nantinya diterjunkan ke tengah masyarakat, sedangkan paradigma Kedua beranggapan bahwa pesantren merupakan lembaga yang pantas dan strategis untuk
pengembangan masyarakat
sekitar dalam
bidang ekonomi
dengan mengoptimalkan modal sosial dari dalam internal dan dari luar ekternal.
Hadirnya bisnis di lingkungan pesantren secara mendasar dan substantif dimungkinkan ketika pesantren memanfaatkan jaringan internal dan eksternal
yang dimiliki. Jaringan internal adalah jaringan diantara para santri aktif sedangkan jaringan eksternal adalah jaringan para alumni, peserta majlis non-
reguler serta fihak-fihak yang membangun hubunbgan emosional dengan pesantren. Dari situ pesantren dapat membuat berbagai aktivitas sosial maupun
ekonomi. Aktivitas internal berupa konsolidasi dan koordinasi ke dalam dengan membangun solidaritas dan komitmen, sedang aktivitas eksternal berupa usaha-
usaha pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat. Kedua kegiatan tersebut adalah langkah pesantren membangun kemandiriannya dalam bidang ekonomi.
Pesantren mengoptimalkan modal sosial dari dalam internal dan dari luar ekternal
129
.. Bentuk konkret dari modal sosial di lingkungan pesantren adalah munculnya ruang-ruang baru yang secara tradisi sebelumnya tidak pernah ada
seperti Koperasi dan lembaga keuangan dan usaha-usaha bisnis lainnya. Keberaadaan koperasi di pesantren dapat dilihat sebagai terobosan
pimpinan pondok kyai untuk memfasilitasi dan mengkoordinasi modal sosial internal yang dimilikinya sedangkan kehadiran lembaga keuangan semacan BMT
Baitul Mal wa Tamwil terkait dengan isu pengelolaan dana komunitas pesantren. BMT merupakan solusi ketika dana komunitas pesantren tidak dapat
diserahkan kepada lembaga-lembaga keuangan bank-bank umum atau perusahaan asuransi jiwa umum yang menawarkan jasa pengelolaan keuangan. Bank
konvensional atau perusahaan asuransi menjadi tidak populer di kalangan masyarakat pesantren karena terbentur kepada syariat Islam yang mengharamkan
kedua lembaga tersebut, karena termasuk lembaga ribawi dan perjudian.
Dari uraian di atas maka transformasi ruang-ruang pesantren dapat dibagi menjadi 5 fase. Sebagaimana tergambar pada Gambar 5.
129
Modal sosial di sini diartikan sebagai bagian-bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang terkoordinasi, serta kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat.
Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama.
Gambar 5. Fase Perkembangan Ruang-Ruang Ekonomi Pesantren Perkembangan ruang-ruang pesantren mengalami 5 fase perkembangan
yaitu
130
;
1 Fase pertama : Pesantren hanya terdiri dari 1ruang masjid dan 2 ruang
Rumah kyai. 2
Fase dua : ruang masjid mengalami pemecahan menjadi ruang masjid dan ruang majlis, sehingga pada fase dua ini ruang – ruang pesantren
menjadi : 1ruang masjid, 2 ruang majlis dan 3 ruang rumah kyai. 3
Fase Tiga : ruang majlis mengalami pemecahan menjadi ruang majlis dan ruang madrasah, sehingga pada fase tiga ini ruang-ruang pesantren
menjadi : 1ruang masjid, 2 ruang majlis, 3ruang madrasah dan 4 ruang rumah kyai.
4 Fase Empat : Muncul satu ruang baru diantara ruang majlis dan ruang
madrasah yaitu ruang usaha internal bisa berbentuk koperasi, toko dan usaha lainnya, maka pada fase empat ini ruang-ruang pesantren menjadi
: 1 ruang masjid, 2 ruang majlis, 3 Ruang madrasah, 4 ruang usaha internal, 5 ruang rumah Kyai.
5 Fase lima, muncul satu ruang baru diantara ruang majlis dan ruang
rumah kyai yaitu ruang kolaborasi eksternal, berbentuk usaha kerjasama resiprokal, maka fase lima ini ruang-ruang pesantren menjadi : 1
Ruang masjid, 2 ruang majlis, 3 ruang madrasah, 4 ruang usaha internal, 5 ruang kolaborasi eksternal dan 6 ruang rumah kyai.
