PESANTREN BANTEN MASUKNYA ISLAM DI BANTEN DAN JAWA TIMUR Akar Sejarah PP. Roudlatul Ulum dan PP. Sidogiri

Propinsi Banten, yang pernah dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib Sunatra 1997. Menurut Kartono Kartodirdjo 1984, peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Para jawara bahkan dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten. Dari uraian di atas patut diperhatikan baik ajengan maupun jawara, sejatinya adalah ulama yang bersumber dari dunia pesantren. Penamaan ajengan atau jawara lebih kepada pilihan aksiologis interaksi mereka baik dengan sesama maupun dengan fihak luar. Pada politik Banten kontemporer saat ini keduanya memiliki posisi strategis dimana kekuasaan politik formal membutuhkan legitimasi sosial sekaligus mobilisasi sosial. 5.1.3. Kyai Nawawi Al Bantani, Ulama Banten, Al Ghozaly Moderen Membahas pesantren di Indonesia apalagi di Banten tidak bisa dilepaskan dari nama Nawawi Al Bantani. Buat Masyarakat Banten, gelar Al Bantani yang melekat di belakang nama tokoh ini menjadi kebanggan tersendiri, sebab nama tersebut menunjukkan dari mana ulama tersebut berasal. Nawawi Al Bantani dilahirkan di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana hingga wafatnya pada tahun 1897, beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la dekat dengan makam Siti khadijah istri Nabi Muhammad. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz Pemimpin Ulama Hijaz Hery Sucipto 2007. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah tokoh utama kitab kuning Indonesia, disamping ulama-ulama internasional indonesia lainnya seperti, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri Hery Sucipto 2007. Nama Syekh Nawawi Al Bantani bahkan sering disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i, yaitu Imam Nawawi w.676 Hl277 M. Karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani sangat berjasa dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren, terutama yang berada di bawah naungan NU. Di komunitas pesantren salafiyah, Syekh Nawawi Al Bantani tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tetapi ditempatkan sebagai mahaguru sejati the great scholar. Syekh Nawawi Al Bantani berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut membentuk keintelektualan tokoh-tokoh pendiri pesantren yang sekaligus menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama NU. Karya- karyanya masih dikaji di pada setiap majlis ta’lim pesantren dan dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, seperti ilmu tauhid, fiqh, tafsir sampai tasawuf. Ketenaran Syekh Nawawi Al Bantani bukan hanya di pesantren Indonesia, tulisan-tulisannya juga dikaji di lembaga-lembaga tradisional maupun sekolah-sekolah agama formal di di Malaysia, Filipina dan Thailand Mamat Burhanudin 2007. Van Brunessen 2012 mengatakan setelah tulisan Syekh Nawawi Al Bantani banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman di pesantren mulai berkembang. Sejak tahun 1888 M, kurikulum pesantren mulai menunjukkan perubahan mencolok. Bila sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani mendominasi kurikulum Pesantren, diperkirakan pada 22 judul tulisan yang dipelajari. Penyebaran karya Syekh Nawawi Al Bantani yang meluas ini tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh- tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama , KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah binti Nawawi, KH. Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras Tanjung Kragilan Serang Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kecamatan Tirtayasa Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Syekh Nawawi Al Bantani. Pada bab IV penelitian ini dikemukakan bahwa salah satu ciri pesantren adalah kentalnya pembelajaran tasawuf. Syekh Nawawi Al Bantani merupakan seorang ulama yang mendalami ilmu tasawuf. Brockleman 1982 mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin Al Ghazali. Pengajaran tasawuf di pesantren-pesantren merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks 43 di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya- karyanya Syekh Nawawi Al Bantani di bidang tasawuf mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Syekh Nawawi Al Bantani seperti Al-Ghazali, ia telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim 43 Ajaran tasawuf dalam ajaran agama Islam memang mengenal dua aliran, yaitu tasawuf ortodok dan tasawuf heterodok. Tasawuf ortodok, dengan tokohnya Imam al-Ghazali, tetap mempertahankan transedensi Tuhan yang mengatasi semua makhluk sehingga antara Tuhan dan makhluk terdapat perbedaan. Sebaliknya, tasawuf heterodok, dengan tokohnya yang terkenal Al- Hallaj dan Ibnu Arabi, cenderung pada paham panteistik wahdat al-wujud dan percaya bahwa makhluk merupakan bagian dari Tuhan sehingga ‘manusia dapat menyatu dengan Tuhan’ atau yang sering disebut dengan manunggaling kawulo gusti antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Syekh Nawawi Al Bantani bukanlah peminat teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat Sebagaimana teolog Asy’ary . Syekh Nawawi Al Bantani mengemukakan tema yang perlu diketahui adalah tentang Kemahakuasaan Allah Absolutenes of God. Sebagaimana teolog Asy’ary sebagaimana yang dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah, Nawawi menempatkan dirinya berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, dimana manusia dipandang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Syekh Nawawi Al Bantani telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran teologi yang mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah determinisme di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah indeterminisme Sebagai penganut Asyariyah, Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah sifatiyah Allah . Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mungkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mugkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Dari pemahaman tentang sifatiyah Allah inilah Kemudian dijelaskan mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naqly harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naqly, bukan dari aqyl. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih mengikuti Al-Ghazali dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, Syekh Nawawi Al Bantani mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Menurutnya Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum berguru dan tadarrus belajar sehingga mencapai derajat ‘alim, sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang terpelajar diharapkan tidak hanya menjadi‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Syekh Nawawi Al Bantani, tasawuf berarti pembinaan etika Adab. Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral adab. Sikap kesufian Syekh Nawawi Al Bantani adalah sikap moderat, menurutnya ”akaliah maupun bathiniah masing-masing mempunyai alasan, sepanjang tujuannya adalah mendekatkan diri pada Allah, keduanya merupakan kesatuan yang tidak untuk dipertentangkan”. Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik Hal ini pula yang melatar belakangi pesantren-pesantren salafiyah terutama yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama berbeda dengan pandangan pesantren salafi Wahabi. Pesantren salafiyah dikenal lebih moderat dalam menempatkan fiqih dan tasawuf dibandingkan dengan pesantren salafi wahabi yang kental pada pendekatan fiqih Mamat. S. Burhanudin 2007. 5.1.4. Pesantren Pondok Pesantren Roudlatul Ulum Cidahu Pandeglang Banten : Kobong di masa Moderen 5.1.4.1. Sejarah dan pendiri PP. Roudaltul Ulum Pondok pesantren ini terletak di kampung Cidahu Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang Banten. Didirikan pada tahun 1965 oleh almarhum KH. Muhammad Dimyati yang oleh masyarakat Banten lebih dikenal sebagai Abuya Dimyati, sedangkan di kalangan Nahdliyin dikenal sebagai Mbah Diem. KH Muhammad Dimyati lahir di Pandeglang pada tahun 1925 putera dari pasangan KH. Amin dan Hj. Ruqayah. Beliau merupakan tokoh kharismatik di dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal jamaah. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji mengajar ilmu, salat serta menjalankan kesunatan lainnya. 44 Beliau memiliki garis nasab ke nabi Muhammad melalui garis nasab Syaikh Nawawi Al Bantany. Garis nasab Syaikh Nawawi Nawawi al Bantany adalah ayahnya Syaikh Umar bin Arabi sedangkan ibunya bernama Zubaedah keturunan ke12 dari Sultan Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati syarif Hidayatullah yang memiliki nasab sampai kepada Nabi Muhammad saw. 45 Sebelum mendirikan Muhammad Dimyati berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya, Al “Alim Al “Allamah Abuya KH Tubagus Abdul Halim bin KH Tubagus Muhammad Amin yaitu pada tahun 1942 di Kelurahan Kabayan, Kec. Pandeglang. Abuya Abdul Halim menilai Dimyati sebagai orang yang cerdas dan mukhlis sehingga beliau mengijazahi Thoriqoh Al Qodiriyyah wa An Naqsyabandiyyah. Beliau juga belajar dengan Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan beberapa kyai lainnya yang ada di pulau Jawa. Kesemua guru-guru memiliki sanad keilmuan referensi yang bermuara pada Syekh Nawawi al Bantany. KH. Muhammad Dimyati merupakan penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah, dan dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, bahkan sebagai pakunya negara Indonesia. Di balik kemasyhuran namanya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. KH. Muhammad Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: 44 Faiqoh, Mimbar, vol.28.No.2 Desember, 2012 45 https:ensiklopebanten.wordpress.com20120425silsilah-silsilah-ulama-besar-banten “Thariqah aing mah ngaji” Jalan saya adalah ngaji. Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia member penghargaan terhadap ilmu. Beliau mengutip surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Menurut KH. Muhammad Dimyati Ngaji adalahi sarana pewarisan ilmu. Melalui mengajilah sunnah dan keteladanan nabi diajarkan dan melalui mengaji itu pula tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Tugas para ulama sebagai pewaris para nabi hanya bisa terwujud jika para ulama mengajar ngaji 46 KH. Muhammad Dimyati, meninggal dunia pada tahun 2003, Semenjak beliau wafat keberlangsungan pondok pesantren dipegang oleh putera-puteri beliau 47 . Saat ini KH. Muhtadi Dimyati yang merupakan anak pertama dari KH. Muhammad Dimyati adalah penerus dan sekaligus pengasuh pimpinan pondok pesantren tersebut dibantu oleh saudara-saudaranya. KH. Muhtadi Dimyati dilahirkan pada tanggal 26 Desember 1953. Beliau sejak kecil sudah berkeliling mengikuti jejak ayahandanya untuk berguru dan mengaji di beberapa pondok pesantren.baik yang besar maupun yang kecil. Berbekal ngaji dan kedalaman ilmu agama yang dimilikinya, menginjak umur 17 tahun ia sudah diminta oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang ada di pondok. Semenjak mengajar KH. Muhtadi Dimyati sudah tidak diijinkan oleh ayahnya untuk pergi ke mana-mana. KH. Muhtadi Dimyati mengikuti jejak ayahnya mengajar di pondok pesantren. Termasuk diberi tanggungjawab untu mernjadi pewaris ajaran tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. 5.1.4.2. Kekhususan Pengetahuan di PP. Roudlatul Ulum Pada bab IV dijelaskan bahwa dilihat dari bidang kekhususan pengetahuan, pesantren dibagi menjadi tiga jenis, ketiga jenis pesantren tersebut adalah 1 Pondok pesantren tasawuf yaitu jenis pesantren yang pada umumnya mengajarkan pada santrinya untuk selalu menghambakan diri kepada Allah sang pencipta, dan banyak bermunajat kepada-Nya. 2 Pondok pesantren Fiqh yaitu jenis pesantren yang pada umumnya lebih menekankan kepada santri untuk menguasai ilmu fiqih atau hukum Islam, sehingga diharapkan santri lulusannya dapat menyelesaikan permasalahan hidup berdasarkan hukum Islam. 