Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri atas perilaku masyarakat yang cenderung kurang memperhatikan kaidah-kaidah syariah islam dibidang
mu’amalat padahal mereka adalah masyarakat muslim apalagi mereka sudah mulai terlanda praktik-praktik yang mengarah pada ekonomi ribawi yang dilarang
secara tegas oleh agama.
Para asatidz dan pengurus Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri yang mengetahui bahaya ekonomi ribawi terus berfikir dan berdiskusi
untuk mencari gagasan yang bisa menjawab permasalahan ummat tersebut. Akhirnya ditemukanlah gagasan untuk mendirikan usaha bersama yang mengarah
pada pendirian lembaga keuangan mikro syariah LKMS untuk menolong masyarakat bawah dari jeratan ekonomi ribawi serta mengangkat martabat
ekonominya yang masih dalam kelompok mikrokecil. Setelah didiskusikan dengan fihak luar pesantren yang faham dan ahli tentang bagaimana membangun
lembaga pembiayaan untuk masyarakat. Atas saran para ekonom syariah maka pada tahun 1997 terbentuklah lembaga keuangan dengan nama ”Koperasi Baitul
Mal wat Tamwil Maslahah Mursalah Lil Ummah” disingkat dengan koperasi BMT-MMU yang berkedudukan di Sidogiri, kecamatan Wonorejo Kabupaten
Pasuruan. Sejak didirikan 1997, Koperasi BMT MMU menunjukkan kemajuan yang signifikan baik dari segi aktiva aset, penerimaan kas omzet dan laba
bersihnya SHU. Unit pelayanannya tersebar di berbagai tempat di Jawa Timur. Sejak 25 September 2009 Koperasi BMT MMU Sidogiri diubah wilayah
keanggotaannya dari yang hanya mencakup kabupaten Pasuruan menjadi lingkup provinsi Jawa Timur. Seiring dengan itu sejak November 2013 Koperasi BMT
MMU Sidogiri berganti nama menjadi Koperasi BMT Maslahah Sidogiri.
Koperasi BMT Maslahah Sidogiri menerapkan simpan pinjam pola syari’ah, produk-produk yang dapat dimanfaatkan oleh para anggotanya terdiri
dari kegiatan menghimpun dana melalui Tabungan Syari’ah dan deposito Mudharabah Berjangka dan kegiatan peyaluran dana melalui Pembiayaan
Mudharabah Bagi Hasil,Pembiayaan Murabahah Jual Beli dengan menyatakan harga perolehan, Pembiayaan Musyarokah kerja sama modal usaha.Saat ini
BMT-MMU omzet bisnis syariah mencapai Rp. 42 miliar per tahun. Adapun jumlah nasabahnya mencapai 12 000 orang lebih. Unit layanannya pun
berkembang menjadi 12 unit yang tersebat di berbagai kecamatan di Pasuruan.
