Akulturatif: Tradisi Kontak Budaya Pesantren
Menurut Bruenessen 2012 kitab-kitab klasik berbahasa Arab sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16, Beberapa kitab pada zaman itu sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Jawa, dan bahkan beberapa pengarang Indonesia sudah menulis kitab-kitab dalam bahasa tersebut dengan
gaya dan isi yang serupa dengan kitab ortodoks. Menurut catatan Van ronkel yang dikeluarkan pada tahun 1896 dalam Bruinessen 2012 terdapat naskah
melayu dari tafsir Alqur’an dan sebuah terjemahan syair pujia-pujian kepada nabi yaitu Qasidah al Bardah karangan Al Bushiri yang dibuat pada abad-16. Dua
naskah Islam Jawa yang sangat penting itu yang juga diedit ulang oleh Drewes 1954 dan 1969 sama sekali tidak menunjukkan spekulasi metafisis dan
sinkretisme yang begitu sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mencerminkan tradisi ortodoks fiqih Syafi’i, doktrin sy’ari dan akhlak Al
Gazali
37
tanpa pengaruh lokal. Disamping rekonsepsi Zuhud, Al Ghazali memberi sumbangan pada konsep al wara
38
’. Bruinessen 2012 menambahkan dari berbagai naskah Jawa pertama
tersebut, Kitab Wejangan Seh Bari Drewes 1969, sebelumnya dikenal dengan sebutan Kitab Sunan Bonang, terdapat dua karya besar yaitu Ihya ulum Al Din
karya Al Ghazali dan kitab Al Tamhid fi Bayan Al Tauhid karya Abu Syukur Al- kasyi memperlihatkan penekanan dalam pengajaran Islam di Jawa adalah pada
akidah dan tasawuf. Keberadaan naskah yang lebih muda yang diterjemahkan ke dlam bahasa Jawa adalah Wahdah al- Wujud karya Burhanpuri yang terkenal serta
Al –Tuhfah Al-Mursalah, menunjukkan adanya kecendrungan kuat pada tasawuf panteistis. Namun seiring dengan banyaknya kitab tasawuf yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa oleh para ulama Jawa dengan sistem terjemahan antar baris, terdapat pula kitab-kitab fiqih seperti Al Taqrib fi Al Fiqih karya Abu Syuja Al
Isfahani, serta kitab anonim Al Idhah fi Al Fiqih bahwa selain ilmu tasawuf yang
37
Pengaruh Ghazali yang terbesar di dalam membangun sufisme Islam adalah sumbangannya pada pemahaman tentang Zuhud. Sebelumnya Zuhud diartikan keadaan meninggalkan dunia dan
menjauhkan diri dari hidup kebendaan.Namun al-Ghazali dalam ensiklopedia Islam mengartikan zuhud dengan pengertian mengurangi keinginan pada dunia dan menjauhkan dirinya
dengan penuh kesadaran. Menurut pandangan sufi, dunia dan segala kehidupan materialnya jika dikejar secara berlebihan adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya
perbuatan perbuatan kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Oleh karena itu, calon sufi harus terlebih dahulu zahid. Menurut Ahmad bin Hambal, zuhud ada tiga macam yaitu:
Zuhudawam dengan meninggalkan yang haram, zuhud orang khawas dengan meninggalkan yang syubhat serta mengurangi sesuatu yang halal bagi dirinya, dan zuhud orang arif dengan
meninggalkan apa saja yang akan menghalanginya dari Allah swt. Dengan pengertian di atas, maka dalam era modern ini, zuhud dapat diartikan sebagai menjalani kehidupan sederhana
mungkin walaupun dalam kenyataannya, seseorang tersebut melimpah kekayaannya. Bukan dalam bentuk menjauhi keramaian kota, kemudian berpindah ke tempat sepi untuk beribadah sebanyak
mungkin. Melainkan zuhud adalah menjalani kehidupan sederhana, tidak hanyut dengan keriuhan kota serta anugerah rezki yang diberikan oleh Allah swt tidak digunakan untuk berbangga diri dan
hidup mewah, melainkan dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt Rivay siregar, 2002.
38
Al-Wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Namun sufi mempunyai pendangan tersendiri, wara’ berarti meninggalkan sesuatu yangtidak jelas hukumnya, seperti Ibrahim bin
Adham berpendapat bahwa wara’adalah meninggalkan segala yang masih diragukan dan meninggalkankemewahan. Dari segi jenisnya wara’ terbagi dua yaitu wara’ lahiriyah yaitutidak
mempergunakan anggota tubuh untuk hal-hal yang tidak diridhai olehAllah st, dan wara’ bathiniyah yaitu tidak mengisi hatinya kecuali Allah.Dengan wara’ maka seorang sufi dapat
menghilangkan segala rintangan yangakan menghalanginya dekat dengan Allah.
bersifat nilai pesantren-pesantren di Jawa juga menekankan pada pengajaran fiqih yang bersifat Instrumental . Menurut Bruinessen 2012 literatur klasik pesantren
yang dikenal dengan istilah kitab-kitab kuning, menunjukkan bahwa Tasawuf di lingkungan Pesantren ditanamkan sudah sejak lama. Kitab-kitab tasawuf
diperkenalkan kepada santri sejak dini. Karena proses penanamannya yang sudah berlangsung lama dan terus menerus, maka tasawuf beroperasi pada aktor
pesantren ulama maupun santri secara alamiah, spontan dan instingtif.
