dikenal dengan wilayah yang ulamanya cukup aktif bersinggungan dengan dinamika politik yang berkembang.
3.2 Jenis dan Paradigma Penelitian
Menurut Vredenberg 1979 pemilihan jenis penelitian yang tepat akan sangat menentukan tercapainya tujuan penelitian. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif. Denzin dan Lincoln 1994 mengatakan bahwa penelitian kualitatif bertujuan
untuk membuat deskripsi yang mendalam, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai keseluruhan fakta-fakta, serta hubungan
antar fenomena sosial yang sedang terjadi. Rancangan organisasional penelitian dikembangkan dengan kategorisasi-kategorisasi serta dihubung-hubungkan
dengan keseluruhan fenomena sosial yang ada di lapangan. Penelitian kualitatif merupakan multi metode dalam fokus, melibatkan interpretasi, dan merupakan
pendekatan yang menempatkan subyek penelitian tersebut secara alami. Penelitian kualitatif, mempelajari “sesuatu” dalam setting aslinya sehingga mendapatkan
sebuah pengertian, atau penafsiran, pemahaman suatu fenomena berdasarkan pemahaman masyarakat pemiliknya. Stake 2011 memberikan penegasan, bahwa
penelitian kualitatif sangat sesuai untuk menganalisis macam-macam realitas sosial tempat umat manusia hidup, untuk selanjutnya dihimpun ke dalam disiplin
ilmu pengetahuan.
Selain pemilihan jenis penelitian yang perlu diperhatikan dalam kajian ilmu-ilmu sosial adalah paradigma. Paradigma adalah pandangan yang mendasar
dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma dapat diartikan sebagai, a a set
of assumption, dan b beliefs concerning yaitu asumsi yang “dianggap” benar. Karenanya paradigma membawa implikasi pada pilihan metodologi dan teori
yang akan diambil dalam sebuah penelitian Ritzer 1980. Di dalam penelitian sosiologi dikenal lima jenis aliran paradigma, yaitu positivisme, post-positivisme,
teori kritis, konstruktivis dan partisipatoris Denzin and Lincoln 2000. Secara paradigmatik penelitian ini akan menggunakan paradigma konstruktivisme,
mengingat adanya konstruksi sosial yang perlu dipahami dari persepsi dan perspektif etika moral dari komunitas tertentu yaitu komunitas pesantren.
Meskipun demikian paradigma yang digunakan dalam penelitian ini keberlakuannya tidak bersifat mutlak, sehingga membuka kesempatan secara
selektif bagi paradigma lain yang bersesuaian untuk digunakan. Pilihan pada paradigma penelitian konstruktivisme karena secara metodologis paradigma ini
bersifat hermeunetikal dan dialektikal dimana konstruksi sosial individu dapat diperoleh dan diketahui melalui interaksi antara peneliti dan tineliti. Di samping
itu, penelitian ini juga menekankan empati dan interaksi dialektif antara peneliti dan informan dalam rangka merekonstruksi realitas sosial yang diteliti dengan
metode kualitatif Guba dan Lincoln 2000. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis peneliti dapat memotret realitas sosial, tidak hanya realitas objektif
yang berada di luar diri orang yang diteliti tineliti, tetapi juga realitas subjektif yang berada di dalam diri orang yang diteliti tineliti yang menyangkut kehendak
dan kesadarannya, karena diantara kedua realitas ini memiliki hubungan timbal- balik yang saling mempengaruhi Hardiman 2003. Selanjutnya realitas yang
ditemukan dalam bentuk objektif, berupa data-data, harus dicari penjelasannya, kaitan sebab akibatnya, sehingga ada harapan peneliti dapat menembus gejala dan
menemukan realitas subjektif.
