dibenarkan oleh akal dan syari’at maka ia dinamakan akhlaq yang mulia, namun jika sebaliknya maka ia dinamakan akhlaq yang tercela”.
Menyikapi pandangan masyarakat yang menempatkan seolah pesantren adalah lembaga pendidikan untuk kalangan masyarakat bawah, ditolak
sepenuhnya oleh para kyai baik yang ada di PP.Sidogiri maupun PP. Raudlatul Ulum. Sikap sederhana dan tidak memungut biaya yang besar sebagaimana pada
sekolah-sekolah umum bukan karena para santri adalah orang-orang miskin, para santri yang yang menerima pendidikan pesantren, baik di pesantren kecil maupun
besar, adalah orang-orang yang pada kenyataan sebenarnya berasal dari keluarga atau kalangan masyarakat yang berkecukupan. Realitas ini dapat menerangkan
sebagian dari alasan mengapa banyak dari para kiyai—yang dipengaruhi oleh budaya santri di pedesaan—justru mampu berhaji berkali-kali, bahkan mampu
mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ke luar negeri di Timur Tengah, justru dikarenakan kebanyakan dari mereka merupakan keluarga petani atau
pebisnis di pedesaan yang mampu dan berkecukupan Karena itu pula pesantren tidak membutuhkan belas kasihan dari pemerintah atau darui masyarakat luar.
103
PP. Sidogiri maupun Raudaltul Ulum tidak disain dengan konsep “taylor made” yang merespon dan memfasilitasi kebutuhan dan keinginan masyarakat luas.
Pesantren sebenarnya membuka ruang-ruang pembaharuan, namun ruang pembaharuan harus disampaikan oleh orang dalam yang melihat keluar dari
jendela pesantren. Dalam hal ini kyai mempercayai bahwa sesuatu perubahan datang dari internal bukan keinginan “outsider” dan perubahan yang tulus dating
dari orang yang berhikmah pada pesantren.. Para Kyai menetapkan bahwa integritas pesantren tidak diukur dari sejauh mana pesantren bisa melayani
seluruh masyarakat.
Menyikapi isu preferensi masyarakat dan kebijakan politik pemerintah terkait kurikulum. Menurut para kyai persetujuan pada penyusunan kurikulum
pemerintah, seperti perubahan mata ajaran, penambahan bobot mata ajaran dan cara pengajaran menyebabkan beberapa hal :1 pesantren menjadi tidak berbeda
dengan pendidikan sekolah pada umumnya, padahal sejak awal pesantren berorientasi pada upaya menciptakan manusia yang hidupnya mendekatkan diri
pada Tuhan dan menjadi pelayan Tuhan untuk melestarikan nilai-nilai agama. Karena itu sekaligus juga menjawab keinginan masyarakat non pesantren yang
menginginkan output pesantren disamping mempunyai pengetahuan agama sekaligus juga mempunyai pengetahuan umum, ditolak oleh para kyai. 2.
Menggantikan metoda pengajaran semacam bandongan dan sorogan, bukan hanya menghilangkan kebiasaan atau kekhasan pesantren, tetapi ~ menghilangkan
metoda sufisme yang membangun dialektika kecintaan antara guru dan murid. Menurut para kyai ketika dialektika cinta antara kyai dan santri hilang maka
moralitas keagamaan tidak ada lagi yang mengontrol. Seorang murid tidak bisa lepas dari koreksi dan bimbingan gurunya, Mekanisme ini terus akan berlangsung,
manakala seorang murid telah menjadi guru buat yang lain maka akan terbentuk komunitas dengan pola pikir dan kecintaan yang sama. Karena seorang Kyai
bukan hanya guru pengetahuan buat santrinya tetapi dia adalah orangtua yang dititipi anak oleh Tuhannya. 3 modernitas atau preferensi kehidupan lainnya,
menurut kyai diserahkan kepada ahlinya, para santri bisa mendapatkan di luar
103
Wawancara dengan Kyai Nawawie dan Kyai Muhtadi.
pesantren ~ karena itu santri adalah jendela buat para kyai untuk melihat perkembangan kebutuhan pada generasi berikutnya. Informasi dari jendela murid
inilah yang dipercaya sebagai sebuah tantangan perubahan. Kyai akan melakukan perubahan penciptaan ruang-ruang baru termasuk pengajaran dan cara pengajaran
untuk mempermudah muridnya melayani Tuhan melestarikan nilai-nilai agama.
