Perwakafan : Negaranisasi Pesantren : Argumen dan Teorisasi

sekaligus modal sosial untuk menggerakkan pendidikan muslim. Namun dengan adanya kebijakan prinsip dan tata kelola wakaf menciptakan prinsip baru yang berbeda dengan prinsip tradisi wakaf yang selama ini dikenal dalam tradisi pendidikan islam klasik. Prinsip wakaf menurut hukum positif adalah bahwa pelaksanaan wakaf pada pesantren-pesantren tidak dapat dilaksanakan dengan dalil dan hukum agama saja tetapi harus terikat dengan hukum negara. Dengan demikian Peraturan pemerintah dan Undang-undang tentang perwakafan telah melegitimasi negara untuk memasuki ranah-ranah tradisi yang sebelumnya merupakan otoritas ulama Sekalipun negara telah memasuki ruang pesantren melalui media undang-undang perwakafan, bagi pesantren perwakafan tidak melemahkannya, karena yang terkeluarkan dari pesantren dalam hal ini adalah ruang 85 masjid, dimana sesuai dengan UU masjid memiliki nazir tersendiri. Mengambil kasus PP.Sidogiri, sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada arus ekonomi di ruang masjid, namun sejak lama arus dana yang masuk ke dalam masjid tidak digunakan untuk kegiatan-kegiatan belajar mengajar di pesantren. UU dan peraturan perwakafan terutama yang berkaitan dengan mekanisme pengelolaan masjid, justru menjadi pemicu kemandirian PP.Sidogiri. Berbeda dengan hubungan politik, pada ideologi pemahaman pandangan hidup, pembangunan umat, sistem negara, yang mengantarkan pesantren dan penguasa bersifat koeksistensi. Pada tataran hubungan politik pertanahan terjadi kooperasi antara pesantren dengan pemerintah. Ada beberapa hal yang membuat pesantren mau bekerjasama dengan pemerintah. Pertama, alasan ekternal, pesantren pernah mengalami pengalaman traumatik pada masa Orde Lama, ketika terjadi penyerobotan-penyerobotan tanah oleh komunis, dimana alasan utama penyerobotan lahan oleh komunis didasarkan pada alasan bahwa pesantrenkyai menguasai lahan secara ilegal. Kedua, alasan internal, pesantren menyadari bahwa konflik internal antar keluarga dapat muncul disebabkan oleh pertanahan. Dengan kedua alasan tersebut pesantren membutuhkan kekuatan hukum formal, dan pesantren mengakui bahwa hukum formal adalah otoritas negara. Pemerintah berhasil melakukan hegemoni terhadap pesantren dengan menggunakan wacana perwakafan. Pemerintah membawakannya bukan kepada pengambil alihan hak tanah dari pesantren kepada negara melainkan dengan isu kepastian hukum. Dengan pendekatan semacam ini pihak pesantren merasa tidak kehilangan kontrol sepenuhnya terhadap objek yang yang diwakafkan. Objek- objek yang diwakafkan atau dipindah kuasakan dari pesantren kepada milik publik tidak beralih fungsi. Tidak adanya konflik pertanahan antara pesantren dengan pemerintahan memang ditentukan oleh konsistensi kedua belah fihak untuk tidak merubah fungsi objek wakaf sesuai dengan sejarah keberadaaannya 86 . Pemerintah juga menggunakan kaum intelektual, yang 85 Saya menyebut dengan istilah ruang masjid, karena pada bab tentang ruang-ruang ekonomi pesantren, masjid bukan saja diartikan secara fisik dan tempat aktivitas ibadah tetapi masjid merupakan sarana untuk mengumpulkan modal sosial yang bersifat ekonomis. 86 Hak atas tanah wakaf adalah hak penguasaan atas satu bidang tanah tertentu semula hak milik dengan terlebih dahulu diubah statusnya menjadi tanah wakaf yang oleh pemiliknya telah dipisahkan dari harta kekayaan dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatab atau keperluan umum lainnya seperti pesantren atau sekolah berdasarkan agama sesuai dengan ajaran hukum islam. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan danatau menyerahkan berperan sebagai intelektual organik, tentang pentingnya perwakafan. Pada Zaman Belanda, pemerintah penjajah Belanda menggunakan pegawai-pegawai bumi putera terdidik untuk mensosialisaikan pentingnya perwakafan. Pemerintah orde Baru, melalui badan perwakafan yang dibentuk didukung oleh sarajana-sarjana agama Islam dari departemen agama. Dimata masyarakat pesantren, dipandang sebagai pengakuan negara atas tanah-tanah agama, sementara bagi negara perwakafan adalah legitimasi negara untuk menata sekaligus mengontrol wilayah-wilayah agama. Menyangkut pertanahan, Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi --termasuk tanah-- hakikatnya adalah Tuhan, 87 Kemudian, Tuhan sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa istikhlaf kepada manusia untuk mengelola milik Tuhan ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya 88 . Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 dua poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah. Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja Syariah Islam. Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah sebagai pemiliknya yang hakiki 89 . Dalam Syariah Islam ada 2 dua macam tanah yaitu : 1 tanah usyriah al-ardhu al-usyriyah, dan 2 tanah kharajiyah al-ardhu al-kharajiyah. 90 Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan. Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya raqabah, maupun pemanfaatannya manfaah. Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya. Secara syariah tanah PP.Sidogiri dan PP.Raudlatul Ulum adalah termasuk Tanah usyriah. Hak-hak ini selama ini tidak dicampuri oleh negara. Sedangkan persetujuan PP.Sidogiri maupun PP.Raudlatul ulum terkait dengan pewakafan tanah masjid dan pengelolaannya oleh nazir nadhir. Menurut para kyai pemerintah telah ikut mewujud penegakan hukum syariah, apalagi dalam hal ini pemerintah telah memfasilitasi dan mengatur pelaksanaannya ; pertama, status tanah yang dimanfaatkan untuk masjid adalah wakaf walaupun secara formal belum memperoleh sertifikat wakaf. Untuk itu, tanah masjid yang belum berstatus wakaf wajib diusahakan untuk disertifikasi sebagai wakaf. Kedua, tanah masjid yang sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah atay kesejahteraan umum menurut syariah. 87 Firman Allah SWT artinya,Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali semua makhluk. QS An-Nuur [24] : 42. Allah SWT juga berfirman artinya,Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. QS Al-Hadid [57] : 2. 88 Firman Allah SWT artinya,Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. QS Al-Hadid [57] : 7. Menafsirkan ayat ini, Imam Al- Qurthubi berkata, Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan ashlul milki adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan tasharruf dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130. 89 Firman Allah SWT artinya,Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum. QS Al-Kahfi [18] : 26. 90 Dalam kitab Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237. sebagaimana dimaksud dalam point pertama tidak boleh dihibahkan, tidak boleh dijual, tidak boleh dialihkan atau diubah peruntukannya. Ketiga, benda wakaf dan status tanah wakaf masjid tidak boleh diubah kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut yaitu, penukaran benda wakaf atau istidlal wakaf diperbolehkan sepanjang untuk merealisasikan kemaslahatan dan mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf. Oleh karena itu, masyarakat pesantren dapat secara ‘sukarela’ menerima wacana perwakafan. Peraturan Perwakafan yang dikeluarkan pemerintah dianggap tidak bertentangan dengan prisnsip Islam dimana peraturan ini dilihat menjauhkan manusia dari ajaran agamanya, tetapi justru memberikan isyarat bahwa Islam ditempatkan dan direfleksikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menggunakan konstruksi Hargrove, isu perwakafan dipandang dari sudut relasi politik, ~ menghasilkan relasi yang bersifat adhesive antara pemerintah dengan masyarakat pesantren dimana terjadi perpaduan antara nilai dan norma agama dengan nilai dan norma politik. Dalam jenis hubungan ini secara eksplisit, bisa saja bentuk negara atau undang-undang yang berlaku di dalamnya bukan nilai atau norma agama. Namun secara ‘kebetulan’ atau disengaja melalui kiprah atau tekanan kelompok agama tertentu, terjadi pangakomodasian nilai dan norma agama ke dalam tata aturan negara Hargrove. 1979. Konstruksi penerimaan ini didsari oleh prinsip-prinsip bawa ketentuan perwakafan yang dikeluarkan Negara memenuhi syariat.

