menyebarkan ajaran kemurnian Islam seperti era Salafus Sholeh dan mengeritik keras praktik umat Islam yang dianggap tidak
murni dengan label bid’ah, syirik, kufur. Praktik yang dianggap bid’ah dan syirik oleh Wahabi antara lain tahlil, ziyarah kubur, peringatan Maulid Nabi, peringatan
Isra’ Mi’raj, peringatan 1 Muharam, dan lain-lain. Menolak kritik dari luar dan menyebut pengeritiknya sebagai Syiah Rafidhah atau konspirasi Zionisme Yahudi
atau Freemason. Ada dua tipe Salafi Wahabi yaitu Wahabi Arab Saudi dan Wahabi Yaman.
4.4.3 Pondok pesantren dilihat dari sarana dan prasarana Pondok pesantren dilihat dari sarana dan prasarana merupakan jenis
pondok pesantren yang menggambarkan bahwa secara umum pondok pesantren memiliki sarana dan prasarana sebagainya antara lain: a tempat tinggal kyai, b
tempat tinggal santri, c tempat belajar bersama, d tempat ibadah sembahyang, e tempat memasak dapur santri, dan lain. Kelengkapan sarana dan prasarana
pondok pesantren yang satu dengan yang lain bisa jadi berbeda. Hal ini tergantung pada tipe pesantrennya, atau paling tidak tergantung pada keinginan dan
kemampuan Kyai yang mendirikan dan mengelola pesantren bersangkutan.
Pondok pesantren dilihat dari sarana prasarana memiliki beberapa variasi bentuk atau model yang secara garis besar di kelompokkan ada tiga tipe, yaitu:
1. Pesantren Tipe A, memiliki ciri-ciri: a.
Para santri belajar dan menetap di pesantren. b.
Kurikulum tidak tertulis secara eksplisit, tetapi berupa hidden kurikulum kurikulum tesembunyi yang ada pada benak
kyai.
c. Pola pembelajaran menggunakan pembelajaran asli milik
pesantren sorogan, bandongan dan lainnya. d.
tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah. 2. Pesantren Tipe B, memiliki ciri-ciri:
a. para santri tinggal dalam pondok asrama.
b. pemanduan antara pola pembelajaran asli pesantren dengan
sistem madrasahsistem sekolah. c.
terdapat kurikulum yang jelas. d.
memiliki tempat
khusus yang
berfungsi sebagai
sekolahmadrasah. 3. Pesantren tipe C, memiliki ciri-ciri:
a. pesantren hanya semata-mata tempat tinggal bagi para santri.
b. para santri belajar di madrasah atau sekolah yang letaknya
diluar bukan milik pesantren. c.
Waktu belajar di pesantren biasanya malam atau siang hari pada saat santri tidak belajar di sekolahmadrasah ketika
mereka berada di pondokasrama.
d. Pada umumnya tidak terprogram dalam kurikulum yang jelas
dan baku. Apapun bentuk dan tipenya, sebuah institusi dapat disebut sebagai Pondok
Pesantren apabila memiliki sekurang-kurangnya tiga unsur pokok, yaitu 1 adanya kyai yang memberikan pengajaran, 2 para santri yang belajar dan tinggal
di pondok, dan 3 adanya masjid sebagai tempat ibadah dan tempat mengaji L. Hakim 2003.
4.4. 4. Pondok Pesantren Dilihat dari Jumlah Santrinya Pondok pesantren dilihat dari jumlah santrinya merupakan jenis pondok
pesantren yang menggambarkan termasuk pondok pesantren besar, pondok pesantren menengah, dan pondok pesantren kecil. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan Dhofier 1994 bahwa pesantren dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Pondok pesantren yang memiliki jumlah santri lebih besar
dari 2000 orang termasuk pondok pesantren besar. Contoh dari pondok pesantrem ini adalah Lirboyo, dan Ploso di
Kediri, Gontor ponorogo, Tebuireng, Denanyar Jombang, As-Syafiiyah Jakarta, Pondok pesantren Sidogiri di
pasuruan dan sebagainya. Pondok jenis ini biasanya berskala nasional. Bahkan pondok modern Gontor
Ponorogo mempunyai santri yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei.