PP. Sidogiri dan PP. Raudlatul Ulum tidak bergeming dengan ancaman tidak bisa melanjutkan jenjang pendidikan lebih Lanjut jika tidak memiliki ijazah
atau Surat keterangan Lulus yang dikeluarkan oleh Negara. Terbukti bahwa senjata “ijazah” tidak mematikan animo masyarakat untuk belajar di pesantren.
Dari tahun ke tahun jumlah santri bukan menunjukkan penurunan justru mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal ini berlawanan dengan pandangan
bahwa masyarakat sudah terperangkap pada ketentuan-ketentuan struktural. Kepercayaan kepada tradisi ternyata masih menjadi sebuah pedoman pada
masyarakat pesantren. Dalam hal politik pendidikan, pemerintah tidak berhasil menggunakan kuasa Negara untuk membangun hegemoni pendidikan secara
menyeluruh. Sebaliknya pesantren pun tidak` karena perbedaannya kemudian melakukan aksi provokasi kepada pemerintah. . Kontestasi justru ada pada
masyarakat yang akan memilih antara berpihak pada pandangan sistem pendidikan pemerintah atau pada para kyai yang mengelola pesantren.
6.4. Kebersinggungan : Ko eksistensi dan Konflik Laten
Uraian demi uraian di atas telah memberikan gambaran kebersinggungan pesantren dengan dinamika sosial politik eksternal. Pasang surut hubungan
Pesantren dan pemerintah membentuk relasi-relasi unik, demikian pula hubungan pesantren dengan masyarakat sekelilingnya. Hubungan-hubungan sosial yang
dilihat saat ini merupakan perjalanan panjang dari sebuah proses yang berlangsung terus menerus. Hubungan antara Pesantren dengan dunia luar
pemerintah maupun masyarakat secara kontekstual dapat berupa hubungan saling membutuhkan atau hubungan yang berbentuk konflik. Pencapaian kepada
bentuk kongkrit saat ini dihasilkan melalui proses sosial, yaitu aspek dinamis kehidupan masyarakat berupa interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Proses
tersebut dilakukan baik secara individual maupun kelompok dimana terdapat kebersinggungan antara dua belah pihak hingga terbentuk hubungan yang terjadi
seperti saat ini. Dalam proses sosial tersebut yang menjadi representasi individu adalah kyai, ulama pimpinan pondok pesantren, sedangkan reperesentasi
kelompok adalah pesantren sebagai sebuah komunitas, pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
Analisis hubungan agama dan negara yang pernah dikemukakan oleh Barbara Hargrove 1979, dimana menurutnya hubungan antara agama dan
politik telah membentuk relasi tarik menarik yang bersifat adesif adhesive. yaitu agama mendominasi politik, politik mendominasi agama, atau perpaduan
antara nilai dan norma agama dengan nilai dan norma politik. Hasil temuan di lapangan, yang menyangkut hubungan pesantren dengan politik tidak seperti
yang dipolakan oleh Hargrove. Hubungan pesantren sebagai bagian dari institusi yang merepresentasikan nilai-nilai keagamaan berjalan bersinggungan secara ko-
eksistensif. Dari perspektif konflik, sekalipun keduanya memberikan inspirasi timbal balik dalam merealisasikan peran sebagai instrumen kehidupan manusia
namun hubungan pesantren dengan pemerintah selalu ada dalam kondisi konflik laten
104
. Konflik laten ini, karena kehadiran kyai di lingkungan pesantren sejak lama tidak dapat dimaknai hanya sebagai agamawan saja, tetapi
sebagai pembentuk persepsi sosial-poltik masyarakat. Dengan legitimasi tradisi yang dimilikinya, ulama adalah patron dengan kekuasaan hirarkis atas
masyarakat. Ulama juga aktor politik berbasis kharismatik dan tradisional yang memungkinkan membentuk sikap atau preferensi politis tertentu dalam struktur
sosial masyarakat disekitarnya.Penerapan gagasan moral Islam, jaminan keberpihakan penguasa dalam rangka pembangunan umat dapat adalah
kebersinggungan yang sensitif di antara keduanya. Moaddel 2002 mengemukakan bahwa Kepentingan dua belah pihak antara legitimasi politik
penguasa dan kebutuhan fasilitasi pihak penggiat keagamaan menciptakan transaksi politik yang seharusnya menguntungkan kedua belah fihak,walaupun
pada kenyataanya transaksi ini tidak selalu bersifat permanen atau berakhir dengan deal ekonomi pragmatis. Pada kasus Sidogiri maupun Cidahu transaksi
sebagaimana yang dimaksud moadel tidak terjadi sama sekali. Erzat kapitalisme, dimana terjadi perselingkuhan ekonomi antara penguasa dengan ulama tidak
terbukti. Sebaliknya Sidogiri dan Cidahu semakin menunjukkan perenggangan relasi dengan penguasa, bukan hanya dalam ekonomi tetapi juga pada sikap
kemandirian politik untuk tidak selalu sama dengan pemerintah. Sikap ini ditunjukkan dengan penolakan-penolakan bantuan pemerintah.
