Perubahan Struktur, Peran dan fungsi Pesantren

Ruang-ruang bisnis yang melibatkan pihak luar telah membuat sebuah perubahan yang mendasar pada proses administrasi di lingkungan pesantren. Sekalipun tidak dipelajari secara khusus dan menjadi bagian dari mata pelajaran yang diajarkan, akuntansi telah menjadi bagian keilmuan praktis bagi para santri khususnya yang dipercaya menjadi pengurus atau pegawai pada usaha-usaha bisnis pesantren. Disamping itu bisnis yang melibatkan alumni menciptakan perhitungan konpensasi bisnis berupa : komposisi pengelola yang menjembatani entrepreunership alumni dengan pesantren dan kyai sebagai brand dan sekaligus pencipta struktur pasar dimana komposisi dilakukan dengan asas proporsional. Penentuan komposisi telah menciptakan transaksi antara nilai material dan nilai imaterial yang kemudian dikonversi dalam bentuk share of margin. Bagi hasil dalam usaha sesungguhnya merupakan sesuatu yang telah diatur dalam Islam, namun implementasi dalam ruang praksis khususnya di pesantren, baru terjadi ketika ruang-ruang bisnis telah memasuki dunia pesantren. Jika kapitalisme sebagaimana dikemukakan oleh Weber dalam Collin 1980 adalah upaya manusia untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan kegiatan-kegiatan usaha dimana kepemilikan pribadi adalah unsur yang melekat di dalamnya, maka dalam unsur-unsur mendapat keuntungan, ekonomi pesantren menyerupai unsur-unsur kapitalisme dalam perspektif Weber. Namun dalam hal penguatan kepemilikan pribadi, ekonomi pesantren justru berlawanan. Pada Kegiatan mencari dan mendapatkan keuntungan, kegiatan tersebut bukanlah hal yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam. Islam tidak melarang adanya perniagaan, mengambil untung dan bahkan Islam mengakui kepemilikan pribadi. konsepsi pemikiran teoretik Weber lainnya tentang kapitalisme adalah rasio dan tindakan individu yang merupakan bentuk asketisisme aktif, bukan asketisisme pasif seperti yang berkembang dalam mistisisme agama. Asketisisme aktif memberikan dorongan yang kuat bagi para penganutnya agar menjalani kehidupan yang nyata real di dunia ini. Artinya, dengan dorongan asketisisme positif, rasionalitas dapat menjadi alat untuk mengendalikan dan menguasai berbagai tantangan kehidupan dunia. Sementara itu, mistisisme dengan kekuatan kontemplasi spiritualnya cenderung “membelakangi” kehidupan dunia. Implikasi sosial mistisisme cenderung tidak mengejar kepentingan keduniaan, meminimalisir penguasaan sumber daya ekonomi yang ada, karena orientasinya, adalah kehidupan akhirat yang abadi dari Tuhan.. Kapitalisme di jalankan dengan mengunakan ruang-ruang usaha yang memungkinkan, ekonomi menjadi alat merasionalisasi ajaran-ajaran agama untuk kepentingan umat itu sendiri. Atau dengan kata lain kapitalisme adalah implementasi dari semangat ekonomi rasional sebagaimana dikemukakan oleh Weber. Weber berpendapat bahwa agama-agama Timur 134 cenderung bersifat asketisme pasif. Sekalipun tidak terlalu tepat,konsep dan ciri ekonomi rasional kapitalistik Weberian telah masuk ke dalam ruang-ruang usaha bisnis di lingkungan pesantren, yaitu konsep modal, perputaran modal, pengelolaan keuangan yang akuntabel, pasar, pemilik modal, share of capital, profit, share of margin dan reorganisasi untuk menguatkan struktur ekononomi. Konsep-konsep 134 Selain penenlitiannya tentang masyarakat protestan kalvinis, Weber juga melakukan studi leiteratur tentang agama-agama di Asia yaitu agama di China dan juga di India. tersebut digunakan namun terdapat perbedaan antara kapitalisme yang terjadi saat ini dengan yang terjadi di pesantren. Kapitalisme saat ini menciptakan kepemilikan pribadi yang sangat menonjol, hal ini bertolak belakang dengan yang terjadi di pesantren. Pesantren yang pada awal pendiriannya merupakan lambang pribadi seorang kyai. Seluruh asset pesantren pada mulanya merupakan milik kyai namun ketika usaha pesantren menguat, kepemilikan pribadi kyai atas asset pesantren bias menjadi korporasi pesantren. Kyai tidak menjadi pemilik mutlak usaha-usaha yang berjalan di pesantren, Kyai sebagaimana komunitas pesantren lainnya dalam hal pembagian surplus usaha diatur oleh kesepakatan- kesepakatan yang dibuat. Penggunaan kata kapitalistik di sini, untuk merespond teori weber tentang Protestanisme. Agama tidak saja membicarakan masalah transendental tetapi didalamnya ada logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut baik yang baik secara langsung maupun tak langsung. Logika tersebut mendorong perencanaan demi pengejaran keuntungan ekonomi. Pokok-pokok teori weber tentang kapitalisme yang menurutnya berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan, sesungguhnya itu juga terjadi dalam pesantren masyarakat