2. Pondok pesantren yang memiliki jumlah santri antara 1000
sampai 2000 orang termasuk pondok pesantren menengah. Contoh dari pondok pesantren ini adalah Maslakul Huda
Kajen-Pati. Pondok pesantren ini biasanya berskala regional.
3. Pondok pesantren yang memiliki santri kurang dari 1000
orang termasuk pesantren kecil. Contoh pondok pesantren jenis ini adalah Tegalsari Salatiga, Kencong dan Jampes di
Kediri. Pondok pesantren ini biasanya berskala lokal pondok, balikan ada juga yang regional.
V. MASUKNYA ISLAM DI BANTEN DAN JAWA TIMUR Akar Sejarah PP. Roudlatul Ulum dan PP. Sidogiri
5.1. PESANTREN BANTEN
5.1.1. Sejarah Pesantren di Banten: Antara Tasawuf Dan
Kanuragan
Pada awalnya Kawasan Banten dikenal dengan sebutan Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Berdasarkan data arkeologis, masa
awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi agama Hindu. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan
purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hinduistik. Djajadiningrat 1983
Awal kedatangan Islam di Banten, Seperti di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di Pasai
mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Islam yang sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah dengan
adik bupati Banten yang bernama Kawunganten, dua tahun kemudian lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun
berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin Atja 1972. Dalam Babad Banten diceritakan bagaimana Syarif Hidayatullah bersama Pangeran Hasanuddin,
melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya sehingga berangsur-angsur penduduk Banten Utara
memeluk agama Islam. Roesjan1954.
Syarif Hidayatullah melakukan politik ekspansi bukan hanya di kawasan Banten. Dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan
politik, yang dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak, atas perintah Trenggana, Fatahillah syarif Hidayatullah dan Hasanudin melakukan
penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Selain mulai
membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Baik
Syarif Hidayatullah maupun Hasanudin menggunakan politik perkawinan dan militer untuk perluasan wilayah sekaligus penyebaran dakwah Islam.
Setelah Pangeran Hasanuddin menginjak dewasa dan dipandang sudah cukup cakap memimpin di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon
mengemban tugas sebagai Tumenggung di sana yang merupakan bagian dari Kesultanan Demak. Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten
diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin. Dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari Gunung
Pulosari, Gunung Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Djajadiningrat 1983, Karena semakin besar dan maju pada tahun 1552 M,
Kadipaten Banten dirubah menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat
pemerintahan Banten dipindahkan dari Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor, terletak dipesisir utara yang sekarang menjadi Keraton Surosowan
Djajadiningrat 1983. Pada tahun 1568 M, saat Kesultanan Demak runtuh dan digantikan oleh Pajang, pangeran Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai
negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau pun Pajang Hamka 1976.
Begitu kekuasaan dipegang oleh Sultan Hasanuddin, terjadilah perubahan radikal yang juga berpengaruh pada penyebaran Islam di Banten. Paling tidak, ada
tiga perubahan besar yang dilakukan Sultan Hasanudin untuk menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa itu. Pertama, perubahan dalam bidang politik. Sultan
Hasanudin mengubah politik dan pemerintahan yang bersumber dari Hindu- Budha menjadi politik bernuansa Islam. Banten yang semula hanya sebuah
kadipaten, kemudian menjadi suatu negara yang berdaulat. Menjadikan Banten negara berdaulat merupakan bagian dari misi islamisasi Maulana Hasanuddin
sesuai dengan tugas yang diberikan oleh ayahnya, Sunan Gunung Djati Syarif Hidayatullah. Misi islamisasi dan kekuasaan tak bisa dipisahkan dalam
pembentukan kesultanan Banten yang pertama dan seterusnya. Kedua, perubahan dalam bidang kebudayaan. Perubahan dari budaya masyarakat yang bersumber
dari ajaran Hindu Budha hingga beralih ke budaya yang bersumber dari ajaran Islam. Dalam hal kebudayaan, sultan hasanudin mengikuti cara-cara yang
dilakukan para wali, seperti ayahnya. Kebudayaan lama tidak diberangus, sehingga terjadi akulturasi budaya dan dialog kultural antara budaya Sunda yang
Hindu dengan kebudayaan Islam. Ketiga, perubahan ekonomi, Sulta Hasanuddin melakukan perubahan ekonomi dengan cara memindahkan pusat pemerintahannya
dari Banten Girang ke Surosowan yang berada di pesisir pantai. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan independensi kekuasaan, termasuk independensi dalam
bidang ekonomi Halwani 2003 .