6.3. Sistem Pendidikan Pesantren

Untuk memahami kondisi pendidikan Islam di lingkungan pesantren dan juga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka perlu terlebih dahulu diuraikan di sini secara singkat mengenai berbagai kondisi sosial, budaya, politik dan ekonomi dari lembaga-lembaga pengajian dan juga pesantren pada periode sebelumnya di masa lalu yang memiliki korelasi dengan berbagai kondisi yang berlangsung saat ini. Adapun kondisi yang dimaksud adalah yang berlangsung sejak Islam pertama kali masuk ke Jawa, yaitu pada abad ke-13 sebagaimana sudah dituliskan pada Bab V. menurut Dhofier 1982 Hal ini dipandang perlu dikarenakan kategorisasi atau pengelompokan yang terjadi sampai saat ini antara Islam tradisional dan Islam modern, dan dalam batas-batas tertentu, dikarenakan adanya konflik antara ajaran Islam yang dibawa oleh para pedagang dan pendakwah dari Timur Tengah dengan ajaran Kristen yang dibawa oleh para pedagang dan misionaris dari Belanda. Kondisi ini terus berlangsung pada periode Indonesia modern sekarang ini, yang justru sebagian disebabkan oleh adanya pola pattern dalam ajaran Islam itu sendiri yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. 6.3.1. Sistem Pendidikan Pesantren di masa penjajah Belanda : Berhadapan dengan Sistem Pendidikan Barat Kedatangan bangsa Belanda membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap proses pendidikan dan pengajaran Islam. Hal ini dipengaruhi oleh misi ganda yang dibawa oleh bangsa Belanda yaitu imperialisme dan kristenisasi. Dalam rangka menjalankan misi kedua, yakni kristenisasi itulah tampaknya pemerintah kolonial Belanda memberlakukan berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada penduduk pribumi yang mayoritas Muslim. Sejak Belanda menguasai Indonesia secara politik, pemerintah penjajah Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama penduduk pribumi. Kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan disesuaikan dengan kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen. Secara jelas, hal itu ditunjukkan oleh Van Den Boss, Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta pada tahun 1813 M. Dalam kebijakannya ia menetapkan sekolah- sekolah Kristen sebagai sekolah pemerintah, dan mendirikan satu sekolah Agama Kristen di setiap daerah Karesidenan. Sementara urusan pendidikan dan keagamaan diatur di bawah satu departemen. Selain itu, pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden .lembaga yang mengawasi pendidikan dan kehidupan agama penduduk pribumi yang berisi : 1 Setiap sekolah atau madrasahpesantren harus memliki ijin dari Bupati atau pejabat pemerintah Belanda. 2 Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci. 3 Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkannya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan Bruinessen 1998. Selanjutnya pada tahun 1905 mengeluarkan Goeroe Ordonantie yang mengatur siapa saja yang mengajar Islam harus minta izin pemerintah. Pada tahun 1925 M. dikeluarkan Goeroe Ordonantie baru, yaitu mengatur bahwa guru-guru agama cukup memberikan informasi tertulis kepada pemerintah. Namun pada masa ini tidak semua Kyai boleh memberikan pengajaran mengaji.. Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penajajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintahan Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu. Kebijakan pendidikan pemerintah penjajah Belanda dengan terang- terangan membiayai misionaris Kristen.Pemerintah Belanda juga menerapkan prinsip konkordansi, yakni suatu prinsip yang memaksa sekolah berorentasi Barat dan menghalangi dalam penyesuaian pendidikan dengan konsdisi masyarakat lokal yang islami. Dengan demikian setiap sekolah dipaksa menjadi agen kebudayaan Barat dan didijadikan sebagai alat untuk misionaris Kristen.Belanda tidak ingin Islam berkembang karena dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan kekuasaannya Abudin Nata 2003. Selanjutnya Pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan Wilde School Ordonantie yang mengawasi madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin dan mengajarkan materi yang dilarang oleh pemerintah dan lembaga yang seperti ini harus ditutup. Peraturan ini keluar setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme yang dianggap akan merongrong kekuasaan Belanda Wahab Rochidin 2004. Bagi pemerintah penjajah, “pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis cultural, tetapi juga bersifat psikologis politis”. Pandangan ini di satu pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi budaya masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi, di pihak lain, pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah. Walaupun pengorganisasian madrasah menerima pengaruh dari sistem sekolah Belanda, tetapi muatan keagamaan di lembaga itu pada akhirnya akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap sistem kebudayaan yang dibawakan oleh kaum penjajah. Steenbrink 1994. Sistem pendidikan Belanda disamping untuk penyebaran kristen juga dijadikan propaganda untuk menyaingi keberadaan pesantren yang dianggap jelek dan potensial menciptakan pemberontakan. Ada dua tujuan sistem pendidkan Belanda yang pertama adalah untuk menjadi alat penguat kekuasaan berupa dihasilkannya masyarakat terdidik dengan pola pikir eropah. Sebagaimana yang menjadi masyarakat Eropa pada saat itu, melemahkan masyarakat Islam bukan dengan gerakan militer tetapi melalui perubahan pola pikir dan pola hidup. Dengan pola pikir yang sama, kalangan intelektual pribumi merupakan alat untu melanggengkan kekuasaan. Sekalipun aksioma pertama ini tidak seluruhnya benar terbukti, tetapi masyarakat telah dipertontonkan dengan sistem pendidikan baru, yang dianggap lebih moderen. Kedua, dengan sistem dikotomistik, pemerintah penjajah Belanda ingin menguatkan stigma “rendahan” kepada lembaga-lembaga pendidikan di luar sistem yang mereka atur. Steenbrink 1994. Propaganda ini memicu munculnya kesadaran baru untuk melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam. Sebagian Para ulama mulai menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional perlu disesuaikan dengan iklim pendidikan saat itu. Beberapa pesantren mulai melakukan pengembangan dan pembaharuan sistem pendidikannya. Realisasinya muncullah sistem pendidikan madrasah, sistem yang memasukan metoda sekolah Belanda ke dalam sistem pendidikan pesantren, diantaranya adalah sistem pengajaran halaqah bergerser ke arah sistem klasikal dengan unit-unit kelas dan sarana prasarana sebagaimana dalam kelas-kelas pada sekolah-sekolah Hasbullah 1995. Mulai awal abad 20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan itu mulai diselenggarakan bagi masyarakat yang lebih luas dalam bentuk sekolah-sekolah Desa. Pendiriab sekolah rakyat ini juga merupakan respon ketika madrasah-madrasah mulai muncul. Pemerintah penjajah Belanda menaruh kekhawatiran karena kurikulum madrasah dominan bermuatan pendidikan agama Islam. Mulai tahap ini, rakyat yang sebelumnya hanya memiliki pilihan untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan tradisional pesantren atau madrasah, mulai mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah- sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai konsekwensi didirikannya sekolah di banyak tempat, lembaga-lembaga tradisional termasuk pesantren, surau dan masjid, mendapat saingan yang lebih langsung. Dalam kenyataan di lapangan, Sekolah Desa tidak saja menawarkan biaya yang murah serta mata pelajaran yang lebih praktis, tetapi juga menjanjikan pekerjaan yang cukup bervariasi meskipun masih pada level rendahan Maksum 1979. Pendidikan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional pada pengetahuan duniawi. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari sistem pendidikan tradisional. Kehadiran sekolah-sekolah pemerintah Belanda mendapat kecaman dari kaum ulama. Kaum ulama dan santri menganggap program pendidikan tersebut adalah alat penetrasi kebudayaan Barat ditengah berkembangnya pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan Islam. Mereka mencemaskan sistem pendidikan kolonial karena sekolah-sekolah ini akan melahirkan kaum intelektual pribumi yang sekuler dan menjadi pembela kebudayaan Barat dan hal ini diperkirakan akan menjauhkan kaum muslimin kepada agamanya Hanun Asrohah 2004. Pendirian sekolah-sekolah desa tidak sepenuhnya adalah untuk mencerdaskan rakyat-rakyat di desa yang tak berpendidikan. Sekolah-sekolah desa adalah upaya pemerintah penjajah Belanda menciptakan pesaing pesantren yang telah lebih dahulu mengakar sebagai lembaga pendidikan rakyat. Sekolah- sekolah desa dimanafaatkan oleh Belanda untuk memasukan ideologi-ideologi Barat. Maka muncullah keberatan di lingkungan beberapa ulama Indonesia yang menyatakan bahwa memasuki sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda adalah haram atau sekurang-kurangnya menyalahi ajaran Islam, sehingga sangat berpengaruh terhadap cara pandang umat Islam di Indonesia. Secara politik, pendidikan Belanda untuk bumiputera terutama melalui kebijakan Ethische Politiek, bukan hanya berhasil memecah umat Islam, tetapi juga menyingkirkan lembaga pendidikan pesantren yang tidak mau menerima subsidi dari pemerintah Belanda ke daerah pedalaman, sehingga pesantren tertutup dari perkembangan kemajuan pendidikan modernFeisal 1995. Kebijakan represif pemerintah penjajah Belanda tidak sepenuhnya menghilangkan minat masyarakat pada pesantren. Di beberapa daerah pendidikan pesantren tetap dapat bertahan dan mendapat sambutan dari masyarakat. Sebagai contoh adalah Pesantren Mamba’ul Ulum Surakarta dapat dipandang sebagai pelopor pembaruan pendidikan Islam. Pesantren ini antara lain telah memasukkan beberapa unsur Barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren yang didirikan pada 1906 oleh Susuhunan Pakubuwono ini telah memasukkan beberapa mata pelajaran membaca tulisan latin, aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya, di samping pelajaran agama, seperti membaca dan menghafal Al-Qur’an, kitab Safinah dan Umm al-Barahim. Disamping itu hadir juga Pendidikan Islam yang cukup terkenal di Jawa Timur yaituPP.Tebuireng, pesantren yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1904 M. Pada mulanya hanya diajarkan agama dan bahasa Arab, kemudian setelah berdiri madrasah salafiyah memasukkan ilmu-ilmu umum, seperti ilmu bintang, ilmu bumi dan lain-lain.Pondok Pesantren Tebuireng terdiri atas empat bagian, yaitu: Madrasah Ibtidaiyah lamanya 6 tahun, Madrasah Tsanawiyah 3 tahun, Mualimin 5 tahun, Pesantren dengan sistem halaqah.Pendidikan Islam di Jawa Timur pada masa penjajahan Belanada tidak terlepas dari pengaruh organisasi Nahdhatul Ulama yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H 3 Januari 1926 di Surabaya. Di Jawa Tengah ratusan pondok pesantren dan madrasah tersebar di seluruh pelosok Kudus, antara lain: Aliyatus-Saniyah Muawanatul Muslimin, Kudsiyah, Tsywiqut Tullab Balai Tengahan School, Mahidud Diniyah Al-Islamiyah Al-Jawiyah, dan lain-lain.Di Yogyakarta terdapat Model pendidikan yangmenggabungkan antara pelajaran umum dengan agama yaitu pondok pesantren Krapyak.Di Jawa Barat. Pondok Pesantren yang cukup berpengaruh adalah PP Gunung Puyuh di