Islam. Kapitalistik atau ekonomi rasional di lingkungan pesantren Walau masih bersifat embrionik, mulai terjadi pada fase ke-tiga dan keempat 135 yaitu pada saat munculnya madrasah. Madrasah berkatabolisasi membentuk satu ruang baru diantara ruang majlis dan ruang madrasah yaitu ruang usaha internal berbentuk koperasi. Madrasah adalah pemicu lahirnya ekonomi rasional yang pertama di lingkungan pesantren. Madrasah menggantikan sistem pertukaran relatif yang sebelumnya terjadi di ruang majlis taklim menjadi pertukaran terukur. Monetisasi penguangan, juga menjadi alat tukar yang mengantikan sistem natura, sistem pencatatan perencanaan keuangan agar terjadi balance atau surplus dimasukkan dalam perencanaan anggaran dan biaya operasional mulai dilakukan pada fase hadirnya madrasah. Madrasah menghasilkan surplus operasional, surplus tersebut digunakan kembali untuk pengembangan madrasah, seperti untuk perbaikan sarana maupun peningkatan kesejahteraan pengelolanya. Sistem ekonomi rasional mulai menunjukkan bentuknya yang lebih nyata ketika di pesantren mulai hadir apa yang dinamakan koperasi pesantren. Koperasi pesantren adalah upaya-upaya mencari surplus pendapatan yang dapat dikembangkan untuk membangun usaha- usaha lain. Hadirnya sistem pencatatan dan monetisasi baik di madrasah maupun di koperasi merupakan awal dari hadirnya ekonomi rasional 136 di lingkungan 135 Lihat fase pembentukan ruang di pesantren 136 Saya menggunakan dua aternatif capitalistic atau rational economy. Yang saya maksud capitalistic di sini mengacu kepada definisi awal Weber, yaitu kapitalisme adalah upaya manusia untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan kegiatan-kegiatan usaha dimana kepemilikan pribadi adalah unsur yang melekat di dalamnya, bukan dalam pengertian capitalism dengan konsep Scarcity yaitu peletakan kebutuhan manusia yang tak terbatas dan pola transaksi yang mengedepankan surplus nilai, dimana akumulasi dari surplus nilai yang dimilikinyalah yang menentukan strata manusia. Karenanya saya menawarkan juga dengan istilah rational economy yaitu upaya manusia untuk mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang transaparan dan terukur. Penggunaan istilah capitalism dan rational economy juga untuk memudahkan menjelaskan sekaligus melakukan koreksi pada kesimpulan Weber terkait semangat ekonomi pada agama-agama non protestan-calvinis, dimana Weber berpendapat bahwa pesantren yang saya sebut sebagai embryonic capitalistic atau embryonic rational economy 137 . Mengapa disebut kapitalistik ? usaha-usaha pesantren sejatinya tidak langsung berhubungan dengan fungsi pendidikan yang diembannya. Perputaran modal usaha tidak ada kaitannya dengan kesuksesan akademik para santri. Usaha ini murni upaya-upaya mencari keuntungan. Dalam embryonic capitalistic atau embryonic rational economy modal kerja working capital mengandalkan modal sosial internal. Pesantren memfasilitasi dan mengkoordinasi modal sosial internal yang dimilikinya ke dalam bentuk usaha-usaha nyata real business yang melibatkan para santri dan pengelola pesantren. Perputaran ekonomi tergantung seberapa besar komunitas yang dimilikinya. Ekonomi rasional yang masih bersifat embrio ini menciptakan ekonomi subsisten dengan komunitas kental sebagai aktor-aktor penopang. Ekonomi rasional pesantren berkembang lebih lanjut, setelah hadirnya ruang-ruang usaha seperti koperasi dengan basis komunitas kental muncul lembaga keuangan seperti BMT 138 . BMT sebagai lembaga keuangan dalam operasinya tidak cukup hanya dengan kekuatan sosial pesantren dan kharisma kyai sebagai ikon dan brand. BMT selain melakukan pencatatan, mengatur perputaran modal, mengelolaa keuangan secara akuntabel, menjaga pasar, mengatur share of capital, profit, share of margin dan penguatan struktur organisasi juga menjadi lembaga keuangan yang harus tunduk dan taat pada ketentuan-ketentuan formal. BMT harus berdampingan dengan otoritas keuangan negara. Ciri-ciri kapitalisme moderen adalah di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu. Badan tersebut dapat memiliki maupun melakukan perdagangan barang modal pada sebuah pasar bebas. Permintaan dan penawaran demi menghasilkan keuntungan dilindungi oleh di luar dalam agama-agama lain tidak ditemukan konsep rasionalisasi yang mendorong semangat berusaha, agama-agama lain cenderung bersikap asketis . 