PESANTREN BANTEN MASUKNYA ISLAM DI BANTEN DAN JAWA TIMUR Akar Sejarah PP. Roudlatul Ulum dan PP. Sidogiri
Propinsi Banten, yang pernah dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib Sunatra 1997.
Menurut Kartono Kartodirdjo 1984, peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang
merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat
dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Para jawara bahkan dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan
kekerasan dalam masyarakat. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal “jawara” saat ini sangat
besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan
politik di Banten.
Dari uraian di atas patut diperhatikan baik ajengan maupun jawara, sejatinya adalah ulama yang bersumber dari dunia pesantren. Penamaan ajengan
atau jawara lebih kepada pilihan aksiologis interaksi mereka baik dengan sesama maupun dengan fihak luar. Pada politik Banten kontemporer saat ini keduanya
memiliki posisi strategis dimana kekuasaan politik formal membutuhkan legitimasi sosial sekaligus mobilisasi sosial.
5.1.3. Kyai Nawawi Al Bantani, Ulama Banten, Al Ghozaly Moderen Membahas pesantren di Indonesia apalagi di Banten tidak bisa
dilepaskan dari nama Nawawi Al Bantani. Buat Masyarakat Banten, gelar Al Bantani yang melekat di belakang nama tokoh ini menjadi kebanggan tersendiri,
sebab nama tersebut menunjukkan dari mana ulama tersebut berasal. Nawawi Al Bantani dilahirkan di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang,
Banten pada tahun 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana hingga wafatnya pada tahun 1897, beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la
dekat dengan makam Siti khadijah istri Nabi Muhammad. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz Pemimpin Ulama Hijaz
Hery Sucipto 2007.
Syekh Nawawi Al-Bantani adalah tokoh utama kitab kuning Indonesia, disamping ulama-ulama internasional indonesia lainnya seperti, Syekh Abdul
Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh
Muhammad Mahfudz Al Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa
universitas di luar negeri Hery Sucipto 2007. Nama Syekh Nawawi Al Bantani bahkan sering disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab
Syafi’i, yaitu Imam Nawawi w.676 Hl277 M. Karya-karya Syekh Nawawi Al Bantani sangat berjasa dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang
dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren, terutama yang berada di bawah naungan NU. Di komunitas pesantren salafiyah, Syekh Nawawi Al Bantani tidak
hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tetapi ditempatkan sebagai mahaguru sejati the great scholar. Syekh Nawawi Al Bantani berjasa meletakkan landasan
teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut membentuk keintelektualan tokoh-tokoh pendiri pesantren
yang sekaligus menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama NU. Karya- karyanya masih dikaji di pada setiap majlis ta’lim pesantren dan dijadikan
rujukan utama dalam berbagai ilmu, seperti ilmu tauhid, fiqh, tafsir sampai tasawuf. Ketenaran Syekh Nawawi Al Bantani bukan hanya di pesantren
Indonesia, tulisan-tulisannya juga dikaji di lembaga-lembaga tradisional maupun sekolah-sekolah agama formal di di Malaysia, Filipina dan Thailand Mamat
Burhanudin 2007.
Van Brunessen 2012 mengatakan setelah tulisan Syekh Nawawi Al Bantani banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman di pesantren mulai
berkembang. Sejak tahun 1888 M, kurikulum pesantren mulai menunjukkan perubahan mencolok. Bila sebelumnya tidak ditemukan sumber referensi di
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Karya-karya Syekh Nawawi Al
Bantani mendominasi kurikulum Pesantren, diperkirakan pada 22 judul tulisan yang dipelajari.
Penyebaran karya Syekh Nawawi Al Bantani yang meluas ini tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-
tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari
Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama , KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang
menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi
Salmah bint Rukayah binti Nawawi, KH. Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras Tanjung Kragilan
Serang Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kecamatan Tirtayasa Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran
karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Syekh Nawawi Al Bantani.
Pada bab IV penelitian ini dikemukakan bahwa salah satu ciri pesantren adalah kentalnya pembelajaran tasawuf. Syekh Nawawi Al Bantani merupakan
seorang ulama yang mendalami ilmu tasawuf. Brockleman 1982 mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu
Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin Al Ghazali.
