Kebersinggungan : Ko eksistensi dan Konflik Laten

sebagai pusat pemerintahan dalam artian yang sebenarnya dan menyeluruh Amir Hasan Sddiqi 1987. 7.1.1 Fungsi Masjid Pada Awal Sejarahnya Pesantren Dalam sejarah Islam di Indonesia, fungsi masjid dapat dilihat dari sejarah masjid Demak. Masjid Demak didirikan bukan hanya sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai tempat pendidikan dan pusat politik ulama. Masjid dijadikan sebagai tempat prendidikan mengingat lembaga pendidikan pesantren pada saat itu belum menemukan bentuknya yang final. Baru pada perkembangan berikutnya masjid menjadi dan tempat mengajar terpisahkan. Masjid dan pesantren sesungguhnya sebagai center of excellence pusat peradaban yang saling mendukung dan melengkapi dalam membentuk kepribadian muslim. Abdurrahman Masud 2004. Mark R. Woodward 1999, menjelaskan bahwa pada awal Islam masuk ke Indonesia, Masjid merupakan pusat komunitas dan berperan sebagai lokus kegiatan ibadah dan pengajaran keagamaan awal. Di masjidlah anak-anak pertama kali dikenalkan dengan unsur-unsur ibadah tradisi santri. Dimulai dari usialima atau enam tahun, mereka diajarkan cara melaksanakan shalat, membaca teks Arab dan melantunkan Al-Qur’an. Ada juga pelajaran tentang dasar-dasar teologi dan hukum. Ini disebut pengajian dan umumnya mengambil bentuk ceramah-ceramah yang disampaikan oleh santri senior. Di daerah urban, pengajian ini sering diisi oleh kiai atau ulama pembaharu di luar kampung.Masjid juga menjadi tempat kegiatan ibadah tahunan yang bersifat umum. Sepanjang bulan Ramadhan masjid digunakan untuk ibadah shalat tarawih dan pembacaan Al-Qur’an. Makanan disediakan oleh keluarga kaya di komunitas tersebut.Praktek ini tidak umum di kalangan Islam Timur Tengah.Masjid lokal juga menjadi tempat penyelenggaraan Idhul Fitri atau lebaran akhir Ramadhan, lebaran kurban yang diadakan pada waktu haji, dan - terutama dikelola oleh kalangan tradisionalis – perayaan Maulud, memperingati kelahiran Nabi. Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa masjid mempunyai multi fungsi untuk memfasilitasi berbagai aktivitas keagamaan baik yang diatur oleh syariah maupun oleh tradisi. Masjid berfungsi sebagai : 1 tempat sholat berjamaah, 2 sarana atau tempat pendidikan ilmu agama, khususnya pada pengajaran baca tulis al qur”an. 3 tempat ibadah khusus tahunan seperti acara mengisi bulan ramadhan seperti sholat tarawih, sholat idhul fitri dan sholat idhul adha. 4 tempat perayaan khusus berbasis tradisi, seperti perayaan maulid, Isra mikraj. Disamping itu masjid masih memiliki peran sosial ekonomi yaitu sebagai baitul mal untuk mengumpulkan harta zakat fitrah maupun zakat kekayaan dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan lainnya. Pada awal sejarah pesantren sampai dengan pra peraturan perwakafan masjid diterapkan, masjid selalu dilekatkan dengan kekuasaan seorang Kyai. Sekalipun masjid adalah fasilitas yang digunakan untuk umum, namun Kyai adalah penguasa tunggal masjid. Seluruh aktivitas masjid dikendalikan oleh Kyai sebagai pendiri dari masjid tersebut. Keeratan antara masjid dengan kyai, sering disimbolkan dengan penamaan masjid sesuai dengan dengan nama kyainyaembedeedness. Tak mengherankan ketika zaman penjajahan Belanda, kontrol pemerintah kepada masjid begitu ketatnya. Sebenarnya yang ingin dikontrol oleh pemerintah penjajah Belanda bukan kepada masjidnya tetapi kepada aktivitas kyai yang menjadi pemimpin dari masjid tersebut. 