masyarakat adalah sebuah kekayaan tafsir lokal, agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Zada 2003
Di kalangan internal umat Islam sendiri akulturasi, belakangan menjadi isu sensitif. Sebagian berpendapat bahwa akulturasi adalah cara-cara yang tak
islami bahkan dimasukkan dalam konsep bid’ah. Hal tersebut terjadi karena perbedaan referensi dan methoda memahami ajaran Islam. Para ulama Islam di
Jawa sangat dipengaruhi oleh pendekatan sufistik, yaitu pendekatan esensi hakekat. Pendekatan sufistik tetap mengacu kepada hukum positif, mengacu
pada tekstual original, namun pemaknaanya berkembang berdasarkan pemikiran- pemikiran ulama yang mencari model kebaikan umat sesuai dengan zaman dan
kondisi yg dihadapi. Yang kedua pendekatan sufistik mengajarkan kelembutan, anti kekerasan, setiap bentuk kekerasan adalah pelanggaran terhadap ahlak nabi
yang penuh kelembutan. Dalam upaya-upaya mendekatkan Islam pada masyarakat, Ulama –ulama terdahulu melakukan semacam praktik hermeunetika.
Hermeunetika ini tersusun dalam kitab-kitab kuning, yaitu kitab-kitab tulisan ulama yang menjadi rujukan pesantren sampai saat ini. Menjadi berbeda dengan
arus Islam yang muncul belakangan ini, yang digawangi oleh kaum wahabi. Wahabi menolak interperetasi cara-cara sufistik untuk menentukan kebaikan
umat. Kebaikan umat adalah mengembalikan kepada apa yang tertera dalam Alqu’an dan hadits sesuai syariat Nabi.
Menurut Mustofa Bisri 2014 bahwa penyebaran Islam oleh para wali di tanah Jawa adalah dengan penghormatan pada budaya lokal. Penggunaan anasir-
anasir budaya lokal seperti tembang, gamelan dan wayang, sepanjang tidak bertentangan dengan akidah dapat saja dilakukan. Pada awal kehadirannya di
pulau Jawa, Islam tidak serta merta membid’ahkan semua tradisi apalagi melibasnya. Tradisi berkesenian dibiarkan dan disempurnakan, sementara yang
belum sesuai dengan akidah di- “penggok-salur”-kan
36
sehingga masyarakat yang menjadi sasaran dakwah tidak merasa ada perubahan yang radikal dengan
kehadiran Islam. Ulama pesantren lebih “luwes” dalam mengartikan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Dalam pandangan Ulama pesantren salafiyah, Islam sebagai agama sekalipun diyakini sebagai agama yang sempurna, namun dalam tataran profan
memerlukan kreasi melalui ijma dan qiyas. Islam itu bukanlah suatu sistem yang hanya membicarakan ke-Tuhanan saja, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah
mengandung ajaran peradaban tamaddun yang lengkap. Menurut Said Aqil Siradj 2005 akulturasi yang membentuk wajah pesantren di pulau Jawa
dimungkinkan terjadi karena para ulama-ulama terdahulu sebagai founding- father pesantren menerapkan prinsip “almuhâfazhah ‘alâ ‘al-qadîm al-shâlih wa
al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah” memelihara nilai-nilai budaya klasik yang baik, dan mengambil nilai-nilai budaya baru yang dianggap lebih bermanfaat secara
tepat dan benar yang merupakan impulse universalis Islam.Para ulama pesantren salafiyah Jawa saat ini masih meneruskan pendekatan-pendekatan sufistik para
sunanwali songo yang bersifat subjektif- intuitif untuk mengakomodasi
36
KH. Mustofa Bisri, menggunakan istilah ini, untuk pengertian “meluruskan”, namun beliau tidak ingin ada kesan bahwa kebudayaan yang ada adalah kebudayaan-kebudayan yang keliru, dalam
beberapa hal kebudayaan Jawa memiliki kehalusan-kehalusan demikian halnya dengan Islam, sehingga kehalusan yang sudah ada dalam budaya Jawa disalurkan pada saluran kehalusan agama
Islam.