Pengajaran tasawuf di pesantren-pesantren merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks
43
di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-
karyanya Syekh Nawawi Al Bantani di bidang tasawuf mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Syekh Nawawi
Al Bantani seperti Al-Ghazali, ia telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim
43
Ajaran tasawuf dalam ajaran agama Islam memang mengenal dua aliran, yaitu tasawuf ortodok dan tasawuf heterodok. Tasawuf ortodok, dengan tokohnya Imam al-Ghazali, tetap
mempertahankan transedensi Tuhan yang mengatasi semua makhluk sehingga antara Tuhan dan makhluk terdapat perbedaan. Sebaliknya, tasawuf heterodok, dengan tokohnya yang terkenal Al-
Hallaj dan Ibnu Arabi, cenderung pada paham panteistik wahdat al-wujud dan percaya bahwa makhluk merupakan bagian dari Tuhan sehingga ‘manusia dapat menyatu dengan Tuhan’ atau
yang sering disebut dengan manunggaling kawulo gusti
antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.
Syekh Nawawi Al Bantani bukanlah peminat teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan
syariat Sebagaimana teolog Asy’ary . Syekh Nawawi Al Bantani mengemukakan tema yang perlu diketahui adalah tentang Kemahakuasaan Allah Absolutenes of
God. Sebagaimana teolog Asy’ary sebagaimana yang dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah, Nawawi menempatkan dirinya berada di tengah-tengah antara dua
aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini
bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, dimana manusia dipandang tidak memiliki
kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Syekh Nawawi Al Bantani telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali
ajaran teologi yang mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah determinisme di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah
indeterminisme
Sebagai penganut Asyariyah, Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah sifatiyah Allah . Seorang muslim harus mempercayai bahwa
Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib,
mustahil dan mungkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada
Allah dan wajib tidak adanya, sementara mugkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Dari pemahaman tentang sifatiyah Allah inilah Kemudian
dijelaskan mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka
naqly harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh
naqly, bukan dari aqyl. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam
benak akal pikirannya.
Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih mengikuti Al-Ghazali dalam hal
ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, Syekh Nawawi Al Bantani mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Menurutnya Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum berguru dan tadarrus belajar
sehingga mencapai derajat ‘alim, sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.
Seorang terpelajar diharapkan tidak hanya menjadi‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi Syekh Nawawi Al Bantani, tasawuf berarti pembinaan etika Adab. Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat
terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya
tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral adab.
Sikap kesufian Syekh Nawawi Al Bantani adalah sikap moderat, menurutnya ”akaliah maupun bathiniah masing-masing mempunyai alasan,
sepanjang tujuannya adalah mendekatkan diri pada Allah, keduanya merupakan kesatuan yang tidak untuk dipertentangkan”. Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia
memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik Hal ini pula yang
melatar belakangi pesantren-pesantren salafiyah terutama yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama berbeda dengan pandangan pesantren salafi Wahabi. Pesantren
salafiyah dikenal lebih moderat dalam menempatkan fiqih dan tasawuf dibandingkan dengan pesantren salafi wahabi yang kental pada pendekatan fiqih
Mamat. S. Burhanudin 2007.
5.1.4. Pesantren Pondok Pesantren Roudlatul Ulum Cidahu Pandeglang Banten : Kobong di masa Moderen
5.1.4.1. Sejarah dan pendiri PP. Roudaltul Ulum Pondok pesantren ini terletak di kampung Cidahu Kecamatan Cadasari
Kabupaten Pandeglang Banten. Didirikan pada tahun 1965 oleh almarhum KH. Muhammad Dimyati yang oleh masyarakat Banten lebih dikenal sebagai Abuya
Dimyati, sedangkan di kalangan Nahdliyin dikenal sebagai Mbah Diem. KH Muhammad Dimyati lahir di Pandeglang pada tahun 1925 putera dari pasangan
KH. Amin dan Hj. Ruqayah. Beliau merupakan tokoh kharismatik di dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal jamaah. Kegiatan kesehariannya
hanya mulang ngaji mengajar ilmu, salat serta menjalankan kesunatan lainnya.