Pesantren yang mampu memasuki fase 4 dan lima sebenarnya berhadapan dengan sebuah pilihan menentukan lembaga yang mampu mengakomodasi
kekuatan sosial kapital yang dimilikinya. Harus diakui lembaga-lembaga yang
130
Tidak semua pesantren mengalami tahapan fase mengikuti alur gradual seperti ini, bisa jadi sebuah pesantren mengalami lompatan dari fase ke tiga langsung ke fase ke
lima.,namunlompatan yang ekstrim dapat menimbulkan kegagalan, fase yang dilakukan secara gradual juga merupakan proses pembelajaran dan adaptasi.
V IV
III II
I
fase
Ruang-Ruang Pesantren Masjid
Masjid Masjid
Masjid Masjid
Majlis Taklim
Madrasah Madrasah
Madrasah Bisnis
Internal Bisnis
Internal Majlis
Taklim Majlis
Taklim Majlis
Taklim Bisnis
Eksterna l
Rumah Kyai
Rumah kyai
Rumah Kyai
Rumah Kyai
Rumah Kyai
dipilih oleh pesantren untuk mengembangkan potensi ekonominya tidak lahir dari ide murni kalangan pesantren. Lembaga-lembaga yang digunakan adalah adopsi
dari produk budaya luar pesantren contohnya adalah koperasi. Dari segi etimologi kata koperasi berasal dari bahasa inggris yaitu coperation yang artinya bekerja
sama. Sedangkan dari segi terminologi, koperasi ialah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama
dengan penuh kesabaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar sukarela secara kekeluargaan. Koperasi pada awalnya baik di Prancis maupun di
Inggris digawangi oleh kaum sosialis. Sampai pada titik ini koperasi mengadopsi lembaga yang dilahirkan oleh kaum sosialis Eropa.
Kehadiran Koperasi di dalam pesantren adalah kepiawaian ulama untuk menjustifikasi koperasi ke dalam pandangan Islam, Koperasi diqiyaskan kepada
Syirkah Ta’awuniyah yang didefinisikan sebagai Akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Konsep pendirian Koperasi di
pesantren menggunakan konsep Syirkah Mufawadhoh yakni sebuah usaha yang didirikan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih, masing-masing
memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama besar dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Masing-masing partner saling
menanggung satu sama lain dalam hak dan kewajiban. Dan tidak diperkenankan salah seorang memasukan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan
yang lebih besar pula dibanding dengan partner lainnya. Dengan demikian jelas, bahwa dalam koperasi ini tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan eksploitasi
oleh manusia yang kuatkaya atas manusia yang lemahmiskin. Pengelolaannya demokratis dan terbuka open management serta membagi keuntungan dan
kerugian kepada para anggota menurut ketentuan yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh sebab itu koperasi itu
dapat dibenarkan oleh Islam.
8.2 . Rasionalisasi Pembentukan ruang
Munculnya ruang usaha bisnis di pesantren dan ruang kolaborasi mengingatkan pada argumen Levebre dalam teorinya yang disebut produksi
ruang production of space. Menurutnya, ruang yang dikonstruksikan dan diciptakan oleh menusia melalui hubungan sosial yang melahirkan sebuah
pengetahuan merupakan upaya dari dominasi dan melanggengkan sebuah kekuasaan dan sengaja diciptakan sebagai pusat produksi kapitalis.
Memang ada semacam kemiripan produksi ruang production of spacedengan ruang-ruang ekonomi di pesantren. Ruang-ruang ekonomi pesantren
diciptakan melalui
kontruksi dan
struktur pengetahuan
kemudian divisualisasikan dalam praktek. Ruang Ekonomi pesantren menjadi salah satu
perangkat atau wadah perilaku masyarakat pesantren dalam mengorganisi hubungan sosial yang berorientasi pada kepentingan kapital dan sekaligus
menjadikannya sebagai sebagai alat kontrol.