Pandangan Tasawuf ulama pesantren terhadap pemikiran modernisme Barat pemikiran non Islami adalah bahwa pemikiran barat telah melahirkan
pandangan hidup mekanistik dan atomistik. Modernisme Barat adalah peradaban yang menjunjung akaliah yang individualistis yang tidak selaras dengan
pemikiran dan tujuan peradaban Islami yang mengedepankan qolbiah. Modernisme pemikiran yang dikembangkan oleh masyarakat Barat melahirkan
perombakan pola kognitif manusia. Mekanisme kehidupan manusia berubah menjadi material- oriented yang terjerumus pada pemuasan aspek lahiriah yang
semu. Modernisme menjadikan manusia kehilangan jati diri sebagai mahluk sosial, untuk saling menghormati, tolong menolong satu dengan yang lainnya.
Tasawuf adalah jalan atau pelajaran untuk mengisi bathiniyah manusia melalui siraman spiritual, sehingga hati manusia yang gersang tidak berada
dalam keterasingan eksistensi dan dunianya sendiri. Modernisasi memberikan tantangan tersendiri dari agama atau relegiusitas, namun tidak bisa
“menghilangkan” agama dari muka bumi ini Karena semakin seseorang terbentur dalam kebuntuan makna hidup, maka ia akan semakin rajin mencari jawaban dari
keterasingannya dan berupaya menemukan spiritualitas jati dirinya. Di silah tasawuf akan memainkan peran yang sangat signifikan menyuburkan area esoteris
atau bathiniyah Azyumardi Azra 1996. Tasawuf juga dianggap sebagai solusi yang mampu menghadirkan jawaban dari persoalan kehidupan modern, sehingga
merupakan kontribusi bagi kehidupan yang bernilai mahal. Tasawuf sesungguhnya merupakan bentuk esoteerisme atau penghayatan batini yang
menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam pembentukan sosial masyarakat, bukan hanya ingin mencapai kesolehan individu, namun lebih dari pada itu,
terbentuknya tatanan kesolehan sosial yang universal. Hal itu hanya bisa diperoleh dengan penghayatan sikap keagamaan yang positif dalam memahami agama yang
memberikan porsi seimbang antara kosmos dunia dan akhirat Siradj 2006.
Dalam praktiknya di lingkungan pesantren, Tasawuf menjadi bagian materi pendidikan pesantren. Rujukan yang paling utama dalam hal ini adalah
kitab Ihya Ulumuddin- nya Al Ghazali.
39
Ketika isi dan pengajaran salah satu
39
Menurut al-Ghazali, belajar adalah usaha orang untuk mencari ilmu. Belajar sangat berkaitan dengan ilmu, karena dalam proses belajar ada tujuan yang ingin dicapai oleh si-pembelajar dan
tujuan itu adalah ilmu, lebih jauh AlGhazali dalam ihya ulumudinmenerangkan bahwa pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan ta
‟
lim insani dan ta
‟
lim rabbani. Lebih lanjut al-Ghazali menerangkan bahwa ta‟lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia21, yaitu pendekatan yang umum dipakai dalam proses pendidikan, baik di
lingkungan pendidikan formal ataupun di lingkungan pendidikan non-formal. Sedangkan ta‟lim rabbani yaitu proses belajar dengan bimbingan Tuhan. 22 Dalam proses ini dilakukan dengan
Tafakkur, yaitu membaca realitas dalam berbagai dimensi kehidupan spiritual. Burhanuddin al- Islam Az-Zarnuji. adalah pengarang kitab “Ta‟lim al-Muta‟allim Thuruq al-Ta‟allum”. Di dalam
kitab tersebut, Az-Zarnuji membagi ilmu dalam empat kategori.Pertama, ilmu fardu „ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari.Kedua, ilmu fardu kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan hanya pada
kitab kuning klasik tersebut dikritik keras oleh sekelompok Islam lain sebagai “kurang menumbuhkan minat dan gairah belajar serta tidak memberikan ruang
bagi perbedaan pendapat antara guru dan murid. Dalam kitab tersebut, murid sepertinya harus ikut kepada guru dan tidak boleh mengkritiknya. Toto Edy
2007, tidak ada membawa soal-soal yang baru,berisi hal-hal yang sudah umum diketahui, dan pendapatnya diselingi dengan hikayat-hikayat, syair-syair dan
matsal-matsal dan hanya memberi konsumsi kepada masyarakat awam mengenai masalah iktiqadiyah dengan pemikiran-pemikiran waham-waham imajinatif
Ahmad Fuad al-Ahwani 2001.