3 Pondok pesantren alat yaitu jenis pesantren yang pada umumnya lebih mengutamakan pengajaran tentang gramatika bahasa Arab dan pengetahuan filologis dan etimologis, dengan pelajaran utama Nahwu dan Syorof. Pondok Pesantren Roudlatul Ulum PP. Roudlatul Ulum , termasuk ke dalam jenis pondok pesantren Tasawuf. Sekalipun tasawuf 48 merupakan 46 ibid 47 yaitu: Dari istri yang bernama Hj. Amah: KH. Ahmad Muhtadi Dimyati, KH. Murtadho Dimyati, KH. Abdul Aziz kang Ade, Hj. Musfiroh, KH. Muntaqo Dimyati, dan KH Aceng Pandeglang. Sedangkan dari Istri yang bernama Hj. Dalalah yaitu: Hj. Qoyimah dan KH.Mujtaba Dimyati 48 Dalam bidang tasawuf diajarkan: HikamSyarh, lhya Ulumuddin, Risalah Muawanah, Nasaihuddiniyah, Sirajuttalibin, Bidayatulhidayah, Tanwirul Qulub, Salalimul Fudhala, Irsyadul Ibad, Kasyfus Saja, Dalilul Khairat, Hidayatul Adkiya, Sairus Salikin, Hidayatus Salikin, Tanbihul Gafilin, Mudrajus suhud, Irsyad al Fuhul, Zurratun Nasihin, Sabilul Izkar, Mauizatul Mu’minin, Insan Kamil, Al Maftuhah Arabi, Fathu Rabb Al bariyah. Dan dalam bidang akhlak diajarkan: Matansyarah Ta’limulmu ta’allim, Ahlak lil Banin, Akhlak lil Banat, kekhususan pesantren ini, bukan berarti ilmu fiqih, ilmu nahwu dan syorof 49 tidak diajarkan. kedua kelompok ilmu dipelajari dan dipraktikan sehari-hari. Pembelajaran ilmu tasawuf langsung dari kitab aslinya yang berbahasa arab sehingga kemampuan kepada ilmu nahwu dan syorof adalah keharusan. Pengajaran tasawuf yang dikaji dan diamalkan di PP. Roudlatul Ulum khususnya adalah pengajaran tarikat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Tarekat Qadiriyah, adalah tarekat yang dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qadir al - Jailani wafat di Baghdad pada tahun 1156 M. Beliau dikenal sebagai Qutb alAwliya’ kutub para wali. Tarekat Naqsyabandiyah adalah tarekat yang di ambil dari nama Bahaudin Al Bukhara An Naqsyabandi, lahir di Bukhara pada tahun 1317 M. wafat tahun 1389 M . Sejalan dengan perkembangan zaman muncul aliran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang merupakan gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat tersebut dianggap tarikat baru yang berbeda dengan tarikat-tarikat sebelumnya dimana terdapat komponen etika adab yang melengkapi komponen tarikat pada umumnya yaitu, mursyid guru, salik murid, wirid bacaan amalan dan zawiyah tempat belajarmajlis Mahmud Sujuti 2001. Di Banten sendiri tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah dinasabkan kepada Syekh Abdul Karim yang merupakan murid dari Nawawi al Bantani. Secara geneologi pesantren, tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah menggunakan kitab Salalim al-Fudlala karya Nawawi, Nasution Harun 1992 termasuk dalam hal ini di PP. Roudlatul Ulum. Seiring dengan semangat sufisme tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah PP. Roudlatul Ulum dibangun tidak untuk mencari benefit dari proses pembelajaran yang disediakannya. Hal tersebut merupakan amanat KH. Muhammad Dimyati sebagai pendiri kepada para penerusnya. Ajaran tarekat KH. Muhammad Dimyati adalah mengedepankan keikhlasan, kemandirian dan menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak, terutama kepada penguatan kekeluargaan sesama santri. Dengan mengedepankan kemandirian dan kesederhanaan sebuah lembaga keagamaan seperti pesantren akan tetap hidup dan bermanfaat untuk masyarakat. 50 Munadorotul walidiyah, Wasaya, ‘Idotu nnasi’in, ls’adur Rafiq, Tafrihatul Wildan, Wa saya, Nasaihul Ibad, Qamiut Tugyan, Taisirul Khalaq, Nazmul Matlab, Nazmul Akhlaq, Tahliyah, Makarjmul Akhlak, Washiyah Al Mustofa. 49 Dalam bidang fiqih, pesantren mengajarkan kitab-kitab berikut: Nihayat al-Zain, Safinah al- Najah, Fathul Mu’in, Kasyifat Al-Saja, Taqrib, Fath al-Qarib, Kifayatu al-Akhyar, Iqna, Hasyiyah Bajuri, Minhaj al-Thalibin, Minhaj al- Thullab, Mughni al-Muhtaj, Nihayah al- Muhtaj, Fath al-Wahhab, Minhaj al-Qawim, Sullam al-Taufiq, Syarah Sittin, Zubad, Mawahib as-Shamad, Riyad al-Badi’ah, Rohabiyah, Bugyah at- Mustarsyidin, Bidayah Al Hidayah, Al Mahali, Tahrir, Sulam al-Munajat, Uqud al-Lujain, Muhadzab, Fiqh al-Wadih, Tuhfatut Tulab, Nailu al-Author, Safinat as-Salah, Sulam as- Safinah. Dalam bidang ushul fiqih meliputi WaraqatSyarah Al-Waraqat, Lathaifulisyarah, Gayatulwusul, Jam’ul Jawami’, Lubbul Usul, Al Luma’, Al-Asybah wa Al-Nadhair. Dalam bidang Nahwu terdiri dari: MatanSyarh Jurumiyah, Mukhtasar Jiddan, Mulhatul’irab, ‘lmriti, Alfiyah lbnu Malik, Mutamimah, Qowaidul l’rab, Awamil, Fathu Rabul Bariyyah, Al Kawakib al-Duriyyah, Qatrun Nada, Alfiyah Khudari, Syuzurud dahab. Dalam bidang sharaf diajarkan kitab-kitab: Nadom Maqsud, Kitabu Tasrif, Kailani, Matan Kailani, Al Bina Wal Asas, Tashilul Amani, Kafrawi, Mugni Labib. Dalam bidang balaghoh meliputi : Matan Jauharul Maknun, Syarah Jauharul Maknun,dan Uquduj Zuman. 50 Wawancara dengan Abuya Muhtadi, 24 Februari 2015. 5.1.4.3. Klasifikasi dari Pola Pengajaran di PP. Roudlatul Ulum Berdsarkan klasisifikasi pola pengajaran, pesantren diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu: 1 pesantren tradisional salafiyah yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri. yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab. 2 pesantren modern kalafiyah yaitu pondok pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren.Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi, karenanya pemahaman terhadapkitab kuning kurang mendalam. 3 pesantren komprehensif yaitu pondok pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan dan pengajaran antara yang tradisional dan yang modern. PP. Roudlatul Ulum adalah pesantren tradisional salafiyah yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri. yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab. Kurikulum di pesantren tidak distandarisasi, oleh sebab itu bisa berbeda pesantren satu dengan yang lainnya. Pesantren Roudlotul Ulum ini menggunakan kitab-kitab kuning dan cara yang pernah digunakan oleh Kyai Dimyati semasa beliau masih hidup. Pada masa lampau banyak kiai yang terkenal sebagai spesialis keilmuan tertentu, seperti kiai yang ahli dibidang fiqh atau tafsir itupun tidak disistematisir melalui sebuah kurikulum. Namun metoda penyampaian pengajaran sebagaimana pada pesantren salafiyah umumnya di d PP. Roudlatul Ulum dilakukan dengan cara bandongan dan sorogan. Bandongan atau Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang berarti memperhatikan secara seksama atau menyimak. Bandungan bandongan atau