44
Beliau memiliki garis nasab ke nabi Muhammad melalui garis nasab Syaikh Nawawi Al Bantany. Garis nasab Syaikh Nawawi Nawawi al Bantany adalah
ayahnya Syaikh Umar bin Arabi sedangkan ibunya bernama Zubaedah keturunan ke12 dari Sultan Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati syarif Hidayatullah yang
memiliki nasab sampai kepada Nabi Muhammad saw.
45
Sebelum mendirikan Muhammad Dimyati berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya, Al “Alim Al “Allamah Abuya KH Tubagus
Abdul Halim bin KH Tubagus Muhammad Amin yaitu pada tahun 1942 di Kelurahan Kabayan, Kec. Pandeglang. Abuya Abdul Halim menilai Dimyati
sebagai orang yang cerdas dan mukhlis sehingga beliau mengijazahi Thoriqoh Al Qodiriyyah wa An Naqsyabandiyyah. Beliau juga belajar dengan Abuya Muqri
Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah
Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan beberapa kyai lainnya yang ada di pulau Jawa. Kesemua guru-guru memiliki sanad keilmuan referensi yang
bermuara pada Syekh Nawawi al Bantany.
KH. Muhammad Dimyati merupakan penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah, dan dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para
kiai Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, bahkan sebagai pakunya negara Indonesia. Di balik kemasyhuran
namanya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. KH. Muhammad Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru:
44
Faiqoh, Mimbar, vol.28.No.2 Desember, 2012
45
https:ensiklopebanten.wordpress.com20120425silsilah-silsilah-ulama-besar-banten
“Thariqah aing mah ngaji” Jalan saya adalah ngaji. Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia member penghargaan
terhadap ilmu. Beliau mengutip surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan.
Menurut KH. Muhammad Dimyati Ngaji adalahi sarana pewarisan ilmu. Melalui mengajilah sunnah dan keteladanan nabi diajarkan dan melalui mengaji
itu pula tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Tugas para ulama sebagai pewaris para nabi hanya bisa terwujud jika para ulama mengajar ngaji
46
KH. Muhammad Dimyati, meninggal dunia pada tahun 2003, Semenjak beliau wafat
keberlangsungan pondok pesantren dipegang oleh putera-puteri beliau
47
. Saat ini KH. Muhtadi Dimyati yang merupakan anak pertama dari KH. Muhammad
Dimyati adalah penerus dan sekaligus pengasuh pimpinan pondok pesantren tersebut dibantu oleh saudara-saudaranya.
KH. Muhtadi Dimyati dilahirkan pada tanggal 26 Desember 1953. Beliau sejak kecil sudah berkeliling mengikuti jejak ayahandanya untuk berguru dan
mengaji di beberapa pondok pesantren.baik yang besar maupun yang kecil. Berbekal ngaji dan kedalaman ilmu agama yang dimilikinya, menginjak umur 17
tahun ia sudah diminta oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang ada di pondok. Semenjak mengajar KH. Muhtadi Dimyati sudah tidak diijinkan oleh
ayahnya untuk pergi ke mana-mana. KH. Muhtadi Dimyati mengikuti jejak ayahnya mengajar di pondok pesantren. Termasuk diberi tanggungjawab untu
mernjadi pewaris ajaran tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
5.1.4.2. Kekhususan Pengetahuan di PP. Roudlatul Ulum Pada bab IV dijelaskan bahwa dilihat dari bidang kekhususan
pengetahuan, pesantren dibagi menjadi tiga jenis, ketiga jenis pesantren tersebut adalah 1 Pondok pesantren tasawuf yaitu jenis pesantren yang pada umumnya
mengajarkan pada santrinya untuk selalu menghambakan diri kepada Allah sang pencipta, dan banyak bermunajat kepada-Nya. 2 Pondok pesantren Fiqh yaitu
jenis pesantren yang pada umumnya lebih menekankan kepada santri untuk menguasai ilmu fiqih atau hukum Islam, sehingga diharapkan santri lulusannya
dapat menyelesaikan permasalahan hidup berdasarkan hukum Islam. 3 Pondok pesantren alat yaitu jenis pesantren yang pada umumnya lebih mengutamakan
pengajaran tentang gramatika bahasa Arab dan pengetahuan filologis dan etimologis, dengan pelajaran utama Nahwu dan Syorof.