Tasawuf di lingkungan pesantren menjadi semacam “strukturasi” dalam pandangan Giddens 2011 yaitu dorongan eksternal yang menganjurkan tujuan
dari tindakan manusia, namun juga bersifat internal pada diri seorang subjek yang memiliki sifat otonom untuk berkontribusi mengontrol eksternalitas itu
sendiri.Tasawuf
bagi dunia
pesantren dapat
bersifat mengekang constraining dan sekaligus membebaskan enabling. Tasawuf
sebagai sebuah strukturasi Pesantren menciptakan agen Kyai yang bertindak oleh pengaruh struktur keyakinankepercayaan yang ada sekaligus menciptakan
struktur–struktur keyakinan kepercayaan berikutnya. Ulama sebagai agen melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan dengan
kepercayaan mereka, pada saat yang sama, tindakan Ulama dapat menimbulkan unintended consequences konsekuensi yang tidak disengaja dari
penetapan struktur kepercayaan yang berdampak pada tindakan selanjutnya. Karena itu tindakan Kyai mempengaruhi struktur Pesantren dan lingkungan sosial
yang lebih luas yang merupakan bagian dari pengaruh pesantren.
Penguasaan Ulama pada kitab-kitab kuning menciptakan kharisma dan otoritas yang kuat. Kitab kuning dan ulama melekat menjadikan dirinya sebagai
Habitus istilah : Bourdieu , yaitu disposisi yang dimiliki oleh seorang individu untuk melakukan persepsi dan respon dengan cara tertentu terhadap lingkungan
sekitarnya, dimana disposisi ini bersifat sosial karena dipercayai oleh lingkungan dari individu tersebut. Namun jika menggunakan istilah Weber tentang tindakan
rasional, tindakan sufistik para ulama lebih dari sekedar tindakan rasionalitas yang berorientasi Nilai Werkrationalitat, yang memperhitungkan manfaat,
kebaikan dan kebenaran menurut persepektif dirinya dan masyarakat, karena secara bersamaan tindakan ulama juga berorientasi pada hukum positif religious
yang memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan
saat-saat tertentu saja.Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang tidak diperbolehkan untuk dipelajari, karena ditakutkan hanya dipakai untuk menipu dan berbuat jahat.Keempat, ilmu jawaz, yaitu ilmu
yang boleh dipelajari karena bermanfaat bagi manusia.Az-Zarnuji dalam muqaddimah kitabnya “Ta’lîm al-Muta’allim” menjelaskan latar belakang penyusunan kitabnya.Yaitu diawali karena
banyaknya para pencari ilmu yang tidak mendapat ilmu atau dia mendapat ilmu tapi tidak mendapat kemanfaatan dari ilmu tersebut.Itu disebabkan karena kurangnya akhlak atau etika
dalam mencari ilmu.Kemerosotan moral para pencari ilmu dan pendidik yang dirasakan Az- Zarnuji pada saat itu, kini masih kita rasakan bahkan jauh lebih mengkhawtirkan. Sehubungan
dengan hal di atas, menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip Yusuf al-Qardawi 1989 , bahwa: ―Hak guru lebih besar daripada hak kedua orang tua. Orang tua adalah sebab lahirnya seseorang
dalam kehidupan fana, sedangkan guru menjadi sebab seseorang berada dalam kehidupan abadi di akhirat. Kalaulah tidak ada guru, apa yang diterima oleh seseorang dari bapaknya niscaya
menjulur kepada kebinasaan. Guru adalah orang yang memberikan makna hidup di akhirat.
yang akan dicapai menyerupai Rasionalitas Instrumental Zweckrationalitat. Menurut Hamka 1Tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan
doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, dan psiko terapi relijius yang dapat menghantarkan manusia menuju kesempurnaan dan ketenangan hidup, yang
hampir hilang atau bahkan tidak pernah dipelajari oleh manusia modern, Praktik 2 Seorang penganut tasawuf modern tidak harus lari dari kehidupan duniawi
tetapi justru harus terlibat aktif dalam masyarakat, 3 Mempraktekan tasawuf secara aktif dalam setiap aktifitas manusia modern dan menjadikan tasawuf
sebagai alat bantu dalam mengingatkan dan membangunkan orang modern dari tidur spiritualnya yang panjang dan mencampakan nilai-nilai moral yang
bersumber dari agama, 4 Tasawuf dapat dipraktekan hanya dalam kerangka syari’ah.