kitab-kitab klasik Islam lainnya tidak ditemukan kosa kata “santri”. kata “pesantren”. Menurut C. Berg Dalam Dhofier 1983 justru berasal dari bahasa
India, yaitu “shastri” yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Sementara itu,
A.H. John dalam Babun Suharto 2011 menyebutkan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Beberapa ulama dan
sejarawan Indonesia mengatakan bahwa santri itu diadopsi dari kata bahasa Jawa “Cantrik” yang berarti murid. Nurcholish Madjid 1999 menerima dua
pandangan tentang asal usul kata “santri”. Hanya saja menurutnya, kata “santri” dapat berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata “sastri”, yang berate “melek
huruf” . Pendapat ini didasarkan atas orientasi kaum santri sebagai kelas literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab dalam hal
ini yang dalam hal ini bertuliskan huruf Arab. Kedua, bahwa perkataan santri berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik” yang berarti seseorang yang
selalu mengikuti seorang guru kemana saja sang guru ini pergi menetap. Pendapat ini didasarkan atas pola hubungan santri dan Kyai yang ada di
pesantren yang bersifat patron and client kepatuhan Yasmadi 2005.
Selain asal-usul kata santri sebagai pembentuk kata pesantren, lembaga pendidikan ini dipopulerkan dengan tambahan kata “pondok” yang mengawali
kata pesantren. Sehingga istilah lengkap untuk menyebut lembaga pendidikan islam tradisional adalah ‘pondok pesantren”. Kata pondok berasal dari kata Arab
yaitu fundug yang berarti hotel atau asrama Saridjo 1980. Dengan demikian “pondok-pesantren” berarti tempat tinggal para santri atau kompleks untuk
kediaman dan belajar para santri. Penggunaan istilah pondok menunujukkan bahwa sistem pendidikan di pesantren mengharuskan seorang santri untuk tinggal
menetap dalam satu komunitas asrama yang lazim disebut dengan istilah “mondok”. Mondok dalam asrama bukan semata-mata karena pertimbangan jauh
dari tempat asal santri, sebab masyarakat yang tinggal berdekatan dengan pondok pesantrenpun tetap diwajibkan tinggal di dalam asrama. Mondok tinggal
berdekatan dengan “dalem Kyai” rumah tempat tinggal Kyai dipercaya memiliki keberkahan.
4.2. Pesantren adopsi Sistem Pendidikan Islam di Timur Tengah
Pendidikan merupakan khasanah yang tak terpisahkan dengan peradaban yang dibangun oleh Islam. Banyak hadits perkataan nabi Muhammad yang
menekankan arti penting pendidikan, seperti perkataannya “ menuntut ilmu adalah kewajiban orang Islam dari kelahiran mina al mahdi sampai menjelang kematian
ila al lahdi”. Islam menekankan bahwa pendidikan bukanlah perkara proses memahami fenomena duniawiah, kasat mata dan materilistis, tetapi lebih dari itu
adalah sarana memahami kebenaran Illahiah. Pendidikan dalam Islam mengedepankan syariah metoda dan falasafiyah tujuan sebagai dua hal yang
tidak terpisahkan.
Kekhasan pendidikan Islam adalah membaca dan menghafal nash referensi yang bersumberkan dari kitab suci al Qur’an, al Hadits dan kitab-
kitab lain yang ditulis para ulama. Setiap murid yang akan membaca dan menghafal nash harus didampingi oleh seorang guru. Ada dua tugas seorang guru
yaitu tugas material dan tugas spiritual. Secara material Seorang guru bertugas
menciptakan dan menjaga kualitas seorang murid dalam memahami nash, sedangkan secara spiritual bertanggungjawab kepada Tuhan untuk menciptakan
manusia sholeh. Kelulusanseorang murid sangat ditentukan oleh guru, ada beberapa kasus, di pondok pesantren, seorang santri~ berpuluh-puluh tahun
menyantri kepada seorang Kyai tidak pernah dinyatakan lulus. Lamanya belajar bukan karena seorang santri tidak mampu menguasau nash, tetapi sang kyai
menganggap santrinya belum memiliki kualitas sebagai orang sholeh, karenanya kewajiban kyai untuk terus menjaganya dengan mengharuskan sang santri tetap
tinggal di pondok pesantren. Dari sinilah ketaatan dan penghormatan seorang murid kepada gurunya pada lembaga pendidikan Islam terbentuk.