PP. Sidogiri sejak awal beerdirinya mempunyai tradisi mengirim alumni- alumninya untuk membantu mengajar di Madrasah diniyah di seluruh Indonesia,
dan yang terbanyak ada di Propinsi Jawa Timur. Program pengiriman alumni ini dikelola melalui program Urusan Guru Tugas UGT. Belajar dari keberhasilan
para asatidz Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Para guru dari Pondok Pesantren Sidogiri yang tergabung dalam program Urusan Guru Tugas
UGT yang berda di Pasuruan maupun yang di luar Pasuruan mendesak dan mendorong untuk didirikan koperasi yang wilayah kerjanya adalah provinsi Jawa
Timur. Maka pada tanggal 05 Rabiul Awal 1421 H juga bertepatan dengan bulan lahirnya Rasulullah SAW atau 22 Juni 2000 M diresmikan dan dibuka satu unit
Koperasi BMT UGT Sidogiri di Surabaya. BMT.UGT Sidogiri mendapatkan Badan Hukum Koperasi dari Kanwil Dinas Koperasi, PK dan M Propinsi Jawa
Timur dengan Surat Keputusan no: 09BHKWK13VII2000, tertanggal 22 Juli 2000 dengan nama Koperasi Usaha Gabungan Terpadu UGT Sidogiri dengan
Kantor pusat di Sidogiri Pasuruan. kegiatan BMT UGT Sidogiri sama dengan
BMT-MMU yaitu menghimpun dana melalui Tabungan Syari’ah dan deposito Mudharabah Berjangka dan kegiatan peyaluran dana melalui Pembiayaan
Mudharabah Bagi Hasil, Pembiayaan Murabahah Jual Beli dengan menyatakan harga perolehan, Pembiayaan Musyarokah kerja sama modal usaha. Saat ini
BMT UGT Sidogiri memilik 228 unit pelayanan yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, Bali, Riau dan Lampung. Pada RAT 2015, tercatat omset BMT UGT Sidogiri adalah sebesar Rp. 1 509 559 920 750 atau 1.5
Trilyun lebih. Jumlah SHU yang didistribusikan sebesar 77 231 666 146. Tujuh puluh Tujuh Milyar lebih, Lima persen diantarannya adalah untuk bantuan ke
PP.Sidogiri. Disamping itu BMT UGT mengeluarkan SHU untuk Jasa Pengurus dan pengawas sebesar 4 persen. Dewan pengawas diantaranya adalah kyai
pengasuh dan pengelola PP.Sidogiri.
7. 5.5. Peran dan Posisi Kyai di ruang Bisnis PP. Sidogiri Selama ini PP. Sidogiri difahami masyarakat sebagai sebuah organisasi
pesantren yang sangat besar baik dilihat dari aktivitasnya maupun dari sisi jumlah orang yang terlibat di dalamnya. Struktur PP.Sidogiri dibagi menjadi dua yaitu
struktur Internal dan struktur Eksternal. Struktur internal sepenuhnya ada dalam kelembagaan PP.Sidogiriyang dikelola oleh pengurus PP.Sidogiri, sedangkan
struktur eksternal dikelola oleh Pengurus Ikatan Alumni Sidogiri. Orang-orang yang ada di dua struktur itulah yang menamakan diri sebagai keluarga Besar
Sidogiri. keduanya terikat kepada kyai pengasuh sebagai pucuk hirarkisnya, sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.
Gambar 2. Pola Pengelolaan PP.Sidogiri Dalam hal ini hubungan antara keluarga besar Sidogiri dengan Kyai
pengasuh adalah hubungan Patron-client yang dibalut dengan tradisi ketakziman. Kyai bukan hanya sebagai orangtua dalam pengertian duniawiah, dimana kyai
menasihati, mengajarkan dan menyarankan langkah-langkah apa yang perlu dijalani oleh seorang anak agar bisa hidup mandiri, tetapi kyai berperan sebagai
guru untuk memperoleh keberkahan hidup. Disamping ada kyai pengasuh di PP. memiliki Majlis Syuro, yang diisi oleh “darah biru” keturunan pendiri
PP.Sidogiri. Keanggotaan seseorang di majlis Syura, bukan semata-mata
ditentukan oleh “darah“, tetapi juga ditentukan oleh tingkat kemampuan ilmu agamanya. Majlis Syuro, adalah majlis pertimbangan untuk kyai pengasuh.
Karena itu berbicara kyai di PP. Sidogiri bisa dimaknai secara kolektif.
