Tindakan Rasional, Rasionalisasi dan Struktur

seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Nilai sosial juga memiliki beberapa ciri-ciri di antaranya adalah sebagai berikut : 1 Merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat.2 Disebarkan diantara warga masyarakat bukan bawaan lahir.3Terbentuk melalui sosialisasi proses belajar. 4 Merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia. 5 Bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain. 6 Dapat mempengaruhi pengembangan diri sosial. 7 Memiliki pengaruh yang berbeda antarwarga masyarakat. 8 Cenderung berkaitan satu sama lain dan membentuk sistem nilai. Mengutip kembali teori strukturasi Giddens 2011 yang menjelaskan bahwa struktur tidak disamakan dengan kekangan constraint namun selalu mengekang constraining dan membebaskan enabling, karenanya manusia diberi kesempatan untuk melakukan tindakan secara sengaja guna menyelesaikan tujuan-tujuan mereka. Manusia menurut teori ini adalah “agen pelaku bertujuan” yang memiliki alasan-alasan atas aktivitasnya yang dilakukan secara berulang- ulang. Sebelum Giddens, Weber lebih dahulu mengemukakan proposisi tentang individu dan sosial yang disebutnya sebagai teori kebebasan Individu. Menurut Weber, proposisi Individu dan sosial adalah : pertama, Struktur sosial yang ada bersifat probabilistik bukan sebagai suatu empirik, yang terlepas dari individu- individu. Kedua bahwa kenyataan sosial merupakan sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosialnya. Ketiga, individu dan tindakannya dijadikan acuan dasar untuk digunakan dalam membedakan tipe-tipe struktur sosial dan memahami arah perubahan sosial, termasuk di dalamnya adalah adanya perubahan-perubahan nilai yang didorong oleh cara berpikir individu Johnson, Doyle. P 1986. Adapun yang termasuk didalam nilai-nilai adalah mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusiadan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, karena itu nilai ini juga mencakup nilai-nilai Ilahiyah ke-Tuhanan dan nilai-nilaiinsaniyahkemanusiaan. Pembagian nilai didasarkan atas sifat nilai itu dapat dibagi ke dalam 1 nilai-nilai subjektif, 2 nilai-nilai objektif rasional, dan 3 nilai-nilai objektif metafisik. Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan reaksi subjek terhadap objek, hal ini sangat tergantung kepada masing-masing pengalaman subjek tersebut. Nilai subjektif rasional logis adalah nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang dapat diketahui melaluiakal sehat, seperti nilai kemerdekaan, setiap orang memiliki hak untuk merdeka, nilai kesehatan, nilai keselamatan badan dan jiwa, nilai perdamaian dan sebagainya, sedangkan nilai yang bersifat objektif metafisik adalah nilai-nilai yang mampu menyusun kenyataan objektif, seperti nilai-nilai agama. Satjono 2005 Secara filsafati nilai-nilai terbentuk melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan progresif, pendekatan esensial, pendekatan perenial dan pendekatan konstruksi. Poedjawijatna 2002 Pendekatan yang pertama adalah Progresivisme , menurut faham progresif bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan. Manusia menciptakan nilai-nilai baru sebagai antisipasi tekanan-tekanan yang dihadapinya. Pandangan-pandangan progresivisme dianggap sebagai the liberal road to culture, dalam arti fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Liberal dalam arti lainnya ialah bahwa pribadi-pribadi penganutnya tidak hanya memegang sikap bertahan pada kondisi yang lama melainkan juga selalu bersifat penjelajah, peneliti secara kontinue demi pengembangan pengalaman. Progresivisme sering juga dikaitkan dengan cara berpikir positive and remedial, yaitu suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subjek yang memiliki potensi-potensi alamiah, terutama kekuatan self-regenerative untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidupnya. Dalam pandangan progresivisme secara aksiologis, nilai-nial values itu menjadi benar atau tidak benar, baik atau buruk apabila menunjukkan persesuaian dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan. Pendekatan kedua adalah Esensialisme, yang sering juga disebut sebagai “conservative road to culture” yaitu faham yang ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti kebaikannya bagi kehidupan manusia. menurut pandangan esensialisme adalah struktur sosial haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Pendekatan Ketiga adalah Perenialisme yang muncul sebagai suatu reaksi terhadap cara-cara progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik. Pendekatan keempat adalah Rekonstruksianisme. Rekonstruksianisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat aliran baru yang ekstrim. Rekonstruksianisme merupakan upaya untuk merombak tata susunan kehidupan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran Progresivis.