Pondok Pesantren Roudlatul Ulum PP. Roudlatul Ulum , termasuk ke dalam jenis pondok pesantren Tasawuf. Sekalipun tasawuf
48
merupakan
46
ibid
47
yaitu: Dari istri yang bernama Hj. Amah: KH. Ahmad Muhtadi Dimyati, KH. Murtadho Dimyati, KH. Abdul Aziz kang Ade, Hj. Musfiroh, KH. Muntaqo Dimyati, dan KH Aceng
Pandeglang. Sedangkan dari Istri yang bernama Hj. Dalalah yaitu: Hj. Qoyimah dan KH.Mujtaba Dimyati
48
Dalam bidang tasawuf diajarkan: HikamSyarh, lhya Ulumuddin, Risalah Muawanah, Nasaihuddiniyah, Sirajuttalibin, Bidayatulhidayah, Tanwirul Qulub, Salalimul Fudhala,
Irsyadul Ibad, Kasyfus Saja, Dalilul Khairat, Hidayatul Adkiya, Sairus Salikin, Hidayatus Salikin, Tanbihul Gafilin, Mudrajus suhud, Irsyad al Fuhul, Zurratun Nasihin, Sabilul Izkar,
Mauizatul Mu’minin, Insan Kamil, Al Maftuhah Arabi, Fathu Rabb Al bariyah. Dan dalam bidang akhlak diajarkan: Matansyarah Ta’limulmu ta’allim, Ahlak lil Banin, Akhlak lil Banat,
kekhususan pesantren ini, bukan berarti ilmu fiqih, ilmu nahwu dan syorof
49
tidak diajarkan. kedua kelompok ilmu dipelajari dan dipraktikan sehari-hari. Pembelajaran ilmu tasawuf langsung dari kitab aslinya yang berbahasa arab
sehingga kemampuan kepada ilmu nahwu dan syorof adalah keharusan.
Pengajaran tasawuf yang dikaji dan diamalkan di PP. Roudlatul Ulum khususnya
adalah pengajaran
tarikat Naqsabandiyyah
Qodiriyyah. Tarekat Qadiriyah, adalah tarekat yang dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qadir al
- Jailani wafat di Baghdad pada tahun 1156 M. Beliau dikenal sebagai Qutb alAwliya’ kutub para wali. Tarekat Naqsyabandiyah adalah tarekat yang di ambil
dari nama Bahaudin Al Bukhara An Naqsyabandi, lahir di Bukhara pada tahun 1317 M. wafat tahun 1389 M . Sejalan dengan perkembangan zaman muncul
aliran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang merupakan gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat tersebut dianggap tarikat baru
yang berbeda dengan tarikat-tarikat sebelumnya dimana terdapat komponen etika adab yang melengkapi komponen tarikat pada umumnya yaitu, mursyid guru,
salik murid, wirid bacaan amalan dan zawiyah tempat belajarmajlis Mahmud Sujuti 2001. Di Banten sendiri tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah
dinasabkan kepada Syekh Abdul Karim yang merupakan murid dari Nawawi al Bantani. Secara geneologi pesantren, tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah
menggunakan kitab Salalim al-Fudlala karya Nawawi, Nasution Harun 1992 termasuk dalam hal ini di PP. Roudlatul Ulum.
Seiring dengan semangat sufisme tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah PP. Roudlatul Ulum dibangun tidak untuk mencari benefit dari proses
pembelajaran yang disediakannya. Hal tersebut merupakan amanat KH. Muhammad Dimyati sebagai pendiri kepada para penerusnya. Ajaran tarekat KH.
Muhammad Dimyati adalah mengedepankan keikhlasan, kemandirian dan menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak, terutama kepada penguatan
kekeluargaan sesama santri. Dengan mengedepankan kemandirian dan kesederhanaan sebuah lembaga keagamaan seperti pesantren akan tetap hidup dan
bermanfaat untuk masyarakat.
50
Munadorotul walidiyah, Wasaya, ‘Idotu nnasi’in, ls’adur Rafiq, Tafrihatul Wildan, Wa saya, Nasaihul Ibad, Qamiut Tugyan, Taisirul Khalaq, Nazmul Matlab, Nazmul Akhlaq, Tahliyah,
Makarjmul Akhlak, Washiyah Al Mustofa.