wetonan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan PP. Roudlatul Ulum. Bandungan halaqoh digunakan untuk mengajarkan kitab-kitab kuning tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari kecuali hari Jumat, dari pagi buta setelah shalat shubuh sampai menjelang sholat Dzuhur. Sebagaimana pada pesantren salafiyah tradisional lainnya, Sistem bandungan yang dilakukan di PP. Roudlatul Ulum adalah sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar, di mana kyai membacakan kitab, menerjemah dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok belajar dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Sistem bandungan bandongan atau wetonan dibangun di atas filosofis, bahwa 1 pendidikan yang dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak dibandingkan secara individual, 2 pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya mendengar adalah sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah pengetahuan tersebut. 3 penambahan, dan kritik dari sang murid pada kyai merupakan hal yang tidak biasa atau tabu, dan dapat dianggap sebagai tindakan su al-adab berakhlak yang tidak baik. Di PP. Roudlatul Ulum sistem bandongan bisa diikuti sampai 500 orang, mereka mendengarkan seorang GuruKyai yang membaca, menerjemahkan,menerangkan dan mengulas kitab-kitab berbahasa Arab. Setiap santri memperhatikan bukukitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Metode pengajaran bandungan ini adalah metode bebas, sebab tidak ada absensi santri, dan tidak ada pula sistem kenaikan kelas. Santri yang sudah menamatkan sebuah kitab boleh langsung menyambung ke kitab lain yang lebih tinggi dan lebih besar. Sistem kedua yang dipakai adalah sistem sorogam. Sistem sorogan adalah sistem membaca kitab secara individul, atau seorang murid nyorog menghadap guru sendiri-sendiri untuk dibacakan diajarkan oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali. Pada prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya Sunda atau Jawa. Pada gilirannya santri mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata word by word sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunyakyai. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa agar murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat Arab. Dengan cara sistem sorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sorogan memungkinkan sang kiai dapat membimbing, mengawasi, menilai kemampuan murid. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid. Dari segi ilmu pendidikan modern, metode ini disebut metode independent learning, karena, antara santri dan kiai saling mengenal erat, kyai menguasai benar materi yang harus diajarkan, dan murid akan belajar dan membuat persiapan sebelumnya, antara kyai dan santri dapat berdialog secara langsung mengenai materi yang didiskusikan. Sistem sorogan biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán atau kitab. Dalam sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari sistemkeseluruhan pengajaran pesantren, karena di sana menuntut kesabaran kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Di sini banyak murid yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka harus mematangkan diri dalam metode tersebut sebelum dapat mengikuti sistem lainnya. Sebab pada dasarnya murid yang telah menguasai sistem sorogan inilah yang dapat memetik manfaat keilmuan dari sistem bandongan di pesantren. Disamping itu juga dilakukan Sistem Musyawarah atau Munadzarah.Sistem musyawarah atau munadzarah. Para asatidz guru-guru ini dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yunior ustad muda, dan yang senior, mereka menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matang dengan mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kiai muda. Dalam kelas musyawarah sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Di sini para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kiai memimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam wacana kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. 5.1.4.4. Sarana dan Prasarana di PP. Roudaltul Ulum Berbeda dengan pondok-pondok pesantren salafiyah lainnya yang sudah difasilitasi oleh bangunan-bangunan dan fasilitas moderen lainnya, di PP. Roudlatul Ulum khususnya untuk sarana dan prasarana santri, modernitas adalah sesuatu yang dijauhkan. Sebagaimana fasilitas pesantren pada umumnya di PP. Roudlatul Ulum juga terdapat ; a tempat tinggal kyai, b tempat tinggal santri, c tempat belajar bersama, d tempat ibadah sembahyang, e tempat memasak dapur santri, dan lain. Rumah Kyai di PP. Roudlatul Ulum, terletak di dalam kompleks pesantren berupa rumah tembok berukuran sedang. Untuk ukuran di desa Cidahu rumah Kyai Muhtadi terbilang cukup baik. Rumah terdiri dari dua bagian, yaitu rumah utama yang merupakan tempat tinggal Kyai beserta keluarganya, dan di sebelah kiri terdapat paseban ruang terbuka tempat kyai menemui para tamu atau santri. Rumah tembok ini merupakan bangunan yang dibangun pada awal tahun 80-an, dibangun oleh Kyai Dimyati pendiri PP Roudlatul Ulum ayah Kyai Muhtadi adalah untuk anak-anaknya, sedangkan kyai Dimyati sendiri memilih tinggal di rumah panggung beratap rumbia yang disebut kobong hingga akhir hayatnya. Para santri masih tinggal di Kobong rumah-rumah panggung beratap rumbia dengan dinding yang terbuat dari bilik bambu. Para santri tidur beralaskan tikar pandan tanpa bantal. Lima tahun yang lalu, pimpinan pondok masih melarang penggunaan lampu listrik untuk penerangan, namun belakangan dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya kebakaran akibat penggunaan lampu teplok, penerangan listrik diperkenankan. Namun demikian penerangan lampu listrik terbatas pada kamar-kamar tertentu saja, yaitu kamar yang digunakan oleh para santri untuk membaca kitab. PP. Roudlatul Ulum mempunyai 13 Kobong, yaitu kobong Cau, Sawah, Merpati, Prinsip, Darul Ayyam, Asmuni, Gede, Baru, Majlis, Cigarawa A, Cigarawa B dan Cigarawa C. Masing-masing kobong ditempati oleh sekitar 25 sampai 30 santri. Penamaan Kobong nampaknya tidak ada aturan pakem tertentu, namun lebih kepada untuk mengingatkan satu peristiwa, tokoh