Metode Pengumpulan Data METODE PENELITIAN

IV. PESANTREN

Sejarah terbentuknya desa terutama di desa-desa Pulau Jawa pada masa kesultanan di samping oleh bangsawan dan petani sebagai cacah, juga terbentuk oleh tokoh agama yang disebut sebagai kyai dan para muridnya yang disebut para santri. Pada masa kesultanan Mataram Islam misalnya, para Kyai sengaja diminta untuk membuka hutan oleh pihak kesultanan. Bukaan hutan tersebut disamping untuk kepentingan politik kesultanan memperluas wilayah kekuasaannya, juga untuk memberikan apresiasi kepada Kyai yang berperan sebagai guru spiritual keluarga kerajaan. Pendirian desa melalui bukaan hutan menciptakan hak-hak ulayat tanah oleh Kyai sebagaimana yang dimiliki oleh para bangsawan. Asrohah 2004 dalam disertasinya mengemukakan bahwa seorang kyai 33 mendapat hak khusus sistem pertanahan yang disebut dengan tanah perdikan. Tanah-tanah tersebut dilepaskan dari kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. Bruinessen 2012 yang melakukan Kajian sejarah dan etnologis di Jawa mencatat bahwa ada 244 tanah perdikan yang secara eksplisit dipergunakan untuk pesantren dan ada lima desa pesantren didirikan pada masa kesultanan Yogyakarta-Surakarta di abad 18. Kekuasaan tokoh-tokoh agama kyai di bidang pertanahan secara eksplisit telah menjadi roda perekonomian pesantren dan juga desa pada masa itu terutama pada pada aktivitas pertanian Hanusn Ashrohah 2004 Pesantren dan Kyai menjadi dua hal yang saling mengait dan bersifat embeddedness. Pesantren adalah lambang permanen seorang kyai pada komunitas santri, juga dapat menjadi ikon suatu daerah. Pelekatan lambang santri dan ikon daerah pada pesantren menempatkan kyai pesantren menjadi pemimpin kharismatik, yang pamornya terkadang lebih tinggi dari pemimpin formal. Pada awal berdirinya pesantren merepresentasikan otoritas kyai sebagai guru bagi orang yang ingin meraih derajat akhlaq al Karimah budi pekerti luhur. Kyai memiliki otoritas yang sangat kuat bahkan dapat dikatakan sebagai otoritas tunggal di lingkungan pesantren. Kyai menjadi rujukan utama para santri dan masyarakat untuk menjalankan ajaran agama yang benar. Haningsih 2008, mengatakan bahwa fungsi pesantren dimaksudkan untuk changing and developing masyarakat. Di dalam pesantren Kyai memberikan nasihat, peringatan dan motivasi kepada masyarakat untuk bertindak sesuai dengan perintah-perintah Tuhan. Sekalipun pada awalnya peran kyai ditujukan untuk membimbing moralitas umat, pada perjalanan sejarah selanjutnya terlibat pula pada dinamika perubahan sosial-politik dan ekonomi., baik yang ada di desa maupun perkotaan Jajat Burhanudin 2012. Mereka dikukuhkan oleh tradisi sosial dan keyakinan budaya setempat sebagai penyambung keberjalanan fungsi agama yaitu sebagai pemberi makna hidup, pembentuk komunitas, pemberi pelayanan, pendorong perubahan sosial, serta pemelihara kohesi dan kontrol sosial Masyhuri 2005. Pada fase berikutnya mereka dikukuhkan oleh realita politik formal sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi massa dengan interpretasi serta pilihan politiknya. Secara ekonomi mereka dikukuhkan oleh realita ekonomi formal, 33 Kyai adalah istilah masyarakat Jawa untuk menyebutkan sesuatu yang dituakan, namun dalam pengertian ini Kyai adalah tokoh agama, bahkan lebih spesifik yaitu orang yang mengajarkan agama Islam dalam pondok-pondok pesantren. Para Kyai inilah yang secara jamak saat ini disebut sebagai Ulama. dimana mereka adalah kelompok orang yang dapat memobilisasi dan mendistribusi modal masyarakat. Posisi Ulama dalam masalah politik dan ekonomi menyebabkan mereka muncul sebagai kelompok elite di masyarakat. Clifford Geertz 1960 melihat pergeseran dan perubahan peran ulama Jawa Kyai dari fungsi perantara untuk mengkomunikasikan doktrin-doktrin Islam ke dalam keyakinan masyarakat menjadi fungsi perantara non- doktrin agama dengan istilah sebagai “pialang budaya” cultural broker suatu istilah yang kurang tepat namun terlanjur populer pada kajian-kajian sosial. Untuk bisa memahami pesantren, diperlukan pemahaman sejarah dan tradisi-tradisi yang membentuknya. Sebagaimana seseorang yang ingin memahami Alquran secara benar, maka yang bersangkutan juga harus mempelajari sejarah turunnya Alquran atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya Al Quran yaitu dengan Ilmu Asbab Al-Nuzul Ilmu tentang sebab- sebab turunnya Ayat Alquran. Dengan ilmu Asbab Al Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, sehingga syariat yang difirmankan Tuhan dapat dijaga dari kekeliruan pemahaman. Sejalan dengan pemikiran tersebut, untuk melihat sebuah transformasi yang terjadi di pesantren, pemahaman tentang kesejarahandan tradisi pesantren juga sangat diperlukan. Perspektif sejarah adalah untuk membantu memahami : mengapa suatu produk objektif dihasilkan dan dijalankan. Dengan demikian melalui pendekatan kesejarahan, dapat diketahui kapan, mengapa dan untuk apa tradisi-tradisi pesantren dilahirkan dan diamalkan oleh stake-holder pesantren.

4.1. Sejarah istilah Pesantren

Minimnya data tentang pesantren, baik berupa manuskrip atau artefak tentang awal sejarah pesantren, menjadikan keterangan-keterangan yang berkenaan dengannya sangat beragam. Asal usul dan kapan persisnya munculnya pesantren di Indonesia sendiri belum bisa diketahui dengan pasti. Namun demikian para peneliti, seperti Karel Steenbrink, Clifford Geerts dan lainnya sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia Ashrohah 2004. Martin Van Bruinessen 2012 menyatakan tidak mengetahui kapan istilah pesantren muncul untuk pertama kalinya. Sedangkan Pigeaud 1967 menyatakan bahwa pesantren sudah ada semenjak abad ke 16, ia juga menyangkal pendapat yang menyatakan, keberadaan pesantren seiring dengan keberadaan Islam di nusantara. Menurutnya pesantren muncul bukan sejak masa awal Islamisasi, tetapi baru sekitar abad ke-16 dan berkembang pada abad ke-19 M. Hal ini ditandai dengan ditemuinya guru dan ahli tasawuf yang mengajarkan agama Islam di masjid dan istana Pada abad ke-16 dan ke-17. Menurutnya kemungkinan pesantren berkembang dari tempat-tempat tersebut. Istilah pesantren ditemukan dalam karya-karya sastra klasik Nusantara, seperti dalam Serat Centini dan Serat Cebolek. Disamping itu istilah pondok pesantren juga dijumpai dalam dua naskah lama yang ditulis pada abad ke-16 dan ke-17 yakni pada naskah Wejangan Seh Bari dan Sejarah Banten. Pesantren diidentikkan dengan lembaga pendidikan agama Islam, padahal jika dilihat dari penamaannya, “pesantren” tidak dikenal dalam terminologi Islam. Dalam bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam kitab suci Al qur’an dan