49
Dalam bidang fiqih, pesantren mengajarkan kitab-kitab berikut: Nihayat al-Zain, Safinah al- Najah, Fathul Mu’in, Kasyifat Al-Saja, Taqrib, Fath al-Qarib, Kifayatu al-Akhyar, Iqna,
Hasyiyah Bajuri, Minhaj al-Thalibin, Minhaj al- Thullab, Mughni al-Muhtaj, Nihayah al- Muhtaj, Fath al-Wahhab, Minhaj al-Qawim, Sullam al-Taufiq, Syarah Sittin, Zubad, Mawahib
as-Shamad, Riyad al-Badi’ah, Rohabiyah, Bugyah at- Mustarsyidin, Bidayah Al Hidayah, Al Mahali, Tahrir, Sulam al-Munajat, Uqud al-Lujain, Muhadzab, Fiqh al-Wadih, Tuhfatut Tulab,
Nailu al-Author, Safinat as-Salah, Sulam as- Safinah. Dalam bidang ushul fiqih meliputi WaraqatSyarah Al-Waraqat, Lathaifulisyarah, Gayatulwusul, Jam’ul Jawami’, Lubbul Usul, Al
Luma’, Al-Asybah wa Al-Nadhair. Dalam bidang Nahwu terdiri dari: MatanSyarh Jurumiyah, Mukhtasar Jiddan, Mulhatul’irab, ‘lmriti, Alfiyah lbnu Malik, Mutamimah, Qowaidul l’rab,
Awamil, Fathu Rabul Bariyyah, Al Kawakib al-Duriyyah, Qatrun Nada, Alfiyah Khudari, Syuzurud dahab. Dalam bidang sharaf diajarkan kitab-kitab: Nadom Maqsud, Kitabu Tasrif,
Kailani, Matan Kailani, Al Bina Wal Asas, Tashilul Amani, Kafrawi, Mugni Labib. Dalam bidang balaghoh meliputi : Matan Jauharul Maknun, Syarah Jauharul Maknun,dan Uquduj
Zuman.
50
Wawancara dengan Abuya Muhtadi, 24 Februari 2015.
5.1.4.3. Klasifikasi dari Pola Pengajaran di PP. Roudlatul Ulum Berdsarkan klasisifikasi pola pengajaran, pesantren diklasifikasikan
menjadi 3 macam yaitu: 1 pesantren tradisional salafiyah yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri. yang masih tetap
mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab. 2 pesantren
modern kalafiyah yaitu pondok pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren.Pengajian
kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi, karenanya pemahaman
terhadapkitab kuning kurang mendalam. 3 pesantren komprehensif yaitu pondok pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan dan pengajaran antara
yang tradisional dan yang modern.
PP. Roudlatul Ulum adalah pesantren tradisional salafiyah yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri. yang masih
tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab.
Kurikulum di pesantren tidak distandarisasi, oleh sebab itu bisa berbeda pesantren satu dengan yang lainnya. Pesantren Roudlotul Ulum ini menggunakan kitab-kitab
kuning dan cara yang pernah digunakan oleh Kyai Dimyati semasa beliau masih hidup. Pada masa lampau banyak kiai yang terkenal sebagai spesialis keilmuan
tertentu, seperti kiai yang ahli dibidang fiqh atau tafsir itupun tidak disistematisir melalui sebuah kurikulum. Namun metoda penyampaian pengajaran
sebagaimana pada pesantren salafiyah umumnya di d PP. Roudlatul Ulum dilakukan dengan cara bandongan dan sorogan.
Bandongan atau Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang berarti memperhatikan secara seksama atau menyimak. Bandungan
bandongan atau wetonan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan PP. Roudlatul Ulum. Bandungan halaqoh digunakan untuk
mengajarkan kitab-kitab kuning tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari kecuali hari Jumat, dari pagi buta setelah shalat shubuh sampai menjelang sholat
Dzuhur.
Sebagaimana pada
pesantren salafiyah
tradisional lainnya,
Sistem bandungan yang dilakukan di PP. Roudlatul Ulum adalah sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar, di mana kyai membacakan kitab,
menerjemah dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai. Dalam sistem ini,
sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok belajar dari
sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.