7.1.2. Sumber pendanaan Masjid Pada Awal Sejarahnya Pesantren Masjid pada periode ini adalah bagian integral dari pesantren. Pengelolaan masjid sepenuhnya ada pada otoritas kyai. Masjid dibiayai oleh dana pribadi kyai. Masjid dengan seluruh dimensinya didedikasikan untuk agenda dakwah. Setelah masjid aktif sebagai sarana peribadatan, dan jamaah mulai terbentuk barulah masuk dana-dana masyarakat. Masyarakat membantu dalam bentuk tenaga gratis sambatan, gotong royong, sumbangan bahan bangunan dan makanan untuk pekerja pada saat merenovasi atau perawatan rutin lainnya. Sementara itu Kyai berkontribusi menyediakan kitab-kitab dan tenaga untuk mengajar secara gratis. Sebagaimana pada masa kenabian Masjid juga menjadi baitul mal. pada saat menjelang hari hari raya idhul fitri pemungutan dan pembagian zakat fitrah dipusatkan di masjid. Pada prosesi pembagian zakat fitrah, kyai berfungsi sebagai amilin zakat. 108 Sebagai amilin zakat kyai berhak atas seperdelapan dari zakat fitrah yang terkumpul. Kyai menerima haknya sebagai amilin namun seringkali zakat fitrah tersebut dikembalikan lagi oleh kyai untuk kegiatan pengajian majlis taklim yang ada di masjid. Kyai pada masa itu adalah tuan tanah di desa dan elite ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan rumahtangganya sendiri. Pemberian sebagian hak zakat kepada kyai oleh masyarakat bukan dilatarbelakangi motif ekonomi, tetapi lebih kepada tradisi ketakziman masyarakat kepada kyai. 7. 1.3. Komunitas Masjid Pada Awal Sejarahnya Berdasarkan aktivitas dan pembentukan komunitas maka terdapat tiga kelompok masyarakat di pedesaan terkait dengan masjid pada saat itu, yaitu : 1 orang-orang yang sehari-hari menjalankan kegiatan suluk mengaji dan melaksanakan peribadatan khusus mereka adalah kyai dan para santrinya. Di masyarakat Jawa maupun Sunda-Banten, mereka biasa disebut kelompok santri, suluk atau tarekat. 2 orang-orang yang hanya ikut sholat berjamaah atau mengikuti pengajian pada acara-acara tertentu saja. Di masyarakat Jawa dan Sunda-Banten mereka biasa disebut kelompok alim. 3 orang-orang yang tidak pernah ikut sholat di masjid atau kegiatan-kegiatan masjid lainnya. Di masyarakat Jawa biasa disebut kelompok abangan, di Banten biasa disebut kelompok sunda wiwitan, atau wiwitan saja. Kelompok alim biasanya memiliki latar belakang pesantren, mereka adalah para santri yang sudah tinggal di masyarakat alumni pesantren. Di Banten atau di pulau Jawa, terdapat istilah mualim, mereka adalah tokoh-tokoh agama 108 Amil zakat adalah orang yang diangkat penguasa atau wakilnya untuk mengurus zakat. Tugasnya meliputi penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat. Golongan ini tetap berhak menerima dana zakat meskipun seorang yang kaya, tujuannya agar agama mereka terpelihara. Sebagian ulama berpendapat bahwa bagian amil dari harta zakat adalah seperdelapan dari total yang terhimpun. –bisa dilihat : http:zakat.or.idbab-vi-pembagian-harta- zakatsthash.1KZvkd2b.dpuf sebagai pengajar pengajian di mushola atau mengajar di madrasah. Dengan demikian dari sisi religiusitas hanya ada dua kelompok komunitas di masyarakat yaitu kelompok alim termasuk di dalamnya adalah santri dan kyai dengan kelompok abangan atau wiwitan. Dari sini dapat dikoreksi bahwa tipologi religi keagamaan orang Jawa oleh Clifford Geertz adalah keliru. Geertz mengelompokkan tipologi ketaaatan beragama pada masyarakat Jawa menjadi santri, priyayi dan abangan. Priyayi bukanlah tipologi yang dapat diukur dengan tingkat religiusitas seseorang. Di Banten para kyai pada umumnya adalah keturunan priyayi demikian pula yang ada di Jawa Timur. Kyai di sebuah desa selain sebagai pemegang otoritas tertinggi di Masjid, otomatis sebagai pemimpin tertinggi komunitas alim di daerahnya. Semakin kuat tradisi keagamaan di suatu desa, peran dan posisi kyai semakin kuat pula. Ketaatan komunitas alim kepada kyainya menciptakan kyai lebih berpengaruh dibandingkan pemimpin formal bentukan negara. Berangkat dari kondisi inilah kyai diliihat mengalami pergeseran peran. Kyai dianggap bergeser dari fungsi perantara untuk mengkomunikasikan doktrin-doktrin Islam ke dalam keyakinan masyarakat menjadi fungsi perantara non- doktrin agama yang diistilahkan sebagai “pialang budaya” cultural broker oleh Geertz 1960 suatu istilah yang kurang tepat namun terlanjur populer pada kajian-kajian sosial. Padahal fungsi kyai sebagaimana yang tercermin pada aktivitas masjid tidak selalu berkaitan dengan hal-hal keagamaan saja. Masjid sebagai pusat peradaban Islam, didalamnya ada aktivitas peribadatan, sosial dan juga ekonomi.

7.1.4 Masjid Pada Ruang Negara Sebagaimana dikemukakan masjid pada awalnya merupakan ruang utama

dari sebuah pesantren. Sejak zaman Belanda Masjid telah menjadi sorotan. Masjid dipandang sebagai tempat yang bisa menggerakkan masyarakat untuk merongrong kekuasaan. Banyak pemberontakan yang dipimpin oleh kyai dipersiapkan melalui media aktivitas masjid. Mengingat begitu berpengaruhnya masjid di dalam sistem sosial Indonesia saat itu Pemerintah penjajah Belanda sampai harus mengeluarakan, Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah mengharuskan para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal- usul tiap rumah ibadat, dipakai shalat jumat atau tidak. Perlu dicari keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau dengan nama lain. Setelah kemerdekaan terutama pada periode pemerintahan Orde baru, Kecurigaan pemerintah terhadap masjid pun tidak sepenuhnya hilang. Intinya adalah bahwa masjid sebagai sebuah pusat aktivitas masyarakat harus dalam kontrol negara. Pemerintah Indonesia, tidak melakukan tindakan yang sangat represif sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan penjajah Belanda, namun perangkat yang digunakan tetaplah sama, yaitu negara masuk melalui pranata hukum yang disebut dengan perwakafan. Pada saat ini, seiring dengan adanyaPola pelaksanaan wakaf sebelum adanya UU No. 5 Tahun 1960 109 tentang : Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang : Perwakafan Tanah Milik. Undang-undang dan Peraturan pemerintah tersebut intinya adalah, bahwa perwakafan masjid telah diatur dengan hukum positif dimana tanah yang diwakafkan statusnya adalah tanah wakaf yang dilindungi oleh negara. Kedua pengelolaan masjid di atas tanah wakaf yang dilindungi oleh negara, dikelola oleh Nadhir yang disyahkan oleh negara Hasanah Uswatun 2002. Fungsi masjid sekarang ini mengalami degradasi. Jika dulu pada saat masjid merupakan ruang utama pesantren, masjid memiliki multifungsi. Saat ini masjid hanya digunakan sebatas tempat untuk shalat termasuk shalat, ceramah agama dan perayaan khusus berbasis tradisi, seperti perayaan maulid, Isra mikraj. Perbedaan lain yang paling mencolok adalah terlepasnya otoritas masjid dari kyai kepada fihak lain. Masjid yang tadinya merupakan entitas tradisi yang bersifat kultural menjadi entitas negara yang bersifat struktural. 110 Sesuai dengan ketentuan wakaf yang diadopsi dari hukum syariah Islam bahwa barang yang sudah diwakafkan ia terlepas dari ikatan seseorang. Selanjutnya pengelolaan atas barang wakaf tersebut diserahkan kepada nadhir wakaf. Nadhir wakaf inilah atas nama negara bertanggungjawab untuk mengelola dan merawat benda wakaf tersebut. Nadhir bertanggung jawab atas segala hal yang menyangkut pengelolaan, pemanfaatan, perawatan dan pengembangan harta masjid. Penggunaan harta masjid harus didasarkan kepentingan kemaslahatan masjid yang bersangkutan. Penggunaan harta masjid tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi atau lembaga diluar masjid. Harta masjid tidak sah dihibahkan, dipinjamkan dan dihutangkan kepada pihak manapun, karena masjid sebagai lembaga bukan tergolong ahliyatut tabarru’ yang dapat berderma dan memberi pinjaman. Menyangkut tentang harta masjid yang telah diwakafkan harus disalurkan sesuai dengan keperuntukannya yang secara umum terbagi menjadi dua: pertama yaitu Imarah, yaitu segala kebutuhan masjid yang berkaitan dengan fisik masjid, seperti pembangunan fisik, pagar, cat dan lain-lain. Termasuk dalam kategori ini, keperluan masjid yang berkaitan dengan kebersihan masjid dan peralatannya, seperti sapu dan lain-lain, juga gaji yang diberikan untuk petugas kebersihan masjid. Kedua Masolih. Yaitu segala kebutuhan yang berkaitan 109 UU No. 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang : Perwakafan Tanah Milik, dan Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958 dimana bersama-sama dengan Kementrian Agraria dan Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan. Kemudian Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969 jo. No. 18 Tahun 1975 disebutkan bahwa di Tingkat Pusat pengurusan wakaf ini termasuk dalam wewenang Direktorat Urusan Agama DITURA Sub Direktorat Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial Zawaib. Di Tingkat Provinsitingkat wilayah termasuk tugas bidang Urusan Agama Islam seksi Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial..Berdasarkan ketentuan terakhir, bahwa Kepala KUA Kecamatan ditunjuk sebagai PPAIW mempunyai tugas dan wewenang untuk pengesahan nażir. Dan terakhir dengan adanya PP. No. 28 Tahun 1977,terkait Surat Pernyataan Wakif SPW, model D.2 1960, Peta Tanah Wakif PTW, dan Surat Pernyataan Nazir SPN, model D.3 1960 110 Negara dalam hal ini mengacu kepada peraturan atau ketentuan yang ada pada hukum islam, dimana dalam hukum Islam, kepemilikan atas benda yang diwakafkan kepada mawquf ghoyru mu’ayyan, seperti masjid, pondok pesantren sepenuhnya terlepas dari hubungan hak seseorang, dalam istilah fiqh disebut wakaf tahriri . dengan kepentingan masjid, baik untuk keperluan fisik masjid sebagaimana dalam bagian pertama atau keperluan-keperluan lainnya, seperti karpet, penerangan masjid, pengeras suara bahkan makanan yang disajikan untuk para jama’ah jika diperlukan untuk meramaikan masjid, dan lain-lain. Bagian ini sifatnya lebih umum dari bagian pertama Anshori, AG 2006. Pemerintah juga membentuk institusi untuk pengelolaan masjid melalui Keputusan Menteri Agama KMA Republik Indonesia nomor 505 tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Kesejahteraan Masjid BKM. Dimana di sana disebutkan BKM adalah badan kesejahteraan masjid dibawah