2.6 Transformasi dan Perubahan Sosial

Teori-teori tentang nilai-nilai Transformasi dan perubahan sosial yang dibahas pada sub bab 2.5. digunakan sebagai acuan teoritik tujuan 5 penelitian dan kegunaan 5 penelitian yaitu, Menganalisis dan mengkonstruksi dampak struktur dan nilai-nilai yang ada pada ruang-ruang ekonomi pesantren terhadap masyarakat di sekelilingnya,dengan tujuan tersebut didapatkan konstruksi peran ekonomi Pesantren untuk masyarakat. Menurut Weber 2012 bahwa individu secara subjektif akan selalu berpikir tentang dunia kontekstualnya. Individu dalam masyarakat pra industri ditandai oleh keterikatannnya dengan tradisi, sementara pada masyarakat industrial diikat oleh rasionalitas. Tipe ideal masyarakat tradisional adalah ketika nilai serta kepercayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi masih tetap dijalankan atau dengan kata lain masyarakat tradisional terbentuk tatkala para anggotanya diarahkan oleh masa lalu atau merasakan ikatan kuat pada cara hidup yang sudah bertahan lama. Gagasan seperti tindakan baik atau buruk, dalam masyarakat tradisional ditentukan oleh apa yang telah diterima dari masa sebelumnya. Sebaliknya, orang-orang yang hidup di masa moderen lebih mengedepankan rasionalitas, cara berpikir yang menekankan pada kesengajaan, perhitungan pasti dan cara-cara yang lebih efektif dalam merampungkan pekerjaan. Dalam hal lembaga keagamaan, menurutnya lembaga keagamaan senantiasa bergerak maju secara eksploratif sistematik, bergerak meninggalkan stigma-stigma lama menuju stigma baru melalui terobosan-terobosan berpikir. Menurut Peter L. Berger 1966 , Individu bukanlah sosok korban sosial, namun merupakan mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya. Pandangan yang mengatakan bahwa masyarakat dan institusi sosial adalah objektif, namun pada kenyataannya semua masyarakat dibangun oleh definisi subjektif melalui proses interaksi dan relasi sosial. Objektivitas terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lainyang memiliki definisi subjektif.Selanjutnya pada tingkat generalitas yang paling tinggi manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang terstruktur, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Sztompska 2010 mengemukakan bahwa pada prinsipnya setiap entitas atau institusi yang ada di muka akan mengalami perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan tersebut dapat diketahui bila dilakukan suatu analisa perbandingan masa tertentu dengan masa lainnya. Perubahan-perubahan merupakan suatu proses yang terus menerus, ini berarti bahwa masyarakat pun pada kenyataannya akan mengalami perubahan-perubahan. Menurut Parson dalam rajendra Kumar 2007 perubahan sosial adalah perubahan dalam atau mencakup suatu sistem sosial dalam jangka waktu tertentu. Perubahan terjadi pada segmen yang ada dalam masyarakat seperti aspek ekonomi, politik dan budaya. Menurut Parson, berbicara tentang perubahan, berarti berbicara tentang sesuatu perubahan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu, ada perbedaan yang diamati, antara keadaan sebelum dan sesudah waktu tertentu. Sedangkan menurut Marcionis 1987 perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Hal senada diungkapkan oleh Persell 1987, yang mengartikan perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat. Max Weber 2012 menjelaskan bahwa analisis transformasi dapat dilakukan dengan pendekatan pengelompokan evaluatif transformasi. Pertama, transformasi