Memasukan unsur-unsur ekonomi atau bisnis ke dalam lingkungan pesantren, bukanlah tanpa dasar, apalagi dengan dapat munculnya
kesalahafahaman publik terhadap eksistensi pesantren. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan kyai berani membangun ruang-ruang ekonomi bisnisdi
lingkungan pesantren :
1. Ruang ekonomi menjadi tempat dimana agama menemukan sisi
profannya, agama menjadi sesuatu yang realistis sebagai alat menjalani kehidupan. rasionalitas ekonomi yang ada dalam ruang
ekonomi pesantren meniscayakan proses substansiasi bukan formalisasi, maka aspek agama yang dikukuhkan sebagai regulasi
pada ruang-ruang yang terbentuk merupakan sari pati terhalus the finish extract dari nilai-nilai Islam.
2. Ruang ekonomi yang menjadi ruang produksi material,diartikan
sebagai bagian dari little tradition tradisi kecil yang dapat disisipi nilai-nilai Islam aplikasi tradisi-tradisi pesantren
131
. Ruang ekonomi di pesantren terbentuk dengan ciri ; pertama adanya
keterlibatan seluruh elemen pesantren, baik yang dipinggir atau yang di tengah pusaran kekuasaan dalam sebuah proses interaksi yang sehat
dan manusiawi. Kedua, adanya proses interaksi dalam bentuk dialektika kepatuhan yang sehat di kalangan elemen-elemen itu.
Ketiga, isu yang dikembangkan senantiasa terkait kepentingan masyarakat pesantren , bukan sekadar representasi dari kepentingan
sekelompok elite pesantren dalam mendefenisikan apa yang terbaik bagi mereka secara keseluruhan common good. Keempat, faktor
otoritas sebagai arbiter legimate dalam menyusun aktor dan peran yang harus dimainkannya. Hal ini sejalan dengan konsep hidup
berjamaah yang merupakan bagian dari ciri komunitas Islam.
Menurut kyai rasionalitas ekonomi Islam berbeda dengan rasionalitas ekonomi yang berkembang di luar. Menurutnya rasionalitas ekonomi di luar
132
menunjukkan hubungan antara keimanan dan tindakan telah terputus, dan secara praktis hubungan antara keduanya sudah tidak ada lagi. Keimanan sudah tidak
lagi berfungsi sebagai pengarah dan pengatur tindakan, dan fungsinya telah digantikan oleh keinginan-keinginan desires dengan rasio sebagai instrumen
kalkulatifnya. Dengan kata lain, keimanan pada ekonomi luar berada dalam ranah kognitif, dan tidak lagi berada dalam ranah praktis. Hakekat keyakinankeimanan
telah berubah menjadi sekedar pengetahuan, dan para pelakunya telah berubah fungsi dan posisi dari menjadi pemain di ranah praktis menjadi pengamat di ranah
observers.
Karenanya pembentukan ruang ekonomi di pesantren tidak sepenuhnya diatur oleh keinginan dan rasionalitas semata, tetapi tetap dipengaruhi oleh
keimanan agama. Dalam pandangan kyai, tindakan ekonomis yang tidak dipengaruhi oleh keimanan sangat dikecam oleh Islam Q.59:7 , yang akan
melahirkan keserakahan yang merusak pertumbuhan moral dan spiritual Q.3:180 dan kan melahirkan cara hidup mewah yang berlebihan yang akan membuat para
pelakunya menjadi saudar-saudara setan. Q.6:141.
131
Lihat Azyumardi Azra. 1992. “The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”.
New York, Columbia University.
132
Yang dimaksud ekonomi di luar, adalah perilaku ekonomi pengusaha-pengusaha besar dengan perusahaan-perusahaan besarnya yang membangun perusahaan hanya untuk keuntungan semata,
membangun usaha bukan karena landasan perintah agama tapi sepenuhnya atas dasar rasionalitas duniawiah yaitu terus memperbesar usaha sampai tak ada batasnya sepanjang manusia mampu
melakukannya.
Rasionalitas Kyai dalam menghadirkan ruang ekonomi di pesantren, menggugurkan pandangan Barat mengenai Isu relasi agama dan rasio yang
digambarkan dengan tiga pilihan, Pertama, Strong Rasionalism; yaitu pandangan yang meyakini bahwa rasio dan argumentasi pasti mampu menjelaskan segala
ajaran agama secara benar. Kedua. Fideism; yaitu pandangan yang berkeyakinan bahwa ajaran agama adalah doktrin yang tidak bisa disentuh oleh rasio manusia.
Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan kapasitas rasio.Ketiga. Critical Rasionalism; yaitu sikap yang menegaskan bahwa rasio
mampu menjelaskan ajaran-ajaran agama, hanya saja kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti Peterson 1991. Kyai tidak melihat ketiga pilihan tentang
isu relasi agama dengan rasio sebagai satu pilihan, namun mengutarakan pada cara pandang Islam dalam menempatkan relasi agama dan rasio yang disebutnya
dengan Insijâm komplementerisme; mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan syariat agama. Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu dan
syariat—dengan arti umum—merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan akal pun demikian; sebagaimana wahyu agama merekomendasikan
banyak hal yang bersifat obyektif, begitu pula dengan akal rasio.
Weber mengemukakan perihal hubungan agama dan ekonomi, dimana menurutnya bahwa ideal agama dan kepentingan ekonomi sebenarnya saling
berkaitan, dan sama-sama mendorong munculnya ideal typhus yaitu abstraksi esensial fenomena sosial yang mendorong perubahan suatu masyarakat kepada
tipe yang dikehendaki. Ditambahkan olehnya bahwa dalam kehidupan sosial, ideal typhus dapat diciptakan dengan penciptaan gagasan baru yang disebutnya
sebagai rasionalisasi, yaitu perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran-sasaran, pilihan-pilihan yang masuk akal, didukukung oleh sarana-sarana
yang efisien, mengacu kepada perumusan nilai-nilai tertinggi, serta adanya arahan tindakan yang terencana demi pencapaian nilai-nilai tersebut. Gagasan
tentang ideal typhus sesungguhnya merupakan gagasan dan moralitas yang terkandung dalam ajaran Islam. Dalam Islam keimanan merupakan pondasi
perilaku individu dan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan keimanan secara benar, akan mampu membentuk preferensi, sikap, keputusan dan perilaku yang
mengarah
pada perwujudan mashlahah untuk
mencapai falah. Konsep
Mashlahah dapat dicapai apabila manusia hidup dalam keseimbangan, kehidupan yang seimbang merupakan esensi ajaran islam. Ekonomi menurut Islam secara
rasional bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, seperti keseimbangan fisik-mental, material-spiritual, individu-sosial, masa kini-masa
depan, dan dunia-akhirat. Keseimbangan fisik dengan mental dan keseimbangan material
dengan spiritual
dapat menciptakan
kesejahteraan bagi
manusia. Perhatian utama
ekonomi islam
adalah bagaimana
manusia meningkatkan kesejahteraan material dan spiritual. Sebab aspek spiritual harus
bersamaan dengan material. Belajar dari Pembentukan ruang- ruang di pesantren dimana ideal typhus
ala fasilitasi prinsip-prinsip ekonomi yang berlandaskan moralita Islam dijalankan :
1 menjadikan berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau
titipan dari Allah swt kepada manusia. Hal ini dilakukan dengan kegiatan yang berimbang yang dilakukan oleh komunitas pesantren
dalam hal keuangan. Komunitas menjalankan tiga aktivitas keuangan
yaitu zakat, infaq-shodaqoh, dan menabung. Zakat dan infaq Shodaqoh adalah pengeluaran yang sepenuhnya tidak mengharapkan return secara
material. Landasannya adalah apa-apa yang didapat di dunia ini ada hak ukhrawi yang harus dikeluarkan, manakala hak-hak ukhrawi
dikeluarkan maka Allah akan menitipkan amanah rejekiNya yang lebih besar. Menabung adalah menempatkan surplus nikmat Allah, karenanya
harus ditempatkan pada tempat yang diridloi oleh Allah. Baitu Mal adalah tempat yang diatur sesuai dengan ketentuan Allah, maka ia
adalah tempat yang paling tepat untuk menitipkan surplus. Dengan pedoman nilai-nilai seperti ini BMT sidogiri mampu mengajak
komunitasnya untuk membesarkan skala Baitul Malnya.
