Kelas Menengah pada Era kolonial,Bangkitnya Kesadaran Masyarakat Pesantren
mewujudkan stabilitas nasional sebagai syarat mutlak bagi berhasilnya pelaksanaan Repelita pada khususnya dan pembangunan jangka panjang pada
umumnya. lembaga ini merupakan jantung kekuasaan Orde Baru yang mengkoordinasi sejumlah badan intelejen, mulai dari Bakin sampai dengan
intelejen dalam setiap bagian ABRI. bahkan pada kasus-kasus yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi, Kopkamtib dapat menerobos
wewenang departemen sipil, bahkan wewenang ABRI sekalipun. Dengan memperkerjakan personel militer tepercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang
bertujuan politik dalam artian luas dan luar biasa. Luasnya kekuasaan Kopkamtib, sehingga dapat memasuki ruang-ruang pesantren sesuai Keppres No.471978
mempunyai 4 fungsi utama: 1 Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan dalam pemeliharaan stabilitas keamanan dan ketertiban nasional. 2 Mencegah
kegiatan dan menumpas sisa-sisa G30SPKI, subversi dan golongan ekstrem lainnya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat yang
membahayakan keselamatan dan keutuhan negara, bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 3 Mencegah pengaruh moral dan mental yang di
timbulkan oleh peristiwa G 30 S PKI dan aliran kebudayaan lainnya yang bertentangan dengan moral, mental dan kebudayaan berdasarkan Pancasila. 4
Membimbing masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dan ikut bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban.
60
Sekalipun tidak secara eksplisit menempatkan komunis sebagai musuh pemerintah, Orde Baru
menempatkan gerakan Islam sebagai bagian dari ektrim lainnya yang mengancam keamanan dan ketertiban fungsi 2.
Dampak dari kebijakan dibentuknya Kopkamtib adalah banyaknya aktivis gerakan Islam dari berbagai kelompok ditangkapi oleh aparat keamanan
negara. Sulit menemukan data pasti berapa jumlah aktifis Komando Jihad yang dilakukan proses hukum Kopkamtib melalui Laksuda dan Taperda. Sebagai
gambaran, dalam versi laporan Majalah Tempo pada tanggal 14 November 1981 tercatat bahwa terdakwa mencapai 27 orang di Jawa Timur, tahanan di Jawa Barat
mencapai 80 orang dan yang kemudian masuk persidangan 28 orang, 100 orang di Jakarta, dan di Sumatera Utara berjumlah 92.
61
Sementara itu dalam Dokumen Konwilham II Staff Terr Jawa Timur tercatat 306 orang pernah ditahan dan
diperiksa dalam perkara Komji, 175 orang dibebaskan kembali, dan 51 orang akan diteruskan perkaranya ke pengadilan, serta 80 orang sedang diproses. Adapun
perincian jumlah tahanan yang akan diajukan ke pengadilan ini adalah: Jakarta Raya, 114 orang; Jawa Barat, 85 orang; Jawa TengahDIY, 35 orang; Jawa Timur,
75 orang keadaan per 9 Juni 1979
62
. Mereka yang ditangkap diantaranya adalah para kyai pondok pesantren, pengurus Nahdlatul Ulama dan anggota partai politik
Islam PPP, kalangan akademik serta para aktivis swadaya masyarakat lainnya. Bagi dunia pondok pesantren salafiyah, sekalipun suasana teror dari
operasi-operasi kopkamtib telah memasuki lingkungan mereka, namun secara umum tidak mempengaruhi kegiatan yang ada. Pondok-pondok tetap melakukan
60
Keppres No.471978 tentang Kopkamtib.
61
Tempo, 14 November 1981, “Bertanya-tanya tentang Jumlah Korban Komando Jihad”.