atau tempat. Penamaan kobong diberikan oleh santri bukan oleh kyai. Kamar mandi ada di setiap kobong, dengan bak-bak yang besar. Dahulu bak ini diisi dengan cara menimba air dari sumur dilakukan secara bergantian piket oleh santri, tatapi sekarang sudah ada pompa air listrik untuk mengisi bak-bak tersebut. Tempat belajar bersama untuk acara holaqoh atau bandongan adalah satu aula besar di bangunan berlantai dua yang dibangun dengan konstruksi beton bertulang. Lantai dua yang digunakan sebagai aula tempat belajar sudah berlantaikan keramik dengan dinding terbuka sehingga ruangan ini memiliki sirkulasi udara yang baik. Lantai dasar gedung ini digunakan sebagai dapur umum. Di lantai dasar lantai flooring adalah tanah, alat masak yang digunakan adalah pawon dalam bahasa Sunda banten disebut hawu. Di beberapa pojok juga terlihat kandang ayam dan angsa. Para santri memasak bersama untuk keperluan sehari-hari termasuk memasakan untuk kyai dan keluarganya. Apa yang dimasak oleh santri itu pula yang dimakan oleh kyai dan keluarganya. Seluruh biaya masak dikeluarkan oleh rumah tangga kyai. Disamping untuk acara bandongan, aula ini juga dijadikan sebagai tempat sholat berjamaah kecuali untuk sholat Jum’at. PP. Roudlatul Ulum tidak memiliki masjid sendiri, untuk sholat jumatan para penghuni pesantren termasuk kyai Muhtadi sholat jumat berjamaah bersama masyarakat di masjid desa Cidahu. Sekalipun sebagai tokoh yang disegani di Banten, pada saat sholat jumat, kyai Muhtadi tidak keberatan untuk menjadi makmum di masjid desa. 5.1.4.5. Jumlah santri PP. Roudaltul Santri di Jumlah santri di PP. Roudaltul Ulum dibagi menjadi dua kelompok yaitu santri mondok dan santri kalong. Santri mondok adalah mereka yang tinggal menetap di pondok. Santri mondok ini biasanya adalah kelompok santri usia remaja yang sudah menamatkan aliyah di tempat lain kemudian ke PP. Roudaltul Ulum untuk mendalami ilmu tasawuf. Santri kalong adalah santri yang tidak menetap di pondok tetapi secara rutin mengikuti holaqoh di PP. Roudaltul Ulum, yaitu pada pengajian majlis kyai di hari sabtu dan minggu atau pada perayaan teretntu. Mereka pada umumnya adalah para ustadz atau para kyai lainnya yang ingin memperdalam ilmu ketasawufan. Roudlatul Ulum, tidak pernah ada data yang akurat. Ketidakakuratan data ini disebabkan PP. Roudlatul Ulum tidak memiliki manajemen pencatatan santri, baik yang masuk maupun yang keluar. Jangankan peraturan, pesantren ini tidak seperti pesantren-pesantren yang lain di Jawa yang memiliki kantor, humas, struktur organisasi dan sebagainya. Meskipun demikian, ngaji dan aktivitas pesantren yang lain bisa berjalan dengan lancer tanpa ada hambatan jika. Semua didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan dan kesadaran. Para santri memiliki nalar yang cukup baik ceat mengerti dan menyerap adat, tradisi, dan kesepakatan yang sebenarnya semua itu sudah masyhur dalam aturan yang baku di dalam syara’ dan pekerti para ulama tasawuf. Proses masuk seorang santri adalah melalui proses sowan ke kyai dan meminta ijin untuk mengikuti pengajian yang dipimpinnya, apabila kyai mengijinkan maka orang tersebut bisa memulai menjadi santri. Untuk tempat tinggal, Santri baru bisa menemui seniornya untuk mendapatkan tempat tidur. Seseorang bisa keluar dari pesantren pun tidak melalui proses ujian akhir sebagaimana lembaga pendidikan lainnya. Seseorang keluar dari PP. Roudaltul Ulum, bisa disebabkan oleh perintah kyai maupun atas keinginan sendiri. Keluarnya seorang atas perintah kyai biasanya karena yang bersangkutan dipandang oleh kyai sudah bisa mandiri untuk mengajar di tempat lain atau oleh pertimbangan yang bersangkutan sudah harus menikah atau membina rumah tangga. Diperkirakan jumlah santri mondok di PP. Roudaltul Ulum adalah sejumlah 700 orang terdiri dari 500 orang santri putra dan 200 santri putri. 51 51 Santri putra dan putrid dipisah secara ketat, termasuk dalam hal pengasuhan. Kyai Muhtadi hanya memberi pengajaran kepada santri putra. Santri putri diurus oleh Nyai istri kyai dan oleh ustadzah lainnya. Pengajaran untuk santri putri adalah pada bidang fiqih dan Tahfidz Qur”an menghafal al Quran. Secara fisik fasilitas santri putri dan santri putra tidaklah berjauhan, Santri yang datang di Roudlotul Ulum memiliki latar belakang pendidikan yang sudah mengantongi ijazah formal baik setara MtsSMP, AliyahSMA bahkan lulusan S1. Pola belajar di pesantren yang seperti ini menurut kiai mempunyai dampak yang positif karena mereka mempunyai kosentrasi yang luar biasa, tidak berbagi dengan pendidikan formal atau keinginan dipendidikan formal. Para santri yang mondok di Cidahu pada umumnya sudah mengalami mesantren di berbagai tempat dan pernah belajar kitab kuning sebelumnya. Itu adalah sebuah persyaratan karena kyai tidak akan memberikan pengajian dari awal atau tidak ada pengajian untuk pemula. Diantara santri yang diwawancari, mereka pada umumnya sudah pernah mondok di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Motivasi mereka melanjutkan mondoknya di tempat ini diantaranya karena: 1 Ingin mengembangkan dan meneruskan ngaji kitab kuning, 2 kepentingan pribadi yaitu memperbaiki diri terutama dalam hal kesufian mengikuti jejak para kyai masa lamapu, 3 menjadi kyai yang mumpuni dan dapat membuka pesantren baru. Para santri mondok tidak dipungut biaya apapun, seluruh keperluan santri selama mondok di PP. Roudaltul Ulum, adalah tanggung jawab kyai. Kyai membelikan buku-buku kitab-kitab untuk para santrinya. Pada saat mondok, mereka hanya diwajibkan ngaji dan ibadah saja. Mereka diharuskan masakngliwet sendiri, tidak boleh makan di warung, hal tersebut diharuskan karena merupakan suatu unsur khidmat terhadap ilmu yang sedang dipelajarinya yang sedang membutuhkan energi badaniyah dalam mengaji, sedangkan jajan atau makan di warung merupakan hal yang tercela bagi yang sedang mencari ilmu. Mereka diwajibkan berakhlakul karimah seperti harus selalu mengenakan sarung dan baju berlengan panjang. kecuali untuk santri kalong apabila ada santri yang ingin berhidmat, kyai mau menerimanya.

5.2. PESANTREN JAWA TIMUR

