Pertanahan Pesantren di Zaman kolonial : Kontrol politik melalui jalur wakaf
sosial untuk menggerakkan pendidikan muslim, namun dengan adanya kebijakan prinsip dan tata kelola wakaf menciptakan prinsip baru yang berbeda dengan
prinsip tradisi wakaf yang selama ini dikenal dalam tradisi pendidikan islam klasik. Prinsip wakaf menurut hukum positif adalah bahwa pelaksanaan wakaf
pada pesantren-pesantren tidak dapat dilaksanakan dengan dalil dan hukum agama saja tetapi harus terikat dengan hukum negara
82
. Dengan demikian Peraturan pemerintah dan Undang-undang tentang perwakafan telah melegitimasi negara
untuk memasuki ranah-ranah tradisi yang sebelumnya merupakan otoritas ulama.
83
Selain masalah terlepasnya kekuasaan masjid oleh kyai karena aturan perwakafan,
masalah pertanahan
tidaklah menjadi
pertentangan yang
memunculkan konflik rasional antara penguasa dengan pesantren. Pengelolaan masjid yang sebelumnya dipegang oleh otoritas kyai berdasarkan hukum agama
telah berpindah kepada otoritas Nazir yang diatur oleh Badan Wakaf Nasional BWN berdasarkan hukum formal negara.
PP. Sidogiri, menurut pengasuh maupun pengelolanya tidak pernah mempunyai catatan konflik terbuka dengan pemerintah menyangkut peraturan
pertanahan maupun pelepasan hak atas pengelolaan masjid yang berada di atas tanah wakaf. Sebelum tahun 1960-an, seluruh tanah komplek PP. Sidogiri seluas
kurang lebih 15-20 Ha adalah milik keluarga besar keturunan Kyai Nawawie. Tanah tersebut di bagi untuk beberapa fungsi yaitu untuk tempat tinggal para
keturunan Kyai Nawawie, untuk masjid, untuk madrasah dan selebihnya dijadikan kebun bersama.
Saat ini tanah yang ada di kompleks PP. Sidogiri, sudah bersertifikat dan dikelompokkan berdasarkan : 1sertifikat hak milik atas nama pribadi untuk
masing-masing tempat tinggal keturunan kyai Nawawie, 2 Sertifikat atas nama yayasan keluarga untuk tanah-tanah yang di atasnya didirikan bangunan-bangunan
untuk fasilitas pesantren seperti bangunan madrasah, asrama, perpustakaan dan fasilitas pendukung lainnya. 3 untuk tanah pemakaman dan tanah masjid
termasuk masjidnya, sekalipun berada tepat di tengah-tengah komplek PP. Sidogiri statusnya adalah tanah yang telah diwakafkan sesuai dengan ketentuan
perwakafan yang berlaku. Selain di dalam komplek pesantren., PP. Sidogiri juga mempunyai tanah di luar yang digunakan untuk usaha, keseluruhan tanah di luar
komplek telah disertifikasi atas nama yayasan.
Demikian halnya dengan PP. Raudlatul Ulum, menurut Kyai Muhtadi tidak pernah ada permasalahan pertanahan antara PP. Raudlatul Ulum dengan
pemerintah. Berbeda dengan PP. Sidogiri yang telah melakukan sertifikasi tanah- tanahnya, PP. Sidogiri belum melakukannya. Komplek PP. Raudlatul Ulum terdiri
dari satu enklave seluas kurang lebih dua Ha, di dalamnya terdapat bangunan rumah tinggal kyai bumi kyai, kobong-kobong asrama para santri dan
82
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan.
