Sejarah istilah Pesantren PESANTREN
“Islamik”, yang dipengaruhi Islam. Tradisi besar Islam adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang
melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola
pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center pusat yang dikontraskan dengan feri-feri pinggiran. Tradisi kecil
tradisi lokal, Islamicate adalah real of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam great tradition. Tradisi lokal ini mencakup unsur-
unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan
masyarakat.
Proses akulturasi antara Islam dan Budaya lokal ini yang kemudian melahirkan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi
dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan lain, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang
membawa pengaruh budayanya Soejanto Poespowardojo 1986. Islam di pulau Jawa di luar masalah akidah dalam hal-hal mem produksi budaya, berbeda
dengan warna Islam wilayah Arab sebagai wilayah asal Islam. Ipesantren menghasilkan local genius dengan karakteristik: mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli dan memilkiki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya. Pondok pesantren sebagai bagian dari Islam telah menjadi pencipta budaya
masyarakat. Budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan
dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam Hasan Muarif Ambary 1998.
Dialog Islam dengan tradisi ini dilakukan dalam semangat negosiasi, yaitu proses menafsirkan sesuatu yang hadir dan menafsirkan dirinya untuk mencari
sesuatu yang baru yang dikenal dalam kebudayaan sebagai sesuatu yang hidup. Hal ini diyakini karena masyarakat memiliki kemampuan untuk bernegosiasi
dengan caranya masing-masing. Pergulatan antara yang didatangi dan pendatang dalam bernegosiasi bukan didasarkan pada semangat saling mengubah
menghegemoni atau represi. Negosiasi merupakan bagian dari transformasi kultural dalam gerak kebudayaan. Proses yang terjadi adalah proses kreatif dalam
spirit kebudayaan, sehingga baik pendatang maupun yang didatangi berada dalam struktur dan derajat yang sama Effendy 2007.
Dakwah yang dilakukan oleh para penyebar Islam awal ke Nusantara telah menunjukkan akomodasi yang kuat terhadap tradisi masyarakat setempat. Islam
datang bukan sebagai ancaman, melainkan sahabat yang memainkan peran penting dalam transformasi kebudayaan. Islam hadir berdialog dengan tradisi
masyarakat dan akomodatif terhadap tradisi masyarakat atau kultur masyarakat setempat. Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam
mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Di sinilah, Islam dan tradisi masyarakat ditempatkan dalam posisinya yang sejajar untuk berdialog
secara kreatif agar salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat, yang berakibat pada sikap saling melemahkan. Perpaduan antara Islam dengan tradisi
masyarakat adalah sebuah kekayaan tafsir lokal, agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Zada 2003
Di kalangan internal umat Islam sendiri akulturasi, belakangan menjadi isu sensitif. Sebagian berpendapat bahwa akulturasi adalah cara-cara yang tak
islami bahkan dimasukkan dalam konsep bid’ah. Hal tersebut terjadi karena perbedaan referensi dan methoda memahami ajaran Islam. Para ulama Islam di
Jawa sangat dipengaruhi oleh pendekatan sufistik, yaitu pendekatan esensi hakekat. Pendekatan sufistik tetap mengacu kepada hukum positif, mengacu
pada tekstual original, namun pemaknaanya berkembang berdasarkan pemikiran- pemikiran ulama yang mencari model kebaikan umat sesuai dengan zaman dan
kondisi yg dihadapi. Yang kedua pendekatan sufistik mengajarkan kelembutan, anti kekerasan, setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran terhadap ahlak nabi
yang penuh kelembutan. Dalam upaya-upaya mendekatkan Islam pada masyarakat, Ulama –ulama terdahulu melakukan semacam praktik hermeunetika.
Hermeunetika ini tersusun dalam kitab-kitab kuning, yaitu kitab-kitab tulisan ulama yang menjadi rujukan pesantren sampai saat ini. Menjadi berbeda dengan
arus Islam yang muncul belakangan ini, yang digawangi oleh kaum wahabi. Wahabi menolak interperetasi cara-cara sufistik untuk menentukan kebaikan
umat. Kebaikan umat adalah mengembalikan kepada apa yang tertera dalam Alqu’an dan hadits sesuai syariat Nabi.
Menurut Mustofa Bisri 2014 bahwa penyebaran Islam oleh para wali di tanah Jawa adalah dengan penghormatan pada budaya lokal. Penggunaan anasir-
anasir budaya lokal seperti tembang, gamelan dan wayang, sepanjang tidak bertentangan dengan akidah dapat saja dilakukan. Pada awal kehadirannya di
pulau Jawa, Islam tidak serta merta membid’ahkan semua tradisi apalagi melibasnya. Tradisi berkesenian dibiarkan dan disempurnakan, sementara yang
belum sesuai dengan akidah di- “penggok-salur”-kan
36
sehingga masyarakat yang menjadi sasaran dakwah tidak merasa ada perubahan yang radikal dengan
kehadiran Islam. Ulama pesantren lebih “luwes” dalam mengartikan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Dalam pandangan Ulama pesantren salafiyah, Islam sebagai agama sekalipun diyakini sebagai agama yang sempurna, namun dalam tataran profan
memerlukan kreasi melalui ijma dan qiyas. Islam itu bukanlah suatu sistem yang hanya membicarakan ke-Tuhanan saja, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah
mengandung ajaran peradaban tamaddun yang lengkap. Menurut Said Aqil Siradj 2005 akulturasi yang membentuk wajah pesantren di pulau Jawa
dimungkinkan terjadi karena para ulama-ulama terdahulu sebagai founding- father pesantren menerapkan prinsip “almuhâfazhah ‘alâ ‘al-qadîm al-shâlih wa
al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah” memelihara nilai-nilai budaya klasik yang baik, dan mengambil nilai-nilai budaya baru yang dianggap lebih bermanfaat secara
tepat dan benar yang merupakan impulse universalis Islam.Para ulama pesantren salafiyah Jawa saat ini masih meneruskan pendekatan-pendekatan sufistik para
sunanwali songo yang bersifat subjektif- intuitif untuk mengakomodasi
36
KH. Mustofa Bisri, menggunakan istilah ini, untuk pengertian “meluruskan”, namun beliau tidak ingin ada kesan bahwa kebudayaan yang ada adalah kebudayaan-kebudayan yang keliru, dalam
beberapa hal kebudayaan Jawa memiliki kehalusan-kehalusan demikian halnya dengan Islam, sehingga kehalusan yang sudah ada dalam budaya Jawa disalurkan pada saluran kehalusan agama
Islam.