104
Saya mengartikannya konflik laten di sini sebagai tidak pernah didapatnya kesepakatan yang utuh antara pemerintah dengan masyarakat pesantren dalam masalah sosial, ekonomi maupun
politik. Kedua fihak menyadari adanya perbedaan, namun adanya irisan kepentingan diantara keduanya menjadikan konflik ini tidak muncul menjadi konflik terbuka. Irisan kepentingan yang
muncul pada saat ini adalah bahwa kedua belah fihak sama-sama meyakini bahwa menjalankan peran masing-masing membutuhkan suasana tidak saling mengganggu.
BAB VII. RUANG-RUANG SOSIO EKONOMI PESANTREN
Di awal permulaan sejarahnya, pesantren lebih banyak merupakan
tempat kegiatan tarekat. Kyai dan santri berkumpul melaksanakan “pengajian” belajar membaca al quran dan amalan-amalan “dzikir” atau “wirid”. Kegiatan
pengajian atau wiridan dilakasanakan dengan methoda “suluk” yaitu tinggal bersama untuk melaksanakan ritual ibadah. Kegiatan suluk ini berpusat di masjid
yang didirikan oleh sang Kyai. Pada umumnya peserta suluk adalah para lelaki dewasa, anak-anak lelaki dan Kaum wanita tidak terlibat dalam kegiatan suluk.
Kegiatan suluk ini bisa berlaku berhari-hari bahkan berbulan-bulan, maka dibangunlah ruangan-ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak.
Ruangan tersebut berada di samping kanan dan kiri masjid, sehingga menyerupai asrama. Selain asrama, di sisi masjid lainnya terdapat rumah yaitu tempat tinggal
kyai dan keluarganya. Untuk selanjutnya fasilitas pesantren berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Ciri khas ruang-ruang pesantren dilihat dari struktur fisik mempunyai tiga bangunan atau fasilitas yang menjadi unsur pembentuknya, yaitu masjid,
majlis taklim dan rumah Kyai. Selain unsur fisik, pesantren mempunyai unsur non fisik yaitu Kyai, santri dan kitab-kitab kuning. Sebagaimana dijelaskan di
muka, struktur fisik yang ada di pesantren pemaknaannya tidak sebatas bangunan fisik berdasarkan fungsi, melainkan memiliki nilai-nilai sosio-religi di dalamnya.
Masjid bukan hanya ruang untuk sembahyang saja, tetapi juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial lainnya seperti Selamatan, tempat pernikahan, tempat
mengumpulkan zakat, menampung shodaqoh dan lain-lain. Masjid di lingkungan pesantren juga menjadi ruang interaksi masyarakat non- santri dengan kyai
melalui kegiatan pengajian lepas yang diselenggarakan per periode tertentu. Dalam hal ini masjid melepaskan eksklusivitas dari fungsi tempat berkumpul para
santri saja. Masjid di lingkungan pesantren menjadi ruang publik yang dapat menghimpun modal sosial dari masyarakat muslim setempat untuk kepentingan
pesantren maupun untuk kepentingan umat yang disesuaikan dengan kaidah- kaidah agama.