5.2.1. Sejarah Pesantren di Jawa Timur : Tasawuf Dan Saudagar Setelah membahas sejarah masuknya islam di Banten, di bawah ini akan dibahas tentang masuknya Islam di Jawa Timur. Pembahasan sejarah menjadi penting, untuk memahami karakteristik pesantren yang ada di Jawa Timur saat ini. Sebagaimana dikemukakan para ahli sejarah, bahwa keadaan hari ini tidak terlepas dari refleksi sejarah masa lampau. Komunitas muslim pertama di Jawa Timur pertama kali diberitakan oleh Man Huan yang mengatakan bahwa antara tahun 1415-1432 di Jawa bagian Timur terdapat tiga kelompok komunitas. Pertama adalah penduduk Muslim yang berasal dari Barat, kedua komunitas Cina yang beberapa di antaranya telah memeluk Islam, dan ketiga penduduk pribumi sedikit tetapi setidaknya telah ada indikasi adanya pemukiman Islam. Nisan kubur makam Malik Ibrahim juga namun ada kode etik yang sangat keras mengenai hal ini, jarak antara pondok putera dan puteri hanyalah beberapa meter. Biarpun begitu jendela kamar pondok putera tidak pernah dibuka. Kalaupun dibuka hanya sedikit sekedar untuk ventilasi, Para santri sangatlah sadar dan mahfum bahwa membuka jendela dan melirik santri puteri taruhannya adalah boyong dipulangkan tidak hormat. berangka tahun 1419. Walaupun dipercaya sebagai penyebar Islam tetapi tidak ada sumber pasti yang mengatakan demikian, sangat mungkin dia adalah pedagang Muslim yang berasal dari Gujarat, India yang meninggal dalam perjalanan dagang Dedi Supriadi 2009 Masuknya Islam di Jawa Timur dimudahkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah faktor politik, pada abad 14, Majapahit sebagai kerajaan yang menguasai wilayah tersebut sedang mengalami kemunduran. Majapahit mengalami perang saudara yang tidak berkesudahan, beberapa wilayah di luar Jawa melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Hilangnya kekuasaan di beberapa daerah menyebabkan kekayaan pemerintah pusat semakin melorot yang berdampak pada menurunnya kewibawaan pemerintahan slamet Mulyana 2005. Faktor kedua adalah terbukannya akses internasional, sudah lama kota-kota di pesisir Jawa Timur, seperti Gresik dan Tuban merupakan pelabuhan Internasional yang menghubungkan perdagangan dunia melalui jalur laut. Perdagangan Internasional yang terjadi di kota-kota pelabuhan menyebabkan keterbiasaan masyarakat pada keanekaragaman budaya. 52 Di kota pesisir Jawa Timur pamor kekuasaan feodal bergeser ke pamor kekuasaan pedagang. Karena itu para pedagang islam yang merupakan saudagar- saudagar memiliki pamor di mata masyarakat pesisir. Saudagar-saudagar itulah yang pertama-tama memperkenalkan Islam kepada masayarakat pesisir Jawa Timur. Belakangan setelah adanya penerimaan yang cukup baik dari masyarakat dan tidak adanya hambatan secara politik dari penguasa setempat, para saudagar, selain mereka berdagang mereka juga mengajak para pendakwah yang pada umumnya adalah kalangan sufi Nurcholis Madjid 1999. Keberangkatan para sufi ke nusantara tidak lepas dari kondisi politik di pusat-pusat peradaban Islam Timur Tengah pada abad itu. Politik Timur tengah pada abad 13-14 Masehi ditandai oleh adanya perang antar kekuasaan dinasti Usmaniyah dan dinasti Safawiyah. Akibat dikalahkan oleh dinassti Usmaniyah. Kekuasaan dinasti Safawiyah yang sebelumnya ada di jazirah Arab dan Persia mulai bergeser ke Asia Selatan sampai Gujarat. Dinasti Safawiyah bermula dari gerakan Sufi di kawasan Azarbaijan yang disebut Safawiyeh. Pendiri gerakan Sufi ini ialah Sheikh Safi Al-Din [ 1252–1334. Pada abad 13-14 Di Arab saudi sendiri muncul gerakan pemurnian Islam yang dipimpin oleh Ibn Taimiyah yang belakangan menginspirasi Gerakan Wahabi.Tekanan politik dinasti Usmaniyah dan gerakan pembaharuan Ibn Taimiyah, menyebabkan para ulama sufi mencari tempat dakwah lainnya, diantaranya adalah wilayah nusantara yang sudah menjadi wilayah perdagangan saudagar muslim saat itu Islahi Abdul Azim 2009 Para kaum sufi yang menumpang di kapal-kapal dagang dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam adalah pengamal tarekat yang menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, menekankan aspek-aspek keluwesan fleksibilitas ajaran Agama Islam. Berbeda dengan pemikiran Ibn Taimiyah yang menekankan cara hidup nabi Muhammad sebagai row-model, dimana menurut ajaran Ibn Taimiyah nabi Muhammad tidak pernah menjalankan kehidupan sufistik. Menurut Maryam 2002 para sufi menawarkan kompabilitas Tasawuf Islam dengan mistisisme setempat. Para sufi ini memiliki otoritas kharismatik kekuatan magis dan sehingga masyarakat Jawa mau menerima ajaran Agama Islam. 52 https:fhamfacorporate.wordpress.comauthorfhamfacorporate Berbeda dengan para saudagar muslim yang datang dan pergi, para sufi ini tinggal menetap. J.C. Van leur 1957 mengatakan di wilayah Jawa Timur, bersamaan dengan melemahnya kekuatan Majapahit, seorang alim ulama bergelar Maulana Malik Ibrahim masuk ke wilayah Jawa. Sesampainya di wilayah tersebut, Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Maulana Malik Ibrahim mendirikan tempat berdagang untuk masyarakat sekitar. Dengan memberikan harga murah maka berkumpulkan para masyarakat melakukan transaksi perdagangan dengannya, ia tidak hanya membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, tapi juga memberikan pengarahan agar kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Perdagangan dan sufisme menjadi jalan masuknya Islam ke Jawa Timur. Pedagang yang sebelumnya merupakan kelas menengah pada masyarakat Hindu- Budha telah bergeser statusnya oleh kehadiran pedagang-pedagang muslim. Para penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatan perdagangan di wilayahnya memeluk Islam agar mendapatkan dukungan dari para pedagang Muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi J.C. Van leur 1957. Ricklefs 2001 mengatakan hal yang sama bahwa bukan hanya masyarakat awam tetapi para raja dan bupati pun didorong oleh situasi politik dan keamanan berhubungan dengan pedagang muslim juga. Situasi politik inilah yang yang lambat laun menjadikan keluarga kerajaan atau bangsawan Majapahit menganut Agama Islam. Islam masuk ke Jawa Timur tanpa melalui proses kekerasan, Masuknya