Sistem bandungan bandongan atau wetonan dibangun di atas filosofis, bahwa 1 pendidikan yang dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan pahala
dan berkah lebih banyak dibandingkan secara individual, 2 pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan
budaya mendengar adalah sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah pengetahuan tersebut. 3 penambahan, dan kritik dari sang murid pada kyai
merupakan hal yang tidak biasa atau tabu, dan dapat dianggap sebagai tindakan su al-adab berakhlak yang tidak baik.
Di PP. Roudlatul Ulum sistem bandongan bisa diikuti sampai 500 orang,
mereka mendengarkan
seorang GuruKyai
yang membaca,
menerjemahkan,menerangkan dan mengulas kitab-kitab berbahasa Arab. Setiap santri memperhatikan bukukitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan baik
arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Metode pengajaran bandungan ini adalah metode bebas, sebab tidak ada absensi santri,
dan tidak ada pula sistem kenaikan kelas. Santri yang sudah menamatkan sebuah kitab boleh langsung menyambung ke kitab lain yang lebih tinggi dan lebih besar.
Sistem kedua
yang dipakai
adalah sistem
sorogam. Sistem sorogan adalah sistem membaca kitab secara individul, atau seorang murid
nyorog menghadap guru sendiri-sendiri untuk dibacakan diajarkan oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid
menirukannya berulang kali. Pada prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke
dalam bahasa ibunya Sunda atau Jawa. Pada gilirannya santri mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata word by word sepersis mungkin seperti apa
yang diungkapkan oleh gurunyakyai. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa agar murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu
rangkaian kalimat Arab.
Dengan cara sistem sorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sorogan memungkinkan
sang kiai dapat membimbing, mengawasi, menilai kemampuan murid. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid. Dari segi ilmu pendidikan
modern, metode ini disebut metode independent learning, karena, antara santri dan kiai saling mengenal erat, kyai menguasai benar materi yang harus diajarkan,
dan murid akan belajar dan membuat persiapan sebelumnya, antara kyai dan santri dapat berdialog secara langsung mengenai materi yang didiskusikan.
Sistem sorogan biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán atau kitab. Dalam sistem tersebut, murid
diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami
pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari sistemkeseluruhan pengajaran pesantren, karena di sana menuntut kesabaran
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Di sini banyak murid yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka harus mematangkan diri
dalam metode tersebut sebelum dapat mengikuti sistem lainnya. Sebab pada dasarnya murid yang telah menguasai sistem sorogan inilah yang dapat memetik
manfaat keilmuan dari sistem bandongan di pesantren.
Disamping itu
juga dilakukan
Sistem Musyawarah atau Munadzarah.Sistem musyawarah
atau munadzarah. Para asatidz guru-guru ini dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yunior
ustad muda, dan yang senior, mereka menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matang dengan mengajarkan kitab-kitab besar akan
memperoleh gelar kiai muda. Dalam kelas musyawarah sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Di sini para santri harus
mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kiai memimpin sendiri kelas
musyawarah seperti dalam forum seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam wacana
kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab
Islam klasik.
5.1.4.4. Sarana dan Prasarana di PP. Roudaltul Ulum Berbeda dengan pondok-pondok pesantren salafiyah lainnya yang sudah
difasilitasi oleh bangunan-bangunan dan fasilitas moderen lainnya, di PP. Roudlatul Ulum khususnya untuk sarana dan prasarana santri, modernitas adalah
sesuatu yang dijauhkan. Sebagaimana fasilitas pesantren pada umumnya di PP. Roudlatul Ulum juga terdapat ; a tempat tinggal kyai, b tempat tinggal santri,
c tempat belajar bersama, d tempat ibadah sembahyang, e tempat memasak dapur santri, dan lain.
Rumah Kyai di PP. Roudlatul Ulum, terletak di dalam kompleks pesantren berupa rumah tembok berukuran sedang. Untuk ukuran di desa Cidahu
rumah Kyai Muhtadi terbilang cukup baik. Rumah terdiri dari dua bagian, yaitu rumah utama yang merupakan tempat tinggal Kyai beserta keluarganya, dan di
sebelah kiri terdapat paseban ruang terbuka tempat kyai menemui para tamu atau santri. Rumah tembok ini merupakan bangunan yang dibangun pada awal tahun
80-an, dibangun oleh Kyai Dimyati pendiri PP Roudlatul Ulum ayah Kyai Muhtadi adalah untuk anak-anaknya, sedangkan kyai Dimyati sendiri memilih
tinggal di rumah panggung beratap rumbia yang disebut kobong hingga akhir hayatnya.