Sultan Hasanudin memanfaatkan kecenderungan mistis orang Banten pra Islam dengan pendekatan sufistik islam dimana ia merujuk memiliki silsilah
sampai kepada Nabi Muhammad. Bagi sebagian umat Islam keturunan nabi Muhammad mempunyai posisi tersendiri, mereka dianggap memiliki warisan
keshalehan nabi. karenanya berbeda dengan kerajaan Banten pra Islam yang memisahkan antara raja dan agamawan. Sultan Banten yang dibangun oleh
Hasanudin, seorang Sultan disamping sebagai raja juga berperan sebagai ulama dalam arti praksis. Kepemimpinan sultan sebagai pemimpin agama bukan seperti
raja Mataram Islam yang hanya menempatkan sultannya sebagai pemimpin Islam simbolik. Predikat Raja yang ulama melekat sampai sultan-sultan Banten
berikutnya.
Kota Surosowan yang dibangun di wilayah pesisir, dengan didukung pengembangan Pelabuhan Karangantu, sebagai pelabuhan internasional atau
transnasional menjadikan kesultanan Banten tumbuh menjadi kerajaan maritim yang
mengandalkan perdagangan
dalam menopang
perekonomiannya Djajadiningrat Hoesein 1983. Selain sebagai pusat perdagangan Kesultanan
Banten juga menjadi pusat penyebaran agama Islam untuk wilayah Jawa bagian barat. Di Kasunyatan Banten tumbuhlah perguruan Islam , di tempat ini didirikan
masjid Kasunyatan Banten. Masjid tersebut dijadikan tempat tinggal sekaligus mengajar seorang pangeran keturunan Sultan Hasanudin yaitu Pangeran
Kasunyatan Djajadiningrat 1983.
Masjid Kasunyatan Banten ini dapat dikatakan sebagai model pesantren pertama di Banten. Tempat pembelajaran semacam ini mengingatkan pada model
kutab seperti yang ada di kesultanan-kesultan Islam Timur Tengah. Perguruan atau pesantren pada awalnya diikuti oleh para pangeran dan juga oleh priyayi
menengah. Mereka mengikuti pendidikan di pesantren tersebut untuk dipersiapkan sebagai tenaga pengelola kerajaan dan ketentaraan. Pesantren kala
itu identik dan menjadi komponen kekuasaan kesultanan. Para alumni pesantren Masjid Pasugatan inilah yang menempati elite kesultanan Banten.
5.1.2. Sejarah Pesantren di Banten: Kyai langgar dan Jawara Di waktu selanjutnya ketika Islam mulai diterima di desa-desa, alumni
dari pesantren Pasugatan ditempatkan di desa-desa sebagai kyai-kyai langgar. kyai langgar berfungsi sebagai praja sekaligus katib, mereka menjadi penguasa
tunggal di desa-desa yang ditunjuk oleh kesultanan. Kekuasaan mereka kyai langgar ini menjadi kuat oleh dua hal, pertama oleh ascribed status, mereka
adalah keturunankerabat bahkan karena raja Banten adalah keturunan nabi Muhammad, maka mereka pun dipandang sebagai keturunan nabi pula. Kedua
oleh achieved status, mereka adalah kaum terpelajar yang bisa membaca dan menulis, sementara rakyat lainnya adalah kaum buta huruf. Kyai-kyai langgar
yang ditunjuk pemerintah inilah yang menyandang gelar “ajengan”. Ajeng sendiri sebenarnya sebuah gelar feodal pra Islam, yang berarti seorang ningrat keturunan
raja. Sekalipun para priyayi ini bertugas pada bidang keagamaan, tetapi masyarakat memnaggilnya dengan gelar keningratannya yaitu ajeng atau ajengan.