Untuk mencapai tahapan tersebut peneliti harus; Pertama, berjumpa dengan pribadi tineliti, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan
sungguh-sungguh mau memahami verstehen realitas tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Weber mengenai verstehen interpretative understanding
yaitu upaya atau pendekatan untuk memahami makna perilaku sosial social behavior, tidak hanya sekedar mencari hubungan sebab-akibat semata dari
sebuah realitas sosial Turner 1998. Apalagi sejak awal peneliti telah menyampaikan bahwa peneltian ini bersifat emik native point of view yaitu
menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Dengan demikian untuk melihat realitas, peneliti meneropongnya dari
luar dan dari dalam peneliti mengambil bagian di dalam realitas tersebut. Artinya disini peneliti ikut berbagi harapan, perasaan, perjuangan, cita-cita,
kekecewaan dan seterusnya. Meneropong dari “luar” merupakan sebuah refleksi tahap awal, untuk mendapatkan perbandingan, mencari kaitansebab-akibat,
menelusuri sejarahnya dan sebagainya. Dengan demikian peneliti menemukan struktur yang membuat individu atau masyarakat menjadi seperti itu. Untuk itulah
pendekatan struktural fungsional structural-functional approach diperlukan. Dari sini akan didapat sebuah analisis empiris tentang realitas. Barulah kemudian
dilakukan upaya meneropong dari “dalam” untuk menemukan kompleksitas perasaan, keinginan, pikiran-pikiran yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
Inilah yang dinamakan memahami dari „dalam‟, menyelami realitas bathin. Untuk itu diperlukan pendekatan teori-teori kritis juga diperlukan. Dengan
demikian Peneliti akan menemukan bahwa suatu masalah bukan hanya soal material yang objektif, melainkan juga menembus penghayatan bathin dan
kesadaran individu yang bersangkutan.
Harus diakui bahwa mempersoalkan realitas bukanlah sebuah persoalan mudah. Ralitas berkaitan dengan partikular yang paling total atau holistik yaitu
dari kesadaran yang paling subjektif sampai ideologi yang paling objektif. Dengan demikian harus dipahami bahwa realitas tidak selalu mirip dengan potret atau
gambaran sebelumnya karena sifatnya yang dinamis. Realitas selalu dinamis dalam proses “menjadi” atau proses “bertransformasi” menurut penafsiran ilmu
pengetahuan dan dogma yang diyakini Hardiman, 2003. Karenanya dinamika permasalahan yang ditemui dilapangan pun tidak mungkin diprediksi hanya
berdasarkan asumsi teoritik dan paradigma yang ketat.
Pada penelitian-penelitian sosial, realita lapangan seringkali melebihi asumsi-asumsi dasar pada saat penelitian dirancang, termasuk dalam kajian
mengenai transformasi ekonomi pesantren ini. Sekalipun pada awalnya penelitian ini menggunakan paradigm konstruktivis, yaitu paradigma yang umum dilakukan
dalam peneltian kualitatif. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa transformasi ekonomi di lingkungan pesantren merupakan realitas lokal yang dikonstruksi
secara spesifik. Konstruktivisme diyakini oleh penggunanya mampu untuk mengungkap detil-detil sosial komunitas tertentu dengan cara memahami setting
cultural secara alamiah dengan point of view subyek yang diteliti. Namun perkembangan di lapangan menyadarkan peneliti bahwa ada perlengkapan
penelitian yang harus disesuaikan. Dalam hal ini peneliti melihat adanya
keterbatasan paradigma konstruktivis untuk mengkonstruksi realita sosial yang ingin ditangkap. Paradigma konstruktivis ternyata belum cukup untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang berdimensi kritis, karena hanya berada dalam tataran memahami subyek penelitian strukturalis tanpa upaya memanfaatkan realita
sosial yang ada untuk melakukan perubahan kritis pada tataran yang lebih luas di luar obyek penelitian. Untuk itu peneliti melakukan negosiasi untuk secara
bersamaan menggunakan paradigma lain.
Karena penelitian ini bukan hanya untuk memotret realita sosial yang ada di obyek penelitian, yaitu transformasi ekonomi di lingkungan pesantren,
tetapi juga untuk memanfaatkan realita sosial tersebut pada obyek lain, yaitu menghadapkan model ekonomi pesantren dengan model ekonomi kapitalis, maka
peneliti menggunakan pula critical social yang termasuk ke dalam paradigma teori kritis secara bergantian dengan paradigma konstruktivis. Penggunaan critical
social diharapkan dapat menghasilkan analisa yang membebaskan mengemansipasi kesadaran manusia dari kungkungan kekuasaan atau struktural.
Disamping itu pilihan penggunaan critical social menimbang ada beberapa kesamaan-kesamaan antara paradigm konstruktivis yang ditetapkan sejak awal
dengan paradigma kritis yang ditemukan pada perjalanan penelitian. Tidak berbeda dengan konstruktivis, teori kritis pun secara epistemologi menerima
intersubyektivitas sebagai jalan menuju suatu “kesepakatan” yang kemudian disebut sebagai “kebenaran”. Selain itu dari sisi metodologi paradigma
konstruktivisme pun memiliki kesamaan dengan teori kritis, yaitu bersifat hermeneutical dan dialektical, dimana teori muncul berdasarkan data yang ada
dan difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial Salim 2001. Kesamaan lainnya adalah teori kritis dan konstruktivis,
menempatkan nilai, etika dan pilihan moral dalam posisi yang sama, dimana peneliti berperan sebagai passiorate participant, fasilitator yang menjembatani
subjektivitas pelaku sosial, karenanya faham ini memiliki tujuan penelitian untuk merekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan tineliti.
Dengan pengetahuan mengenai jenis dan paradigma penelitian, Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif dengan metode studi kasus, life
story, interaksional, dan visual text yang saling dipertemukan dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang suatu subyek, sedangkan
paradigma yang digunakan adalah konstruktivis kritis
3.3 Pendekatan teori utama sosiologi Grand theory of Sociology
Sekalipun teori bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan mengikat penelitian ini, namun teori dasar utama sosiologi tetap digunakan. Teori-teori
digunakan sebagai referensi untuk merespon fakta-fakta yang terjadi di lapangan.. Paradigm dan teori utama sosiologis Grand theory of Sociology, yang
digunakan adalah paradigma definisi sosial yang didasari teori-teori Max Weber, adapun asumsi-asumsi Weberian pandangan Weber yang digunakan adalah
bahwa individu, interaksi dan struktur pada hakikatnya merupakan perspektif yang relevan untuk penyelidikan sosiologis. Aksioma-aksioma Weber berurusan
dengan struktur-struktur sosial dan bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap
diletakkan menjadi latar belakang. Manusia dan struktur sosial dalam pandangan
Weberian dikonseptualisasikan secara lebih kompleks dan aktif . Definisi sosial Weberian melihat masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi
yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi,bertindak dan mencipta. Manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu
sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan interpretasi, atau penetapan makna
verstehen dari tindakan orang lain. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, berproses dan tak pernah
selesai terbentuk sepenuhnya. Masyarakat kumpulan individu-individu bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana”, namun pada hakekatnya merupakan
sebuah proses interaksi yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita. Individu bukan hanya memiliki pikiran mind yang mengantarnya pada
kemampuan rasional, namun juga diri self yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman
dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat menghasilkan makna, di mana makna-makna dibentuk dan akumulasi pengalaman
dan ilmu pengetahuan yang membentuk rasionalitas. Makna-makna dan rasionalitas itu kemudian menjadi definisi mengenai dunia sosial.
Bagi Weber ciri yang mencolok dari hubungan-hubungan sosial adalah kenyataan bahwa hubungan-hubungan tersebut bermakna bagi mereka yang
mengambil bagian didalamnya. Melalui analisis kenyataan dari tindakan manusialah kita memperoleh pengetahuan mengenai ciri dan keanekaragaman
masyarakat. Pendekatan Weber ini sejalan dengan perspektif kontruktivisme yang beranggapan bahwa perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan
perilaku alam. Manusia selalu bertindak sebagai aktor untuk mengkonstruksi realitas sosial.
Pelengkap dari teori sosiologi utama grand theory Weberian dalam kajian ini juga digunakan teori-teori kritis kontemporer Jurgen Habermas.
Menurut Habermas “teori kritis“ adalah “teori dengan maksud praktis”, dalam hal ini perlu tindakan yang membebaskan dari model teori yang ada. Menurut
Habermas teori-teori mempunyai beberapa kepentingan; kepentingan peng- etahuan dan kepentingan praktis dengan maksud untuk memperoleh suatu tingkat
dari tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal “Kepentingan”, K. Kertenz 1985 mengemukakakn bahwa kepentingan dimiliki oleh manusia dalam
keanggotaannya sebagai masyarakat. Kepentingan yang awalnya bersifat kompleks pada suatu relasi sosial dapat melahirkan kepentingan praktis, yang
pada gilirannya memunculkan ilmu pengetahuan Hermeneutik, yang dengan caranya masyarakat menginterpretasikan tindakan satu sama lain secara
organisatoris. Kepentingan praktis, memunculkan suatu kepentingan lainnya yaitu, “kepentingan emansipatoris“ yang membangkitkan pengetahuan teoritis.
Untuk itu Habermas mengambil psikoanalisa sebagai model untuk mengkaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesadaran sendiri. Teori kritis
Habermas menegaskan bahwa tindakan manusia Secara esensial itu adalah alat untuk menghasilkan kebebasan manusia yang besar.