Ruang fisik yang kedua adalah tempat khusus untuk belajar mendalami ilmu agama yang biasa disebut majlis ta’lim tempat belajar menuntut
ilmuagama. Majlis Taklim dapat dikelompokan lagi menjadi dua ruang lebih spesifik yaitu majlis kyai dan madrasah. Majlis Kyai adalah ruang interaksi
belajar antara santri dengan kyai untuk membahas ilmu-ilmu agama tingkat tinggi semacam fatwa fiqih dan tasawuf. Majlis kyai diikuti oleh para santri senior, para
Ustadz guru agama bahkan ulama dari pesantren lain. Madrasah adalah ruang klasikal tempat santri junior menimba ilmu agama, pengajarnya adalah para
ustadz guru santri senior dari lingkungan internal pesantren. Pembelajaran di madrasah terkait dengan ilmu-ilmu dasar agama, seperti ilmu tauhid, hadits,
nahwu wa shorof . Madrasah menjadi penting, sebab kelulusan seorang santri dari pendidikan madrasah akan membuka kesempatan mereka untuk memasuki
majlis kyai. Berbeda dengan masjid yang merupakan ruang publik. Majlis kyai dan madrasah adalah ruang semi publik, kepesertaannya sebatas pada kelompok
santri atau orang yang menyantrikan diri. Majlis kyai dan madrasah adalah ruang
semi privat yang dapat menghimpun modal sosial dari proses belajar mengajar di lingkungan pesantren yang digunakan untuk kepentingan pesantren.
Ruang fisik yang ketiga adalah rumah kyai di wilayah Jawa Tengah dan jawa Timur, biasa disebut sebagai “ndalem kyai” sedangkan di Jawa Barat
dan Banten, disebut “bumi kyai”. Letaknya ada di dalam komplek pesantren. Ruang ini adalah ruang privasi keluarga kyai dan kerabatnya. Disamping untuk
untuk aktivitas rumahtangga kyai, ndalem kyai biasanya mempunyai paseban yaitu tempat kyai menemui tamu dari berbagai latar belakang. Di paseban inilah
para tamu yang sowan atau silaturrahim bertamu dan berdiskusi menyampaikan hal yang sangat variatif dari masalah rumah tangga sampai kepada masalah
politik. Karena itu yang sowan pun dari rakyat biasa sampai pemimpin negara. Tidak jarang sowan dan silaturrahim ini menawarkan ketakziman ungkapan
hormat berupa hadiah dan gawan dari kedua belah fihak. Paseban-kyai adalah ruang privat yang dapat menghimpun modal sosial dari proses sowan atau
silaturrahim yang digunakan untuk berbagai kepentingan.
Struktur penopang ruang-ruang tersebut mengalami perubahan seiring dengan perjalanan sejarah. Masjid misalnya, harus terikat dengan peraturan
wakaf. Pengelolaan masjid yang sebelumnya dipegang oleh otoritas kyai berdasarkan hukum agama telah berpindah kepada otoritas Badan Wakaf Nasional
BWN yang didasarkan pada hukum formal negara. Peraturan perwakafan yang dikeluarkan oleh negara mengharuskan masjid terlepas dari sistem kontrol kyai
sekalipun keberadaannya di lingkungan pesantren. Untuk beberapa pesantren produk politik negara semacam ini telah menghilangkan peran resiprositas masjid
dengan pesantren. Menurut Huda 2009, wakaf adalah asset sekaligus modal sosial untuk menggerakkan pendidikan muslim, namun dengan adanya kebijakan
prinsip dan tata kelola wakaf merubah prinsip tradisi wakaf yang selama ini dikenal dalam tradisi pendidikan Islam klasik. Prinsip wakaf menurut hukum
positif adalah bahwa pelaksanaan wakaf pada pesantren-pesantren tidak dapat dilaksanakan dengan dalil dan hukum agama saja tetapi harus terikat dengan
hukum negara
105
. Dengan demikian Peraturan pemerintah dan Undang-undang tentang perwakafan telah melegitimasi negara untuk memasuki ranah-ranah tradisi
yang sebelumnya merupakan otoritas ulama.