62
Sumber: Laporan Penelitian Komando Jihad Pusham UII, Mohammad Busjro Muqoddas Khudzaifah Dimyati Kelik Wardiono, Radikalisme Islam dan Peradilan: Pengakomodasian Hak-
Asasi Manusia dalam Proses Peradilan Komando Jihad di Indonesia, JURNAL HUKUM NO. 4 VOL. 18 OKTOBER 2011: 467 - 484
pengajaran sebagaimana umumnya, hanya saja mereka harus mau menerima kenyataan bahwa dalam pengajian yang mereka lakukan, bisa saja di dalamnya
dihadiri oleh aparat intelejen. Kyai Dimyati dari pondok Cidahu justru memanfaatkan kehadiran para intelejen ini sebagai penyambung lidah untuk
menyampaikan kepada pemerintah bahwa pesantren Roudaltul Ulum dengan ajaran tarikatnya, bukanlah sebagai pesantren yang berorientasi politik. Ajaran
tarikat Qadariyah wa Naqsabandiyyah berorientasi kepada pembangunan budi pekerti yang jauh dari kekerasan. Sampai akhir hayatnya sekalipun tidak
menunjukkan keberfihakan pada kekuasaan Orde Baru, tidak juga menunjukkan sikap oposan terhadap pemerintah, belakangan justru penguasa yang cenderung
mendekat kepada beliau.
Sikap yang sama juga ditunjukkan ole PP. Sidogiri. Operasi represif yang dilakukan oleh kopkamtib, diakui keberadaannya tetapi tidak dijadikan
penghalang untuk terus menjalankan kegiatan pesantren. PP. Sidogiri cenderung memberikan signal dukungan terhadap ideologi Pancasila. KH. Hasani salah satu
Kyai PP.Sidogiri bahkan mengatakan bahwa Kemanunggalan sila pertama Pancasila dengan akidah Islam berujung pada kesimpulan bahwa sila tersebut
mengandung dua unsur pokok. Pertama kepercayaan akan eksistensi Tuhan i’tirafal- uluhiyah. Kedua kepercayaan akan keesaan Tuhan i’tiraf al
wahdaniyah. Dengan unsur pertama, dasar negara tersebut menolak komunisme- atheisme, sedang unsur kedua menolak akidah agama selain Islam. PP. Sidogiri
bersikap moderat terhadap Pancasila namun tidak mau menjadi komprador Orde Baru dalam mensosialisasikan pancasila sebagai azas tunggal. Sikap ini
dibuktikan dengan tidak mau menerima tamu-tamu politik, bantuan-bantuan pemerintah dan tetap menjaga jarak dengan kekuasaan dan politik. Sikap tersebut
dipertahankan hingga saat ini.
Sikap tidak konfrontatif namun juga tidak kooperatif yang ditunjukkan oleh Kyai Dimyati di PP. Roudatul Ulum maupun para Kyai di PP.Sidogiri. Kyai
Dimyati melarang murid-muridnya menjadi Golongan Putih Golput pada pemilihan umum pemilu tahun 1977 dan pada pemilu-pemilu berikutnya di
zaman Orde Baru. Sikapnya yang tidak menentang pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintah Orde Baru disikapi oleh murid-muridnya sebagai ijin beliau
untuk memilih partai pemerintah yaitu Golkar. Sehingga sejak tahun 1977 Banten menjadi daerah basis Golkar. Ketika Golkar membentuk satuan karya satkar
Ulama, dimana Kyai Dimyati diminta untuk ada di dalamnya, namun beliau secara halus menolaknya.
Sikap para kyai dengang kebersinggungannya dengan dinamika politik dipengaruhi oleh cara berpikir sufisme Al Ghazali dan kaidah kaidah fiqih
Syafii.