137 Pengertian Embryo secara Biologi yaitu suatu organisme yang ada pada tahap awal perkembangan dan tidak mampu untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Definisi yang lebih tepat dari embrio itu ada bermacam macam, seperti pada manusia, sel telur yang telah dibuahi sudah dapat dianggap atau diartikan sebagai embrio sampai pada sekitar minggu yang kedelapan pada kehamilan, di mana pada titik setelah itu embrio tersebut akan disebut sebagai janin. Embrio pada hewan atau binatang biasanya menunjuk pada setiap tahap dari perkembangan sebelum proses kelahiran. Embrio pada tanaman bisa diambil dari sejumlah bentuk yang jauh berbeda, meskipun embrio pada tumbuhan biasanya terbungkus rapi di dalam biji. Saya menggunakan istilah embryonik untuk menggambarkan bahwa kapitalisme yang terjadi belum sempurna, mengacu pada ukuran weber : 1 menggunakan penghitungan akuntansi, yaitu sistem penghitungan pengeluaran dan pemasukan berdasarkan tata pembukuan modern, 2 tenaga kerja yang bebas dan bisa berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya, 3 adanya pengakuan hak milik pribadi, 4 adanya pasar perdagangan yang tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak rasional, dan 5 adanya hukum yang mengikat anggota masyarakat 137 . Weber juga memasukkan teknologi sebagai komponen kapitalisme. Sebab hanya dengan teknologi produksi skala besar bisa dihasilkan. 138 BMT di pesantren lahir sebagai dampak dari kebersinggungan dengan dunia luar, dan prestasi yang dicapai oleh koperasi. kolaborasi kompleks di antara komunitas santri, alumni pesantren melihat kekuatan pesantren sebagai pasar. Disamping itu BMT Baitul Mal wa Tamwil juga terkait dengan : isu pengelolaan dana komunitas pesantren yang tidak dapat dilakukan dengan menyerahkan kepada lembaga-lembaga keuangan bank-bank umum atau perusahaan asuransi jiwa umum ~ karena terbentur kepada syariat Islam terkait ribawi dan perjudian. Di samping itu karena adanya potensi pasar dari komunitas yang berkembang secara internal maupun adanya pasar yang membutuhkan lembaga ekonomi alternatif. negara serta tunduk kepada hukum negara. Hukum harus menjamin kepastian atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang telah disusun hak dan kewajibannya baik eksplisit maupun implisit. Dalam batasan ini kapitalisme yang dimaksud bukanlah suatu sistem ideal, rasional dan terlindungi oleh hukum. Rasionalitas dan perlindungan hukum bukanlah hal yang melanggar syariah Islam. BMT pun menerapkan asas rasionalitas dan kepastian hukum. BMT melaksanakan dua macam kegiatan, yakni kegiatan bisnis sebagai kegiatan utama dan kegiatan sosial sebagai kegiatan penunjang. Kegiatan baitut tamwil adalah mengembangkan usaha – usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. Sedangkan kegiatan baitul maal menerima titipan ZIS zakat, Infaq shadaqah dan menjalankan sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Dengan demikian BMT memiliki karakteristik yang unik, karena selain memiliki fungsi sebagai badan usaha, juga berfungsi sebagai badan sosial. Pada pelaksanaannya, BMT bukan hanya mengelola sumber daya internal komunitas santri dan alumni tetapi telah memanfaatkan pasar di luar masyarakat umum untuk menampung dan menyalurkan modal. BMT beroperasi dengan menggunakan prinsip – prinsip ekonomi syariah, seperti mudharabah dan musyarakah. BMT tidak mau dikatakan sebangai bank, namun pada kenyataannya ia berfungsi sebagai financial intermediary yaitu lembaga perantara keuangan, yang memiliki fungsi menghimpun dana dari pihak yang memiliki kelebihan dana surplus of funds dan menyalurkannya kepada pihak yang memerlukan dana lack of funds. alam pelaksanaan menghimpun dan menyalurkan keuangan, dibandingkan dengan bank umum , BMT memiliki kemiripan fungsi. Dalam masyarakat kapitalis bank berfungsi sebagai perantara antara pemilik modal dan pasar uang. Bank bertanggung jawab dalam penyaluran dana masyarakat kepada fihak yang membutuhkan dana tersebut. Kehadiran lembaga keuangan ini memfasilitasi arus peredaran uang dalam perekonomian. Uang-uang dari individu dikumpulkan dalam bentuk tabungan, sehingga resiko dari para penabung ini beralih pada lembaga keuangan. Baik BMT maupun Bank menyalurkan dana dalam bentuk pinjaman hutang kepada yang membutuhkan.Hadirnya BMT telah mendorong pesantren memasuki aras ekonomi berbasis uang monetisasi yang kompleks. Menggunakan batasan kapitalisme capitalism Weber, 139 ruang-ruang usaha pesantren adalah repleksi agama pada tataran ekonomi praksis. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Islam pun sebagai agama samawi mempunyai spirit ekonomi yang mengedepankan rasionalitas. 