Bermula dari langgar-langgar yang dipimpin para ajengan inilah kemudian muncul pesantren-pesantren di wilayah Banten yang sebagian diantaranya
bertahan hingga saat ini.
Kepemimipinan pesantren oleh seorang pangeran atau para ningrat pada masa itu, bukan hanya mejadikan pesantren sebagai tempat belajar agama tetapi
juga dibumbui oleh ilmu-ilmu kanuragan. Kanuragan adalah tradisi ksatria kerajaan untuk kepentingan perang atau kondisi chaos. Kanuragan sendiri tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Berperang untuk membela tanah air adalah bagian dari ajaran Islam. Kanuragan semacam pencak silat diadopsi di pesantren-
pesantren dari peninggalan budaya pra Islam.
Pada masa itu pula berkembang pesat ilmu tarekat atau tasawuf ke wilayah Indonesia termasuk Banten. Tasawuf dan Tarikat yang berkembang di
Banten merupakan dampak dari interaksi perdagangan internasional yang dijalani oleh kesultanan Banten. Seperti dikemukakan Nurcholis Madjid 1999, corak
Islam Indonesia yang kental berwarna kesufian disebabkan, datangnya Islam ke kawasan ini, banyak ditangani oleh kaum sufi dan juga pedagang. Tasawuf
mendapat sambutan yang luar biasa karena ilmu ini secara praksis mampu mengokohkan seorang menjadi paripurna secara keilmuan. Tasawuf telah
memberi mereka fasilitas menyebarkan ilmu-ilmu Islam melalui perembesan damai penetration pasifique yang menjadi kekhasan kaum pedagang dan para
sufi. Disamping itu karena watak sosial kesufian yang sangat mengandalkan intuisi pribadi dan perasaan dzawq, pemikiran Islam diwarnai dengan sikap
yang cukup reseptif berpembawaan mudah menerima unsur-unsur budaya lokal.
Tasawuf dan kanuragan bersifat dialektik atau melengkapi satu dengan yang lainnya. Keduanya pada kondisi tertentu merupakan sebuah solusi. Pada
masa Chaos diperlukan kanuragan sementara pada kondisi damai tasawuf bisa digunakan. Di Banten pada masa itu ilmu tarekat maupun tasawuf dijadikan
sebagai pelengkap ilmu kanuragan, bahkan sampai saat ini, kekhasan terintegrasinya kanuragan dan tasawuf masih bisa dilihat di pesantren-
pesanteren salafiyah yang ada di Banten. Pertemuan tasawuf dengan ilmu Kanuragan di pesantren-pesantren Banten menghasilkan akulturasi budaya tetapi
tidak menimbulkan sinkretisme teologis. Ilmu fisik yang diajarkan pada ilmu kanuragan semacam pencak silat ditambahi doa-doa yang bersumberkan pada Al
quran menghasilkan suatu karya budaya baru yang dinamai ilmu debus. Doa-doa yang dipanjatkan, bukanlah campuran antara doa islami dengan mantera hindu.
Demikian halnya munculnya tradisi tahlilan, berziarah kubur bukanlah sinkretisme sebagaimana tuduhan beberapa fihak. Tradisi –tradisi tersebut adalah
tradisi sufisme yang berlatar budaya Islam. Ilmu Aqidah menjadikan Allah sebagai Tuhan satu-satunya dan sebagai tempat meminta serta berlindung
adalah ajaran mutlak yang menjadi dasar pendidikan pesantren. Mencampurkan agama atau kepercayaan di luar Islam adalah haram.
Pada masa lalu di samping pengajaran ilmu-ilmu agama, ilmu kanuragan dan tasawuf merupakan kesatuan paket pengajaran lainnya. Pada saat ini paket
pengajaran pesantren di Banten telah berubah. Kanuragan dan tasawuf tidak selalu kesatuan paket tapi satu diantaranya dijadikan sebagai kekhususan.