agama Islam di jawa timur sama halnya dengan yang terjadi di Banten merupakan suatu proses pergeseran peradaban masyarakat yang ditandai dengan bergesernya kebudayaan yang bercorak Hindu-Budha menjadi kebudayaan bercorak Islam. Menururt Mas’ud 2011 perubahan dalam bentuk konversi Hindu-Budha ke Islam justru terjadi pertama di antara masyarakat nelayan dan bukan kerajaan di pedalaman karena pandangan masyarakat pesisir lebih egalitarian dan keterbukaan dan mobilisasi adalah ciri lain masyarakat pesisir yang lebih kondusif terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar maupun dalam. Keberhasilan para penyebar Agama Islam di Jawa Timur pada abad XV– XVI juga ditunjukkan dengan keberhasilan para penyiar Islam menguasai jaring- jaring perdagangan laut seperti pada pelabuhan Gresik . Ibrahim Asmarakandi dan Maulana Mashfur yang datang ke Jawa melalui pelabuhan Gresik pada tahun 1371 M, diangkat sebagai syah-bandar yang menguasai kota pelabuihan di Gegisik Gresik yang dilanjutkan oleh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1378 M. Dengan penguasaan wilayah pesisir mendorong tumbuhnya komunitas- komunitas Muslim di kota-kota pelabuhan seperti kota pelabuhan Gresik yang pada akhirnya dijadikan sebagai pusat Islam di Jawa Timur. Untuk mendukung masyarakat Muslim, di pusat-pusat Islam didirikan masjid sebagai pusat kendali dan menjadi pusat sosial politik dan ekonomi Islam. Masjid memainkan peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa termasuk daerah-daerah pedalaman.. Kota-kota pelabuhan di Jawa Timur tidak dijadikan pusat pemerintahan oleh para penyiar agama Islam. Pusat pemerintahan justru dipilih di pesisir utara Jawa tengah yaitu daerah Demak. Alasan mengapa Jawa Timur tidak dijadikan pusat pemerintahan oleh para penyiar agama Islam yang sebenarnya sudah mempunyai legitimasi politik pada saat itu. Alasannya adalah para bangsawan atau penguasa Majapahit sekalipun bersikap terbuka terhadap agama Islam namun tidak mempunyai komitmen politik yang utuh untuk pengembangan Islam lebih lanjut. Kota-kota di pesisir Jawa Timur sendiri sudah menjadi daerah pusat perdagangan yang multi ras, karenanya pesisir Jawa Timur dibiarkan tetap menjadi kota-kota perdagangan. Islam yang berkembang di Jawa Timur dicirikan dengan masyarakat Islam yang tak bergantung dengan kekuasaan. Elite Islam di Jawa Timur tumbuh komplementer dengan elite feodal kerajaan masa lalu. Dua kelompok elite inilah yang melahirkan kelompok elite santri dan abangan seperti yang dikemukakan oleh Geertz. 53 Elite Islam di jawa Timur lebih terbuka karena keislaman mereka adalah dampak dari perdagangan, berbeda dengan elite Islam di Banten yang dilahirkan oleh kekuasaan. Elite Islam di Jawa Timur pun ditandai oleh adanya kompetisi, kompetisi ekonomi dengan pedagang-pedagang non muslim dan kompetisi politik oleh feodal lama dan belakangan dengan penjajah. Kompetisi ekonomi dan kompetsisi politik ini terus berlangsung hingga saat ini. Tidak ada catatan khusus sejak kapan pesantren di Jawa Timur ini muncul. Namun secara tradisi kemunculan pesantren diawali dengan pendirian- pendirian masjid oleh para kyai. Tercatat kemunculan beberapa pesantren besar yang berpengaruh, antara lain Pesantren Sidogiri Pasuruan didirikan tahun 1745, pesantren Panji Siwalan Sidoarjo didirikan tahun 1770, Pesantren Tremas Pacitan didirikan tahun 1830, Pesantren Langitan Tuban didirikan tahun 1852, Pesantren Jampes Kediri didirikan tahun 1886, Pesantren Guluk-guluk Sumenep didirikan tahun 1887, dua pesantren lain yaitu Pademangan Bangkalan dan Maskumambang Gresik tidak diketahui dengan pasti kapan berdirinya, tetapi diperkirakan pada pertengahan abad 19 Mas’ udi 1986. Secara umum perkembangan pesantren meningkat dengan cepat pada awal abad XX karena banyaknya orang yang pulang dari menunaikan ibadah haji pada akhir abad 19 Hurgronje 1993; Kartodirdjo 1984. Beberapa orang di antara haji tersebut berhasil mendirikan pesantren yang menjadi besar dan memiliki santri cukup banyak tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur. Pesantren tersebut antara lain Tebuireng, Rejoso, Lirboyo, Sukorejo,dan Gontor Pondok Modern Gontor 1941. Ilmu keagamaan yang berkembang di pesantren Jawa timur sejak awal adalah untuk memperdalam pemahaman tentang tauhid, fikih, dan berbagai masalah muamalah. Referensi yang digunakan adalah kitab kuning yang merupakan karya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab kuning dikelompokkan menjadi tiga yakni kitab matn, syarah, dan hasyiyah. Kitab matn adalah kitab yang berisi uraian singkat dan padat, kitab syarah adalah kitab penjelasan secara lebih panjang apa yang ditulis dalam kitab matn. Kitab Hasyiyah adalah kitab yang berisi kritik, komentar, revisi dan berbagai pendapat ahli tentang hal-hal 53 Trikotomi Geertz yang menyebutkan santri dan priyayi sebagai pengelompokan ketaatanh beragama, menimbulkan kritik karena tidak tepat menggunakan istilah priyayi sebagai alat untuk pengelompokkan tingkat ketataan dalam menjalankan agama Islam 53 . Alih-alih sebagai kategori tingkat ketaatan dalam beragama, priyayi lebih merupakan kategori pengelompokkan sosial yang dapat dikontraskan dengan wong cilik, bukan dengan abangan dan santri yang ditulis dalam kitab matn maupun syarah. Kitab kuning yang dipelajari di Indonesia disebut sebagai Al Kitab al- Mutabarah dalam lingkungan Ahlus Sunnah Wal Jamaah Mastuhu 1994. Dalam menemukan kebenaran suatu masalah, kitab kuning menggunakan metode istimbathi, istiqra i, takwini, dan jaddali. Istimbathi adalah metode deduktif yang digunakan untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan menjadi masalah fikihiyah. Istiqra i adalah metode induktif yang digunakan menetapkan hukum, Takwini adalah metode genetika yakni cara berpikir mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya. Jaddali adalah metode dialektika yakni cara berpikir yang diangkat dari pertanyaan atau pernyataan seseorang yang diperdebatkan Chozin 1989. Di Jawa Timur kitab kuning yang menjadi rujukan utama adalah kitabkitab kuning yang tergolong dalam rumpun kitab fikih van Den Berg 