akulturasi budaya namun secara bersamaan juga menggunakan pendekatan- pendekatan syariat yang bersifat objektif-tekstual untuk mengkritisi budaya-
budaya yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
4.3.2. Tasawuf dan Kitab Kuning: Epistemologi dan Sumber
Pemikiran Pesantren
Tasawuf atau sufisme dan kitab Kuning menjadi penting untuk dibahas, karena tradisi ini akan sangat mempengaruhi pola pikir komunitas pesantren saat
ini, terutama pada pesantren salafiyah. Ulama pesantren dalam tradisi Ahli Sunnah wal Jamaah kelompok salafiyah, menekankan bahwa Islam adalah
agama yang didirikan diatas tiga pilar utama, yaitu: Islam jika memandang pada amal perbuatan, iman jika memandang pada aqidah yang mengerakkan, dan Ihsan
jika memandang pada kesempurnaan realisasi dan tujuan dari perpaduan iman dan amal perbuatan. Sepanjang perjalanan sejarah yang dilaluinya pesantren dan
ulama senantiasa berusaha mengajarkan dan menerapkan pilar- pilar tersebut.
Makna salafiyah melekat dengan identitas tasawuf dalam dua makna. Makna pertama menekankan pada usaha mensucikan jiwa, dan bersunggu-
sungguh dalam mematuhi Allah dan meneladani Rasulallah SAW. Sufisme ala salafiyah dijalani dengan tujuan jiwa menjadi bersih dan memantulkan haqiqat
dan rahasia ketuhanan. Inilah yang disebut sebagai Ilmu Muamalah dalam menempuh jalan kepada Allah, yaitu dengan memperbaiki dan membimbing hati,
memurnikannya untuk Allah dari selain Allah.Tasawuf, dalam makna ini, harus bersumber dari sumber yang suci dan berpijak pada kaidah syariah yang benar.
Sebagaimana yang disebutkan oleh seorang tokoh besar Sufi Syekh al Junaidi:
“Ilmu kita ini terikat dengan Kitab dan Sunnah.” Makna kedua adalah dzauq dan perasaan hati, atau hasil-hasil kasyaf yang
dialami dan dirasakan oleh para salik penempuh jalan Allah. Makna yang kedua ini adalah khusus untuk para pelakunya, tidak bisa diungkapkan atau ditulis atau
diisyaratkan, tidak pula dapat dijadikan sebagai hukum syari’at atau argumentasi hukum, juga tidak mungkin dikatakan dalam ungkapan dan bahasa apapun, karena
merupakan perasaan hati yang tidak mungkin dapat diuraikan dengan kata-kata. Pada makna yang kedua ini, sebagian guru sufi mengisyaratkan:
“pengetahuan kita tentang ini hanyalah isyarat.” Inilah yang disebut dengan Ilmu Mukasyafah, yaitu cahaya yang terpancar
dari hati dalam pencapaian pada penyatuan dengan Tuhan Semesta Alam. Bagi seseorang, hendaknya menjalankan tasawuf dengan makna yang pertama,
sehingga dapat diraih rahasia makna yang kedua.
Sufisme di pesantren tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah penyebaran Islam di Jawa oleh wali songo. Penyebutan mereka dengan sebutan wali,
menunjukkan adanya komunitas “tariqat” yang mereka bangun. Sebutan wali atau waliyullah yang berarti “kekasih Allah” adalah sebutan murid tarikat kepada
mursyid. Tarikat tariqot sendiri merupakan suatu pendekat ilmu tasawuf.