Sekarang didapati pesantren yang mengedepankan ke-tasawufan atau pesantren yang mengedepankan kanuragan. kekhususan ini disebabkan adanya diskursus
dakwah di kalangan para ajengan. Ajengan yang mengedepankan Tasawuf dan meninggalkan kanuragan beranggapan bahwa ahlakul-karimah budi pekerti
luhur harus dijauhkan dari pengajaran-pengajaran fisik yang dapat memancing kekerasan. Selain itu ulama tasawuf berpendapat bahwa saat ini tanggung jawab
keamanan dan pertahanan sudah ada yang menanganinya yaitu aparatus negara, sekalipun terjadi kondisi chaos
42
santri tidak perlu turun tangan. Pendapat kedua yang masih mengedepankan kanuragan sebagai bagian dari pengajaran pesantren
berpendapat, kanuragan masih diperlukan untuk membela diri dan menjadi bagian pengamanan negara apabila terjadi kondisi chaos.
Diskursus pilihan pendekatan ke kanuragan atau tasawuf, sampai saat ini tidak menimbulkan konflik terbuka. keduanya memiliki alasan syariah
masing-masing, namun pada tataran praksis kedua pilihan tersebut sudah menimbulkan peta pengikut. Jika dahulu seseorang berangkat belajar ke pesantren
untuk menjadi ahli agama dan membuka tempat-tempat pengajian baru, saat ini keikusertaan atau ikutnya seseorang ke dalam lingkungan pesantren didorong
oleh berbagai motif. Motif itupun dapat dihubungkan dengan Latar belakang status sosial dan ekonomi sampai pada segmentasi umur.
Pesantren tasawuf pertama-tama ditandai oleh hadirnya santri kalong dan santri mondok dengan jumlah yang hampir sama banyaknya. Bahkan dalam
event tertentu santri kalong bisa jauh lebih banyak dari santri yang mondok. Pesantren tasawuf diminati oleh orang-orang tua yang biasanya sudah
42
Kondisi chaos, seringkali menciptakan berbagai definisi, mulai pelanggaran aturan terukur seperti :larangan minuman keras, tempat hiburan, sampai kepada yg sifatnya politik seperti
kepemimipinan, ideologi dsb.
mengenyam pendidikan agama yang cukup. Latar belakang profesi mereka adalah para guru-guru agama, dosen, birokrasi, pensiunan dan juga para profesional. Di
samping itu ditemui juga para generasi muda kalangan menengah yang tertarik untuk mendalami ilmu agama. Kelompok ini menjadi santri kalong santri yang
tidak tinggal di pondok. Secara ekononomi santri kalong ini rata-rata orang yang cukup mapan. Tujuan mereka selain memperdalam ilmu tasawuf juga untuk
membangun relasi dan masuk menjadi bagian dari masyarakat sufi. Kelompok berikutnya di pesantren tasawuf adalah santri mondok. Mereka adalah remaja atau
orang dewasa yang ingin melanjutkan belajar kitab kuning yang tidak mereka dapatkan di pesantren sebelumnya sekaligus mempelajari ilmu tarekat. Tujuan
mereka adalah mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan kompetensi dan gengsi sebagai ulama kelak. Tujuan lainnya adalah mempunyai
nasab ketasawufan, dimana kyai pimpinan pondok tempat ia belajar adalah mursyid-nya.
Pesantren kanuragan biasanya tidak mempunyai santri kalong, kalaupun ada jumlahnya sedikit. Para santri mondok adalah dari mulai anak-anak sampai
remaja. Mereka datang dari berbagai kelas masyarakat. Mereka masuk pesantren tidak selalu berorientasi untuk menjadi pendakwah atau pengasuh pondok.