Para santri masih tinggal di Kobong rumah-rumah panggung beratap rumbia dengan dinding yang terbuat dari bilik bambu. Para santri tidur
beralaskan tikar pandan tanpa bantal. Lima tahun yang lalu, pimpinan pondok masih melarang penggunaan lampu listrik untuk penerangan, namun belakangan
dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya kebakaran akibat penggunaan lampu teplok, penerangan listrik diperkenankan. Namun demikian penerangan
lampu listrik terbatas pada kamar-kamar tertentu saja, yaitu kamar yang digunakan oleh para santri untuk membaca kitab.
PP. Roudlatul Ulum mempunyai 13 Kobong, yaitu kobong Cau, Sawah, Merpati, Prinsip, Darul Ayyam, Asmuni, Gede, Baru, Majlis, Cigarawa A,
Cigarawa B dan Cigarawa C. Masing-masing kobong ditempati oleh sekitar 25 sampai 30 santri. Penamaan Kobong nampaknya tidak ada aturan pakem tertentu,
namun lebih kepada untuk mengingatkan satu peristiwa, tokoh atau tempat. Penamaan kobong diberikan oleh santri bukan oleh kyai. Kamar mandi ada di
setiap kobong, dengan bak-bak yang besar. Dahulu bak ini diisi dengan cara menimba air dari sumur dilakukan secara bergantian piket oleh santri, tatapi
sekarang sudah ada pompa air listrik untuk mengisi bak-bak tersebut.
Tempat belajar bersama untuk acara holaqoh atau bandongan adalah satu aula besar di bangunan berlantai dua yang dibangun dengan konstruksi beton
bertulang. Lantai dua yang digunakan sebagai aula tempat belajar sudah berlantaikan keramik dengan dinding terbuka sehingga ruangan ini memiliki
sirkulasi udara yang baik. Lantai dasar gedung ini digunakan sebagai dapur umum. Di lantai dasar lantai flooring adalah tanah, alat masak yang digunakan
adalah pawon dalam bahasa Sunda banten disebut hawu. Di beberapa pojok juga
terlihat kandang ayam dan angsa. Para santri memasak bersama untuk keperluan sehari-hari termasuk memasakan untuk kyai dan keluarganya. Apa yang dimasak
oleh santri itu pula yang dimakan oleh kyai dan keluarganya. Seluruh biaya masak dikeluarkan oleh rumah tangga kyai.
Disamping untuk acara bandongan, aula ini juga dijadikan sebagai tempat sholat berjamaah kecuali untuk sholat Jum’at. PP. Roudlatul Ulum tidak
memiliki masjid sendiri, untuk sholat jumatan para penghuni pesantren termasuk kyai Muhtadi sholat jumat berjamaah bersama masyarakat di masjid desa Cidahu.
Sekalipun sebagai tokoh yang disegani di Banten, pada saat sholat jumat, kyai Muhtadi tidak keberatan untuk menjadi makmum di masjid desa.
5.1.4.5. Jumlah santri PP. Roudaltul Santri di Jumlah santri di PP. Roudaltul Ulum dibagi menjadi dua
kelompok yaitu santri mondok dan santri kalong. Santri mondok adalah mereka yang tinggal menetap di pondok. Santri mondok ini biasanya adalah kelompok
santri usia remaja yang sudah menamatkan aliyah di tempat lain kemudian ke PP. Roudaltul Ulum untuk mendalami ilmu tasawuf. Santri kalong adalah santri yang
tidak menetap di pondok tetapi secara rutin mengikuti holaqoh di PP. Roudaltul Ulum, yaitu pada pengajian majlis kyai di hari sabtu dan minggu atau pada
perayaan teretntu. Mereka pada umumnya adalah para ustadz atau para kyai lainnya yang ingin memperdalam ilmu ketasawufan.