1886. Judul kitab kuning yang populer adalah Taqrib dan Fathal al-qarib ANRI. Ag. No. 44 Tanggal 4 Nopember 1890; van Bruinessen 1989. Hampir seluruh pesantren Jawa Timur menggunakan kedua kitab tersebut Mas udi 1986; Umam et al. Tt. Secara umum fikih tentang ubudiyah merupakan materi yang dipelajari di semua pesantren. Selain kedua kitab tersebut di atas terdapat beberapa kitab yang juga populer yaitu Safinatun Najjah, Sullam at Taufiq, As-Sittin Mas alah, dan Mutashar. Setelah kitab tersebut baru dilanjutkan dengan kitab fikih lanjutan, baik yang berupa pendalaman materi ibadah ubudiyah maupun materi yang lain. Kitab kuning rujukan yang digunakan di Jawa Timur secara umum dapat dikelompokkan dalam dua bidang kajian, yakni bidang tauhid dan fikih. Di bidang tauhid kitab-kitab kuning yang dipelajari di pesantren Jawa Timur adalah pemikiran Asyari ah yang berisi antara lain sifat, wajib, mustahil, dan jaiz Allah. Judul kitab tersebut antara lain Al-aqoid al Shubra, Aqidah al Syamsyiah, Matn Al-Jauharat, Matn Al Bajuri, dan Al-Kharidat Al- Baliyat. Di bidang fikih kitab kuning yang digunakan sebagai rujukan di pesantren Jawa Timur adalah hasil pemikiran dari empat mazhab, terutama dari mazhab Syafii Wahid, dalam Abdullah dan Sharon Siddique, 1989. Kitab fikih yang dipelajari antara lain Taqrib, Safinat Al-Shalat, Safinat Al-Najah, Masail As-Sittin, Minhajul Qowim, Al Hawasyi al Madaniyat, Fath Al-Qarib, Al Iqna, dan Fath Al-Muin Departemen Agama 1971. Bersamaan dengan terjadinya penyebaran pesantren ke berbagai daerah, maka pemikiran keagamaan sebagaimana yang terkandung dalam kitab-kitab kuning juga ikut menyebar ke masyarakat. Paham ahlus sunnah wal Jamaah yang merupakan salah satu dari paham pemikiran Islam menjadi paham keagamaan yang ikut tersebar di Jawa Timur. Demikian pula dengan pemikiran empat mazhab dalam fikih, dan pemikiran tasawuf yang dikembangkan oleh Junaid Al- Bagdadi. Pandangan bahwa pesantren telah menghentikan budaya pikir dengan taqlid pada pendapat sebelumnya tidak sepenuhnya benar, karena dari pesantren juga muncul karya-karya ilmu keagamaan yang diakui memiliki bobot keilmuan. Seperti halnya di banten, Satu sisi dari kehidupan pesantren di jawa timur pun adalah berkembangnya bidang tasawuf, wujudnya adalah amalan- amalan tarekat yang juga bersumber dari Timur Tengah. Tarekat yang banyak berkembang adalah Qadiriyah wa Naqsabandiyah Bruinessen 1996. Sumber kolonial menginformasikan bahwa tarekat Qadiriyah telah berkembang di Kediri sejak lama ANRI 1981; Lith 1917. Pesantren Rejoso Jombang menjadikan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah sebagai bagian tak terpisahkan dari aktivitas pesantren. Tarekat tersebut diajarkan pertama kali oleh Kiai Kholil menantu Kiai Tamim pendiri dan pengasuh Pesantren Rejoso. Kiai Kholil mengambil sanad kemursyidan dari K.H. Achmad Chatib Sambas Majelis Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ulum 1997. Tarekat qadiriyah wa naqsabandiyah yang berkembang di Pesantren Rejoso berbeda dengan tarekat Qadiriyah dan Naqsaban-diyah di tempat lain,khususnya dalam pengorganisasiannya. Terdapat beberapa hal yang membedakan antara lain bahwa tarekat yang berkembang di Pesantren Rejoso tidak mengenal amalan suluk secara khusus dan semata-mata bersifat askestis keakheratan, amalan keduniawian sepenuhnya mengikuti paham ahlus sunnah wal jamaah, ini yang sedikit membedakan dengan Tarekat qadiriyah wa naqsabandiyah yang dikembangkan oleh di banten. Ajaran dasar tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah menjadikan seseorang agar selalu dekat dengan Allah Subhana-wata ala. Untuk itu seseorang harus dapat mencapai maqam tertentu dengan latihan-latihan yang teratur dan berkesinambungan. Dalam proses latihan tersebut diperlukan seorang guru Mursyid agar tidak salah arah. Jika seorang pengikut berhasil menjalankan latihan dengan baik, maka ia akan mencapai maqam tertinggi yakni ma rifat. Latihan yang ditempuh antara lain melalui zikir secara teratur setiap selesai salat wajib dan pada acara khususiyah tarekat.Seorang yang akan menjadi pengikut tarekat harus menjalani bai’at dihadapan mursyid. Bai at adalah proses ikrar setia kepada guru mursyid untuk selalu taat dan patuh menjalankan tuntunannya dalam menjalan amalan tarekat. Acara prosesual bai at merupakan serangkaian pembacaan amalan zikir dan doa yang dipimpin oleh Mursyid Tamim 2001. Setelah di bai at seorang pengikut tarekat setidaknya harus hadir lagi selama tujuh kali pertemuan dalam acara khususiyah yang dipimpin oleh Mursyid untuk menyempurnakan pemahaman dan perilaku ritual tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Perkembangan tarekat pada masa Kiai Kholil dari tahun 1895-1937 dari segi jumlah pengikut tidak begitu banyak, hal ini salah satunya disebabkan adanya persyaratan usia di atas 40 tahun bagi seseorang yang ingin menjadi pengikut. Namun keterbatasan jumlah pengikut tersebut diimbangi dengan keberhasilan dalam kaderisasi penerus kepemimpinan tarekat, sehingga menjadi pondasi bagi perkembangan tarekat di masa-masa berikutnya. Aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah keberadaan pesantren sebagai pusat aktivitas, bersatunya kharisma kiai pesantren dengan kharisma guru tarekat, dan keberhasilan kaderisasi. Keberadaan Pesantren sebagai pusat aktivitas tarekat sangat menguntungkan perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, karena Mursyid dengan mudah mengadakan konsolidasi dan memperlancar acara-acara khususiyah tarekat. Bersatunya kharisma kiai dan kharisma Mursyid sangat menunjang perkembangan tarekat, karena menimbulkan rasa ketaatan yang lebih kuat. Seorang kiai memiliki kharisma yang menimbulkan pengaruh luas di kalangan masyarakat, sedang kharisma seorang mursyid melahirkan ikatan emosional yang melembaga di kalangan pengikutnya. Dengan demikian tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dapat berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan aman. Keberhasilan pengkaderan adalah aspek yang menentukan perkembangan tarekat di masa-masa berikutnya. Pola hubungan antar pesantren di Jawa Timur