Lembaga pendidikan Islam formal, diawali dengan berdirinya lembaga yang disebut madarasah. Menurut catatan sejarah “madrasah” mulai didirikan
dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10-11 M. Madrasah yang muncul pertama kali di dunia Islam adalah madrasah al-Nizhamiyah, yang didirikan oleh
Nizham al-Mulk, seorang wazir sultan Maliksyah dari Bani Saljuk 465-485, ia mendirikan dua madrasah yang terkenal dengan nama madrasah al-Nizhamiyah di
Baghdad dan di Naisapur Nizar 2008. Pada masa itu Peradaban keilmuan Islam sedang mengalami puncak. Dalam bidang teologi berkembang berbagai macam
mazhab dan turunan pemikirannya yang meliputi ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf, demikian pula dengan bidang
ilmu pengetahuan lainnya, seperti ilmu filsafat, astronomi, kedokteran, matematika. ilmu hayat , ilmu alam, ilmu sejarah dan ilmu kemasyarakatan
lainnya.
Pada abad ke 15 lahir satu lembaga pendidikan yang disebut “Kutab”. Proses pendidikan kepada masyarakat dilakukan di rumah-rumah, di perpustakaan
atau di istana, sedangkan pengajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar agama diberikan di masjid. Dalam perkembangan selanjutnya, kutab dijadikan sebagai pendidikan
tingkat dasar, sedang Masjid menjadi tempat pendidikan tingkat lanjutan dalam bentuk halaqah Muthiah 2011.
Pada awal perkembangan Islam di pulau Jawa Pendidikan agama Islam dilakukan di masjid-masjid yang didirikan oleh Kyai. Semua pengajaran di
lakukan di Masjid baik untuk belajar baca tulis maupun untuk memahami ilmu- ilmu agama Daulay 2001. Masjid mempunyai dua fungsi yaitu sebagai sebagai
mushola tempat sembahyang dan peribadatan lainnya dan sebagai majlis tempat berkumpul untuk menuntut ilmu. Baru pada perkembangan selanjutnya
kegiatan kegiatan belajar mengajar di lakukan di ruang-ruang terpisah kelas yang disebut madrasah dan dibina oleh guru-guru yang disebut ustadz,
sedangkan masjid digunakan untuk tempat sholat, tadarusan membaca alqur’an, wiridan dan kuliah umum oleh Kyai. Materi yang diajarkanpun hampir
tidak ada perbedaan antara pesantren dengan kutab yang ada di negara-negara Timur Tengah, yaitu sama-sama memberikan pembelajaran tentang moralitas
religius dan hal-hal yang bersifat kemasyarakatan. Sistem Kutab inilah yang nampaknya diadopsi menjadi sistem pendidikan di lingkungan pondok pesantren.
4.3. Tradisi-tradisi diLingkungan Pesantren
Saat ini pondok pesantren telah mengalami perubahan dalam struktur dan organisasinya dibandingkan dengan ketika mulai dirintis beberapa abad yang
lalu.. Secara fisik pesantren nampak mengalami perubahan-perubahan, namun dalam tradisi kepesantrenan tidak banyak mengalami perubahan, bahkan ada
upaya yang semakin sistematik untuk mempertahankannya sebagai rasionalisasi pilihan tindakan untuk mempertahankan eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam yang khas mengawal identitas Islam sebagai rahmatan lil alamin
Pilihan kata “pesantren”
34
bukan kutab atau madrasah untuk menyebut lembaga pendidikan agama Islam saat itu, tidak lepas dari warisan cara berdakwah
methoda penyebaran agama Islam oleh para founding father-Islam di Tanah Jawa yang dikenal sebagai para wali
35
. Dalam penyebaran agama Islam, para wali memanfaatkan kultur lokal termasuk dalam hal ini adalah pemanfaatan bahasa
lokal. Pembahasa-jawaan kaidah-kaidah Islam, menjadikan penyebaran Islam di pulau Jawa bisa diterima oleh masyarakat lokal. Para wali tidak menggerus bahasa
sakral lokal. Bahasa sakral lokal masih dipertahankan agar tidak menimbulkan keasingan bagi masyarakat Jawa pada waktu itu. Istilah lokal tetap digunakan
untuk prosesi-prosesi beribadah, seperti kata “sembahyang” menyembah sang Hyang untuk maksud sholat, “ ngaji” ngajeni; memperhatikan untuk maksud
tadarus’ul qur’an Karim 2007. Hal ini dikuatkan oleh para sejarawan yang berpendapat bahwa Islam sebagai agama datang di tanah Jawa melalui proses
akulturasi. Islam diterima dan diolah ke dalam kebudayaan lokal. Penamaan aktor-aktor Pesantren seperti Kyai dan santri adalah adopsi istilah lokal untuk
mendekatkan Islam pada masyarakat Jawa. Para kyai jawa baik masa lampau maupun saat ini berpendapat bahwa menggunakan istilah lokal bukan sesuatu
yang menyalahi ajaran Islam.