139 sebagaimana perspektif Weber yang dihasilkan dari kesimpulan pengamatannya pada masyarakat protestan-calvinis : certitudo salutis, yang didefinisikan Weber sebagai suatu indikasi bahwa mereka termasuk orang terpilih yang selamat ke surga. Karena itu, sukses di dunia bisnis dan pengumpulan harta kekayaan demi pemuliaan Tuhan diyakini sebagai tanda atau konfirmasi bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih, atau dalam istilah Weber suatu tanda keberkahan Tuhan. Weber menyimpulkan bahwa tipe-tipe Protestanisme mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif dimana logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi Pada perkembangannya kapitalisme diartikan secara brutal dengan mengedepankan rasionalitas dan materialisme yang sangat berlebihan. Weber memprediksi bahwa pada suatu titik tertentu, rasional akan mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Rasionalitas dan materialisme menumbuhkan Kapitalisme baru yang mengahadirkan konsep kelangkaan Scarcity. Peletakan kebutuhan manusia yang tak terbatas dikontestasi dengan kenyataan bahwa barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan adalah terbatas. Rasionalitas digunakan untuk mengeksplorasi sumber daya guna memenuhi kebutuhan hidup yang tak terbatas. Esensi Kepemilikan adalah agar tercapai kepuasan maksimum sebagai kodrati manusia. Kapitalisme juga mendorong pada konsep value Nilai dimana Sumber daya yang ada dan digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan berupa barang dan jasa. Selain itu, nilai value ini juga berupa kemampuan barang untuk ditukarkan atau dinisbatkan kepada barang lain dengan istilah nilai tukar exchange value. Rasionalitas semacam ini menghasilkan pola transaksi yang mengedepankan surplus nilai, dimana akumulasi dari surplus nilai yang dimilikinyalah yang menentukan strata manusia. Konsepsi Kapitalisme seperti itu tidak sejalan dengan konsep Islam di kalangan masyarakat pesantren. Pada bab IV telah dikemukakan bahwa Kyai dan pesantren sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam al-Ghazali. Dalam konsep pemenuhan kehidupan, Ghazali telah membedakan dengan jelas antara keinginan roghbah dan syahwat dan kebutuhan hajat. Pembedaan tersebut menlahirkan konsekuensi yang amat besar dalam membedakan konsep ekonomi di pesantren dengan ekonomi pada umumnya. Pemilahan antara keinginan wants dan kebutuhan needs ini pula yang pada akhirnya mengkoreksi ekonomi konvensional dengan ekonomi yang diinginkan oleh kyai. Pada pandangan kyai, ekonomi yang berjalan di luar memusatkan orientasinya pada fakta kesenjangan antara sumber-sumber daya yang terbatas limited resources dihadapkan pada keinginan manusa yang tidak terbatas unlimitied wants merupakan sindroma keserakahan kehidupan manusa di bumi. Padahal kebutuhan seharusnya dilihat sebagai keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan menjalankan fungsinya. Terdapat perbedaan mendasar antara teori permintaan al Ghazali dan kapitalisme. Al Ghazali selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja. Teori yang menyatakan bahwa kebutuhan bersifat tidak terbatas sedangkan barang dan jasa sebagai alat pemenuh kebutuhan bersifat terbatas adalah salah. Sebab, kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi secara pasti hanyalah kebutuhan primer yang meliputi sandang, pangan dan papan. Selebihnya hanyalah kebutuhan sekunder atau tersier. Kebutuhan primer tidak akan pernah bertambah, sejak zaman dahulu hingga modern saat ini kebutuhan manusia hanya itu-itu saja. Berkembangnya peradaban dan majunya sains dan teknologi hanya menambah kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier saja. Dan faktanya kebutuhan ini pun dapat diusahakan dan dipenuhi secara alami seiring kemajuan peradaban di komunitas tersebut. Kalau pun tidak dipenuhi, tidak menimbulkan masalah yang menyebabkan kematian. Jika kapitalisme pada umumnya mengarah kepada akumulasi modal yang dikuasai oleh individu dan digerakkan oleh hasrat tidak terbatas individu. Maka dalam pesantren, kapitalisme dalam pengertian ekonomi rasional diinduksi oleh individu namun ada pengekangan moral yang ditujukan untuk kepentingan komunal. Dari pengamatan yang ada pesantren dalam mengelola komunitas, membangun struktur dan dalam menjalankan praktik-praktik usahanya tetap terikat kepada sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah, dimana ekonomi didasarkan kepada prinsip bahwa berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah kepada manusia. Kalau pun ada kepemilikan pribadi maka pemilikan pribadi diatur dalam batas-batas tertentu yang tidak menunjukkan keserakahan dan pelampiasan hawa nafsu duniawiah. Karena itu pesantren memilih institusi yang dapat menjadi ruang bekerja bersama baik di lingkungan internal maupun dengan lingkungan eksternalnya, sehingga bekerja bersama adalah cara untuk mengontrol agar kekayaan tidak dikuasai oleh segelintir orang saja, tetapi justru ada jaminan bahwa akumulasi keuntungan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang. Hal yang sangat ketat dijalankan dalam mengelola usaha adalah dibayarkannya zakat atas perolehan yang telah memenuhi batas nisab serta memastikan bahwa dalam proses usaha tidak terdapat unsur riba. Hal-hal tersebut menunjukkan adanya kematangan ekonomi kapital Mature capitalist economy atau mature rational economy. 140

