di dunia maupun di akherat. Juga pada kenyataannya di masyarakat dapat dilihat, bagi orang yang memiliki iman dan ilmu akan lebih sejahtera hidupnya di dunia
ini bila dibandingkan dengan orang-orangmasyarakat lain yang tidak memiliki iman dan ilmu Abid Rahman. 2013. Kebanyakan golongan ini kritis terhadap
lingkungannya dan mereka mampu mengalami transendesi yang berfikir melampaui kepentingan kelasnya. Kaum intelektual termasuk ulama, mereka
adalah kaum intelegensia tradisional yang tampil untuk mewarisi misi para nabi dan filsuf.
2.9 Kerangka Pemikiran
Penelitian “Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren: Konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan Struktur Lembaga Tradisional”, didasarkan
pada konsepsi dinamika perubahan sosial, dimana pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan seperti juga institusi sosial lainnya terus menerus
bersinggungan dengan dinamika perubahan sosial yang kompleks. Persoalan- persoalan struktural maupun kultural yang dikaitkan dengan politik dan
kebudayaan telah sangat lama bersinggungan dengan dunia pesantren. Kompleksitas kebersinggungan tersebut membentuk jejaring sosial yang luas,
yang melibatkan berbagai aktor, isu-isu dan kepentingan yang diusung, sehingga interaksi sosial yang dihadapi pesantren tidak lagi sesederhana seperti pada saat
pesantren mulai tumbuh pada awal abad 18.
Pada tataran politik Pesantren telah mengalami masa-masa dimana kekuasaan negara membayangi dirinya, yaitu pada masa kesultanan, masa
kolonial sampai pada masa pasca kemerdekaan dan di zaman orde baru. Pesantren telah “kenyang” dihadapkan pada politik kekuasaan yang memaksa. Saat ini,
seiring era demokratisasi, adab politik telah bergeser kepada politik “wacana” yang melihat pesantren tidak hanya sebagai obyek politik tetapi sebagai bagian
kolaborasi struktur politik yang memadukan transaksi dan idealisme. Dalam hal kebersinggungannya dengan politik, secara hipotetik pesantren dapat saja bersifat
akomodatif, kolaboratif, mandiri atau bahkan bersifat berlawanan dengan aktor dan lembaga politik yang ada.
Pada tataran sosial, pesantren pernah mengalami kejayaan sebagai satu- satunya lembaga pendidikan islam, khususnya pada masa pra politik etis kolonial.
Pesantren merupakan produsen yang menghasilkan elite muslim yang disebut dengan kelompok kaum atau “kauman”
27
yang terdiri dari kyai dan santri. Penyelenggara pesantren dan alumninya menjadi kelompok elite sosial di luar
ambtenaar atau priyayi.Saat ini, termasuk bagi masyarakat muslim, pesantren bukan lagi preferensi monolotikum dunia pendidikan Islam. Tawaran pendidikan
agamis non pesantren tumbuh berkembang. Modernisasi pendidikan yang menawarkan fasilitas, methoda dan orientasi output pendidikan menjadi
komplemen
pendidikan pesantren.
Sama halnya
dengan kasus
27
Penulis menyebut kelompok elite muslimmasyarakat islam dengan sebutan kelompok “ kaum”. Di daerah Jawa, kawasan yang di dalamnya ada masjid biasa disebut dengan “kauman” dan
orang-orang yang tinggal di sekitarnya disebut wong kaum, yaitu orang-orang yang taat memakmurkan masjid, disamping ada kyai sebagai pimpinan masjid, juga terdapat murid-murid
yang belajar mengaji di sana yang disebut para santri. Hal ini membedakan dengan istilah santri yang dikemukakan oleh Clifford Geertz.
kebersinggungannya dengan politik, dalam hal sosial terutama dalam prinsip kependidikan, pesantren dapat saja bersifat akomodatif, kolaboratif, mandiri atau
bahkan bersifat berlawanan dalam hal tersebut.