Tradisi pesantren, sebenarnya adalah kekhasan-kekhasan intrinsik yang membuat dirinya berbeda dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Ada kekeliruan
mengartikan “tradisi pesantren”, oleh sebagian masyarakat termasuk oleh para sarjana Barat seperti Steenbrink dan Geertz. Tradisional dikontestasi secara
dikotomis dengan modern. Tradisional bukan hanya dikonotasikan dengan masa lampaunya sebagai lawan dari modern dengan masa kininya. Tradisionalisme
pesantren diartikan dengan puritanisme, ortodok, sempit, eksklusif dan negatif berhadapan dengan modernisme dengan nilai-nilai keterbukaannya yang
dianggap lebih positif.
Tradisionalisme pesantren harus diartikan sebagai tradisi traditio : Bahasa
Latin, yang
bermakna menyampaikan,
menyerahkan untuk
mengamankan, atau mentransmisikan atau sesuatu yang ditransmisikan. atau
34
Sebagian ahli sejarah, mengatakan istilah pesantren itu sendiri bukan diciptakan oleh para ulama, tetapi diciptakan oleh orang lain untuk menyebutkan tempat para ulama mengajarkan pada murid-
muridnya, namun para ulama tidak menolak istilah tersebut. Demikian istilah pesantren merupakan hasil kreasi anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-
Islam. Pesantren merupakan sistem pedidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan asrama dalam khazanah
lembaga pendidikan pra-Islam.
35
Wali yang dimaksud di sini adalah para penyebar agama Islam mula-mula di pulau Jawa, yang terkenal dengan sebutan wali yang sembilan wali songo.
diartikan sebagaimana pengertian dalam kamus bahasa Indonesia, yaitu sebagai sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat. Tradisi
pesantren mengandung
pengertian adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik yang tertulis
maupun lisan. Dengan demikian tradisionalisme pesantren tidak dapat dimaknai sebagai derajat modernisasi melainkan sebuah epistemologi untuk
mempertahankan identitas.
Dari hasil observasi lapangan maupun kajian literatur ditemukan tradisi- tradisi yang tumbuh pada awal-awal kelahiran pesantren dan tetap mempengaruhi
sikap dan perspektif aktor-aktor pesantren hingga saat ini. Tradisi-tradisi tersebut dapat dikategorikan kepada Tradisi kontak budaya, Tradisi pemikiran dan
Tradisi keteraturan sosial
. Tradisi-tradisi tersebut terus ditransmisikan dari generasi ke generasi yang meyebabkan ia mampu bertahan resilience hingga
saat ini. Tadisi kontak budaya adalah cara ulama pesantren menyikapi sistem sosial
yang ada di sekitarnya, termasuk dalam hal ini adalah adat istiadat, nilai budaya, dan semua norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Tradisi pemikiran
adalah cara ulama pesantren mengembangkan pemikiran-pemikiran atau pengambilan keputusan yang menjadi batasan, keabsahan, dan kebenaran
pengambilan keputusan baik untuk hal yang sakral maupun profan. Tradisi keteraturan sosial adalah cara yang digunakan ulama pesantren untuk menjaga
sistem dan moral yang terbentuk dan sebagai alat untuk mentransformasikannya kepada generasi berikutnya. Tradisi-tradisi ini pula yang menjadi indikator apakah
sebuah lembaga pendidikan dapat dikatakan sebagai pondok pesantren atau bukan.
Menurut penulis ada tiga tradisi Pesantren yang merupakan warisan masa lalu pesantren yang terus dipertahankan yang melahirkan wajah pesantren masa
kini. Pertama sikap akulturatif yang merupakan tradisi kontak Budaya, kedua sikap Sufistik yang merupakan tradisi pemikiran dan yang ketiga adalah
kepatuhan sebagai tradisi keteraturan sosial. Ketiga tradisi inilah yang menjadi dasar-dasar kebersinggungan pesantren dengan dinamika sosial, politik maupun
ekonomi eksternal.
Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang latar belakang terbentuknya tradisi-tradisi yang berjalan di lingkungan pesantren.
4.3.1. Akulturatif: Tradisi Kontak Budaya Pesantren
Pondok pesantren, selain sebagai institusi pendidikan Islam tertua, juga memiliki peranan penting dalam mengawal kebudayaan Islam di tanah air.
menurut AzyumardiAzra 1999 sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Akomodasi budaya diperlukan
karena Islam sebagai agama banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain.Kaitan Islam dengan budaya,
paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: pertama, Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan kedua, Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi
budaya oleh para ahli sering disebut dengan great tradition tradisi besar, sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition tradisi
kecil atau local tradition tradisi lokal atau juga Islamicate, bidang-bidang yang