Dari dua struktur yang diketahui bahwa keduanya mempunyai kegiatan- kegiatan yang berorientasi sosial dan yang berorientasi bisnis. Di struktur internal
terdapat dua aktivitas besar yaitu aktivitas pendidikan dan non pendidikan. Aktivitas pendidikan dibagi menjadi dua yaitu Madrasah dan Ma’hadiyah, kedua
jenjang pendidikan ini ditargetkan sebagai “cost centre”, yaitu pada suatu saat bebas dari pembiayaan, namun sampai saat ini untuk pendidikan tingkat madrasah
masih dipungut bayaran sebesar Rp.150 000 per tahun. Sedangkan untuk jenjang Ma’hadiyah sepenuhnya sudah menjadi cost centre. Untuk menopang kebutuhan
biaya pendidikan, pengurus PP.Sidogiri membuat aktivitas lainnya yang disebut aktivitas non pendidikan. Aktivitas non-pendidikan ini berorientasi “profit
centre” yang dibagi ke dalam sub-kegiatan keuangan dan non-keuangan. Untuk sub-kegiatan keuangan seperti koperasi, penerbitan, jasa pengelolaan zakat dan
shodaqoh. Sun-kegiatan non keuangan seperti balai pengobatan, ketertiban dan keamana. Untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat “profit centre”, kyai tidak
berperan dalam pelaksanaan teknis, Kegiatan bisnis diserahkan kepada pengelola. Pengelola mebuat jaringan dengan beberapa mitra untuk menjalankannya.
Sedangkan pada struktur eksternal yang dikelola oleh pengurus alumni Sidogiri terdapat empat kegiatan besar, yaitu : Pendidikan dan pelatihan, Ekonomi
dan bisnis, Bantuan Hukum dan dakwah sosial. Dari empat aktivitas besar yang ada kegiatan dakwah sosial berorientasi cost centre, selebihnya berorientasi profit
centre. Saat ini Kegiatan ekonomi dan bisnis merupakan kegiatan terbesar, yaitu adanya BMT Baitul Mal wa Tamwil baik yang dijalankan oleh Koperasi UGT
Sidogiri, maupun Koperasi BMT Maslahah Sidogiri.
Posisi kyai dalam aktivitas bisnis eksternal, secara operasionalteknis sangatlah sedikit, namun posisi kyai sebagai pusat ketakziman sangat menentukan
berkembangnya bisnis yang dikelola oleh alumni. Kyai berperan sebagai “personal guarantee” baik untuk kalangan internal maupun eksternal. Sebagian
alumni Sidogiri berinteraksi dengan bisnis PP.Sidogiri disamping karena kebutuhan juga dilandasi bahwa dengan cara tersebut hubungan patron-client
dengan kyai tetap terjaga. Gambaran tentang PP. Sidogiri dengan jejaring aktivitas social dan bisnisnya dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.Gambaran tentang
PP. Sidogiri dengan jejaring aktivitas sosial dan bisnisnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Organisasi Keluarga Besar PP.Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
BAB VIII. TRANSFORMASI SOSIO EKONOMI PESANTREN
Pada bab 4 sampai bab 7 telah diuraikan berbagai aspek tentang
pesantren. Pada bab 7 akan diuraikan, transformasi apa yang sebenarnya terjadi di pesantren dan bagaimana dampak transformasi itu bagi internal pesantren maupun
eksternalitasnya. Transformasi akan dijelaskan dari aspek struktural yang meliputi penjelasan tentang eksistensi ruang, fungsi ruang dan organisasi ruang. Berangkat
dari transformasi ruang tersebut selanjutnya dapat dijelaskan dinamika nilai-nilai yang mendukung eksistensi ruang tersebut. Selanjutnya dijelaskan bagaimana
ruang dan nilai kontemporer pesantren bersinggungan secara dinamis dengan sosio-ekonomi eksternal.