Sukabumi. Selain itu juga ada pondok pesantren Persatuan Islam Persis, pondok ini terdiri dari dua bagian, yaitu Pesantren Besar untuk para santri yang telah cukup umur untuk mendapatkan pendidikan agama dan Pesantren Kecil untuk anak-anak kecil yang pelaksanaannya di sore hari. Di Batavia, Madrasah tertua di Batavia adalah Jamiat Kheir yang didirikan tahun 1905. Tingkatan sekolahnya antara lain: tingkat Tahdiriyah 1 tahun, tingkat Ibtidaiyah 6 tahun, tingkat Tsanawiyah 3 tahun, Bagi lulusan terbaik Tsanawiyah bisa melanjutkan ke Mesir atau Mekkah. Madrasah lain yang juga punya andil besar bagi pendidikan Islam adalah madrasah Al-Irsyad yang didirikan pada tahun 1913. Tindakan represif dan diskriminatif yang dilakukan pemerintah penjajah Belanda dalam hal pendidikan justru menimbulkan penguatan identitas masyarakat pesantren. Kebijakan pendidikan pemerintah penjajah Belanda melahirkan semangat yang kompleks di kalangan ulama. Para ulama menegaskan bahwa pesantren memiliki alasan atau motif yang berbeda dengan sistem pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah penjajah Belanda. Menurut Karel Steenbrink, paling tidak ada empat yang menjadi lasan dan motif ulama membangun pendidikan Islam di awal abad 20: 1 keinginan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, 2 semangat nasionalisme dalam melawan penjajahan Belanda, 3 usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik, dan 4 dorongan menciptakan intelektual khas Islam penerus tradisi keulamaan. Dalam hal ini munculnya kesadaran pendidikan islam oleh ulama waktu itu diilhami juga oleh pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dengan pembaruan di bidang sosial dan kebudayaan yang berdasarkan tradisi islam al qur’an dan hadist yang dibangkitkan kembali 91 . Pada hakikatnya pendidikan agama Islam adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolok ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Melihat hal tersebut para ulama memiliki perhatian yang khusus terhadap kebijakan pendidikan pemerintah penjajah Belanda. Para kyai terpacu untuk melakukan pembaharuan di dunia pesantren, bukan dengan hanya mencontoh metoda pengajaran yang ditawarkan Belanda, tetapi memperkuat kajian-kajian atau kitab-kitab referensi yang digunakan di lingkungan pesantren 92 . Pemerintah penjajah tidak sanggup mengawasi materi yang diajarkan karena kitab-kitab yang digunakan berbahasa Arab. Pada periode ini sekalipun kebijakan represif secara masif dilakukan oleh pemerintah penjajah Belanda, Sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat pesantren adalah dengan bentuk non-kooperatif terhadap pemerintah penjajah Belanda. Sikap ini ditunjukkan dengan tidak mau menerima bantuan dari pemerintah. Masuknya kajian-kajian sufi yang semarak pada akhir abad 19, terutama kajian sufisme Al Ghazali, menggeser bentuk-bentuk konflik terbuka yang pernah ditunjukkan masyarakat pesantren pada abad 18 yang ekspresi perlawanannya dalam bentuk pemberontakan fisik. Pelajaran menarik dari proses sejarah di atas adalah bahwa, meskipun Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan, namun pada kenyataannya pesantren sendiri justru menjadi daya tarik utama sebagai wadah perjuangan 91 Hal ini berkaitan dengan banyaknya masyarakat pesantren Nusantara indonesia yang belajar di Arab Timur Tengah, 92 Pada periode ini nusantara dibanjiri oleh kitab-kitab bidang agama yang ditulis oleh ulama- ulama Timur Tengah dari abad 15 M, yang di Indonesia di kenal dengan sebutan kitab-kitab Kuning. penyebaran ajaran moderat sekaligus juga menjadi pembentukan ajaran radikal dalam melawan bangsa penjajah. Kraemer 1952. 6.3.2. Sistem Pendidikan Pesantren di Awal Kemerdekaan - Zaman Orde Lama: Menghadapi Modernisasi Sistem Pendidikan