2 mengatur kelembagaan yang mengakui pemilikan pribadi dalam batas-
batas tertentu. Hadirnya ruang-ruang baru di pesantren, seperti madrasah, koperasi dan usaha-usaha bisnis, menciptkan ruang-ruang
akuntabilitas terbuka. Setiap ruang-ruang tersebut dapat menghasilkan surplus usaha. Dengan perhitungan yang disepakati, setiap aktor yang
ada di dalamnya berhak secara syah untuk mendapatkan pembagian surplus itu menjadi hak pribadinya. Di pesantren seperti Sidogiri,
seorang Kyai atau elite pesantren lainnya dimungkinkan untuk memiliki dividen lebih besar dibandingkan komunitas lainnya, bukan karena
semata-mata posisi kharismatiknya, tetapi diukur berdasarkan kontribusi yang dikeluarkannya. Hukum keadilan diterapkan dimana
kontribusi berbanding lurus dengan penerimaan. Material yang didapat atau dibeli dari hasil pembagian dividen sepenuhnya menjadi hak
pribadi, sedangkan fasilitas yang disediakan oleh lembaga yang didapat dari alokasi pembiayaan organisasi tidak bisa diklaim sebagai milik
pribadi.
3 sebagai fasilitasi untuk menggerakan kerja sama. Hadirnya Baitul Mal
di pesantren, selain dengan tujuan menempatkan uang saving pada tempat yang tepat secara keagamaan, adalah tempat dimana tabungan
yang terakumulasi di Baitul mal, bisa dimanfaatkan oleh komunitas lainnya yang membutuhkan sebagai pinjaman. Maka sdelanjutnya
didirikanlah baitul Tamwil. Tamwil adalah lembaga yang mempertemukan orang yang menitipkan surplus nikmat illahiah dengan
orang yang membutuhkan dana. Konsep-konsep berbagi hasil antara penabung dengan peminjam adalah pola yang diterapkan dalam baitul
mal wa tamwil BMT. Demikian pula usaha-usaha yang dibangun oleh pesantren seperti gerai toko adalah untuk membangun kerjasama
umat. Komunitas yang mempunyai kemampuan mengahsilkan satu barang dapat menitipkan pada toko-toko yang dibangun oleh pesantren
dengan sistem konsinyasi.
4 mengatur agar akumulasi kekayaan tidak dikuasai oleh segelintir orang
saja. Semua badan usaha yang didirikan tidak dibangun atau dimiliki oleh individu, Koperasi dan badan-badan usaha adalah milik komunitas
yang difasilitasi pengoperasiannya oleh pesantren. Surplus usaha dibagi secara adil sesuai kontribusi.
5 menjadi tempat agar surplus usaha penggunaannya direncanakan untuk
kepentingan banyak orang. Pelaksanaan pembagian surplus usaha,
dibagikan setelah dikurangi untuk kegiatan-kegiatan sosial yang disepakati, yaitu untuk sumbangan pendidikan baik yang disalurkan ke
pesantren, pendidikan di luar pesantren yang berafiliasi ke pesantren, bantuan perumahan untuk pengelola pesantren yang mebutuhkan,
pelaksanaan pelayanan kesehatan umat.
6 menjadi sarana pelaksanaan Zakat nisab. Pesantren juga membangun
Lembaga Amil zakat, sebagai konsultan sekaligus amilin. 7
menjadi solusi agar tidak terjadi riba dalam segala bentuk. Pelaksanaan transaksi keuangan dijalankan dengan mengacu pada hukum-hukum
syariah.
8.3. Aktor-aktor Pesantren Sampai pada fase ketiga, aktor yang paling dominan adalah kyai.
Budaya pesantren merupakan salah satu bagian setting sosial Islam yang mengakui perbedaan “takdir” manusia dalam pendekatan intelektual terhadap
permasalahan yang terungkap di dunia empirik. Stratifikasi yang paling kental di dunia pesantren adalah tingkatan antara murid dan guru, yang dikenal sebagai
hubungan Kiai dan santri. Pengaruh dari referensi berupa kitab-kitab yang dipelajari mempengaruhi peta aktor di pesantren. Hubungan kiai dan santri serta
pembelajaran kitab-kitab kuning bisa pula dilihat dari setting - dalam inside setting pesantren. Di lingkungan pesantren, baik kiai maupun santri bermain
dalam permainan “takdir” dalam “role of the games” pesantren. Tradisi Takdir ini terpelihara oleh konstitusi-positivisme yang tertuang dalam kitab-kitab yang
diajarkan di lingkungan pesantren, seperti dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim karya Al-Zarnuji yang mensyaratkan orang akan memperoleh ilmu yang bermanfaat
apabila melakukan dua hal yaitu menghormati guru dan kitab. Karena itu kuasa aktor dengan nilai-nilai kepesantrenan ini memiliki muatan yang seolah-olah
saling bertentangan. Pada satu sisi, kekuatan kyai beserta legitimasi otoritas keilmuannya berpotensi besar untuk menjadikan kyai sebagai sumber referensi
dan standar moral perilaku santri. Pada sisi lain, nilai-nilai kepesantrenan yang merasuk ke dalam ruh pendidikan pesantren seolah-olah memenjara iklim
keilmuan pesantren.