8.1. Perkembangan Ruang Ekonomi Pesantren Melalui Proses Katabolisme
Pentingnya ‘ruang” sebagai awalan starting untuk menjelaskan proses transformasi
118
pesantren, didasarkan pada asumsi bahwa “ruang” adalah wujud yang paling mudah dilihat perubahannya. Ruang-ruang menghasilkan struktur
yang diikuti oleh nilai-nilai yang menguatkan struktur tersebut. Ruang tidak bisa diartikan sebagai makna fisik belaka tetapi juga bermakna spirit. Ruang-ruang
yang terbentuk di lingkungan pesantren mewujudkan kehendak untuk “menunjukkan diri” a desire of self existence dan digunakan untuk
memproduksi output kepesantrenan baik yang bersifat fisik maupun nilai. Dengan kata lain, ruang-ruang yang ada di pesantren merupakan “locus of
production”
119
sekaligus cara untuk mengartikulasikan eksistensi pesantren. aktivitas pesantren secara umum adalah kegiatan yang dilakukan
sekelompok orang yang terdiri dari guru dan murid-muridnya untuk menjalankan proses belajar ilmu agama dan menjalan ibadah ritual khusus untuk mendapatkan
pengetahuan agama
yang memadai
dan mendapat
pengakuan dari
masyarakat.Komunitas dapat diartikan sebagai kelompok khusus dari orang- orang yang tinggal dalam wilayah tertentu, memiliki kebudayaan dan gaya hidup
yang sama, sadar sebagai satu kesatuan, dan dapat bertindak secara kolektif dalam
118
Dalam hal ini Transformasi diartikan sebagai sebuah proses perubahan secara berangsur-
angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari
bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipatgandakan. Laseau 1980 . Tranasformasi bisa bersifat a Tipologikal geometri
bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama, dengan tujuan.b gramatikal ornamental dilakukan dengan menggeser, memutar, crefersal
kebalikan pembalikan citra pada figur objek yang akan ditransformasi dimana citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya. Dam d distortion merancukan kebebasan perancang dalam
beraktifitas. Habraken, 1976. menguraikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi yaitu 1Kebutuhan identitas diri identification pada dasarnya orang ingin dikenal
dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan. 2Perubahan gaya hidup Life Style perubahan struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya
penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkuangannya, 3 Pengaruh teknologi. Maka transformasi dalam penelitian ini termasuk pada transformasi yang bersifat tipologikal
untuk tujuan identitas diri.
119
Istilah locus of production di gunakan oleh Hennri Levebre untuk mengkritik kapitalisme, bisa dilihat , Lefebvre, Henri. 1991. The Production of Space, trans. by Donald Nicholson-Smith
Oxford: Blackwell.
usaha mereka dalam mencapai tujuan.Dengan demikian Komunitas pesantren secara umum adalah kelompok khusus dari orang-orang yang tinggal di dalam
lingkungan pesantren atau orang-orang yang memiliki pandangan hidup keagamaan yang sama sebagaimana yang didapat dari pesantren, memiliki
tindakan –tindakan kolektivitas dan tujuan yang sama Anton M. Mulyono 2001.
Berangkat dari konsep di atas dapat ditelusuri proses transformasi ruang –ruang pesantren didasarkan pada pertumbuhan aktivitas yang dijalaninya, atau
interaksi yang dihadapinya. Aspek ruang menjadi salah satu indikasi yang dapat disorot dan dianalisa untuk menjelaskan sebuah realitas sosial di pesantren. Untuk
menjelaskan itu semua, ruang pesantren menjadi objek materiil yang cukup representatif untuk menjelaskan suatu kondisi sosial pesantren, yang dilihat dari
proses produksi ruang dan nilai yang terdapat dalamnya.George Simmel dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Space and On the Spatial Projections
of Sosial Formsmengemukakan bahwa ruang sosial dikonstruksi oleh wujud dan eksklusivitas, dimana kelompok itu menempatinya. Ruang merupakan subbagian
subdivided untuk maksud sosial dan yang dibingkai dalam batasan-batasan atau sekat-sekat boundaries. Berlawanan dengan pengertian batasan-batasan alamiah,
ruang sosial adalah bukan ruang dalam arti fisik melainkan sebuah fakta sosiologis dimana tersedia bentuk khusus untuk menampungpengalaman dan
interaksi. Selanjutnya Simmel membagi pendekatan konsep ruang sosial menjaditiga kategori. Pertama; ruang sosial dikembangkan dari asumsi dasar
interaksi non fisik dalam arti interaksi menggunakan simbol-simbol tertentu dalam dominasi kepentingan untuk mencapai tujuan.Kepentingan menjadi salah
satu elemen penting yang berfungsi sebagai sekat yang membatasi ruang satu dengan lainnya.Meskipun dibatasi oleh sekat, interaksi dapat berlangsung karena
adanya kesamaan unsur-unsur yang dipergunakan sebagai pengait untuk mengatakan kepentingan yang sama. Kedua; model interaksi tersebut merupakan
bentuk interaksi “alternatif” dari bentuk normatifnya karena adanya perilaku konformitas atas sebuah situasi tertentu—yang terpaksa masyarakat harus
meresponsnya ke dalam bentuk-bentuk konformitas. Ketiga; sebagaimana kelanjutan poin pertama dan kedua maka dimensi ruang membentuk
pengelompokan berdasarkan pada atribut-atribut tertentu berskala horizontal maupun vertikal.