8.7. Model Ekonomi Pesantren dan Peran Sosial Pesantren

Selain struktur serta perspektif ekonomi pesantren sebagaimana dikemukakan di atas, perlu pula dijelaskan tentang model ekonomi yang dijalankan oleh pesantren, dan bagaimana dampaknya terhadap peran sosial yang dimilikinya. Bidang pendidikan dan ekonomi menjadi bidang obsesi pesantren, karena dari dua bidang itulah nampaknya pesantren secara eksplisit dapat memiliki 140 Mature atau maturasi saya adopsi dari dari ilmu biologi Principle of Individuating Maturation Prinsip Kematangan Individu: yakni mekanisme internal dalam diri individu yang menentukan arah dan pola perkembangannya. Menurut Prinsip maturasi individuasi, perkembangan merupakan proses terbentuknya pola-pola berurutan yang telah tertentukan dan terwujud seiring dengan bertambah matangnya organisme. Salkind, Neil J. 2004. An Introduction to Theories of Human Development. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications. International Education and Publisher. hubungan antara pematangan dengan lingkungan sebagai berikut: Faktor-faktor lingkungan ikut mendukung, membelokkan, dan meng-khususkan; tetapi faktor-faktor lingkungan tidak menjadi penyebab munculnya bentuk- bentuk pokok dan tata urutan ontogenesis. Sebagai konsekuensinya, pembelajaran learning hanya bisa terjadi ketika struktur-struktur telah berkembang sehingga memungkinkan terjadi adaptasi perilaku, dan sebelum struktur-struktur itu berkembang maka pendidikan semacam apa pun tidak akan bisa efektif. Selanjutnya prinsip maturasi ini saya kaitkan dengan ukuran weber : 1 menggunakan penghitungan akuntansi, yaitu sistem penghitungan pengeluaran dan pemasukan berdasarkan tata pembukuan modern, 2 tenaga kerja yang bebas dan bisa berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya, 3 adanya pengakuan hak milik pribadi, 4 adanya pasar perdagangan yang tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak rasional, dan 5 adanya hukum yang mengikat anggota masyarakat 140 . Weber juga memasukkan teknologi sebagai komponen kapitalisme. Sebab hanya dengan teknologi produksi skala besar bisa dihasilkan makna empiris untuk kemaslahatan umat. Dua bidang ini nampak memiliki keterikatan satu sama lain, komplementaris dan saling menguatkan. Menjadi sangat rasional jika pada awalnya Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan didirikan atas dasar tafaqqohu fiddin yakni kepentingan umat Islam untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam, namun seiring dengan perjalanannya pesantren juga bergerak pada bidang non pendidikan, seperti bergerak di bidang usaha. Khusus dalam bidang ekonomi, terjadi konsolidasi yang cukup masif, dunia pendidikan di pesantren yang sebelumnya didasarkan kepada konformitas dan relasi tradisi immaterial, berubah menjadi institusi yang dapat dikuantifikasi secara material. Dalam perspektif pesantren kekinian, pendidikan adalah entitas yang perlu dihitung secara matang, agar keberjalanannya bersifat kontinu. Sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa pesantren telah sepenuhnya melakukan komersialisasi pendidikan, namun unsur cost and benefit dalam bentuk yang paling sederhana tidak bisa dipungkiri telah terjadi di lingkungan pesantren. Pada titik inilah pesantren menambah dimensinya selain sebagai lembaga berdimensi sosial juga lembaga yang memiliki dimensi ekonomi. Kegiatan pendidikan yang berlangsung di pondok pesantren menjadi gerbang masuknya dimensi ekonomi di pesantren. Pendidikan di pesantren baik yang bersifat reguler seperti madrasiyah maupun yang ireguler yaitu ma’hadiyah membentuk klaster-klaster komunitas yang membawa arus kas ke dalam pesantren. Dimensi ekonomi semakin mengkristal ketika arus kas dihadapkan pada tiga konsekuensi ekonomi yaitu berimbang balance, kurang deffisit atau terjadi kelebihan surplus. Dalam praktiknya tiga konsekuensi ekonomi itu disebabkan oleh faktor besaran komunitas yang terbentuk, dan sistem tatakelola keuangan yang dijalankan. Besaran komunitas yang dibentuk kekhususan pengetahuan dan dari dilihat dari klasifikasi dari pola pengajaran. Dari jenis kekhususan pengetahuan pesantren dibagi menjadi 1 Pondok pesantren tasawuf: jenis pesantren ini pada umumnya mengajarkan pada santrinya untuk selalu menghambakan diri kepada Allah sang pencipta, dan banyak bermunajat kepada-Nya. Contoh Pesantren Roudlatul Ulum Cidahu Banten 2 Pondok pesantren Fiqh: jenis pesantren ini pada umumnya lebih menekankan kepada santri untuk menguasai ilmu fiqih atau hukum Islam, 3 Pondok pesantren alat: jenis