yang mengandung dan yang tidak mengandung viabilitas viability, kedua yang terorganisasikan dan yang tidak terorganisasikan dalam kondisi riil kehidupan sosial secara efektif. Selanjutnya pemilahan evaluatif terobosan tersebut menghasilkan tiga tesis, yang pertama yaitu terobosan yang bersifat progresif dengan yang bersifat regresif. Kedua terobosan berpikir dari tabu magi dengan berpikir etika agama. Ketiga terobosan berpikir dari larangan-larangan atau Tabu yang bersifat magi, kepada perintah-perintah yang bersifat etika agama. Sedangkan Habbermas 1981 mengaitkan perubahan sosial dengan modernisasi, menurutnya modernisasi merupakan proyek yang belum selesai, dalam arti masih banyak yang harus dikerjakan, sebelum meyakini bahwa modernisasi sudah terjadi. Modernitas harus berbeda dengan dirinya sendiri. Modernitas adalah rasionalitas yang mencirikan sistem sosial berbeda dan bertentangan dengan rasionalitasnya yang menandai kehidupan sehari-hari. Modernitas ditunjukan dengan adanya sistem yang berkembang semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi dan ditandai oleh pertimbangan instrumental. Untuk memahami proses perubahan sosial yang kompleks, menurut Sztompka 2010 diperlukan pemahaman tentang tipologi prsoses sosial yang terjadi. Menurutnya tipologi dapat didasarkan atas empat kriteria utama: 1 bentuk proses yang terjadi, 2 hasil yang dicapai oleh perubahan itu, 3 kesadaran tentang proses sosial di kalangan anggota masyarakat bersangkutan, 4 kekuatan yang menggerakkan proses perubahan itu. Selain itu Sztompka juga memandang perlu untuk memperhatikan dua hal lain yaitu, tingkat realitas sosial ditempat proses itu terjadi dan jangka waktu berlangsungnya proses perubahan atau transformasi sosial itu. Transformasi itu juga bisa dilihat dari bentuknya yaitu 1 perubahan yang mengarah pada tujuan tertentu yang tak dapat diubah yang merupakan kumulasi, 2 bisa berbentuk sesuatu yang berbeda antara kondisi akhir dengan kondisi sebelumnya dan bukan sesuatu yang akumulatif atau merupakan gabungan dari keduanya. Dari prosesnya transformasinya perubahan sosial dapat bersifat linear yaitu perubahan bertahap atau meningkat. Lawan transformasi linear adalah proses perubahan yang berjalan dengan lompatan kualitatif atau menerobos melalui periode khusus atau memengaruhi fungsi tertentu, yang sering kali disebut sebagai perubahan unlinear atau revolutif 21 . melalui pendekatan refleksi meta-teoritis transformasi budaya perubahan sosial dapat dilihata sebagai : petama, differensialisme yaitu berubah beda. Kedua, konvergensi atau tumbuh bersama.Ketiga, hibridisasi atau pencampuran yang sedang berlangsung. Masing-masing posisi teori ini melibatkan ajaran teoritis tertentu. Pandangan pertama sesuai dengan perbedaan budaya yang kekal, merupakan perspektif tertua dalam perbedaan budaya. Yang kedua,tesis konvergensi budaya, sudah setua bentuk universalisme paling awal, seperti dalam agama-agama dunia. Keduanya telah kembali dan diperbarui sebagai varitas modernisme, masing- masing dalam versi romantisme dan pencerahan, sedangkan perspektif ketiga, 21 Beberapa tokoh sosiologi yang mengemukakan tentang teori linier yaitu: Emile Durkheim yang mengatakan bahwa masyarakat berkembang dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Max Weber berpendapat bahwa masyarakat berubah secara linier dari masyarakat yang diliputi oleh pemikiran mistik dan penuh tahayul menuju masyarakat yang rasional. Herbert Spencer mengembangkan teori Darwin, bahwa orang – orang yang cakap yang akan memenangkan perjuangan hidup. Ketiga tokoh diatas menggambarkan bahwa setiap masyarakat berkembang melaui tahapan yang pasti.Sedangkan Comte mengemukakan perkembangan masyarakat mengikuti perkembangan cara berfikir masyarakat tersebut yaitu tahap teologi khayalan, tahap metafisis abstraksi dan tahap ilmiah positif. hibridisasi, mengacu pada sensibilitas perjalanan budaya postmodern Muhammad Hisyam. 