yang akan dicapai menyerupai Rasionalitas Instrumental Zweckrationalitat. Menurut Hamka 1Tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan
doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, dan psiko terapi relijius yang dapat menghantarkan manusia menuju kesempurnaan dan ketenangan hidup, yang
hampir hilang atau bahkan tidak pernah dipelajari oleh manusia modern, Praktik 2 Seorang penganut tasawuf modern tidak harus lari dari kehidupan duniawi
tetapi justru harus terlibat aktif dalam masyarakat, 3 Mempraktekan tasawuf secara aktif dalam setiap aktifitas manusia modern dan menjadikan tasawuf
sebagai alat bantu dalam mengingatkan dan membangunkan orang modern dari tidur spiritualnya yang panjang dan mencampakan nilai-nilai moral yang
bersumber dari agama, 4 Tasawuf dapat dipraktekan hanya dalam kerangka syari’ah.
4.3.3. Kepatuhan dan Kritis Santun : Epistemologi Keteraturan Sosial
Budaya pesantren merupakan salah satu bagian setting sosial Islam yang mengakui perbedaan “takdir” manusia dalam pendekatan intelektual terhadap
permasalahan yang terungkap di dunia empirik Sirodj 2005. Stratifikasi yang paling kental di dunia pesantren adalah tingkatan antara murid dan guru, yang
dikenal sebagai hubungan Kyai dan santri. Hubungan santri Kyai menjadi kritik dunia luar yang melihat paradoksal di lingkungan pesantren, seperti yang
dikemukakan oleh Achmad Faesol 2012 Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki satu ciri khas yang membedakan dengan institusi-institusi pendidikan
lainnya. Nilai-nilai kepesantrenan yang membingkai kehidupan interaksi sosial antara Kyai, ustadz dan santri adalah ciri khas pembeda yang dimaksud. Nilai-
nilai kepesantrenan ini memiliki dua muatan yang saling bertentangan. Pada satu sisi, kekuatan sosial kyai beserta legitimasi otoritas keilmuannya berpotensi besar
untuk menjadikan kyai sebagai sumber referensi dan standar moral perilaku santri. Artinya, apa yang diucapkan dan dilakukan Kyai adalah sebuah petuah kehidupan
yang tak terbantahkan dan harus segera diadopsi dalam perilaku harian santri. Munculnya jiwa-jiwa militan yang siap mengorbankan jiwa dan harta demi
tegaknya bangsa Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan adalah salah satu bukti kongkritnya. Namun pada sisi lain, nilai-nilai kepesantrenan yang merasuk
ke dalam ruh pendidikan pesantren tanpa disadari telah menjelma menjadi tangan tak teraba yang memenjara iklim keilmuan pesantren. Pada konteks keilmuan
pesantren, satu dari sekian banyak faktor gagalnya pesantren tampil sebagai pusat peradaban ilmu pengetahuan di Indonesia karena adanya nilai-nilai kepesantrenan
yang disalahgunakan. Dalam ruang pendidikan pesantren, sistem pendidikan yang hanya berpusat pada Kyai menyebabkan kemacetan arus dialog pemikiran antara
Kyai dan santri. Kreatifitas santri tidak dapat berkembang dengan baik karena bagi santri, bertanya, berbeda pendapat dan berdebat dengan Kyai adalah bentuk
dari sikap su ul adab adab yang tidak baik dalam Qomar 2002.
Lebih jauh kritik meyangkut hubungan Kyai-santri dikaitkan dengan pola pengajaran dan rujukan yang digunakan oleh pesantren. Menurut pengkritik,
Kepatuhan dan penghormatan yang diberikan santri kepada Kyai dalam konteks tradisi keilmuan pesantren adalah tingkah laku yang memang seharusnya
dilakukan oleh seorang penuntut ilmu. Pola perilaku demikian dibentuk oleh materi pendidikan pesantren yang mengarah kepada tiadanya sikap kritis dalam
menuntu ilmu seperti yang dikandung dalam kitab kuning yang menjadi kitab wajib hampir semua pesantren yakni Ta’ lim Muta allim.
40
beserta kitab-kitab sejenisnya menjadi bagian dari proses legitimasi otoritas keilmuan Kyai yang
pada akhirnya menjelma sebagai sistem nilai yang dianut warga pesantren dan terejawantahkan dalam praktek-praktek intelektual kehidupan santri sehari-hari
sehingga menjadi standar etika perilaku yang mengatur hubungan Kyai santri dalam bingkai interaksi intelektual Turmudi 2004.