Roudlatul Ulum, tidak pernah ada data yang akurat. Ketidakakuratan data ini disebabkan PP. Roudlatul Ulum tidak memiliki manajemen pencatatan santri,
baik yang masuk maupun yang keluar. Jangankan peraturan, pesantren ini tidak seperti pesantren-pesantren yang lain di Jawa yang memiliki kantor, humas,
struktur organisasi dan sebagainya. Meskipun demikian, ngaji dan aktivitas pesantren yang lain bisa berjalan dengan lancer tanpa ada hambatan jika. Semua
didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan dan kesadaran. Para santri memiliki nalar yang cukup baik ceat mengerti dan menyerap adat, tradisi, dan kesepakatan
yang sebenarnya semua itu sudah masyhur dalam aturan yang baku di dalam syara’ dan pekerti para ulama tasawuf.
Proses masuk seorang santri adalah melalui proses sowan ke kyai dan meminta ijin untuk mengikuti pengajian yang dipimpinnya, apabila kyai
mengijinkan maka orang tersebut bisa memulai menjadi santri. Untuk tempat tinggal, Santri baru bisa menemui seniornya untuk mendapatkan tempat tidur.
Seseorang bisa keluar dari pesantren pun tidak melalui proses ujian akhir sebagaimana lembaga pendidikan lainnya. Seseorang keluar dari PP. Roudaltul
Ulum, bisa disebabkan oleh perintah kyai maupun atas keinginan sendiri. Keluarnya seorang atas perintah kyai biasanya karena yang bersangkutan
dipandang oleh kyai sudah bisa mandiri untuk mengajar di tempat lain atau oleh pertimbangan yang bersangkutan sudah harus menikah atau membina rumah
tangga.
Diperkirakan jumlah santri mondok di PP. Roudaltul Ulum adalah sejumlah 700 orang terdiri dari 500 orang santri putra dan 200 santri putri.
51
51
Santri putra dan putrid dipisah secara ketat, termasuk dalam hal pengasuhan. Kyai Muhtadi hanya memberi pengajaran kepada santri putra. Santri putri diurus oleh Nyai istri kyai dan oleh
ustadzah lainnya. Pengajaran untuk santri putri adalah pada bidang fiqih dan Tahfidz Qur”an menghafal al Quran. Secara fisik fasilitas santri putri dan santri putra tidaklah berjauhan,
Santri yang datang di Roudlotul Ulum memiliki latar belakang pendidikan yang sudah mengantongi ijazah formal baik setara MtsSMP, AliyahSMA bahkan
lulusan S1. Pola belajar di pesantren yang seperti ini menurut kiai mempunyai dampak yang positif karena mereka mempunyai kosentrasi yang luar biasa, tidak
berbagi dengan pendidikan formal atau keinginan dipendidikan formal. Para santri yang mondok di Cidahu pada umumnya sudah mengalami mesantren di berbagai
tempat dan pernah belajar kitab kuning sebelumnya. Itu adalah sebuah persyaratan karena kyai tidak akan memberikan pengajian dari awal atau tidak ada pengajian
untuk pemula. Diantara santri yang diwawancari, mereka pada umumnya sudah pernah mondok di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Motivasi mereka
melanjutkan mondoknya di tempat ini diantaranya karena: 1 Ingin mengembangkan dan meneruskan ngaji kitab kuning, 2 kepentingan pribadi yaitu
memperbaiki diri terutama dalam hal kesufian mengikuti jejak para kyai masa lamapu, 3 menjadi kyai yang mumpuni dan dapat membuka pesantren baru.
Para santri mondok tidak dipungut biaya apapun, seluruh keperluan santri selama mondok di PP. Roudaltul Ulum, adalah tanggung jawab kyai. Kyai
membelikan buku-buku kitab-kitab untuk para santrinya. Pada saat mondok, mereka hanya diwajibkan ngaji dan ibadah saja. Mereka diharuskan
masakngliwet sendiri, tidak boleh makan di warung, hal tersebut diharuskan karena merupakan suatu unsur khidmat terhadap ilmu yang sedang dipelajarinya
yang sedang membutuhkan energi badaniyah dalam mengaji, sedangkan jajan atau makan di warung merupakan hal yang tercela bagi yang sedang mencari ilmu.
Mereka diwajibkan berakhlakul karimah seperti harus selalu mengenakan sarung dan baju berlengan panjang. kecuali untuk santri kalong apabila ada santri yang
ingin berhidmat, kyai mau menerimanya.