Perkembangan ruang-ruang ekonomi pesantren selanjutnya saya sebut sebagai proses katabolisme
120
, yaitu proses pemecahan ruang-ruang yang ada di pesantren menjadi ruang baru tanpa menghilangkan ruang asal sebelumnya.
Sebagaimana katabolisme yang dimaksud dalam ilmu kimia, Katabolisme ruang sosio-ekonomi yang terjadi pada pesantren juga disebabkan oleh adanya reaksi
penguraian senyawa kompleks pesantren menjadi senyawa yang lebih sederhana ruang-ruang sosio ekonomi yang terbentuk lebih menunjukkan fungsi
120
Dalam ilmu kimia, Katabolisme adalah reaksi penguraian senyawa kompleks menjadi senyawa
yang lebih sederhana dengan bantuan enzim. Penguraian senyawa ini menghasilkan atau melepaskan energi berupa Adenosin Tripospat ATP yang biasa digunakaan organisme untuk
beraktivitas. Katabolisme mempunyai dua fungsi, yaitu menyediakan bahan baku untuk sintesis molekul lain, dan menyediakan energi kimia yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas sel.
ATP merupakan bahan kimia penting dalam metabolisme manusia yang telah disebut mata uang kimia karena sel-sel menggunakannya sebagai sumber energi langsung. membangun
molekul yang lebih besar dan menghasilkan gerakan Mc kee Trudy, 2003
spesifiknya dengan bantuan tradisi- tradisi yang dimilikinya. Tradisi-tradisi yang ada di pesantren menghasilkan atau melepaskan energi yang digunakaan
untuk menciptakan ruang-ruang aktivitas. Tradisi-tradisi
121
tersebut adalah, tradisi akulturatif yang membuat pesantren senantiasa terbuka pada kondisi
ataupun perubahan-perubahan yang ada di sekelilingnya. Selain itu Katabolisme dapat terjadi pada ruang-ruang pesantren karena adanya bahan baku moralita dari
tradisi keilmuan pesantren
122
yaitu Kontekstualisasi kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harfiyah tetapi menyentuh pemikiran yang lebih
dalam kepada makna moralitas secara sosial. kontekstualisasi kitab kuning melahirkan upaya menjabarkan ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kondisi yang
terus berubah, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Disamping itu berjalannya akulturasi dan pemaknaan kitab-kitab untuk melahirkan sesuatu yang
baru tidak terlepas oleh adanya kepatuhan pada putusan rasionalisasi kyai. Kepatuhan menjadi penting agar struktur yang dibangun ada pada satu arahan.
Tradisi-tradisi pesantren telah mampu menjadikannya sebagi penyedia energi yang dibutuhkan untuk membangun struktur-struktur baru yang menunjang
aktivitas peran sosial ekonominya.
Dengan menggunakan bagan katabolisme, perkembangan ruang-ruang pesantren dapat digambarkan, seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Katabolisme Ruang di Pesantren
121
Penjelasannya dapat dibaca pada bab 4. Sub.bab. 4.3. Tradisi-Tradisi di Lingkungan Persantren.