pesantren ini pada umumnya lebih mengutamakan pengajaran tentang gramatika bahasa Arab dan pengetahuan filologis dan etimologis, dengan pelajaran utama Nahwu dan Syorof. Sedangkan dari sisi pengklasifikasian maka pesantren diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu: 1 pesantren tradisional salafiyah 2 pesantren modern kalafiyah, dan 3 pesantren komprehensif. Pondok pesantren fiqih dan alat pada umumnya mempunyai komunitas kental concentrated community lebih besar dibandingkan dengan pondok pesantren Tasawuf, karena pesantren fiqih atau alat sekalipun termasuk ke dalam pesantren salafiyah tetap memiliki jenjang tingkatan, dimulai dari tingkat paling dasar semacam ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan meningkat pada tingkat lanjutan ma’hadiyah. Tingkatan-tingkatan ini secara memiliki struktur yang lebih terukur dari sisi jumlah dan kepastian pesertanya. Pesantren-pesantren yang menerapkan sistem pembelajaran bertingkat menghasilkan santri-santri yang terikat secara struktural kepada pesantren dan kyainya sebagai alumni. Jumlah santri secara ekonomi dapat menjadi beban, sekaligus juga menjadi peluang sumber pembiayaan di lingkungan pesantren. Pada umumnya, pemasukan dari santri tidaklah mencukupi untuk kebutuhan biaya operasional pesantren. Sekalipun monetisasi pendidikan telah terjadi di pesantren, namun koridor struktur biaya yang tidak tegas pada pesantren salafiyah tradisional menyebabkan seringkali posisi pesantren dalam kondisi defisit. Pada pesantren semacam ini, Kyai sebagai pimpinan pondok pesantren memanfaatkan potensi dirinya untuk mengurangi defisit anggaran. Apabila potensi kyai tidak bisa diungkit sebagai sumber penerimaan pesantren, maka pesantren mengandalkan modal sosial lainnya berupa shodaqoh dan pada pesantren semacam inilah modal politik bisa masuk agar terjadi balance dalam struktur keuangannya. Umumnya ekonomi berbasis potensi kyai dan modal politik ada pada pesantren yang tidak memasuki transformasi sosial ekonomi sampai pada fase keempat. Pesantren- pesantren yang berhenti pada fase ke tiga dan tidak memiliki jumlah santri yang banyak, hampir bisa dipastikan akan mengalami defisit keuangan sepanjang tahunnya. Masalah defisit keuangan ini dapat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan pesantren maupun peran sosial pesantren lainnya. 8.7.1. Ekonomi Saluran Drainaged Economy Model ekonomi dapat dilihat pada kasus yang terjadi pada pesantren Raudlatul Ulum di Cidahu Banten. Pesantren ini adalah pesantren jenis tasawuf dengan klasifikasi salafiyah. Pesantren ini mampu membangun dua komunitas sekaligus yaitu komunitas kental concentrated community komunitas cair liquid community. Komunitas kental adalah para santri yang “nyantri” di pondok secara permanen dan komunitas cair adalah para jamaah tasawuf yang tidak tinggal di pondok. Jumlah komunitas cair lebih banyak dibandingkan dengan jumlah santri. Komunitas cair yang pada umumnya adalah para tokoh-tokoh masyarakat mampu memberikan input dana bagi pesantren melalui “ketakziman”, sehingga pendidikan untuk komunitas kental para santri disubsidi oleh komunitas cair. Adanya surplus penerimaan dari komunitas cair, membuat pesantren mampu mengembangkan subsidi silang sehingga pendidikan pesantren menjadi gratis. Dalam hal kontribusi terhadap pendidikan, model subsidi silang komunitas cair terhadap komunitas kental, adalah bentuk kontribusi sosial yang konkret. Namun dalam hal kontribusi sosial ekonomi lainnya belum nampak, seperti untuk mengentaskan kemiskinan atau untuk menghalau penetrasi ekonomi oleh pelaku ekonomi modal besar dari perkotaan. Ada beberapa hal yang menyebabkan model subsidi ini tidak sampai kepada tingkat kemanfaatan yang lebih besar seperti untuk mengentaskan kemiskinan, diantaranya oleh sistem nilai keyakinan, atau ajaran yang berorientasi pada pemanfaatan modal. Nilai-nilai tersebut merupakan faktor inheren antar hubungan sosial itu. Nilai-nilai atau norma-norma untukmengatur antar hubungan sosial manusia. artinya didalam hubungan sosial mutlak adanya nilai dan norma.Nilai berfungsi sebagai daya dorongmotivator sedangkan manusia adalah pendukung nilai. Pada pelaku tasawuf yang menerapkan konsep zuhud, mereka tidak mengenal adanya akumulasi modal. Rezeki yang Tuhan berikan harus segera disalurkan dan tidak disisakan, karena menyisakan rezeki yang Tuhan berikan dalam kantung pribadi hanya akan menghambat datangnya rezeki dari Tuhan berikutmya. Di pesantren raudlatul Ulum, prinsip ini sangat ketat dijalankan. Kyai hanya menentukan prioritas pada pendistribusian-cepat dari cash input yang dihasilkan dari pembentukan komunitas cair. Prioritas pertama adalah untuk pembiayaan pesantren, sehingga sepenuhnya peserta didik