Mereka berangkat ke pesantren untuk mendapat ilmu agama dan keterampilan lain sebagai bekal kehidupannya di masyarakat luas kelak. Setelah lulus banyak
diantara mereka yang menjadi pedagang, karyawan, buruh atau bidang informal lainnya. Selain santri yang menetap mondok, di pesantren kanuragan, sekalipun
sedikit terdapat santri-santri kalong, mereka adalah para aktivis lokal LSM, anggota ormas termasuk anggota partai politik. Kehadiran santri kalong di
pesantren kanuragan adalah untuk mempelajari ilmu beladiri sampai kepada membangun jejaring sosial berbasis massa.
Keterpisahan antara kanuragan dan tasawuf melahirkan peta elite pesantren di Banten, yaitu kelompok ajengan yang mewakili kaum tasawuf dan
kelompok jawara yang mewakili kaum kanuragan. Para ajengan tidak muncul di permukaan secara aktif. Aktivitas mereka adalah di lingkungan pesantren.
Jaringan sosial terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial.
Hubungan dengan dunia luar bersifat pasif, lebih bersifat menunggu.Kalau pun ada kritik pada dunia luar disampaikan pada pengajian internal. Kritik biasanya
berupa sindiran atau kecaman yang sifatnya moral-force. Melalui jaringan tersebut para ajengan tetap dapat berperan di masyarakat sehingga status
sosialnya selalu terjaga.
Para jawara memiliki kekhasan dalam membangun interaksi antar mereka dan dengan pihak lain. Salah satu yang khas dari kehidupan antar mereka
adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi kalau yang menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti keluarga,
kekerabatan, seguru-seelmu dan sebagainya. Jaringan yang dibentuk oleh para jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga
kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI Persatuan Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia.
Organisasi para pendekar ini kini menghimpun lebih dari 100 perguron yang tersebar di 17 provinsi di Indonesia. Orginsasi ini berpusat di Serang, Ibu Kota
Propinsi Banten, yang pernah dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib Sunatra 1997.
Menurut Kartono Kartodirdjo 1984, peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang
merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat
dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Para jawara bahkan dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan
kekerasan dalam masyarakat. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat
besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan
politik di Banten.
Dari uraian di atas patut diperhatikan baik ajengan maupun jawara, sejatinya adalah ulama yang bersumber dari dunia pesantren. Penamaan ajengan
atau jawara lebih kepada pilihan aksiologis interaksi mereka baik dengan sesama maupun dengan fihak luar. Pada politik Banten kontemporer saat ini keduanya
memiliki posisi strategis dimana kekuasaan politik formal membutuhkan legitimasi sosial sekaligus mobilisasi sosial.
5.1.3. Kyai Nawawi Al Bantani, Ulama Banten, Al Ghozaly Moderen Membahas pesantren di Indonesia apalagi di Banten tidak bisa
dilepaskan dari nama Nawawi Al Bantani. Buat Masyarakat Banten, gelar Al Bantani yang melekat di belakang nama tokoh ini menjadi kebanggan tersendiri,
sebab nama tersebut menunjukkan dari mana ulama tersebut berasal. Nawawi Al Bantani dilahirkan di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang,
Banten pada tahun 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana hingga wafatnya pada tahun 1897, beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la
dekat dengan makam Siti khadijah istri Nabi Muhammad. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz Pemimpin Ulama Hijaz
Hery Sucipto 2007.
Syekh Nawawi Al-Bantani adalah tokoh utama kitab kuning Indonesia, disamping ulama-ulama internasional indonesia lainnya seperti, Syekh Abdul
Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh
Muhammad Mahfudz Al Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa
universitas di luar negeri Hery Sucipto 2007. Nama Syekh Nawawi Al Bantani bahkan sering disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab
Syafi’i, yaitu Imam Nawawi w.676 Hl277 M. Karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani sangat berjasa dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang
dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren, terutama yang berada di bawah naungan NU. Di komunitas pesantren salafiyah, Syekh Nawawi Al Bantani tidak
hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tetapi ditempatkan sebagai mahaguru sejati the great scholar. Syekh Nawawi Al Bantani berjasa meletakkan landasan
teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut membentuk keintelektualan tokoh-tokoh pendiri pesantren