122
yang meliputi ilmu fiqih, sufistik, ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik adab yang didapat dari pembelajaran kitab kuning. Kitab kuning telah menjadi salah satu
sistem nilai dalam kehidupan pesantren
Masjid Rumah kyai
Majlis Taklim
Masjid Rumah
kyai Majlis
Taklim Madrasah
Masjid Rumah
kyai Majlis
Taklim Madrasah
Masjid Rumah kyai
Bisnis Internal
Masjid Majlis
Taklim Bisnis Internal
Madrasah Rumah kyai
Bisnis Eksternal
Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Dengan melihat bagan katabolisme di atas, perkembangan pesantren
yang pertama adalah Fase Rumah Kyai dan Masjid. Pendirian sebuah pesantren pada abad ke 18-19 umumnya ditandai dengan pendidirian sebuah masjid oleh
kyai. Fungsi masjid yang utama adalah tempat untuk menjalankan sholat berjamaah dan tempat untuk belajar ilmu-ilmu agama. Pada awal fase ini masjid
dibiayai oleh dana pribadi kyai. Setelah jamaah mulai terbentuk barulah masuk dana-dana masyarakat. Masjid menjadi ruang interaksi masyarakat melalui
kegiatan sholat berjamaah dan pengajian yang diselenggarakan per periode tertentu oleh kyai. Pada perkembangannya masjid menjadi ruang publik yang
menghimpun modal sosial dari masyarakat muslim setempat untuk kepentingan umat yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah agama.
123
Perkembangan kedua adalah Fase Masjid dan Majlis Taklim, Pada fase
ini masjid mengalami pemecahan katabolisme menghasilkan satu ruang baru yang disebut dengan majlis. Ada dua hal yang mendorong terjadi proses
katabolisme masjid. Pertama adalah adanya hukum yang memaksa dan kedua adalah adanya realitas sosial.
124
Majlis taklim membentuk suatu aturan-aturan main yang berbeda dengan aturan main yang ada di masjid pada umumnya. Di
Majlis taklim, kealiman dan kharisma kyai sebagai guru serta rasa hormat yang tinggi dari muridsantri memunculkan pola patron-client, selanjutnya ditambah
dengan penanaman pengetahuan yang bersuber dari kitab-kitab rujukan, hubungan patron-client ini dikenal sebagai tradisi kepatuhan ketakziman.
Pada perkembangan berikutnya majlis taklim berkembang mejadi dua jenis majlis taklim,yaitu majlis taklim kyai reguler yang dilakukan setiap hari atau
mingguan untuk santri mondok maupun santri kalong dan majlis kyai non reguler yang dilakukan optional seperti pada acara peringatan hari keagamaan. Majlis
reguler bersifat cost centre sedangkan majlis taklim non reguler dapat bersifat Cash in
125
. Hal ini dikarenakan mereka yang hadir pada majlis non reguler adalah
123
Selain sebagai tempat belajar agama dan tempat sholat, masjid berfungsi juga sebagai baitul mal, terutama untuk pengumpulan zakat fitrah. Pada proses koleksi dan distribusi zakat fitrah,
kyai berfungsi sebagai amilin zakat yang berhak atas seperdelapan dari zakat fitrah yang terkumpul. Penerimaan tersebut dikembalikan lagi oleh kyai untuk kegiatan masjid berupa
penyediaan kitab-kitab untuk belajar agama maupun untuk perawatan fisik masjid. Pada masa ini Kyai adalah tuan tanah di desa dan elite ekonomi desa yang mampu memenuhi kebutuhan
rumahtangganya sendiri. Pada fase ini masjid mengandung makna sebagai simbolisasi kemandirian dan kewibawaan kyai.