106
Majlis Taklim juga mengalami kebersinggungan dengan kebijakan politik. Sebelumnya kompetensi kesantrian ditentukan oleh kyai. Kyai
menentukan materi, kurikulum dan methoda yang dianggapnya paling tepat untuk menghasilkan kompetensi akhlaq al karimah dan ibadillah as sholihin untuk para
lulusan pesantren. Namun pemerintah menuntut agar pesantren menjadi lembaga yang bersifat continuous educational process improvement, yang diukur
dengan indikator-indikator: menghasilkan lulusan ouput yang berkualitas,
105
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan.
106
Dalam pasal 32 UU No. 41 Tahun 2004 disebutkan bahwa PPAIW Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang
paling lambat7 tujuh hari kerja sejak ikrar wakaf ditandatangani. Selain itu dalam Pasal 40 UU No. 412004 ini ditentukan pula bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk
: dijadikan jaminan , disita, dihibahkan dijual, diwariskan ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Perkecualian atas ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan apabila harta
benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum.Kemudian harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya tersebut haruslah didaftarkan kembali oleh
Nazhir melalui PPAIW kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia.
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi global, proses pembelajaran yang interaktif dan kepuasan pengguna lulusan Abdul Rahman Halim 2008.
Implementasinya adalah Pembelajaran di pesantren harus mengacu pada riset pasar tenaga kerja, riset desain berbasis kompetensi global, disain operasional
proses pendidikan yang interaktif, dan penyerahan lulusan yang kompetitif dan berkualitas ke pasar tenaga kerja. Komponen-komponen dasar pendidikan tersebut
menunjukkan adanya tuntutan pergeseran dari sistem lama tradisional ke sistem moderen yang dapat menghilangkan ciri khas pesantren Sholehudin 2012.
Kebijakan tersebut juga menimbulkan perubahan struktur dan pengorganisasian sistem pengajaran di pesantren. Bentuk Majlis taklim, baik majlis kyai maupun
madrasah dengan methoda sorogan dan bandongan berubah menjadi sekolah diniyah yang berbentuk badan hukum formal dengan kurikulum pendidikan yang
diatur oleh negara. Lebih jelasnya tahapan dan fungsi ruang akan diterangkan di bawah ini.
7.1. Masjid
Dari sisi pemahaman bahasa, masjid berasal dari kata bahasa Arab, masajad yang berarti tempat untuk sujud. Perkembangan berikutnya lafazh
masajad berubah menjadi masjid, yang secara istilah berarti bengunan khusus yang disediakan untuk shalat lima waktu. Selanjutnya masjid bukan hanya
digunakan untuk sholat tetapi juga untuk kegiatan sosial lainnya yang halal menurut syariah Islam karenanya makna masjid meluas menjadi bangunan
khusus yang dijadikan tempat orang-orang berkumpul berjama’ah baik untuk menunaikan shalat maupun kegiatan lainnya.
107
Tradisi membangun masjid oleh para kyai sebagai dasar pendirian sebuah pesantren, kemungkinan diilhami oleh cara nabi Muhammad. Pada waktu hijrah
dari Mekah ke Yatsrib Madinah Nabi Muhammad melewati daerah Quba. Beliau tinggal sesaat di sana, dan mendirikan masjid pertama masa kenabiannya.
Setelah sampai di Madinah Nabi Muhammad pun hal yang pertama-tama beliau lakukan adalah mendirikan Masjid yang sekarang dikenal dengan sebutan masjid
Nabawi. Tradisi membangun masjid sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad dilanjutkan oleh para da’i atau ulama-ulama penerus nabi.
Pada masa Nabi Muhammad Masjid di Madinah disamping sebagai melaksanakan shalat berjama’ah juga digunakan sebagai tempat aktivitas sosial
lainnya. Masjid digunakan untuk tempat rapat, memutuskan perkara-perkara kemasyarakatan, tempat menyampaikan wahyu-wahyu dan juga berfungsi untuk
tempat merawat orang sakit. Jika masyarakat Islam akan melancarkan peperangan, maka rencana pertahanan dan pengiriman tentara juga dimusyawarahkan di dalam
masjid. Pada zaman Rasulullah dan para Khalifah al-Rasyidin, masjid menjadi pusat segala macam aktivitas sosial dan politik umat Islam. Pada zaman Umar
khalifah Arrasyidin ke-2 selain untuk urusan sosial politik masjid juga dijadikan sebagai pusat kegiatan-kegiatan ekonomi. Di masjid, dibangun baitul maal, yaitu
lembaga yang menghimpun harta dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan
lainnya. Dengan begitu masjid bukanlah hanya pusat kegiatan spiritual tetapi juga
107
I’laamus Saajid bi Ahkaamil Masajid karya az-Zarkasyi hal.27
sebagai pusat pemerintahan dalam artian yang sebenarnya dan menyeluruh Amir Hasan Sddiqi 1987.