63
Sebagaimana di kemukakan pada bab V Buku Al Ghazali seperti kitab Ihya ulumudin adalah referensi utama pengajaran di pesantren-pesantren
salafiyah. Al Ghazali mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di
sisi lain. Demikian dengan Ilmu ushul fiqh yang dikembangkan oleh Imam syafii
64
. Ushul fiqh adalah ilmu utama pembelajaran di pesantren yaitu
63
Dalam praktiknya fiqih membagi perbuatan manusia ke dalam lima kategori yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
64
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang terdapat kitab-kitab lain yang dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya adalah: Al-Musnad, berisi sanad Imam
metodologi yang mampu meringkas begitu banyak teks yang memiliki konsekuensi hukum yang sama menjadi sebuah formula yang sederhana. Ilmu ini
dipelajari dan digunakan para ulama untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syariah. Ilmu ushul fiqh sudah digunakan sejak abad ke 2 Hijriah atau
sekitar abad 8 Masehi ilmu ini dikenal sebagai ilmu untuk menyederhanakan masalah yang pelik menjadi mudah.
Perpaduan sufisme al Ghazali dan Fiqih syafii inilah yang diamalkan ahli sunnah wal jamaah suni ala Indonesia khususnya para nahdliyin. Perpaduan
ini menjadikan Politik sebagai ruang pilihan tindakan. Kyai-kyai pesantren adalah orang-orang yang menempatkan sebagai pendekar Ahli Sunnah wal
jamaah suni. Yurisprudensi klasik politik suni yang berkembang sejak abad pertengahan direpresentasikan oleh kyai pesantren dalam menyikapi politik ke
dalam tiga kategori utama : kebijakan, keluwesan dan moderatisme, ketiga kategori ini saling berkaitan dan dalam tingkatan yang berbeda didasarkan pada
prinsip-prinsip fiqih Ali Haidar 1994. Lebih konkret ketiga kategori tersebut diturunkan menjadi tiga kaidah berikut: 1 Dar al mafasid muqadam ala jalb al
masahalih menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan, 2 bila dihadapkan pada dua bahaya atau lebih, pilih salah satu yang resikonya
paling kecil kadang disebut juga dengan istilah akhaffud- dararain pilih kesalahan yang dosanya lebih ringan. 3 bahaya tidak boleh dihilangkan dengan
bahaya lain Ahmad Sidiq. 1969.
6.1.2.1. Persahabatan setengah jalan Melakukan tekanan dan depolitisasi terhadap Islam ternyata terus
menerus menuai masalah dalam perjalanan sejarah politik Orde Baru. Implementsi dari politik agama pemerintah Orde Baru adalah mendorong
terwujudnya suatu religious order orde religius di antara agama-agama di Indonesia. Dalam kerangka ini pemerintah Orde Baru bermaksud mendorong
terwujudnya kerukunan dan toleransi beragama di Indonesia. Melalui langkah- langkah ini pemerintah Orde Baru mengharapkan partisipasi aktif dari tokoh-
tokoh dan pemimpin agama dalam rangka mewujudkan dialog dan kerukunan antar umat beragama demi terwujudnya integrasi nasional M. Syafii Anwar
1995.
Sejak saat itu kebijaksanaan politik Orde Baru menjadikan agama sebagai faktor integratif dan tidak menghendaki agama menjadi sumber konflik
dan disintegrasi nasional. Kebijakan ini sebenarnya cukup realistis, karena dalam
Syafi’i dalam hadishadis Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam Syafi’i, Khilāfu Mālik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik gurunya, Al-
Radd ‘Alā Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaanya terhadap mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah, Al-khilāfu Ali wa Ibn Mas’ud, yaitu
kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama irak dengan Ali Abi Thalib dan Abdullah Bin Mas’ud, Sair al-Auza’i, berisi pembelaanya atas Imam al-
Auza’i dari serangan Abu Yusuf, Ikhtilāf al-Hadīts, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi’i atas hadis-hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang tercetak
sendiri, Jimā’ al-‘Ilmi, berisi pembelaan Imam Syafi’i tehadap sunnah Nabi SAW. Penjelasan tentang hal ini bisa dilihat di : Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa
Fikruhu arāuhu wa Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Utsman, “Imam al-Syafii Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera
Basritama, 2005,
realitas sosial-politik, konflik dengan warna agama seperti banyak terjadi di berbagai negara seringkali membawa resiko tinggi dan bisa membawa
malapetaka bangsa. Implementsi dari politik agama pemerintah Orde Baru adalah mendorong terwujudnya suatu religious order orde religius di antara agama-
agama di Indonesia. Dalam kerangka ini pemerintah Orde Baru bermaksud mendorong terwujudnya kerukunan dan toleransi beragama di Indonesia. Melalui
langkah-langkah ini pemerintah Orde Baru mengharapkan partisipasi aktif dari tokoh-tokoh dan pemimpin agama dalam rangka mewujudkan dialog dan
kerukunan antar umat beragama demi terwujudnya integrasi nasional.
Menjelang di berlakukannya asas tunggal, semula umat islam banyak yang cemas karena UU no 8 1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas
tunggal yang berarti dilarang mencantumkan asas lain sebagai ciri khas atau identitas sendiri. Akibatnya, partai Islam dan Organisasi kemasyarakatan Islam
harus menghapus asas islamnya dan menjadi organisasi nasional tanpa mencantumkan azas Ilam. Sementara sikap NU sejak dini bisa menerima
pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan dalam muhammadiyah lebih berhati- hati dalam menerima asas tunggal tersebut.
Sesudah asas tunggal diterima oleh umat islam, umat islam mulai berjuang untuk mengatasi berbagai macam masalah, seperti pelaksanaan hukum
islam RUU perkawinan yang bagi umat Islam dianggap bertentangan dengan syariah Islam. Umat Islam juga menuntut pemerintah memberi perhatian potensi
ekonomi umat Islam. Untuk masalah ekonomi pemerintah Orde Baru membuat BAZIS badan amil zakat infaq shodaqoh Selanjutnya berdiri lah bank islam
pertama tanpa bunga, yakni bank Muamalat. Pemerintah juga mengijinkan masyarakat mendirikan koperasi-koperasi umat dan bank perkreditan rakyat,
seperti NU mendirikan bank Nusuma dan Muhammadiyah mendirikan bank Matahari.
Untuk kalangan Islam Soeharto mulai merubah arah dan strategi politiknya dengan cara menarik simpati ummat Islam melalui pendekatan agama.
Presiden Soeharto menyadari hampir semua kekuatan sosial-politik di negara, untuk memperoleh legitimasi bagi eksistensinya, harus menunjukkan kedekatan
pada atau paling tidak simpatinya bagi Islam. Di era pertengahan yaitu antara tahun 1985 sampai 1995, Orde Baru memberi peluang terhadap perkembangan
masyarakat Islam dan cenderung mulai condong pada pembangunan bidang keislaman. Para pengamat dunia Islam, seperti Fazlur Rahman, John Esposito dan
Bruce Lawrence sewaktu berkunjung ke Indonesia menemukan bahwa kebangkitan Islam di Indonesia yang cukup progresif sejak era 1980-an itu
ditandai tumbuhnya semangat keislaman, maraknya syiar Islam dan hadirnya berbagai aliran pemikiran, khususnya di kampus-kampus M. Amin Rais 1983.
Selain itu, UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi kebijakan Orde Baru yang akomodatif bagi kalangan Islam. UU ini
mengakui pendidikan agama sebagai sub-sistem dari pendidikan nasional. Mata pelajaran agama juga menjadi mata pelajaran yang wajib di sekolah-sekolah
umum. Selain itu, UU ini juga menjamin eksistensi lembaga pendidikan seperti MI, MTs, MA dan lainnya. Akan tetapi, langkah ini selain dipandang akomodatif,
dipandang sebagai langkah politik Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya Suharto 2013. Di sinilah konsep hegemoni Gramsci bermain,
yaitu melalui upaya penyeragaman pemahaman kelompok Islam dalam