124
Dalam syariat Islam hukum Islam sebenarnya telah diatur, bahwa sebuah tempat yang digunakan untuk sholat jumat seharusnya berdiri di atas tanah wakaf. Ketentuan syariat ini
dimanfaatkan oleh hukum positif kolonial berupa ordonansi perwakafan,yang disisipkan pada Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361A termuat dalam Bijblad
No. 1253 tahun 1931tentang Toezict van de Regering opMohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs, yang mengatur tentang status kepemilikan tanah dan kegiatan
peribadatan di masjid. Dengan adanya ordonansi tersebut dimulailah penerapan pewakafan atas tanah-tanah masjid. Kehadiran majlis juga disebabkan oleh adanya realita sosial. Masyarakat
yang datang ke masjid terbagi menjadi dua, yang pertama adalah orang-orang yang datang ke masjid hanya untuk melaksanakan sholat saja, dan yang kedua adalah orang-orang yang ingin
belajar tentang agama lebih mendalam. Untuk proses belajar yang lebih intensif kelompok kedua membutuhkan ruang untuk memperdalam keilmuan keagamaan dan berinteraksi dengan
kyai secara khusus.
125
Yang dimaksud dengan majlis reguler, termasuk di dalamnya adalah kegiatan anak-anak belajar membaca Al quran yang diselenggarakan pada umumnya setiap hari di waktu antara bakda
sholat maghrib sampai waktu Isya. Pengajian ini dilakukan tanpa dipungut bayaran.
para-para tokoh masyarakat. Majlis taklim non reguler seringkali lebih berfungsi sebagai charging moralita sekelompok masyarakat tertentu daripada tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan agama. Logika fee of charging menjadikan Majlis non regular sebagai sumber pendanaan baru bagi pesantren. Pada kenyataannya
fee of charging ini mampu mengakumulasi uang yang tidak sedikit sehingga dapat berfungsi mensubsidi silang cross subsidy untuk majlis reguler yang diikuti
oleh para santri mondok dan santri kalong. Sumber pembiayaan pesantren modal sosial yang tadinya berhimpun di masjid berpindah ke majlis taklim.
126
Kehadiran majlis non reguler menciptkan pemisahan keuangan pesantren dengan keuangan masjid dapat dipisahkan, penyebabnya adalah pesantren telah memiliki
sumber pendanaan tersendiri. Pemasukan yang diterima di masjid menjadi harta masjid yang bersifat Masolih dan digunakan untuk kepentingan masjid, baik
untuk keperluan fisik masjid seperti karpet, penerangan masjid, pengeras suara bahkan makanan yang disajikan untuk para jama’ah jika diperlukan untuk
meramaikan masjid, dan lain-lain.
Perkembangan ketiga adalah Fase Masjid, Majlis dan Madrasah.
Kehadiran madrasah merupakan resultanta dari dua arus kekuatan. pertama madrasah yang selanjutnya disebut madarasah diniyah adalah produk negara
yang menginginkan ada pengaturan negara terhadap pelaksanaan pendidikan di lingkungan pesantren
127
. kedua, adanya kepentingan dan preferensi masyarakat, bahwa untuk memasuki lapangan pekerjaan dan melanjutkan pendidikan formal
memerlukan ijazah, dan sistem pendidikan madarasah diniyah dapat menjawab hal tersebut.
128
Ruang majlis taklim tidak dapat menjawab kedua tuntutan baik yang datang dari pemerintah maupun masyarakat. Madrasah hadir untuk merespon
keinginan politik pemerintah dan harapan sosial masyarakat. Kehadiran, madrasah secara ekonomi adalah perangkat untuk melegalkan masuknya pembiayaan
formal pendidikan ke dalam lingkungan pesantren. Majlis taklim reguler karena sifatnya yang non formal, mentabukan formalisasi biaya, sedangkan hadirnya
madrasah sebagai lembaga pendidikan formal dengan ukuran-ukuran pembiayaan yang dibutuhkannya merasionalisasi tuntutan kepada masyarakat untuk membayar
biaya pendidikan.
Fase berikutnya atau keempat dan kelima adalah Fase hadirnya Bisnis di Pesantren.
Jika melihat latar belakang dan misi kelahirannya, pesantren didirikan dengan moralita bukan untuk mengejar surplus dan akumulasi kepemilikan
pribadi. Di lain sisi pesantren ingin tetap konsisten mengandalkan people driven dan self sufficient dengan mengesampingkan bantuan-bantuan pemerintah atau
fihak lain yang tidak memiliki emosi pada tradisi pesantren. Ada dua paradigma di kalangan kyai-kyai terkait peran sosial pesantren, paradigma pertama pesantren
dipahami hanya sebagai tempat pembelajaran agama untuk mencetak ulama yang
126
Majlis non reguler, adalah kegiatan-kegiatan perayaan hari keagamaan, seperti perayan Maulid Nabi, Isra Mikraj, nisfu syaban, idhul qurban, idhul fitri. Pada umumnya pada perayaan hari-hari
keagamaan masyarakat ikut menyumbang untuk perayaan ini, melalui infaq dan shodaqoh.
127
Terbitnya SKB Surat Keputusan Bersama tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 0374
1975 dan Nomor 36 tahun 1975, tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah
128
Tuntutan masyarakat akan adanya ijazah, terkait ketertarikan lulusan pesantren untuk masuk dalam bursa kerja non keagaamaan, seperti menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta,
dimana bursa kerja ini mempersyaratkan ijazah sebagai syarat formal.
nantinya diterjunkan ke tengah masyarakat, sedangkan paradigma Kedua beranggapan bahwa pesantren merupakan lembaga yang pantas dan strategis untuk
pengembangan masyarakat
sekitar dalam
bidang ekonomi
dengan mengoptimalkan modal sosial dari dalam internal dan dari luar ekternal.
Hadirnya bisnis di lingkungan pesantren secara mendasar dan substantif dimungkinkan ketika pesantren memanfaatkan jaringan internal dan eksternal
yang dimiliki. Jaringan internal adalah jaringan diantara para santri aktif sedangkan jaringan eksternal adalah jaringan para alumni, peserta majlis non-
reguler serta fihak-fihak yang membangun hubunbgan emosional dengan pesantren. Dari situ pesantren dapat membuat berbagai aktivitas sosial maupun
ekonomi. Aktivitas internal berupa konsolidasi dan koordinasi ke dalam dengan membangun solidaritas dan komitmen, sedang aktivitas eksternal berupa usaha-
usaha pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat. Kedua kegiatan tersebut adalah langkah pesantren membangun kemandiriannya dalam bidang ekonomi.
Pesantren mengoptimalkan modal sosial dari dalam internal dan dari luar ekternal
129
.. Bentuk konkret dari modal sosial di lingkungan pesantren adalah munculnya ruang-ruang baru yang secara tradisi sebelumnya tidak pernah ada
seperti Koperasi dan lembaga keuangan dan usaha-usaha bisnis lainnya. Keberaadaan koperasi di pesantren dapat dilihat sebagai terobosan
pimpinan pondok kyai untuk memfasilitasi dan mengkoordinasi modal sosial internal yang dimilikinya sedangkan kehadiran lembaga keuangan semacan BMT
Baitul Mal wa Tamwil terkait dengan isu pengelolaan dana komunitas pesantren. BMT merupakan solusi ketika dana komunitas pesantren tidak dapat
diserahkan kepada lembaga-lembaga keuangan bank-bank umum atau perusahaan asuransi jiwa umum yang menawarkan jasa pengelolaan keuangan. Bank
konvensional atau perusahaan asuransi menjadi tidak populer di kalangan masyarakat pesantren karena terbentur kepada syariat Islam yang mengharamkan
kedua lembaga tersebut, karena termasuk lembaga ribawi dan perjudian.
Dari uraian di atas maka transformasi ruang-ruang pesantren dapat dibagi menjadi 5 fase. Sebagaimana tergambar pada Gambar 5.
129
Modal sosial di sini diartikan sebagai bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang terkoordinasi, serta kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat.
Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.