Kata tasawuf sebenarnya tidak dikenal dalam Al-Qur’an, melainkan baru dikenal pada abad ke-3 H. Menurut sejarah, orang yang pertama kali memakai
kata “sufi” adalah Abu Hasyim al Kufi Seorang ulama zuhud di Irak. Kata sufi digunakannya untuk merujuk para ulama yang bersikaf Zuhud. Tujuan Zuhud
oleh para zahid adalah mengolah atau mengembangkan sikap atau emosi agama dalam hati mereka dengan kesungguhan yang luar biasa agar tercipta kehidupan
yang diridhai oleh Tuhan didunia ini, sehingga terlepas dari azab Tuhan neraka dan memperoleh surga-Nya. Ciri khas utama para ulama Zuhud adalah memilih
hidup duniawiyah yang bersahaja. Tasawuf adalah tercapainya keadaan kepasrahan yang menyeluruh kepada Allah, bukan melalui peniadaan akal dan
pikiran,, melainkan melalui pengetahuan menuju kecintaan Allah. Melatih diri untuk mendapatkan penglihatan mata hati adalah cara memperbanyak ritual dzikir
dan bertawasul kepada para wali. Abdul Hadi 1994. Dalam terminologi tasawuf, maqam berarti ‘kedudukan atau kualitas spiritual’. Kedudukan atau kualitas
spiritual menurut para ahli tasawuf diperoleh melalui upaya dan ketulusan dalam menempuh jalan spiritual. Dengan upaya yang dilakukan, seorang menempuh
jalan spiritual akan memperoleh rahmat dan karunia dan kedudukan spiritual dari Allah. Kedudukan spiritual merupakan kualitas batiniah yang bersifat tetap. Hal
ini berbeda dengan hal yang digunakan untuk menyebut kondisi kejiwaan yang bersifat sementara. Seorang yang memperoleh kualitas spiritual pada tingkat yang
lebih tinggi tidak meninggalkan kualitas spiritual yang telah diraih sebelumnya. Semakin tinggi kualitas spiritual seseorang, maka semakin utuhlah kualitas
spiritual yang dicapai Amstrong, 1996.
Sejarawan seperti Agus Sunyoto 2009 melihat adanya kehadiran ilmu tasawuf pada perkembangan Islam di pulau Jawa dengan ditemukannya naskah-
naskah sufistik dan keberadaan beberapa tarekat yang diamalkan orang sampai hari ini, yaitu tarekat qadariyah, Sathariyyah, Akmaliyah dan Kubrawiyyah yang
ajaran-ajarannya dinisbatkan kepada tokoh-tokoh Wali Songo, khususnya sunanwali songo Gunung Jati, sunanwali songo Giri, sunanwali songo Kalijaga
dan Syaikh Siti Jenar. Tidak didapat keterangan yang jelas mengenai hubungan antara pengamalan tarekat para sunanwali songo dengan ajaran syekh Abdul
qadir Al Jailani , apakah ajaran tarekat ini didapat langsung oleh para sunanwali songo ketika mereka berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu keislaman,
ataukah didapat melalui pihak lain yang datang ke Indonesia, yaitu melalui perantara ulamapedagang dari Gujarat atau dari China.
Jika penguasaan ilmu Tasawuf tidak ditunjukkan oleh para sunanwali songo, kemungkinan agama Islam tidak akan diminati oleh masyarakat Jawa pada
waktu itu. Masyarakat sudah mematrikan keyakinannya bahwa seorang tokoh agama adalah tokoh-tokoh yang memiliki tingkat kesucian dan kearifan yang
tinggi sebagaimana yang mereka lihat pada pandhita brahmana Hindu, atau para bhiku Budha yang sudah mereka kenal sebelumnya. Simbol kesucian dan
kesederhanaan sebenarnya bukan hanya ada pada agama Hindu, Budha atau Islam saja. Sifat Zuhud dalam terminilogi Islam atau konsep samsara dan Nirwana pada
Brahmanisme Hindu dan Budhisme atau dengan konsep asketisme yang dijalankan oleh para rahib Kristen memiliki kemiripan satu sama lain. Dengan
kata lain semua agama membutuhkan simbol kesucian yang direpresentasikan oleh elite agama.