Kegunaan dan Kebaruan Penelitian
Satu lagi pendekatan yang dapat digunakan dalam membahas hubungan relasi sosial dengan struktur adalah teori strukturasi. Teori strukturasi merupakan
teori yang menepis dualisme pertentangan dan mencoba mencari linkage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan
konstruksionisme-fenomenologis. Anthony Giddens 1984 tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya
terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu
produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir
pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut. Menurutnya
struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini
Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.
Struktur tidak disamakan dengan kekangan constraint namun selalu mengekang constraining dan membebaskan enabling. Struktur dapat masuk
kedalam ruang dan waktu diluar kendali aktor-aktor individu namum struktur tersebut dapat ditetapkan kembali oleh individu dalam aktivitas-ativitas untuk
bisa merealisasikan sistem-sistem itu. Menurutnya manusia individu melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan mereka, pada saat
yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences konsekuensi yang tidak disengaja dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan
manusia selanjutnya. Manusia atau individu menurut teori ini disebut agen. Agen melakukan tindakan dengan memiliki alasan-alasan atas aktivitas-
aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulang-ulang.
Hubungan negara dengan masyarakat juga dikemukan oleh Antonio Gramsci yang diistilahkannya dengan hegemoni. Hegemoni adalah bahwa suatu
kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi Hegemoni diraih bukan melalui
kekerasan, akan tetapi secara politis dengan menggunakan kekuatan moral dan intelektual untuk menciptakan keseragaman pandangan dalam masyarakat.
Selanjutnya dalam mengembangkan hegemoninya, Gramsci berpijak pada kepemimpinan yang bersifat moral dan intelektual. Kepemimpinan ini
mendapatkan persetujuan secara sukarela oleh kelas yang di bawah terhadap kelas atas yang menghegemoni. Hegemoni dicapai melalui sukarela tidak mengandung
sesuatu yang negatif justru sebaliknya berarti positif baik. Persetujuan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan ideologi
kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga, seperti negara, common sense, kebudayaan, organisasi,
pendidikan, dan seterusnya, yang dapat memperkokoh hegemoni tersebut Bocock 2007.
Berkaitan dengan negara, Gramsci memandangnya sebagai suatu keseluruhan aktivitas baik teoritis maupun praktis yang dengannya maka bukan
saja pemerintah yang mengklaim dominasinya, melainkan juga memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah. Negara dalam perspektif Gramsci
tidak hanya menyangkut aparat pemerintahan, tetapi juga menyangkut aparat
hegemoni atau masyarakat sipil Faruk 2005. Negara dengan demikian merupakan sebuah instrumen dari kelas atas atau penguasa dan sebagai alat oleh
suatu kelas terhadap kelas lainnya. Lewat nagara ini kelas atas melakukan kebijakan-kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif. Tujuan
dari kebijakan itu adalah untuk kepentingannya sendiri, mempertahankan kekuasaannya.
Relasi sosial antara negara dan agama di Indonesia, dikemukakan oleh Nurcholis Madjid 2012, ia berpendapat bahwa relasi agama dan politik dalam
realitas sosial, selama ini berfungsi menguatkan solidaritas serta menegaskan identitas agama itu sendiri. Agama bukan sekadar tata aturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan namun terkandung aturan mengenai tata hubungan antarmanusia dan antara manusia dengan alam semesta. Kondisi ini
menyebabkan agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat. Menurutnya Politik dan agama sama-sama alat untuk mengatur
kehidupan masyarakat menuju bonnum commune kebaikan bersama. Lewis Coser 1956 menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok-luar akan membantu
pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Menurutnya bahwa “tingkat
konsensus kelompok sebelum konflik terjadi” merupakan hubungan timbal balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi
kelompok. Kohesi sosial dalam kelompok semacam agama tergantung pada penerimaan secara total seluruh aspek-aspek kehidupan kelompok. Kelangsungan
hidup kelompok agama dengan ikatan tangguh itu bisa tergantung pada musuh- musuh luar. Konflik dengan kelompok-kelompok lain bisa saja mempunyai dasar
yang realistis, tetapi konflik ini sering berdasar atas isu yang non-realistis
Analisis hubungan agama dan negara lebih jelasnya dikemukakan oleh Barbara Hargrove 1979, menurutnya hubungan antara agama dan politik telah
membentuk relasi tarik menarik yang bersifat adesifadhesive. Terdapat beberapa jenis pola hubungan yang terjalin,yaitu :
•
pertama, agama mendominasi politik,dalam jenis hubungan ini nilai- nilai dan norma agama mengatur kehidupan bersama. Hubungan jenis ini
berlaku di negara-negara yang menjadikan agama sebagai dasar keberadaan sekaligus acuan hukumnya.
•
kedua, politik mendominasi agama, dalam jenis hubungan ini nilai dan norma politik yang bersumber dari pemikiran manusia mendominasi
kehidupan masyarakat, misalnya dalam bentuk etika humanisme universal, konsensus kebangsaan, konstitusi negara, undang-undang, dan
sebagainya. Dalam bentuk ekstrimnya, agama sama sekali tidak diijinkan muncul di ruang publik, bahkan simbol-simbol agama tidak boleh hadir
di institusi atau tempat-tempat umum. Nilai dan norma agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan. Saat
berhadapan dengan kepentingan umum, maka yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi adalah nilai dan norma negara.
•
Ketiga adalah perpaduan antara nilai dan norma agama dengan nilai dan norma politik
. dalam jenis hubungan ini Secara eksplisit, bisa saja bentuk negara atau undang-undang yang berlaku di dalamnya bukan nilai
atau norma agama. Namun secara ‘kebetulan’ atau disengaja melalui kiprah atau tekanan kelompok agama tertentu, terjadi pangakomodasian
nilai dan norma agama ke dalam tata aturan negara.
Sudut pandang pendekatan sosiologi agama, selama ini mengakui bahwa agama itu diturunkan untuk kepentingan sosial Nata Abudin 2002. Dalam
pandangan Islam, agama bukan hanya berkaitan dengan urusan manusia dengan tuhannya hablumminnallah tetapi juga berkaitan dengan hubungan manusia
dengan manusia lainnya yang bersifat sosial hablumminnanas. Hubungan sosial dalam pandangan Islam bukan berarti menjauhkan manusia dari ajaran agamanya,
tetapi justru memberikan isyarat bahwa Islam menempatkan agama sebagai milik manusia yang direfleksikan dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika agama
direfleksikan sebagai kehidupan manusia, maka wajar bila terjadi perbedaan perilaku keagamaan dari setiap individu yang satu dengan lainnya. Perbedaan
tersebut dapat muncul yang dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektifitas dan sudut pandang yang sangat kompleks. Wujud keberagamaan merupakan wujud kongkrit
dari integrasi, interaksi dan internalisasi antara nilai-nilai normatif doktrinal dan historis metodologis. Kedua sisi tersebut saling memberikan inspirasi timbal
balik, bahkan saling berpengaruh pada setiap individu dalam merealisasikan wujud kongkrit agama yang diikutinya secara berimbang, universal dan
konperehensip Aswadi 2012.