7.1.1 Fungsi Masjid Pada Awal Sejarahnya Pesantren Dalam sejarah Islam di Indonesia, fungsi masjid dapat dilihat dari
sejarah masjid Demak. Masjid Demak didirikan bukan hanya sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai tempat pendidikan dan pusat politik ulama. Masjid
dijadikan sebagai tempat prendidikan mengingat lembaga pendidikan pesantren pada saat itu belum menemukan bentuknya yang final. Baru pada perkembangan
berikutnya masjid menjadi dan tempat mengajar terpisahkan. Masjid dan pesantren sesungguhnya sebagai center of excellence pusat peradaban yang
saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Abdurrahman Masud 2004. Mark R. Woodward 1999, menjelaskan bahwa
pada awal Islam masuk ke Indonesia, Masjid merupakan pusat komunitas dan berperan sebagai lokus kegiatan ibadah dan pengajaran keagamaan awal. Di
masjidlah anak-anak pertama kali dikenalkan dengan unsur-unsur ibadah tradisi santri. Dimulai dari usialima atau enam tahun, mereka diajarkan cara
melaksanakan shalat, membaca teks Arab dan melantunkan Al-Qur’an. Ada juga pelajaran tentang dasar-dasar teologi dan hukum. Ini disebut pengajian dan
umumnya mengambil bentuk ceramah-ceramah yang disampaikan oleh santri senior. Di daerah urban, pengajian ini sering diisi oleh kiai atau ulama pembaharu
di luar kampung.Masjid juga menjadi tempat kegiatan ibadah tahunan yang bersifat umum. Sepanjang bulan Ramadhan masjid digunakan untuk ibadah shalat
tarawih dan pembacaan Al-Qur’an. Makanan disediakan oleh keluarga kaya di komunitas tersebut.Praktek ini tidak umum di kalangan Islam Timur
Tengah.Masjid lokal juga menjadi tempat penyelenggaraan Idhul Fitri atau lebaran akhir Ramadhan, lebaran kurban yang diadakan pada waktu haji, dan -
terutama dikelola oleh kalangan tradisionalis – perayaan Maulud, memperingati kelahiran Nabi.
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa masjid mempunyai multi fungsi untuk memfasilitasi berbagai aktivitas keagamaan baik yang diatur oleh
syariah maupun oleh tradisi. Masjid berfungsi sebagai : 1 tempat sholat berjamaah, 2 sarana atau tempat pendidikan ilmu agama, khususnya pada
pengajaran baca tulis al qur”an. 3 tempat ibadah khusus tahunan seperti acara mengisi bulan ramadhan seperti sholat tarawih, sholat idhul fitri dan sholat idhul
adha. 4 tempat perayaan khusus berbasis tradisi, seperti perayaan maulid, Isra mikraj. Disamping itu masjid masih memiliki peran sosial ekonomi yaitu sebagai
baitul mal untuk mengumpulkan harta zakat fitrah maupun zakat kekayaan dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada fakir miskin dan orang
yang membutuhkan lainnya.
Pada awal sejarah pesantren sampai dengan pra peraturan perwakafan masjid diterapkan, masjid selalu dilekatkan dengan kekuasaan seorang Kyai.
Sekalipun masjid adalah fasilitas yang digunakan untuk umum, namun Kyai adalah penguasa tunggal masjid. Seluruh aktivitas masjid dikendalikan oleh Kyai
sebagai pendiri dari masjid tersebut. Keeratan antara masjid dengan kyai, sering disimbolkan dengan penamaan masjid sesuai dengan dengan nama
kyainyaembedeedness. Tak mengherankan ketika zaman penjajahan Belanda,