Sifat–sifat yang dapat muncul sebagai respon kebersinggungan pesantren dengan perubahan sosial, sangat dipengaruhi oleh aktor kunci pesantren yang
biasa disebut kyai, yaitu ulama pemimpin pondok pesantren. Kyai bukan hanya reepresentasi sikap pesantren dalam berinteraksi sosial, namun juga menentukan
bentuk konkret pesantren saat ini baik dari sifat relasi sosialnya maupun ruang- ruang sosial yang terbentuk.
Pada awal mula berdirinya, ruang-ruang fisik pesantren adalah Masjid, Majlis dan Rumah Kyai.Dari aktivitas pada ruang fisik itulah ruang-ruang sosial
pesantren terbentuk. Ketiga ruang tersebut adalah unsur-unsur dari senyawa untuk pembentukan komunitas sekaligus membentuk intelektualitas religius
masyarakat. Keberadaan ketiganya yang ditopang oleh modal sosial setempat membuat pesantren dapat menjalankan fungsinya. Pesantren tidak memerlukan
surplus atau akumulasi kapital karena digerakan oleh people driven masyarakat desa yang berorientasi self sufficient. Namun saat ini, tidak semua pesantren
memiliki ruang fisik yang lengkap, terutama dengan lepasnya struktur formal masjid sebagai komponen pesantren dari otoritas kyai. Lepasnya unsur masjid dari
pesantren mengubah konstelasi pengelolaan dan sumber pembiayaan pesantren. Pesantren harus menciptakan ruang baru penghasil modal untuk menggerakan
dirinya. Ruang-ruang yang dimilikinya selama ini dianggap perlu untuk direkonstruksi. Pekonstruksi tersebut menyangkut struktur maupun nilai-nilai
yang selama ini digunakan. Pendekatan selama ini yang berrsifat self sufficient dan pragmatikvis a vis dengan pendekatan kapitalis yang progresif. Pada kondisi
ini ruang-ruang sosial pesantren memasuki kontemplasi menjadi ruang-ruang ekonomi. Wacana perubahan ruang pesantren menghadapkan kyai pada
keputusan-keputusan rasional rasionalisasi yang harus diambilnya. Kontemplasi pengalaman empirik, preferensi sosial dan pengetahuan dogmatik adalah unsur-
unsur yang menyertakan dalam pilihan-pilihan tindakan. Untuk menyelamatkan pesantren kyai dapat saja memilih satu dari ketiga unsur tadi, memadukannya atau
menghasilkan unsur lain yang lebih bisa menjadi alasan rasional yang kuat apabila pilihan perubahan ruang harus terjadi.
Pada kenyataannya saat ini, perubahan ruang–ruang pesantren telah terjadi, setiap unsur ruang tidak hanya menciptakan komunitas dan intelektualitas
tetapi juga menciptakan nilai-nilai ekonomis yang terukur secara material. Terdapat varian struktur ruang dan nilai-nilai yang mengendalikannya, varian itu
merepresentasikan aliran progresif dan aliran konservatif. Masing-masing varian mempunyai rasionalisasi dalam memutuskan bentuk struktur dan nilai-nilai ruang-
ruang yang dimilikinya. Jika ditarik garis ke belakang, maka akan terungkap bahwa pembentukan struktur dan nilai mempunyai trajectory yang panjang.
Sebagaimana diungkapkan pada bab pendahuluan bahwa ruang-ruang ekonomi pesantren merupakan reproduksi ruang eksternal yang dikonstruksi oleh Kyai dari
kebersinggungannya dengan dinamika sosial, ekonomi politik yang terjadi dari waktu ke waktu. Ulama tidak hanya mampu memelihara tradisi pesantren yang
ada, tetapi melakukan peran dalam merasionalisasi dan mengkonstruksi ruang- ruang sosial menjadi ruang ekonomi pesantren. Tinggal perlu dilihat bagaimana
konstruksi perubahan tersebut berdampak kepada masyarakat di luar pesantren.