terbebas dari beban biaya pendidikan, sehingga mereka hanya dituntut untuk fokus belajar dan pada waktunya nanti mengamalkan ilmu yang dimilikinya untuk kepentingan mengajarkannya pada masyarakat. Selanjutnya apabila cash-input masih berlebih maka prioritas berikutnya adalah untuk masyarakat sekelilingnya, terutama untuk anak yatim, kaum miskin dan para janda. Secara ekslusif model ekonomi pesantren Raudlatul Ulum Cidahu Banten, secara ekslusif mampu memenuhi kebutuhan dirinya, namun tidak berdampak sistemik terhadap lingkungan sekitarnya. Saluran surplus penerimaannya, disamping karena sifatnya yang reaksioanal merespon kebutuhan adhoc dari anak yatim, orang miskin dan para janda miskin juga tidak mampu mengimbangi antara rasio kemiskinan dan bantuan yang disalurkan, sehingga sekalipun bantuan ini telah bertahun-tahun disalurkan tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan terhadap derajat status sosial ekonomi masyarakat sekelilingnya. Model ekonomi pondok pesantren Raudlatul Ulum Cidahu ini, saya istilahkan sebagai drainage-economy 141 atau ekonomi drainase. Dalam bentuk bagan aluran kas yang terjadi dapat digambarkan seperti pada Gambar 8. Gambar 8. Cash flow dari Drainage economy di Pesantren Raudlatul Ulum Cidahu 141 Dalam ilmu mekanisasi pengairan pertanian, Drainase adalah sistem saluran pembuangan air hujan yang menampung dan mengalirkan air hujan dan air buangan yang berasal dari daerah terbuka maupun dari daerah terbangun. Bila dilihat dari fungsinya, drainase ini untuk menampung, mengalirkan, dan memindahkan air hujan secepat mungkin dari daerah tangkapan ke badan penerima. Drainase berfungsi sebagai pengendali dan mengalirkan limpasan air hujan yang berlebihan dengan aman, dan juga untuk menyalurkan kelebihan air lainnya yang mempunyai dampak mengganggu atau mencemari lingkungan. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Sehingga, drainase tidak hanya menyangkut air permukaan tapi juga air tanah. Kegunaan drainase antara lain adalah: a. mengeringkan daerah becek dan genangan air; b. mengendalikan akumulasi limpasan air hujan yang berlebihan dan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk imbuhan air tanah; c. mengendalikan erosi, kerusakan jalan dan bangunan-bangunan; d. Pengelolaan kualitas air. Penerimaan ketakziman dari Komunitas Cair Pembiayaan Untuk Santri . Komunitas Kental Masalah Sosial Ekonomi di Luar pondok Dari gambar di atas dapat dijelaskan, bahwa cash input dari jamaah tasawuf baik dari yang rutin secara reguler dari majlis kyai mingguan maupun dari jamaah lainnya menunjukkan lebih besar dari kebutuhan pembiayaan santri yang ada di dalam pondok, namun surplus dari hasil penerimaan dikurangi biaya internal masih lebih kecil dari biaya yang dibutuhkan untuk permasalahan sosial eksternal. Surplus itu sendiri didapat dengan menerapkan self sufficient “kecukupan”, sesuai dengan prinsip sufisme, kecukupan dinterpretasikan sebagai cara “memiminalkan keinginan”. Dengan demikian jika makna self sufficient bergerak dari pola-pola membatasi penggunaan materialisme ala sufi ke penggunaan materialisme ala masyarakat pada umumnya dimungkinkan terjadinya defisit anggaran pada lingkungan pesantren itu sendiri. Pembelajaran moral dari sistem ekonomi drainase ini adalah bahwa berkontribusi tetap dapat dilakukan, atau surplus itu adalah keniscayaan ketika kebutuhan desires manusia ditekan dan tidak dibiarkan bebas mengikuti hawa nafsu yang tak terbatas. Dari sudut pandang ekonomi, model ini dapat dikatakan sebagai non- saving model atau meniadakan surplus penerimaan. Kuatnya sufisme dalam non saving model ini dikarenakan, jika secara teoritis tabungan dimotivasi oleh alasan berjaga-jaga, maka ini tidak relevan dalam keyakinan sufisme yang meyakini bahwa kebutuhan sudah diatur oleh Tuhan, dan mempercepat menyalurkan pemberian yang Tuhan berikan maka mepercepat pula proses pemberian Tuhan berikutnya yang lebih besar. Sejalan dengan itu pula tidak relevan pemikiran ekonomi yang melihat akumulasi tabungan ini kemudian digunakan untuk investasi yang mekanismenya memiliki risiko rugi. Model ekonomi Drainaged-economy, sangat bertumpu kepada magnitude kyai. mekanisme penerimaan maupun pengeluaran ditentukan kyai. Model ini tidak membangun struktur yang kuat baik di dalam pesantren maupun struktur penyaluran bantuan keluar. Secara peran, model ekonomi ini memberikan sumbangan pada penggandaan peran pesantren, sebagai institusi yang bergerak pada isu-isu sosial yaitu kemiskinan, namun isu tersebut tidak mendorong terjadinya perluasan organisasi dan distribusi kewenangan. Kebergantungan yang tinggi terhadap keberadaan kyai maka tidak ada jaminan keberlanjutan sistem ini manakala keberadaan kyai hilang.

