Sistem Pendidikan Pesantren pada Masa Orde Baru : Kurikulum

hafalan 99 .Dari sisi jemjang pendidikan PP. Sidogiri tidak mengacu dan menggunakan jenjang pendidikan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 Tahun 1952, yang mengatur tentang jenjang pendidikan pada madrasah. 100 PP. Sidogiri membuat jenjang sendiri yang agak berbeda dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. PP.Sidogiri membuat kegiatan pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri terbagi menjadi dua bagian; pendidikan madrosiyah diniyah-klasikal, dan pendidikan ma’hadiyah luar madrasah-non klasikal berupa Kuliah Syariah. Madrasah dibagi menjadi empat tingkat: Sifir satu tahun, Ibtidaiyah enam tahun. Sebelum memasuki kelas 5 Ibtidaiyah, para santri harus meyelesaikan program idadiyah. Tsanawiyah tiga tahun, Aliyah Tarbiyatul Muallimin tiga tahun,. Di samping itu, masih ada jenjang pendidikan persiapan yang diberi nama Isti’dadiyah. Jenjang ini menggunakan program khusus dan diselesaikan hanya dalam waktu 1 tahun. peserta didik memiliki kesempatan untuk melakukan tanya jawab atau sharing dengan gurunya. Sehingga menurut penulis metode ini cukup intensif untuk pengembangan intelektual peserta didik 98 Bandongan atau Weton biasa disebut metode wetonan adalah cara penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, Kyai atau ustad membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning. Menurut Zamakhsyari Dhofier selanjutnya disebut Dhofier sebagaimana dikutip Qomar t.th.:143, ―metode wetonan atau bandongan merupkaan metode pengajaran dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Arab sementara santri, murid atau siswa mendengarkan, memberi makna dan menerima wejangan.ǁ Melalui metode ini, guru berperan aktif, sementara murid bersifat pasif. Metode bandongan atau weton dapat bermanfaat ketika kelompok jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang disampaikan cukup banyak. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut dengan h}alaqah lingkaran murid, sekelompok yang belajar di bawah bimbingan guru Haedari, dkk., 2004:42. Dalam sistem bandongan seorang murid tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti terhadp pelajaran yang dihadapi. Kebiasaan para Kyai adalah membaca dan menerjemahkan secara cepat teks kitab klasik yang dipeleajari serta meninggalkan kata-kata yang mudah dipahami untuk tidak diterjemahkan. Dengan ara tersebut Kyai mampu menyelesaikan kitab dalam waktu yang singkat. Dengan memahami proses pembelajaran metode bandongan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran dengan metode bandongan hanya bisa diaplikasikan pada peserta didik kelas menemgah dan tinggi 99 Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksikan oleh guru. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar dan tingkat menengah. Karena menghafal sama dengan mengajak otak agar tetap bekerja. Jika diibaratkan pisau agar tidak cepat tumpul, maka harus sering diasah. Begitupun dengan otak manusia. Agar tidak mudah hilang hafalannya juga harus sering diasah. 100 Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946, dan kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 Tahun 1952, yang mengatur tentang jenjang pendidikan pada madrasah. Menurut peraturan ini, jenjang pendidikan pada madrasah terdiri dari: 1 Madrasah Rendah sekarang disebut Madrasah Ibtidaiyah, yaitu madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama pendidikan 6 tahun. 2 Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama sekarang disebut Madrasah Tsanawiyah, ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan Madrasah Rendah atau yang sederajat, serta memberi pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama pendidikan 3 tahun. 3 Madrasah Lanjutan Atas sekarang disebut Madrasah Aliyah, ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan Madrasah Lanjutan Pertama atau yang sederajat, serta memberi pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama belajar 3 tahun. Demikian pula dengan ijazah kelulusan, PP. Sidogiri tidak mengeluarkan ijazah kelulusan bagi santrinya. PP. Sidogiri bukan tidak tahu adanya SKB 3 Menteri 101 yang mengatur masalah penjejangan dan sertifikasi kelaulusan yang menjadi bukti formal seseorang telah mengikuti sebuah pendidikan. Di PP. Raudlatul Ulum, jenjang pendidikan sangat tidak jelas. Penjenjangan hanya dibedakan menjadi santri lama dan santri baru. Masa pendidikan juga tidak ditentukan. Kelulusan adalah hak prerogatif kyai. Model pengajaran PP.Raudlatul Ulum adalah model yang paling klasik dari pesantren, seperti yang digambarkan oleh Supriadin 2014 pengajaran pesantren adalah sistem pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang hari. Santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, Kyai dan senior mereka. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara santri-guru-Kyai dalam proses pendidikan berjalan intensif, tidak sekedar hubungan formal ustad santri di dalam kelas. Dengan demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari. Sistem pendidikan pesantren sangat bergantung pada selera Kyainya. Keahlian dan pengalaman Kyai tentu saja turut mewarnai sistem pendidikan pesantren yang diasuhnya. Tidak sedikit spesialisasi pengkajian di pesantren disesuaikan dengan spesialisasi keilmuan yang dimiliki Kyainya. Pilihan ini masih dalam batas kewajaran atau keniscayaan Supriadin 2014. Dari sisnilah harus dibedakan antara pesantren dengan madrasah. Nurcholis Madjid melihat bahwa: Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dilatar belakangi oleh empat hal, yaitu; a sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan pendidikan Islam; b usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum; c adanya sikap mental pada sementara golongan ummat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai pendidikan mereka; d sebagai upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern. Muhaimin dalam Hasbullah 1995. Madrasah bisa menjadi bagian dari sebuah pesantren tetapi tidak otomatis bahwa madrasah yang dipimpin oleh seorang kyai sekalipun adalah sebuah pesantren. PP. Sidogiri maupun PP. Roudlatul Ulum memiliki kesamaan pandangan bahwa menciptakan pribadi akhlakul karimah yang didasarkan kepada pemahaman kitab-kitab agama, Al qur’an, al Hadits dan kitab para salafi hanya bisa didapatkan dengan cara para salafi melakukannya. Cara salafi yang dimaksudkan adalah cara-cara yang dilakukan oleh para kyai-kyai terdahulu. Metoda yang dilakukan adalah metoda yang dibimbing oleh kearifan hati bukan semata-mata oleh kecerdasan akaliah. Hal ini pernah pula dikemukakan oleh Mustuhu 1994 yang mengemukakan bahwa pondok pesantren memiliki visi dan misi :Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi kehidupan masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula dan pelayan masyarakat, seperti halnya misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dan selain itu mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian menyebarkan agama atau menegakan Islam dan kejayaan umat Islam 101 Surat Keputusan Bersama SKB Tiga Menteri pada tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah, didalamnya tertuang tentang Ijazah. Izzul Islam Wal Muslimin, dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian yang diridoi oleh Allah SWT. Dalam taradisi pemikiran Islam disebutkan bahwa “sesuatu yang kuat dan istiqomah konsisten diajadikan pedoman bagi yang lemah dan bimbang”, Ketika pemikiran ini diterapkan dalam konteks kebijakan sistem pendidikan, dinilai oleh para kyai sebagai bentuk ketidak-konsistenan pemerintah. Bagi PP.Raudaltul Ulum saja yang secara formal baru didirikan pada dekade tahun 1960-an saja sudah melihat berbagai perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah, apalagi bagi PP. Sidogiri yang mengalami fase pra kemerdekaan. Pemerintah berdalih perubahan sebagai sebuah pembaharuan dan perbaikan, namun bagi PP. Raudlatul Ulum maupun PP.Sidogiri melihatnya sebagai sesuatu yang tidak pasti. PP.Sidogiri dan PP.Cidahu belum pernah sekalipun merubah tata cara, metoda dan sumber yang dijadikan rujukan ajar mengajar. Menurut pandangan mereka ketidak-berubahan sebagai wujud dari paripurnanya sistem yang dibuat oleh para pendahulu kyai. Dengan demikian ketika pemerintah memaksa agar pesantren mengikuti keinginan pemerintah melakukan perubahan atau penyesuaian kurikulum, menurut para kyai adalah hal yang aneh dan melawan kodrati sunatullah, jika yang sudah mantap harus patuh pada yang masih bimbang. Kuatnya independensi tersebut menyebabkan pesantren memiliki kebebasan relatif yang tidak harus mengikuti model baku yang ditetapkan pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti standardisasi dan kurikulum yang ketat Mastuhu 1994. Pesantren selalu memberikan kebebasan dalam menentukan pola kebijakan pendidikannya. Maka pesantren menggunakan prinsip kebebasan terpimpin dalam menjalankan kebijaksanaan pendidikannya. Kebebasan terpimpin di sini adalah kebebasan dalam memilih, memutuskan dan menjalankan kebijakan pendidikan sesuai dengan kehendak Kyainya. Terhadap kebijakan pemerintah, sistem pendidikan pesantren menempuh sikap sebebas-bebasnya, namun dikalangan intern pesantren sendiri, yang memiliki kebebasan adalah Kyainya. Para ustad tidak berkenan menentukan kebijakan pendidikan pesantren, terlebih para santri. Sehingga, di dalam pesantren tradisional tidak dikenal sistem kelas. Kemampuan siswa tidak dilihat kelas berapanya, tetapi dilihat dari kitab apa yang dibacanya. Orang-orang pesantren telah dapat mendudukan derajat ilmu seorang santri atas dasar kitab yang dibacanya Daulay 2001. Tidak menerapkan kurikulum sebagaimana yang diatur oleh pemerintah tidak bisa dipandang sebagai sebuah konflik. Pesantren tidak melakukan penyerangan terhadap kurikulum yang didisain oleh pemerintah. Kurikulum harus dilihat dari perspektif pilihan bebas dengan logika interaksi. Kyai sendiri dengan logika hermeneutik dan logika kesejarahan heritage yang dibangun para kyai sebelumnya telah membangun kurikulum yang praksis. Pemerintah dan masyarakat pesantren Melalui logika-logika tersebut dapat membangun, saling pengertian atau komunikasi sebagai tema interaksi. Dalam suasana komunikasi itulah akan terjadi dialog berdasarkan pengakuan satu sama lain diantara mereka yang mengambil bagian dialog tersebut, sambil membuang kemungkinan- kemungkinan terjadinya saintifikasi dan teknikalisasi berlebihan pada kurikulum. Kurikulum bukanlah kemasukakalan dari tatanan dunia yang dirancang oleh subjek kekuasaan secara monologal, melainkan prosedur yang diakui secara intersubjektif antara subjek kurikulum yang dianggap rasional adalah sesuatu yang memperoleh kesahihannya lewat komunikasi untuk mencapai konsensus. Karena lewat komunikasi itulah dapat dicapai saling memahami. Melalui diologis yang bebas dari tema-tema penguasaan sebaliknya dengan penuh kebersamaan, saling pengertian dan pengakuan satu sama lain, memungkinkan untuk menciptakan ruang waktu yang cukup dalam upaya membangun kesepakatan- kesepakatan kurikulum apa yang paling tepat sebenarnya. Dalam hal kurikulum pemerintah terkesan memaksakan logika tindakan instrumental yang bertujuan pada aspek fisik dengan tujuan untuk mencapai efisiensi yang bersifat teknis. Pemerintah juga menggunakan strategi untuk mengatur melalui kebijakan formal demi mencapai beberapa tujuan yang bersifat partikular politis. Pada tataran tersebutlah sebenarnya kyai melakukan penolakan, karena menurut kyai dalam mencapai kesaling-pemahaman dengan orang lain tidak baik kita menggunakan tindakan rasional bertujuan yang instrumental ataupun yang strategis. Kyai mengharapkan melalui komunikasi untuk mendapatkan kesalingpemahan. Namun pemerintah berkali-kali tetap memaksakan kehendaknya. Bukan hanya pada tataran logika tindakan dan strategi penerapannya yang dipandang monogial, kyai pun merasakan bahwa tidak sepenuhnya kurikulum pemerintah itu disampaikan dengan kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Kecurigaan yang sudah ada sejak lama laten muncul kembali. Inilah mengapa pada akhirnya pesantren semacam PP. Sidogiri maupun PP. Raudalatul Ulum tetap mengambil jarak dengan kurikulum yang disusun oleh pemerintah. Para kyai berpendapat bahwa tujuan pendidikan di lingkungan pesantren bukanlah dimaksudkan untuk tujuan komersialisasi pendidikan yang mengejar motivasi ekonomi, kepentingan kekuasaan, ataupun keagungan duniawi, akan tetapi semata-mata dimaksudkan sebagai pengabdian kepada Tuhan dan sesama, serta kewajiban syiar agama. Cita-cita dari pesantren ini adalah sebagai latihan untuk dapat berdiri sendiri sekaligus membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali hanya kepada Tuhan. Di dalamnya, para kiyai berupaya menaruh perhatian pada pengembangan watak pendidikan secara individual yang dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya sampai pada tingkah laku moralnya. Dasar pemikirannya adalah bahwa pendidikan merupakan sarana bagi pengembangan ajaran kepercayaan Islam, yang secara spesifik dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan para santri dalam menafsirkan inti ajaran Islam 102 . Pesantren adalah tempat mengembangkan komponen-komponen integrasi pribadi. Yang dikembangkan adalah internalisasi nilai-nilai akhlak manusia secara umum. Para kyai meyakini, disamping pengetahuan dan teknologi yang terpenting adalah nilai-nilai akhlak yang sangat berguna bagi umat manusia dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Adapun refrerensinya adalah Al Ghozali dalam Ihya ulumuddin “Akhlaq adalah sesuatu yang menggambarkan tentang prilaku seseorang yang terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya. Dan jika sumber prilaku tersebut didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia yang dapat ditinjau 102 Penelitian ini menunjukkan bahwa para kyai tetap konsisten dengan pandangannya tentang output pesantren, sebagaimana pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Dhofier 1982 dibenarkan oleh akal dan syari’at maka ia dinamakan akhlaq yang mulia, namun jika sebaliknya maka ia dinamakan akhlaq yang tercela”. Menyikapi pandangan masyarakat yang menempatkan seolah pesantren adalah lembaga pendidikan untuk kalangan masyarakat bawah, ditolak sepenuhnya oleh para kyai baik yang ada di PP.Sidogiri maupun PP. Raudlatul Ulum. Sikap sederhana dan tidak memungut biaya yang besar sebagaimana pada sekolah-sekolah umum bukan karena para santri adalah orang-orang miskin, para santri yang yang menerima pendidikan pesantren, baik di pesantren kecil maupun besar, adalah orang-orang yang pada kenyataan sebenarnya berasal dari keluarga atau kalangan masyarakat yang berkecukupan. Realitas ini dapat menerangkan sebagian dari alasan mengapa banyak dari para kiyai—yang dipengaruhi oleh budaya santri di pedesaan—justru mampu berhaji berkali-kali, bahkan mampu mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ke luar negeri di Timur Tengah, justru dikarenakan kebanyakan dari mereka merupakan keluarga petani atau pebisnis di pedesaan yang mampu dan berkecukupan Karena itu pula pesantren tidak membutuhkan belas kasihan dari pemerintah atau darui masyarakat luar. 103 PP. Sidogiri maupun Raudaltul Ulum tidak disain dengan konsep “taylor made” yang merespon dan memfasilitasi kebutuhan dan keinginan masyarakat luas. Pesantren sebenarnya membuka ruang-ruang pembaharuan, namun ruang pembaharuan harus disampaikan oleh orang dalam yang melihat keluar dari jendela pesantren. Dalam hal ini kyai mempercayai bahwa sesuatu perubahan datang dari internal bukan keinginan “outsider” dan perubahan yang tulus dating dari orang yang berhikmah pada pesantren.. Para Kyai menetapkan bahwa integritas pesantren tidak diukur dari sejauh mana pesantren bisa melayani seluruh masyarakat. Menyikapi isu preferensi masyarakat dan kebijakan politik pemerintah terkait kurikulum. Menurut para kyai persetujuan pada penyusunan kurikulum pemerintah, seperti perubahan mata ajaran, penambahan bobot mata ajaran dan cara pengajaran menyebabkan beberapa hal :1 pesantren menjadi tidak berbeda dengan pendidikan sekolah pada umumnya, padahal sejak awal pesantren berorientasi pada upaya menciptakan manusia yang hidupnya mendekatkan diri pada Tuhan dan menjadi pelayan Tuhan untuk melestarikan nilai-nilai agama. Karena itu sekaligus juga menjawab keinginan masyarakat non pesantren yang menginginkan output pesantren disamping mempunyai pengetahuan agama sekaligus juga mempunyai pengetahuan umum, ditolak oleh para kyai. 2. Menggantikan metoda pengajaran semacam bandongan dan sorogan, bukan hanya menghilangkan kebiasaan atau kekhasan pesantren, tetapi ~ menghilangkan metoda sufisme yang membangun dialektika kecintaan antara guru dan murid. Menurut para kyai ketika dialektika cinta antara kyai dan santri hilang maka moralitas keagamaan tidak ada lagi yang mengontrol. Seorang murid tidak bisa lepas dari koreksi dan bimbingan gurunya, Mekanisme ini terus akan berlangsung, manakala seorang murid telah menjadi guru buat yang lain maka akan terbentuk komunitas dengan pola pikir dan kecintaan yang sama. Karena seorang Kyai bukan hanya guru pengetahuan buat santrinya tetapi dia adalah orangtua yang dititipi anak oleh Tuhannya. 3 modernitas atau preferensi kehidupan lainnya, menurut kyai diserahkan kepada ahlinya, para santri bisa mendapatkan di luar 103 Wawancara dengan Kyai Nawawie dan Kyai Muhtadi.