83
Dalam pasal 32 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa PPAIW Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang
paling lambat7 tujuh hari kerja sejak ikrar wakaf ditandatangani. Selain itu dalam Pasal 40 UU No. 412004 ini ditentukan pula bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk
: dijadikan jaminan , disita, dihibahkan dijual, diwariskan ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Perkecualian atas ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan apabila harta
benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum.Kemudian harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya tersebut haruslah didaftarkan kembali oleh
Nazhir melalui PPAIW kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia.
bangunan majlis. PP. Raudlatul Ulum tidak memiliki masjid sendiri. Keseluruhan tanah komplek adalah tanah keluarga yang merupakan tanah warisan kyai
Dimyati. Tanah komplek, sesuai dengan tradisi keluarga saat ini dikelola oleh kyai muhtadi sebagai penerus Kyai Dimyati. Putra-putri Kyai Dimyati lainnya,
tinggal di luar koplek PP.Raudlatul Ulum dan memiliki tanah sendiri yang tidak ada kaitannya dengan tanah pesantren.
Menurut catatan sejarah berdirinya kedua pesantren, tanah komplek PP.Sidogiri pertama kali dimiliki oleh sayid Sulaiman pada sekitar tahun 1715
yang diperoleh dengan cara membuka hutan, kemudian secara bertahap diperluas sampai luasan tertentu. Tanah tersebut kemudian dipertahankan dan dijaga oleh
para keturunannya. Sedangkan kepemilikan tanah PP. Rodlatul Ulum, dilakukan dengan cara membeli. Kyai Dimyati pada tahun 1965 membeli sebidang tanah
untuk dijadikan tempat tinggal, tempat mengajar sekaligus lahan pertanian untuk kehidupan sehari-harinya. PP. Sidogiri maupun PP. Raudlatul Ulum adalah contoh
historikal kepemilikan tanah pesantren. Keduanya memiliki padanan dalam hukum pertanahan Islam. Menurut Islam seseorang dapat memiliki “tanah” karena
beberapa sebab tertentu. Secara konvensional seseorang dapat memiliki tanah karena ia membeli tanah tersebut, karena mendapatkan warisan berupa tanah, atau
memperoleh hibah hadiah berupa tanah. Selain dengan sebab-sebab konvensional tersebut, seseorang juga dapat memiliki tanah karena sebab-sebab yang khas yang
hanya ada dalam sistem Islam. Sebab-sebab yang khas tersebut adalah apa yang disebut denganal-Iqtha’ pemberian oleh khalifah dan ihya al-mawat
menghidupkan tanah mati.
Dalam kasus PP. Sidogiri kepemilikan tanahnya secara Islam adalah ihya al-mawat menghidupkan tanah mati. Sedangkan yang dimaksud dengan
menghidupkan tanah mati upaya seseorang “menghidupkan” atau memakmurkan tanah yang sebelumnya mati. Tanah mati ardun mawat menurut hukum Islam
adalah tanah yang tidak ada pemiliknya atau nampak tidak pernah dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas apapun yang menunjukkan bahwa tanah
tersebut pernah dikelola baik berupa pagar, tanaman bekas bangunan atau bentuk pengelolaan lainnya. Yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati artinya
adalah mengelola tanah tersebut atau menjadikan tanah tersebut menjadi bermanfaat untuk berbagai keperluan atau menjadikan tanah tersebut siap untuk
langsung ditanami atau dimanfaatkan. Upaya menghidupkan tanah tersebut dapat dilakukan dengan memagarinya, mematoknya memberi batas, mendirikan
bangunan di atas tanah tersebut, menanaminya dengan tanaman tertentu atau dengan cara apapun yang yang menjadikan tanah tersebut menjadi “hidup”.
Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan tanah untuk keperluan apapun, sehingga bisa menghidupkannya. Setiap tanah yang mati,
apabila dihidupkan oleh seseorang, maka tanah tersebut secara sah telah menjadi milik orang yang menghidupkannya. Dengan adanya usaha seseorang untuk
menghidupkan tanah, berarti usahakerja yang dilakukan orang tadi telah menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya. Dalam Islam hukum tersebut
didasarkan pada al hadits perkataan nabi Muhammad:
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah yang mati, maka tanah tersebut adalah menjadi hak miliknya.” HR. Imam Bukhari, dari Umar bin
Khaththab, dan :“Siapa saja yang memakmurkan mengelola sebidang tanah
yang tidak dimiliki seorangpun, maka dialah yang lebih berhak atas tanah tersebut. “” HR. Bukhari dari Aisyah r.a.