Memasuki fase berikutnya yaitu fase empat dan lima, dengan hadirnya ruang-ruang usaha, peta aktor di pesantren mulai mengalami peubahan. Kyai
mulai berbagi peran dalam mengelola pesantren. Kegiatan-kegiatan yang bersifat bisnis diserahkan kepada aktor lain. Walau pun pada kenyataannya kyai masih
memiliki hak veto terhadap keputusan bisnis yang ada di lingkungan pesantren, namun dalam operasi bisnis kyai tidak ikut campur tangan.Tidak campur
tangannya kyai dalam operasi bisnis, juga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan kyai tentang bisnis masa kini yang memerlukan keterampilan-
keterampilan khusus. Dalam hal ini kyai menunjuk lingkungan internalnya untuk mengelola bisnis, bisa merupakan kerabatnya, yaitu generasi muda yang nantinya
akan memimpin pesantren atau pun para ustadz maupun santri yang dipercayainya.
Secara grafis hubungan gambaran posisi aktor terhadap matriks aktivitas pendidikan dan aktivitas usaha di pesantren dapat digambarkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Aktor dan Peran Pada Pesantren Penentuan aktor di lingkungan pesantren tidak semata-mata pada
kemampuan atau keterampilan teknis semata melainkan diukur dari tingkat “bisa dipercayai”, dimana secara tradisi ukuran bisa dipercayai atau tidak masih terpusat
di diri kyai, di sinilah permainan “takdir” masih kental dipedomani. Bagi kyai, keluarganya dan orang-orang yang ditunjuk untuk menempati posisi tertentu
adalah “ takdir ‘ untuk memimpin pesantren dengan tetap memegang teguh nilai-nilai luhur yang menjadi acuannya dalam bersikap, bertindak dan
mengembangkan pesantren. Nilai-nilai luhur menjadi keyakinan kiai dalam hidupnya. Sehingga apabila dalam memimpin pesantren bertentangan atau
menyimpang dari nilai-nilai luhur yang diyakininya, langsung maupun tidak langsung, kepercayaan masyarakat terhadap kiai atau pesantren akan pudar.
Hadirnya ruang-ruang usaha, menghasilkan elite baru dalam struktur kepemimpinan di pesantren. Untuk urusan pengajaran keagamaan puncak elitis
kepemimpinan tetap ada di tangan kyai, namun dalam urusan dunia usaha, kyai memberikan kepada fihak di luar dirinya. Kepemimpinan bisnis dipimpin oleh
para manajer usaha pesantren. Dalam hal ini, kepemimpinan bisnis yang tidak dipegang oleh kyai, sama sekali tidak menggerus kewibawaan kepemimpinan
kyai. Demikian pula hadirnya formalitas ruang belajar yang berbentukan klasikal, dimana hadir elite lain di pesantren berupa para guru yang disebut dengan ustadz.
Pembagian elite kepemimpinan ini sepenuhnya didorong oleh rasionalitas mekanik, dimana Islam memiliki konsep, bahwa segala sesuatu akan berjalan
dengan baik jika diberikan kepada ahlinya. Konsep “maqom” adalah acuan yang digunakan dalam membagi kekuasaan di lingkungan pesantren. Dalam ruang
bisnis di pesantren, Kyai menempati maqom spiritual yaitu sebagai pengarah kesesuaian usaha dalam konteks hukum agama, sedangkan pengelola usaha
menempati maqom material yaitu bagaimana spiritualisme dapat direalisasikan dalam bentuk memenuhi kebutuhan lahiriah umat.
Kyai
Pendidikan
Manager Usaha
Assatidz
Usaha