Aktivitas Sosial dan Ruang Ekonomi
kehidupan manusia bersifat metafisik dan moralitas. Kedua, rasionalisasi yang mencakup kontrol normatif atau sanksi. Rasionalisasi ini bersifat intelektual,
mengacu kepada ide eksistensi bagaimana manusia “seharusnya” menjalani hidup. Ketiga, rasionalisasi yang mengandung konsep komitmen motivasi.
Komitmen motivasi ini tidak hanya pada tataran kepercayaan tetapi memasuki tataran kognitif yang lebih praktis.
Habermas 2010 menjelaskan tekanan struktural maupun kultural merangsang dilakukannya konstruksi rasional. Habermas merumuskan dua
macam rasionalisasi.Pertama adalah rasionalisasi dari atas, yakni terjadinya krisis legitimasi tradisional. Proses ini terjadi karena mitos, agama, dan metafisika
kehilangan daya ikatnya pada tindakan sosial dan melahirkan apa yang disebut sekularisasi.Di titik ini, ekonomi menjadi dimensi yang dominan di dalam
kehidupan.Kedua adalah dari bawah, yakni interaksi sosial yang semakin diatur oleh norma-norma tindakan rasional bertujuan. Kerangka kerja institusional
semacam itu berakhir ketika masyarakat berada di dalam tahap kapitalisme. Dalam prosesnya rasionalisasi “dari atas”, mencakup penanaman motivasi dan
perwujudan struktur-struktur kesadaran. Sedangkan proses rasionalisasi “dari bawah”, meliputi penyelesaian konflik-konflik kepentingan yang muncul karena
“masalah reproduksi ekonomis dan perebutan kekuasaan politis”.
Isu relasi agama dan rasio pada akhirnya menyebabkan seorang Kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya “God and Intelligence in Modern Philosophy”,
mengatakan, “Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan
yang kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua hal tersebut tak mungkin terpisahkan”. Reaksi para teolog dan pemuka
rohaniawan Kristen dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi tantangan tersebut cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk reaksi:
• Pertama, Strong Rasionalism; reaksi ini meyakini bahwa rasio dan
argumentasi pasti mampu menjelaskan segala ajaran agama secara benar.
• Kedua. Fideism; reaksi ini berkeyakinan bahwa ajaran agama adalah
doktrin yang tidak bisa disentuh oleh rasio manusia. Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan kapasitas rasio.
• Ketiga. Critical Rasionalism; sikap ini menegaskan bahwa rasio mampu
menjelaskan ajaran-ajaran agama, hanya saja kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Michael Petterson 1991.
Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan
pendapat, baik yang berkaitan dengan ushuluddin maupun furu’uddin adalah salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya dari sisi
muatan ajaran saja mereka berbeda pendapat, akan tetapi dari sisi metode penetapan kebenaran berargumentasi ajaran pun terjadi perbedaan pendapat.
Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi
pemicu perbedaan pendapat antar mazhab-mazhab Islam adalah tentang peranan argumentasi rasional dalam menetapkan kebenaran ajaran agama.Ada tiga
pendapat dari kelompok-kelompok Islam perihal argumentasi rasional.
19
• Pertama, Mazhab Zhâhirî kontekstualisme; mereka hanya mengambil
tekstual zhâhir suatu teks agama tanpa memperdulikan makna yang ingin disampaikan oleh pembicara mutakallim di balik itu. Mereka
menolak segala macam takwil atau pun argumentasi akal dengan tegas. Mereka pun berusaha untuk menjaga kebermunculan masalah dan
pemikiran baru yang masuk dalam ajaran agama. Oleh karena itu, mereka menolak
berbagai pertanyaan
yang menimbulkan
munculnya permasalahan baru itu. bertanya tentang hal tersebut merupakan bid’ah.”
• Kedua, MazhabAqlî rasionalisme; mereka meyakini bahwa segala
macam ajaran agama, seperti halal dan haramnya bisa dideteksi melalui rasio manusia. Semua itu bertumpu pada landasan kaidah “wujûb syukril-
mun’im” kewajiban berterima kasih pada pemberi nikmat, sedang kaidah itu bertumpu pada rasionalitas baik dan buruk.
•
Ketiga, Mazhab Insijâm komplementerisme; mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan syariat agama. Mereka meyakini bahwa
sebagaimana wahyu dan syariat dengan arti umum merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan akal pun demikian; sebagaimana
wahyu agama merekomendasikan banyak hal yang bersifat obyektif, begitu pula dengan akal rasio.