2008. Dalam Islam masyarakat diberi otonomi oleh Allah untuk menjalani proses sosial sebagai konsekuensi hidup bersama 22 . Kualitas kehidupan masyarakat menentukan perubahan ke arah yang bersifat progresif maju atau sebaliknya mengalami kemunduran. Dalam situasi ini, ajaran Islam menegaskan bahwa suatu masyarakat kaum mempunyai otonomi atau kesempatan dan kewenangan untuk mengubah keadaannya sendiri atau tidak. Tuhan memberikan kepercayaan kepada suatu kaum untuk berupaya mengubah keadaannya dari situasi mundur terbelakang menjadi situasi yang maju baik secara lahiriah maupun batiniah. Dengan kata lain, ajaran Islam menghendaki adanya kerja keras yang aktif dari sebuah masyarakat, bukan sikap pasif yang fatalistik menerima keadaan. Otonomi yang diberikan Tuhan kepada manusia, mengisyaratkan kepada manusia agar membangun upaya rekayasa sosial social engineering menuju keadaan yang dicita-citakan. Upaya ini memerlukan perencanaan, pengoganisasian, penggerakan dan pengendalian secara sistematis agar bisa berjalan efektif dan efisien. Upaya ini juga membutuhkan ‘perangkat keras’ berupa organisasi sosial, baik yang bersifat legal formal, seperti negara dengan lembaga-lembaganya, maupun organisasi informal, seperti perkumpulan warga, dan sebagainya. Pelembagaan dan birokratisasi ini memang bukan satu pilihan yang wajib diambil tetapi prinsip-prinsipnya diperlukan agar proses rekayasa sosial bisa berjalan optimal. Upaya ini dengan sendirinya merupakan proses perubahan sosial yang memerlukan peran serta dari segenap unsur masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan para agen perubahan sosial yang berkhidmat bagi kemajuan masyarakat disertai kesadaran bahwa semua upaya yang dilakukan mempunyai dimensi spriritual karena tentu saja penentu segala keberhasilan adalah Allah SWT. Dalam Kitab Al Quran, Tuhan jelas-jelas menegaskan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut berupaya untuk mengubahnya. 23 Sebagai agama yang mengandung prinsip-prinsip etika, Islam mempunyai konsep nilai dalam tujuan perubahan sosial dengan menyediakan tujuan yang mesti dicapai oleh sebuah masyarakat. Masyarakat tidak dibiarkan menjalani proses tanpa tujuan, tetapi diarahkan untuk menuju kondisi ideal yang dicita-citakan. Masyarakat ideal yang dicita-citakan Islam adalah masyarakat yang anggota-anggotanya saling mencintai tahabub, saling menasehati tawashi dan tanahi, memiliki rasa persaudaraan ta’akhiy, bekerja sama ta’awun, saling mengajar ta’alum, saling menghibur tawasi, dan saling menemani tashaduq dan ta’anus 24 dan pada puncaknya adalah tercapainya kemenangan falah 25 yaitu keseimbangan hidup dunia dan akhirat. 22 Al qur’an Surat Ar-ra’du ayat 11:“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” 23 Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dicetak dalam Tasir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 267 24 Bisa di lihat : Ismail Raji Al-faruqi, Tauhid, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995,