Kepemilikan tanah PP. Raudlatul Ulum masuk ke dalam kasifikasi pemilikan tanah karena membeli. Bukan hanya tanah yang kepemilikannya karena
dasar jual beli, tanah ihya ul mawat pun bisa untuk diwariskan jadi para penerus pesantren yang ada saat ini adalah ahli waris yang sah menurut hukum syariah
untuk menguasai tanah-tanah pondok pesantren yang dikelolanya.
Seperti dikemukakan di atas peraturan pertanahan yang dikeluarkan pemerintah baik pada zaman kolonial maupun pemerintahan Republik Indonesia,
termasuk yang menyangkut wakaf mesjid tidak menimbulkan konflik dengan dunia pesantren karena peraturan-peraturan yang dikeluarkan secara normatif
tidsk bertentangan dengan norma atau syariah agama Islam. Peraturan wakaf diambil dari aturan-aturan keagamaam yang kemudian diadopsi dan dilegalkan
oleh negara. Hanya saja, peraturan perwakafan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Bagi pemerintah penjajah Belanda, wakaf dijadikan sebagai
alat untuk mengontrol aktivitas masjid. Pemerintah penjajah Belanda lebih fokus pada aktivitas masjid sebagai bahan kontrol politiknya, sedangkan pemerintah
Orde Baru, memanfaatkan status wakaf masjid untuk membangun kelembagaan tandingan dari kelembagaan tradisional kyai, melalui pembentukan DKM sebagai
nazir yang menjadi bagian dari perangkat wakaf masjid.
Peraturan Wakaf dan pembentukan DKM dapat menjadi konflik non rasional antara pemerintah dengan masyarakat pesantren. Karena itu ada beberapa
masjid yang tidak dijadikan wakaf oleh pendiri dan penerusnya. Pelepasan hak tanah dari seseorang kepada badan wakaf dapat berdampak secara sosial maupun
ekonomi. konflik kepengurusan masjid dan wakaf dapat terjadi. Potensi pertama adalah seiring dengan pertumbuhan penduduk, semakin tinggi tingkat kebutuhan
tanah khususnya di daerah urban dan semakin tingginya aset ekonomi wakaf dan masjid. Sedangkan potensi yang ke dua adalah masjid merupakan suatu hal yang
sensitif dan menyulut emosi masyarakat. Tentu saja karena masjid memiliki tempat istimewa bagi Muslim, bernuansa sakral, spiritual keagamaan, serta ada
kultur sosial yang sudah terjalin yang mengukuhkan kedekatan emosional warga. Dalam bahasa lain, masjid memiliki ruang-ruang sosial dan spiritual social and
religious spheres, bukan hanya sekedar bangunan fisik
..
84
Konflik masalah perwakafan masjid umumnya terjadi pada masjid-masjid masyarakat di luar
pesantren. Cikal bakal konflik terjadi karena ruislag atau alih fungsi masjid karena Rencana Tata Ruang atau karena perselisihan pemahaman mengenai hak
atas tanah wakaf oleh Badan Wakaf yang mewakili negara dengan masyarakat yang merasa sebagai ahli waris dari pewakaf.
Sebagaimana diketahui bahwa posisi masjid dalam masyarakat pesantren adalah sangat penting.Masjid berfungsi sebagai pembentuk komunitas sekaligus
sebagai saluran modal sosial.Betapapun masjid memiliki arti strategis, namun PP. Sidogiri mentaati peraturan negara untuk melepaskan tanah masjid sebagai tanah
wakaf, demikian pula dengan pengelolaan masjidnya.Untuk PP. Sidogiri pelepasan hak atas masjid menjadi tanah wakaf dan dikelola oleh nadzir
pengelola otonomi wakaf, tidak mengurangi kemampuan ekonominya, justru penyerahan masjid kepada badan wakaf menunjukkan kekuatan kemandirian yang
84
Badan Wakaf Indonesia BWI 2011.