Bagi para pengkritik tradisi-tradisi kepesantrenan Hubungan antara Kyai dan santri di lingkungan pesantren salafiyah ini dinilai mencerminkan feodalisme
yang dibungkus religius. Sistem otoritas yang telah terpelihara secara turun temurun menimbulkan pemikiran umum bahwa suatu perkara yang disampaikan
oleh Kyai tidak perlu lagi dipertanyakan, dipikirkan ulang maupun diperdebatkan secara kritis oleh para santri. Pemikiran umum tersebut merupakan konsekuensi
sosial dari pemahaman bahwa Kyai sebagai pendiri pesantren merupakan orang yang mumpuni terhadap ilmu-ilmu agama sehingga segenap perilakunya
merepresentasikan budi pekerti mulia dan akhlak al-karimah di mata santrinya . Inilah yang menyebabkan Kyai dipandang tidak saja sebagai sumber teladan
tingkah laku, melainkan juga sebagai sumber referensi ilmu pengetahuan. Pemikiran ini dianut oleh para santri, baik yang sedang menimba ilmu di
pesantren maupun mereka yang sudah hidup di tengah-tengah masyarakat alumni Achmad Faesol 2012.
Semua kritik itu adalah fakta objektif dari perspektif luar, ketika tradisi lembaga pendidikan pesantren ingin dipersamakan dengan tradisi lembaga
pendidikan lainnya. Nurhakim 1998 mengutip pernyataan Syalabi seorang guru besar Sejarah Kebudayaan Islam Al-Azhar Mesir, kemajuan bidang budaya dan
peradaban tidak terlepas dari suatu pola pemikiran tertentu dan pola pemikiran itu tidak terlepas pula dari pergumulan dengan berbagai pola-pola pemikiran lainnya.
Lahirnya pola-pola pemikiran modern sekitar abad ke 16 M, tidak terlepas dari pengaruh pola pemikiran rasional ekspektatif pasca masa kejayaan Islam sekitar
abad ke-7 d an ke-8 M. Munculnya pola pemikiran rasional eksperimentatif di kalangan muslim pun tidak terlepas dari proses penerjemahan pola pemikiran
filsafat Yunani. Dan pemikiran Filsafat Yunani juga tidak terlepas dari dasar filsafat dan kebudayaan Mesir Kuno pada masa ribuan tahun sebelum masehi.
Karenanya gagasan menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim Indonesia harus dimulai dari munculnya etos ilmiah insan pesantren. Dengan
modal etos ilmiah inilah tradisi-tradisi intelektual islam klasik akan dimulai, termasuk di dalamnya adalah membenturkan benih pemikiran kritis santri dengan
pemikiran -pemikiran para ilmuwan di luar.
Hubungan kyai dan santri serta pembelajaran kitab-kitab kuning bisa pula dilihat dari setting dalam inside setting pesantren. Di lingkungan pesantren, baik
40
Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa mereka santri yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka santri tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau
pengetahuannya tidak berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru kyai yang mengajarkannya Zarnuji: tt. Bahkan
penghormatan total juga d ipertegas dengan kata- kata motivasional yang disampaikan oleh Ali bin Abi Tholib salah satu sahabat nabi, bahwa saya ini adalah hamba dari orang yang mengajari
saya walaupun hanya satu kata saja. Kalimat tersebut setidaknya akan menjadi alat kontrol yang cukup kuat untuk mengendalikan naluri keilmuan santri. Kitab Ta lim Al-M uta allim yang terdiri
dari 14 pasal bab
Kyai maupun santri bermain dalam permainan “takdir” seperti yang dikatakan oleh Sirodj 2005 sebagai “role of the games” pesantren. Tradisi takdir ini
terpelihara oleh konstitusi-positivisme yang tertuang dalam kitab-kitab yang diajarkan di lingkungan pesantren, seperti dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim karya
al-Zarnuji yang mensyaratkan orang akan memperoleh ilmu yang bermanfaat apabila melakukan dua hal yaitu menghormati guru dan kitab
41
. Menyikapi kritik tersebut seorang tokoh dunia pesantren KH. Kholil Bishri
2010 menyikapinya dengan pernyataan bahwa : Pada kurun masa dimana segala aspek tata kehidupan sudah bergeser
seperti sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan Ta‟lîm al-Muta‟allim, sebaiknya didukung
untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja
saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah swt belum ada pedoman khususnya selain kitab Ta‟lîm al-
Mutaalim. ..Terlepas dari pro dan kontra di atas, kita tetap harus memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Az-Zarnûjî lewat kitab Ta‟lîm-nya karena tujuan
dari beliau menulis kitab tersebut semata-mata karena ingin mengungkapkan bagaimana cara yang sepantasnya bagi seorang pelajar dalam mencari ilmu dan
cara menghormati orang-orang yang telah mengajari ilmu tersebut.”
Di lingkungan pesantren, penghormatandan nilai-nilai kepatuhan tidak hanya kepada pribadi Kyai, tetapi juga kepada kelurga Kyai. Ungkapan rasa
hormat kepada putra dan kerabat Kyai biasanya diekspresikan dengan sebutan gus atau nyai Nurcholish Madjid 1997. Bagi kyai dan keluarganya takdir menjadi
Kyai adalah memimpin pesantren dengan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur yang menjadi acuannya dalam bersikap, bertindak dan mengembangkan
pesantren. Nilai-nilai luhur menjadi keyakinan Kyai dalam hidupnya. Sehingga apabila dalam memimpin pesantren bertentangan atau menyimpang dari nilai-nilai
luhur yang diyakininya, langsung maupun tidak langsung, kepercayaan masyarakat terhadap Kyai atau pesantren akan pudar Mahmud Sujuthi 2001
karena sesungguhnya nilai-nilai luhur yang diyakini Kyai atau umat Islam menjadi ruh kekuatan yang diyakini merupakan anugrah dan rahmat dari Allah
SWT. Zainuddin Syarif 2012.
Dalam setiap struktur masyarakat selalu ada kelas dominan atau kelompok elite yang mengatur struktur kelas di bawahnya. Struktur ini dibutuhkan untuk
menjaga keseimbangan dan keutuhan masyarakat. Kyai menurut Kuntowijoyo 2003 merupakan kelas elite desa yang awalnya khusus menangani ritual
keagamaan. Ia mempunyai posisi tidak hanya sebagai tokoh sentral dan panutan santri, tetapi juga dipatuhi oleh masyarakat yang lebih luas. Kyai sendiri diakui
sebagai ulama yang menjadi pewaris para nabi dan sekaligus melanjutkan silsilah para ulama terdahulu yangdianggap sebagai pewaris keagungan Islam klasik.
41
Al-Zarnuji merupakan tokoh Islam yang peduli dan menyumbangkan pemikirannya tentang aktivitas belajar. Kedua tokoh ini sangat dihormati di lingkungan pesantren. Kontroversi, talim
muta’allim adalah pada bab tentang guru, Az-Zarnuji
41
memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap guru. Dia harus dihormati dan dimuliakan dengan idiom yang bersumber dari
hadits
41
; dan ungkapan ulama
41
Terpilih menjadi Kyai yang dihormati bukanlah pilihan, bahkan dalam tradisi tasawuf penghormatan manusia oleh manusia yang lain adalah penunda
mahkamah Tuhan pada hari akhir nanti. Dalam permainan takdir ini Santri mengidentifikasi Kyai sebagai figur yang penuh kharisma dan wakil atau
pengganti orang-tua inloco parentis. Kyai adalah model uswah dari sikap dan tingkah-laku santri. Proses sosialisasi dan interaksi yang berlangsung di pesantren
memungkinkan santri melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah-laku Kyai. Santri juga dapat mengidentifikasi Kyai sebagai figur ideal sebagai penyambung
silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu Abdurrahman Wahid 1988 Proses dan identifikasi tersebut yang mampu
melahirkan kepatuhan atau ketaatan seorang santri terhadap Kyainya. Kepatuhan santri terhadap figur Kyai memiliki implikasi-implikasi psikologis maupun sosial.
Ketaatan komunitas pesantren pada Kyai adalah bentuk konformitas, yaitu perilaku yang mengikuti suatu rujukan yang didorong oleh keinginan individu itu sendiri,
dimana kelompok tersebut tidak memiliki suatu hak yang spesial untuk mengarahkan tingkah laku individu tersebut kecuali kepada tindakan satu kelompok atau
individu yang dipercayainya. Stanley Milgram 1975 . Konformitas melahirkan keselarasan, kesesuaian perilaku individu-individu anggota masyarakat dengan
harapan-harapan sosialnya, sejalan dengan kecenderungan manusia dalam kehidupan berkelompok untuk membentuk norma sosial. Dalam arti yang positif,
konformitas yang hadir pada diri kyai melahirkan ketertiban sosial, terutama pada masyarakat yang menganut patron-client seperti di desa-desa. Menurut M. Sheriff
2006, konformitas bermanfaat untuk mendapatkan apa-apa yang diinginkan, menciptakan perilaku yang sesuai dengan norma kelompok, dapat terubahnya
persepsi, pendapat, perilaku seseorang sehingga konsisten dengan norma kelompok .
4.4.Bentuk Pesantren Saat ini
Jenis-jenis pondok pesantren ada empat bagian yaitu: 1 pondok pesantren dilihat dilihat dari kekhususan pengetahuan, 2 pondok pesantren
dilihat dari klasifikasi dari pola pengajaran, 3 pondok pesantren dilihat dari sarana dan prasarana, 4 pondok pesantren dilihat dari jumlah santri. Keempat
jenis pondok pesantren itu dijelaskan sebagai berikut:
4.4.1. Pondok pesantren dilihat dari kekhususan pengetahuan Pondok pesantren dilihat dari bidang kekhususan pengetahuan merupakan
jenis pondok pesantren yang menggambarkan kajian pengetahuan yang ada pada pesantren tersebut dibagi menjadi tiga jenis. Ketiga jenis pesantren tersebut adalah
1 Pondok pesantren tasawuf: jenis pesantren ini pada umumnya mengajarkan pada santrinya untuk selalu menghambakan diri kepada Allah sang pencipta, dan
banyak bermunajat kepada-Nya. Contoh pondok PETA Tulungagung, Pondok Bambu Runcing Parakan, Pesantren Cidahu Banten 2 Pondok pesantren Fiqh:
jenis pesantren ini pada umumnya lebih menekankan kepada santri untuk menguasai ilmu fiqih atau hukum Islam, sehingga diharapkan santri lulusannya
dapat menyelesaikan permasalahan hidup berdasarkan hukum Islam. Contoh Pondok Pesantren Langitan Tuban, 3 Pondok pesantren alat: jenis pesantren ini
pada umumnya lebih mengutamakan pengajaran tentang gramatika bahasa Arab
dan pengetahuan filologis dan etimologis, dengan pelajaran utama Nahwu dan Syorof. E.S. Nadj 1985.
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang, Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya, dan Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya dapat digolongkan sebagai
pesantren fiqh kontemporer, karena di pesantren ini para santri diajarkan ilmu fiqh yang dalam proses pembelajarannya dikaitkan dengan persoalan-persoalan nyata
yang berlangsung di masyarakat yang berorientasi pada peningkatan pemahaman keagamaan yang kontekstual, sehingga para lulusannya nanti mampu memberikan
respon yang proporsional terhadap problematika kemasyarakatan yang ada.
4.4.2 Pondok pesantren dilihat klasifikasi dari pola pengajaran Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pesantren yang begitu
pesat maka pesantren diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu: 1 pesantren tradisional salafiyah, 2 pesantren modern kalafiyah, dan 3 pesantren
komprehensif sebagaimana berikut ini:
1. Pesantren Tradisional Salafiyah Para Ulama terutama dari kalangan Nahdliyin bependapat bahwa
Pesanten Salaf adalah bentuk asli dari lembaga pesantren sebagaimana pertama kali didirikan oleh Wali Songo.format pendidikan pesantren adalah bersistem
salaf. Kata salaf berasal dari bahasa Arab.“ salaf” Harap dibedakan antara pesantren salaf sebagai sebuah sistem pendidikan dengan aliran “salafi
wahabi”.Kata salaf dalam pengeritan pesantren di Indonesia dapat dipahami dalam makna literal dan sekaligus terminologis khas Indonesia.Secara literal, kata
salaf dalam istilah pesantren adalah kuno, klasik dan tradisional sebagai kebalikan dari pondok modern, kholaf.atau ashriyah.
Secara terminologi sosiologis, Pesantren salafiyah adalah pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri. yang masih tetap
mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab, kalau ada
ilmu umum, maka itu diajarkan dalam porsi yang sangat sedikit. Umumnya, ilmu agama yang diajarkan meliputi Al-Quran, hadits, fikih, akidah, akhlak, sejarah
Islam, faraidh ilmu waris Islam, ilmu falak, ilmu hisab, ilmu tasawuf dan lain- lain. Semua materi pelajaran yang dikaji memakai buku berbahasa Arab yang
umum disebut dengan kitab kuning, kitab gundul, kitab klasik atau kitab turots.
Pola pengajaranya dengan menggunakan sistem “halaqah, artinya diskusi untuk memahami isi kitab bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar
salahnya yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Santri yakin bahwa kyai tidak akan mengajarkan hal-hal
yang salah, dan mereka yakin bahwa isi kitab yang dipelajari benar Mastuhu 1994. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai pengasuh
pondoknya.Metode belajar mengajar di pesantren salafiyah terbagi menjadi dua yaitu metode sorogan wetonan dan metode klasikal. Metode sorogan adalah
sistem belajar mengajar di mana santri membaca kitab yang dikaji di depan ustadz atau kyai. Sedangkan sistem weton adalah kyai membaca kitab yang dikaji sedang
santri menyimak, mendengarkan dan memberi makna pada kitab tersebut. Metode sorogan dan wethonan merupakan metode klasik dan paling tradisional yang ada
sejak pertama kali lembaga pesantren didirikan dan masih tetap eksis dan tetap dipakai sampai sekarang.
Santrinya ada yang menetap didalam pondok santri mukim, dan santri yang tidak menetap di dalam pondok santri kalong.Sedangkan sistem madrasah
schooling diterapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran
umum.Dhofier 1994. Disamping sistem sorogan juga menerapkan sistem bandonganW. Bachtiar 1990.Ciri khas kultural yang terdapat dalam pesantren
salaf yang tidak terdapat dalam pondok modern antara lain:
•
Santri sangat hormat dan santun kepada kyai, guru dan seniornya.
•
Santri senior tidak melakukan tindak kekerasan pada yuniornya. Hukuman atau sanksi yang dilakukan biasanya bersifat non-
fisikal seperti dihukum mengaji atau menyapu atau mengepel, dll.
•
Dalam keseharian memakai sarung.
•
Berafiliasi kultural ke Nahdlatul Ulama NU dengan ciri khas seperti fikih bermadzhab Syafi’i, akidah tauhid Asy’ariyah
Maturidiyah, tarawih 20 rakaat plus 3 rokaat witir pada bulan Ramadan, baca qunut pada shalat Subuh, membaca tahlil pada
tiap malam Jum’at, peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj.
•
Sistem penerimaan tanpa seleksi. Setiap santri yang masuk langsung diterima. Sedangkan penempatan kelas sesuai dengan
kemampuan dasar ilmu agama yang dimiliki sebelumnya.
•
Biaya masuk pesantren salaf umumnya jauh lebih murah dan itdak ada daftar ulang setiap tahunnya.
Dilihat dari ciri Ciri Khas Kualitas Keilmuannya, Santri pesantren salafiyah memiliki kualitas keilmuan yang berbeda dengan santri pondok modern
antara lain sebagai berikut: 1.
Menguasai kitab kuning atau literatur klasik Islam dalam bahasa Arab dalam berbagai disiplin ilmu agama.
2. Menguasai ilmu gramatika bahasa Arab atau Nahwu, Sharaf,
balaghah maany, bayan, badi’, dan mantiq secara mendalam karena ilmu-ilmu tersebut dipelajari serius dan menempati
porsi cukup besar dalam kurikulum pesantren salaf di samping fikih madzhab Syafi’i.
3. Dalam memahami kitab bahasa Arab santri salaf memakai
sistem makna gandul dan makna terjemahan bebas sekaligus.
Contoh dari pesantren salaf antara lain adalah Pesantren Lirboyo dan Pesantren Ploso di Kediri, PesantrenTremas di Pacitan, Pesantren Maslahul Huda
di Pati, Pesantren An-Nur di Sewon Bantul, Pesantren Mukhtajul Mukhtaj di Mojo tengah Wonosobo Dhofier 1994, Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan,
Pesantren Cidahu Pandeglang Banten.
2. Pesantren Modern Khalafiyah Pondok modern adalah anti-tesa dari pesantren salaf. Sistem ini
dipopulerkan pertama kali oleh Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo