kewarganegaraan, dari sanalah kemudian memunculkan intermediate condition yaitu adanya kepastian hukum dan etika ekonomi tunggal non dualistic
economic ethic. Keseluruhan inilah yang membentuk komponen-komponen masyarakat kapitalisme.
Tujuan utama ekonomi islam menurut As-Shatibi 2013 adalah mencapai kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan terhadap lima
ke-mashlahah-an, yaitu keimanan, ilmu, kehidupan, harta, dan kelangsungan keturunan. Dalam ekonomi islam keimanan merupakan pondasi perilaku individu
dan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan keimanan secara benar, akan mampu membentuk preferensi, sikap, keputusan, dan perilaku yang mengarah pada
perwujudan mashlahah untuk mencapai falah. Mashlahah dapat dicapai apabila manusia hidup dalam keseimbangan, kehidupan yang seimbang merupakan esensi
ajaran islam. Ekonomi islam bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, seperti keseimbangan fisik-mental, material-spiritual, individu-sosial,
masa kini-masa depan, dan dunia-akhirat. Keseimbangan fisik dengan mental dan keseimbangan material dengan spiritual dapat menciptakan kesejahteraan bagi
manusia. Perhatian
utama ekonomi
islam adalah
bagaimana manusia
meningkatkan kesejahteraan material dan spiritual. Sebab aspek spiritual harus bersamaan dengan material.
M.A. Manan 1992 menyatakan bahwa ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh
nilai-nilai islam. Sementara itu, H. Halide berpendapat bahwa yang di maksud dengan ekonomi islam ialah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang dii
simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi. Daud Ali, 1988. Dengan demikian Sistem ekonomi islam adalah
sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang di dirikan atas landasan
dasar-dasar tersebut yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa.Prinsip- Prinsip Ekonomi Islam didasarkan kepada : 1 Berbagai sumber daya dipandang
sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia. 2 Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. 3 Kekuatan penggerak
utama ekonomi Islam adalah kerja sama. 4 Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja. 5 Ekonomi Islam
menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang. 6 Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah
memenuhi batas nisab 7 Islam melarang riba dalam segala bentuk.
2.8 Kelas Menengah.
Sistem berlapis-lapis dalam sosiologi dikenal sebagai “Social Stratification”, yang biasa disebut dengan kelas sosial. Kelas juga tidak selalu
mempunyai arti yang sama, walaupun pada hakikatnya mewujudkan sistem kedudukan-kedudukan yang pokok dalam masyarakat. Penjumlahan kelas-kelas
dalam masyarakat disebut class system Soekanto.18 Artinya, semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh
masyarakat umum. Kelas sosial dapat didefinisikan sebagai suatu strata lapisan
orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum rangkaian kesatuan status sosial Leibo1995.
Adapun definisi dari kelas sosial menurut para ahli sosiologi ialah “Pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
hierarchis. Dimana perwujudannya adalah lapisan-lapisan atau kelas-kelas tinggi, sedang, ataupun kelas-kelas yang rendah ”. Menurut Peter Beger
mendifinisikan kelas sebagai “a type of stratification in which one’s general position in society is basically determined by economic criteria” seperti yang
dirumuskan Max Weber, bahwa konsep kelas dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi, semakin tinggi perekonomian
seseorang maka semakin tinggi pula kedudukannya, dan bagi mereka yang perekonomiannya bagus berkecukupan termasuk kategori kelas tinggi high
class , sebaliknya bagi mereka yang perekonomiannya cukup bahkan kurang, mereka termasuk kategori kelas menengah middle class dan kelas bawah
lower class. Jeffries mendefinisikan kelas sosial merupakan “social and eeconomic groups constituted by a coalesence of economic, occupational, and
educational bonds”. Jeffries mengemukakan bahwa ekonomi bukanlah satu- satunya dasar yang dijadikan pedoman untuk mengklasifikasikan adanya kelas
sosial, akan tetapi ketiga dimensi diatas mempunyai keterikatan yang erat dalam. kamanto Sunarto,1993. Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli
sosiologi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kelas sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat terjadinya
pembedaan kelas dalam masyarakat tersebut didasarkan pada faktor ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan keterkaitan status jabatan seorang anggota keluarga
dengan status anggota keluarga yang lain.
Dari pemahaman tentang kelas sosial ini muncul istilah kelas menengah. Selanjutnya kelas menengah itu sendiri dibagi menjadi dua kelompok yaitu,
Pertama, kelas menengah yang mengenyam pendidikan relatif tinggikaum terdidik. Memiliki kesadaran politik yang tinggi, idealis, berpegang pada prinsip
dan nilai demokrasi dan berorientasi pada perubahan. Memiliki basis kekuatan di Universitas dan pusat-pusat studi. Mereka adalah Mereka biasanya adalah
akademisi; dosen maupun mahasiswa. Kedua, kelas menengah yang bergerak dalam bidang ekonomipebisnis. Mereka memiliki kemandirian secara finansial,
bermata pencaharian dari sektor swasta, memiliki kekuatan berupa modal. Secara politik mereka berpikir dan bertindak secara pragmatis, kepentingan akan
keberlangsungan bisnis mereka menjadi orientasi dari tindakan dan sikap politik mereka.
Dibalik beberapa perbedaan yang dimiliki antar kedua varian kelas menengah ini, mereka memiliki beberapa persamaan. Kelas menengah memiliki kemandirian
yang menjadi senjata mereka. Kemandirian ini memberikan kebebasan mereka dalam mengkritisi setiap kebijakan pemerintah. Mereka memiliki keleluasaan
dalam menentukan sikap politik dan juga mampu membentuk opini publik dengan cara masing-masing dan kekuatan yang berbeda-beda pula. Kemandirian secara
finansial menjadikan mereka mapan secara ekonomi, yang akhirnya memberikan ruang bagi mereka untuk beropini dan bersikap secara politik. Kematangan secara
ekonomi memberikan ruang untuk menuntut hak-hak politik.
Teori Kelas merupakan teori yang berdasarkan pemikiran bahwa: “sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah
sejarah pertikaian anatara golongan”. Analisa Marx mengemukakan bagaiamana hubungan antar manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masing-masing
terhadap sarana-sarana Produksi, yaitu dilihat dari usaha yang berbeda dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang langka. Perbedaan atas sarana tidak
selalu menjadi sebab pertikaian antar golongan. Marx Beranggapan bahwa posisi didalam struktur yang seperti ini selallu mendorong mereka untuk melakukan
tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki nasib mereka. Marx beranggapan bahwa meskipun gejala-gejala historis adalah hasil dari mempengaruhi berbagai
komponen, namun pada analisa terakhir hanya ada satu independent variable yaitu Faktor Ekonomi dalam Hensilin 2007.
Teori tentang kelas juga dikemukakan oleh Max Weber, berbeda dengan Marx, Weber, menggunakan kelas sebagai kategori penggambaran masyarakat
kapitalis pada saat tertentu, Seluruh kelompok status berada dalam cakupan tertentu dari apa yang didefenisikan Weber sebagai kelas-kelas ekonomi. Setiap
kelas terdiri dari banyak kelompok status sehungga dimungkinkan untuk membicarakan stratifikasi kelompok-kelompok status dalam sebuah kelas, yang
secara hirarkis peringkatnya disesuaikan dengan keuntungan relatif pasar. Kemampuan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya tergantung pada
terlibatnya mereka di dalam hubungan hubungan sosial dengan orang lain untuk mengubah lingkungan materil melalui kegiatan produktifnya.Hubungan-hubungan
sosial yang elementer ini membentuk infrastruktur ekonomi masyarakat dalam Giddens 1996.
Hubungan Ekonomi dan Struktur Kelas, menurut Johnson Doyle 1994
Kemampuan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya tergantung pada terlibatnya mereka di dalam hubungan hubungan social dengan orang lain untuk
mengubah lingkungan materil melalui kegiatan produktifnya. Hubungan- hubungan sosial yang elementer ini membentuk infrastruktur ekonomi
masyarakat. Pemilikan atau kontrol yang berbeda atas alat produksi, yang ditekankan oleh Marx jauh lebih keras daripada perbedaan biologis, merupakan
dasar pokok untuk pembentukan kelas-kelas sosial yang berbeda. Pemilikan atau kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama kelas-kelas sosial dalam semua
tipe-tipe masyarakat, dari masyarakat yang dibedakan menurut kelas yang paling awal yang muncul dari komunisme suku bangsa primitif sampai ke kapitalisme
modern.
Saat ini kelas menengah biasanya dikaitkan dengan demokrasi, karena keberadaan mereka dianggap sebagai syarat dari demokrasi. Di Indonesia yang
sedang berkembang masyarakatnya. Kelas menengah masih cenderung ditafsirkan sebagai kaum intelegensia atau kaum terpelajar. Hal ini disebabkan karena lapisan
terpelajar, masih merupakan elite. Apalagi di daerah atau pedesaan, mereka dianggap memiliki notion of superiority, cirri-ciri keunggulan, lebih dari
kebanyakan. Karena itu mereka memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Indonesia. Di zaman modern, dengan makin meningkatnya pendidikan dan tingkat
pendapatan, terutama ketika terjadi ketidak puasan di lapisan masyarakat. Maka timbulah gejala baru dalam demokrasi, yakni timbulnya perkumpulan dan
perhimpunan yang berpartisipasi dan bertindak sebagai lembaga pengimbang terhadap kekuatan Negara. Gejala Alexis de Tocqueville . Ada tiga macam
peranan yang dilakukan oleh perkumpulan dan perhimpunan tersebut, yakni: 1Menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak
dilakukan pasti tidak akan kedengaran oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umumnya. 2Menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya
masyarakat daripada menggantungkan diri kepada prakarsa Negara. 3 Menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan, menarik masyarakat untuk
membentuk usaha bersama dengan demikian akan mencairkan sikap menyindir serta membangkitkan tanggungjawab social yang lebih luas. Belakangan
Perkumpulan dan asosiasi itulah yang kemudian disebut sebagai “masyarakat madani”.
Ciri-CiriKarakteristik Masyarakat Madani Menurut Bahmuller 1997
adalah 1Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif ke dalam masyarakat dengan kontak sosial dan aliansi sosial. 2 Menyebarkan
kekuasaan sehingga
kepentingan-kepetingan yang
mendominasi dalam
masyarakat dapat
dikurangi oleh
kekuatan-kekuatan alternatif. 3
Terjembataninya kepentingan-kepentingan
individu dan
negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan- masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 4 Meluasnya kesetiaan
loyalty dan kepercayaan trust sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri
individualis. 5 Adanya kebebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga- lembaga sosial dengan berbagai perspektif.
Dalam Islam, rujukan tentang kelas sosial adalah bersumberkan dari Alquran, kitab suci ini banyak sekali berbicara tentang masyarakat. Ini
disebabkan karena fungsi utama kitab suci al-Quran adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau dalam bahasa al-Qur’an:
litukhrija an-nas mina al-dzulumati ila al-nur, mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya yang terang benderang. Setiap masyarakat mempunyai ciri
khas dan pandangan hidupnya. M.Quraish shihab 2007. Mereka melangkah berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut, inilah yang melahirkan watak dan
kepribadiannya yang khas. Dalam hal ini al-Qur’an menjelaskan: “Demikianlah kami menjadikan indah di mata setiap masyarakat perbuatan mereka”. Suasana
kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat itu, demikian juga ukuran-ukuran halsesuatu yang dianggap
penting dan memiliki nilai lebih akan dianggap sebagai sesuatu yang berharga, dan kemudian melahirkan stratifikasi di dalam masyarakat tersebut .
Pelapisan-pelapisan yang terjadi di masyarakat adalah merupakan sebuah keniscayaan keberadannya. Hal ini termasuk masyarakat –ideal--dalam pandangan
al-Qur’an. Setiap kelompok masyarakat memiliki sesuatu hal yang mengandung nilai-nilai yang dianut dan diagungkannya sesuai dengan falsafah hidupnya
masing-masing. Dalam masyarakat Islam pelapisan-pelapisan itu dianut berdasarkan nilai-nilai yang tercantum dalam kitab sucinya yaitu al-Qur’an dan
ajaran rasul Muhammad SAW, bahwa pelapisan masyarakat menurut al-Qur’an itu didasarkan pada beberapa hal diantaranya: 1. Keiman seseorang 2. Keilmua
yang dimiliki oleh sesorang 3. Amal perbuatan peran sesorang di masyarakat 4. Kekuasaan 5. Ketaqwaan sesorang kesalehan individu yang bersifat spiritual
maupun kesalehan sosial. Dalam realitas di masyarakat pada umumnya, orang- orang yang berilmu senantiasa dihormati dan menempati posisi tinggi dibanding
orang - orang yang tidak berilmu. Hal ini mendapat legitimasi dari al-Qur’an, bahwa orang-orang yang beriman dan berilmu diangkat derajatnya oleh Allah baik
di dunia maupun di akherat. Juga pada kenyataannya di masyarakat dapat dilihat, bagi orang yang memiliki iman dan ilmu akan lebih sejahtera hidupnya di dunia
ini bila dibandingkan dengan orang-orangmasyarakat lain yang tidak memiliki iman dan ilmu Abid Rahman. 2013. Kebanyakan golongan ini kritis terhadap
lingkungannya dan mereka mampu mengalami transendesi yang berfikir melampaui kepentingan kelasnya. Kaum intelektual termasuk ulama, mereka
adalah kaum intelegensia tradisional yang tampil untuk mewarisi misi para nabi dan filsuf.
2.9 Kerangka Pemikiran
Penelitian “Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren: Konstruksi Rasionalitas Ulama dan Perubahan Struktur Lembaga Tradisional”, didasarkan
pada konsepsi dinamika perubahan sosial, dimana pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan seperti juga institusi sosial lainnya terus menerus
bersinggungan dengan dinamika perubahan sosial yang kompleks. Persoalan- persoalan struktural maupun kultural yang dikaitkan dengan politik dan
kebudayaan telah sangat lama bersinggungan dengan dunia pesantren. Kompleksitas kebersinggungan tersebut membentuk jejaring sosial yang luas,
yang melibatkan berbagai aktor, isu-isu dan kepentingan yang diusung, sehingga interaksi sosial yang dihadapi pesantren tidak lagi sesederhana seperti pada saat
pesantren mulai tumbuh pada awal abad 18.
Pada tataran politik Pesantren telah mengalami masa-masa dimana kekuasaan negara membayangi dirinya, yaitu pada masa kesultanan, masa
kolonial sampai pada masa pasca kemerdekaan dan di zaman orde baru. Pesantren telah “kenyang” dihadapkan pada politik kekuasaan yang memaksa. Saat ini,
seiring era demokratisasi, adab politik telah bergeser kepada politik “wacana” yang melihat pesantren tidak hanya sebagai obyek politik tetapi sebagai bagian
kolaborasi struktur politik yang memadukan transaksi dan idealisme. Dalam hal kebersinggungannya dengan politik, secara hipotetik pesantren dapat saja bersifat
akomodatif, kolaboratif, mandiri atau bahkan bersifat berlawanan dengan aktor dan lembaga politik yang ada.
Pada tataran sosial, pesantren pernah mengalami kejayaan sebagai satu- satunya lembaga pendidikan islam, khususnya pada masa pra politik etis kolonial.
Pesantren merupakan produsen yang menghasilkan elite muslim yang disebut dengan kelompok kaum atau “kauman”
27
yang terdiri dari kyai dan santri. Penyelenggara pesantren dan alumninya menjadi kelompok elite sosial di luar
ambtenaar atau priyayi.Saat ini, termasuk bagi masyarakat muslim, pesantren bukan lagi preferensi monolotikum dunia pendidikan Islam. Tawaran pendidikan
agamis non pesantren tumbuh berkembang. Modernisasi pendidikan yang menawarkan fasilitas, methoda dan orientasi output pendidikan menjadi
komplemen
pendidikan pesantren.
Sama halnya
dengan kasus
27
Penulis menyebut kelompok elite muslimmasyarakat islam dengan sebutan kelompok “ kaum”. Di daerah Jawa, kawasan yang di dalamnya ada masjid biasa disebut dengan “kauman” dan
orang-orang yang tinggal di sekitarnya disebut wong kaum, yaitu orang-orang yang taat memakmurkan masjid, disamping ada kyai sebagai pimpinan masjid, juga terdapat murid-murid
yang belajar mengaji di sana yang disebut para santri. Hal ini membedakan dengan istilah santri yang dikemukakan oleh Clifford Geertz.