8.7.2. Ekonomi Kolam Pond Economy

Model Ekonomi pesantren lainnya adalah yang terjadi pada pondok pesantren Sidogiri. Pesantren Sidogiri juga mampu memanfaatkan kedua komunitas yang dimilikinya, yaitu komunitas kental concentrated community yaitu para santri dan alumni yang berjumlah ribuan, dan komunitas cair liquid community yaitu para simpatisan dan mitra usaha. Pondok pesantren mengedepankan konsep baitul mal yang kelembagaan aslinya merupakan lembaga negara atau pihak al jihat yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Baitul Mal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat al-makan untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta, dengan demikian bahwa dalam Islam modal itu dapat disimpan terlebih dahulu tidak selalu harus langsung disalurkan, sepanjang yang menyimpan dan mengelolanya adalah pihak yang amanah. Pesantren Sidogiri sebagaimana pesantren salafiyah lainnya, mempunyai kyai yang menjadi magnitude pengikat komunitas. Penghormatan pada Kyai sebagai individu melebar kepada kebanggan pada almamater menyebabkan Sidogiri memiliki dua kelompok besar komunitas kentalnya yaitu para santri aktif dan alumni. Sikap puritan Sidogiri yang tetap mempertahankan sistem pendidikan non-ijazah formal, sedikit banyak menciptakan yang pada awalanya “keterpaksaan” untuk tak memiliki pilihan lain kecuali menjadi juru agama atau pedagang bagi para lulusannya lama-kelamaan justru menjadi kebanggaan. Para kyai Sidogiri masih terpengaruh romantisme Nahdlatul Tujjar, yaitu gagasan para pendiri Nahdlatul Ulama tentang ekonomi masyarakat yang sarat dengan sentimen-sentimen anti ketidak adilan dan dominansi kelompok tertentu. Konsepnya adalah membangun kekuatan perdagangan dan usaha untuk kemandirian masyarakat Islam khususnya masyarakat nahdliyin di pedesaan. Kemandirian umat menurut para Kyai Sidogiri harus ditopang oleh tiga kekuatan yaitu pendidikan, kesehatan dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Sumber modal utama Pondok pesantren Sidogiri pada awalnya bersumber dari penerimaan biaya pendidikan santri. Penerimaan ini kemudian dijadikan sebagai modal untuk mendirikan sebuah lembaga dagang yang berputar dari santri untuk santri. Demikian pula penerimaan yang bersifat ketakziman dari para alumni dicarikan lembaga yang bisa memutar dana tersebut dari alumni ke alumni. Pergeseran orientasi terjadi pada bentuk kepemilikan lembaga dagang dari yang bersifat pribadi kepada sifat yang bisa dimiliki secara komunal. Koperasi yang menjadi pilihan sebenarnya bukan orisinal pemikiran dari Kyai Sidogiri, tetapi sebagai dampak dari kebersinggungannya dengan dunia luar. Sikap moral untuk tidak alergi terhadap produk dan pemikiran dari luar Islam ~ sepanjang memiliki nilai kemanfaatan untuk umat~ adalah hal-hal yang sesungguhnya menjadi ciri Islam Nahdliyin. Koperasi dijadikan sebagai sarana akulturasi, lembaga yang cikal bakalnya adalah non Islam kemudian secara prismatik diislamkan di pesantren. Demikian pula dengan lembaga keuangan simpan pinjam, terinspirasi oleh bank-bank konvensional, yang kemudian diuntungkan oleh derasnya informasi tentang keuangan syariah yangberkembang. Pondok Pesantren menyerap energi yang ada di luar untuk dijadikan alat ambisi ekonomi keumatan yang dicita-citakan. Issue yang tertangkap oleh para kyai adalah bagaimana modal bisa diputarkan untuk hal-hal yang produktif, dimana secara material modal tidak merembas ke luar. Perembasan modal keluar hanya akan memperkuat kelompok-kelompok yang secara sentimentil dianggap sebagai “pencuri” kekayaan masyarakat Islam. Untuk itu diperlukan kolekting modal, pengakumulasian modal dan sistem distribusi modal untuk penguatan modal pendidikan, kesehatan dan pemenuhan kebutuhan umat. Komunitas kental sidogiri yang diinisiasi oleh para alumninya membuat semacam kolam dana yang menampung dana-dana komunitas Sidogiri. Jika Pesantren sufistik seperti pondok pesantren Raudlatul Ulum mengesampingkan peran tabungan, berbeda dengan pondok pesantren Sidogiri yang justru melihat bahwa tabungan saving adalah sesuatu yang sangat penting. Hal ini didasarkan pada pemikiran, p ada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, secara islami harus mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat,