tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah sebagai bagian tak terpisahkan dari aktivitas pesantren. Tarekat tersebut diajarkan pertama kali oleh Kiai Kholil menantu Kiai
Tamim pendiri dan pengasuh Pesantren Rejoso. Kiai Kholil mengambil sanad kemursyidan dari K.H. Achmad Chatib Sambas Majelis Pimpinan Pondok
Pesantren Darul Ulum 1997.
Tarekat qadiriyah wa naqsabandiyah yang berkembang di Pesantren Rejoso berbeda dengan tarekat Qadiriyah dan Naqsaban-diyah di tempat
lain,khususnya dalam pengorganisasiannya. Terdapat beberapa hal yang membedakan antara lain bahwa tarekat yang berkembang di Pesantren Rejoso
tidak mengenal amalan suluk secara khusus dan semata-mata bersifat askestis keakheratan, amalan keduniawian sepenuhnya mengikuti paham ahlus sunnah
wal jamaah, ini yang sedikit membedakan dengan Tarekat qadiriyah wa naqsabandiyah yang dikembangkan oleh di banten. Ajaran dasar tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah menjadikan seseorang agar selalu dekat dengan Allah Subhana-wata ala. Untuk itu seseorang harus dapat mencapai
maqam tertentu dengan latihan-latihan yang teratur dan berkesinambungan. Dalam proses latihan tersebut diperlukan seorang guru Mursyid agar tidak salah
arah. Jika seorang pengikut berhasil menjalankan latihan dengan baik, maka ia akan mencapai maqam tertinggi yakni ma rifat. Latihan yang ditempuh antara lain
melalui zikir secara teratur setiap selesai salat wajib dan pada acara khususiyah tarekat.Seorang yang akan menjadi pengikut tarekat harus menjalani bai’at
dihadapan mursyid. Bai at adalah proses ikrar setia kepada guru mursyid untuk selalu taat dan patuh menjalankan tuntunannya dalam menjalan amalan tarekat.
Acara prosesual bai at merupakan serangkaian pembacaan amalan zikir dan doa yang dipimpin oleh Mursyid Tamim 2001. Setelah di bai at seorang pengikut
tarekat setidaknya harus hadir lagi selama tujuh kali pertemuan dalam acara khususiyah yang dipimpin oleh Mursyid untuk menyempurnakan pemahaman dan
perilaku ritual tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Perkembangan tarekat pada masa Kiai Kholil dari tahun 1895-1937 dari segi jumlah pengikut tidak begitu banyak, hal ini salah satunya disebabkan adanya
persyaratan usia di atas 40 tahun bagi seseorang yang ingin menjadi pengikut. Namun keterbatasan jumlah pengikut tersebut diimbangi dengan keberhasilan
dalam kaderisasi penerus kepemimpinan tarekat, sehingga menjadi pondasi bagi perkembangan
tarekat di
masa-masa berikutnya.
Aspek-aspek yang
mempengaruhi perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah adalah keberadaan pesantren sebagai pusat aktivitas, bersatunya kharisma kiai pesantren
dengan kharisma guru tarekat, dan keberhasilan kaderisasi. Keberadaan Pesantren sebagai pusat aktivitas tarekat sangat menguntungkan perkembangan tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah, karena Mursyid dengan mudah mengadakan konsolidasi dan memperlancar acara-acara khususiyah tarekat. Bersatunya
kharisma kiai dan kharisma Mursyid sangat menunjang perkembangan tarekat, karena menimbulkan rasa ketaatan yang lebih kuat. Seorang kiai memiliki
kharisma yang menimbulkan pengaruh luas di kalangan masyarakat, sedang kharisma seorang mursyid melahirkan ikatan emosional yang melembaga di
kalangan pengikutnya. Dengan demikian tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dapat berkembang di tengah-tengah masyarakat dengan aman.
Keberhasilan pengkaderan adalah aspek yang menentukan perkembangan tarekat di masa-masa berikutnya. Pola hubungan antar pesantren di Jawa Timur
didasarkan atas tiga hal. Pertama hubungan kekerabatan antar kiai, kedua, hubungan guru-murid, dan ketiga hubungan kesejawatan antar santri. Perpaduan
tiga pola hubungan antar pesantren membentuk jaringan di seluruh wilayah Jawa Timur Perpaduan pola tersebut juga memberikan gambaran perkembangan
pesantren secara kuantitatif yakni dalam jumlah dan perluasan penyebaran di wilayah Jawa Timur.
5.2.2. Kyai Muhammad Kholil Bangkalan ; Guru para kyai Jawa Kyai Cholil terlahir pada tanggal 11 Jumadil Tsani 1235H atau 27
Januari 1820M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, yang terletak di ujung barat pulau Madura, Propinsi Jawa
Timur. Dan l wafat pada 29 Ramadhan 1341H atau 14 Mei 1923M pada usia 106 tahun karena usia lanjut Muhammad Rivai. 2010. KH Mustafa Bisri Gus Mus
menyebutnya sebagai guru para kyai Jawa yang kekeramatan atau karamah yang memancar pada diri Kiai Kholil Bangkalan namun lahir dari proses penempaan
diri yang sangat panjang. Semasa hidup, beliau mengenyam pendidikan di pondok pesantren, seperti di Langitan Tuban, Bangil dan Keboncandi Pasuruan, juga
beliau pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah. Selama menjalani masa pendidikannya, baik di Indonesia maupun di Makkah al-
Mukarramah, beliau dikenal tekun, ulet dan juga cerdas. Sehingga tidak heran jika beliau selama nyantri sudah mampu untuk membiayai sendiri hingga sampai
pembiayaan pergi ke Makkah. Tentang biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis pelbagai risalah dan kitab kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab
Alfiah dan menjualnya seharga 200 real perkitab, terkadang memanfaatkan keahliannya menulis khat kaligrafi untuk menghasilkan uang. Semua uang hasil
penulisan risalah dan kitab kemudian dihaturkan kepada gurunya.
Di Makkah, beliau menekuni berbagai macam bidang keagamaan, baik yang bersifat eksoterik ilmu lahiriyah maupun esoterik ilmu batiniyah. Dalam
mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu dhohir eksoterik, seperti tafsir, Hadits, Fikih dan ilmu nahwu, juga mempelajari ilmu
bathin isoterik ke pelbagai guru spiritual. Tercatat guru spiritual Kholil adalahSyaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal
di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah.Biasanya kedua thariqoh ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun
setelah Syaikh Ahmad Khatib, kedua thariqoh ini dipadukan. Didalam berguru, Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas
tulis. Kemudian, setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi. Begitu seterusnya dilakukan selama belajar di Mekkah. Oleh sebab itu pakaian
Kholil semuanya berwarna putih. a. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat sederhana. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah
adalah pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang dikaguminya.
Ketekunanya dalam mempelajari ilmu keagamaan, terutama semenjak belajar di Makkah al-mukarramah membuatnya memiliki berbagai macam
karamah, yakni suatu kekuatan di luar kebiasaan manusia pada umumnya yang dimiliki oleh seseorang karena ketakwaannya terhadap sang pencipta, Allah SWT.
Predikat waliullâh pun disandangnya, dan derajat sufi serta dunia mistik ada pada diri beliau Mokh. Syaiful bakhri 2006.
Secara keilmuan Kiai Khalil, yang sudah menghafal Al-Quran 30 Juz sejak di Indonesia itu, dikenal sebagai ahli fiqih, ilmu alat Gramatikal Bahasa
Arab, pen.
dan tarekat.
Beliau juga
terkenal dengan
kemampuan waskita nya, weruh sak
durunge winarah tahu
sebelum terjadiMukâsyafah. Dalam hal yang terakhir ini nama Kiai Khalil lebih dikenal.
Jejak dan langkah Kiai Khalil kini tetap menjadi monumen yang mengalir hidup melalui perjuangan penerus dan pengikutnya. Di Indonesia terdapat kurang lebih
6.000 pesantren lebih yang terus berkhidmah dalam kehidupan bangsa dan agama. Sebagian besar pengasuh pesantren itu mempunyai sanad persambungan dengan
beliau. Muhammad Hasyim Asy’ari 1871-1947, Kiai Abdul Wahab Hasbullah 1888-1971 Kiai Bisri Syamsuri dan kiai-kiai besar lainnya di Jawa. Padahal
mereka semua adalah murid Kiai Khalil. Artinya kebanyakan kiai yang ada sekarang ini mempunyai sanad sampai ke Kiai Khalil Bangkalan, muara yang
penuh misteri, termasuk Kyai Nawawi Sidogiri. Saifullah maksum1998.
Sebagai seorang ulama besar dan kharismatik, Kiai khalil juga ikut mewarnai dalam proses Islamisasi di pulau Madura. Beliau juga seorang pejuang
kemerdekaan dalam melawan penjajahan kolonial waktu itu. Perjuangan dan pergerakan beliau dalam upaya melawan penjajah tidak dengan pergerakan masa
yang anarkis, namun beliau menggunakan pendekatan diplomatik dengan kaum penjajah. Cara yang ditempuh oleh Kiai Khalil untuk menarik simpati rakyat
Bangkalan dalam melawan penjajah, ialah berbaur dengan masyarakat. Selain melaksanakan visi dan misi utamanya, yaitu menyebarkan agama Islam yang
tidak beliau lakukan didalam pesantrennya saja, namun juga turun ke desa-desa dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat setempat.
Seperti yang terlihat dari jejak langkah peninggalan beliau di desa Telaga Biru, di desa ini mata pencaharian masyarakatnya adalah melaut, sebagai nelayan atau
sebagai saudagar dan pedagang. Di desa itu proses pergaulan yang dibangun Kiai Khalil adalah dengan cara melakukan proses kebersamaan, beradaptasi dengan
para masyarakat pesisir setempat, sampai pada akhirnya Kiai Khalil membuat sebuah perahu layar dengan tujuan perdagangan antar pulau. Beliau mengajarkan
nilai-nilai sosial yang baik dan pendalaman aqidah Islamiyah. Sebagai penganut faham sunni, beliau senantiasa memberikan pengajaran dibidang keagamaan
melalui rujukan kitab-kitab madzhab Syafi’iyyah Abdur Rozaki 2004.
Beberapa ajaran kyai khalil: tentang doktrin sufistik bagi ahli thareqat dan tasawuf. mengatakan bahwa jalan untuk wushul ma’rifat billah bagi para
santri Thariqah adalah dengan cara serius melaksanakan tiga hal berikut. Pertama, engembangkan Dzikir Khafi dzikir samar atau dzikir dalam hati. Caranya
dengan menghadirkan hati secara total senantiasa ingat Allah dalam keadaan apapun. Kedua, muraqabah, yaitu senantiasa berusaha mengejar dan mendekat
kepada Allah. Dalam wukuf di hadrah ilahiyah, santri thareqah mesti senantiasa berharap dengan prasangka baik Khusnudzon terhadap anugerah yang diberikan
Allah.
Dari aspek kesejarahan tidak hadirnya pusat pemerintahan di Wilayah Jawa Timur menyebabkan pola hubungan masyarakat muslim termasuk para
pemimpin keagamaannya tidak kental dengan pemimpin politik lokal. Kepemimpinan berpindah dari yang tadinya kepada para penguasa kerajaan
berpindah kepada para pemimpin agama Islam. Ini pula yang menyebabkan pesantren-pesantren menjadi semacam keraton baru dan kyai sebagai pemimpin
pesantren adalah raja-raja. Demikian pula dengan kerabat kyai, anak-anak kyai sekalipun tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni, karena hubungan darah
dengan kyai memiliki acribed status yang sangat dihormati dengan panggilan “Gus” seperti halnya pangeran di keraton-keraton kerajaan.
Berbeda dengan kasus di Banten, dimana pesantren pada awal perkembangannya merupakan gagasan dan menjadi milik keraton, dimana
seluruh fasilitas diberikan oleh penguasa, di Jawa Timur pesantren-pesantren harus membiayai sendiri tanpa sokongan penguasa. Karena itu Kemandirian
pesantren sudah diawali sejak pesantren mulai dikembangkan di Jawa Timur. Pesantren merasa mampu berdiri tanpa sokongan kekuasaan atau politik negara,
sebaliknya justru pesantren menempatkan posisi sebagai yang dibutuhkan oleh penguasa untuk mendapatkan legitimasi di masyarakat.
Pada saat ini karakteristik masyarakat islam yang kosmopolitan masih dapat dilihat Sebagaimana dikemukakan oleh Ricklefs 2011 Masyarakat Pesisir
utara Jawa Timur menunjukkan beberapa ciri diantaranya corak keagamaannya cenderung Islam puritan, sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur kata yang
digunakan cenderung menggunakan bahasa ngoko, Keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, , dan mobilitasnya cukup tinggi. Di samping itu cara hidup
orang Jawa Pesisir cenderung boros dan menyukai kemewahan. Dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit.
Corak berkehidupan sosialnya cenderung egaliter. Mereka lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti kyai daripada pejabat pemerintah. Selain
dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor alam. Masyarakat pesisir jawa timur juga bersifat santun dan hangat tapi juga bisa
tegas dan keras, bersahaja tapi juga gigih dan ulet. Selain itu dalam penelitiannya menyebutkan Kreativitas masyarakat pesisir jawa Timur sejak zaman dahulu telah
terbukti dapat menghasilkan alternatif-alternatif yang dapat menggerakkan perekonomian di tengah keterbatasan alam. Kegigihan dalam bekerja keras juga
ditunjukkan masyarakat pesisir yang bekerja pada bidang perikanan. Misalnya, para nelayan memiliki falsafah: asapok angen abental ombek berselimut angin
berbantal ombak yang memiliki arti bahwa mereka para nelayan memiliki sifat pantang lelah dan berputus asa dalam berusaha atau bekerja. Begitu juga dengan
para pedagang dan perantaunya yang sangat dikenal dengan keuletan dan kreativitasnya.
Sekalipun ada kemiripan antara pesantren-pesantren di Banten dengan pesantren di Jawa Timur namun juga ada perbedaan-perbedaan karakteristik yang
cukup kuat. Baik di Banten maupun di Jawa Timur hampir semua pesantren mendalami tasawuf, karakteristik tasawuf ini yang menjadikan pesantren di kedua
wilayah ini bersifat terbuka. Pesantren bukanlah lembaga ekslusif yang tertutup dari dunia luar, justru menjadi bagian dari masyarakat sekelilingnya. Hal ini
sejalan dengan pemikiran sufistik Ghazalian “Tidak ada yang lebih merusak, lebih melukai dan lebih mengancam tatanan daripada isolasi dan ketidakterbukaan
terhadap masyarakat.” Perbedaan adalah pada bentuk ekspresi kemandirian. Jika Sejarah pesantren di banten menunjukkan bahwa inisiatif pesantren diawali oleh
hadirnya kekuasaan, sehingga kelekatan pesantren sebagai bagian afirmatif dari kekuasaan cukup membekas. Agak berbeda dengan pesantren Jawa Timur yang
cenderung lebih mandiri dan memiliki bargain politik terhadap penguasa. Disamping itu Pesantren jawa Timur adalah warisan dari pedagang-pedagang
masa lampau, sehingga karakter pedagang yang mandiri dan bisa memanfaatkan peluang cukup kental. Berbeda dengan pesantren banten yang melahirkan varian
pesantren kanuragan, di Jawa Timur muncul varian pesantren saudagar. Baik pesantren kanuragan maupun pesantren saudagar, keduanya memiliki keterkaitan
dengan rasionalitas sufisme yang sama yaitu rasionalitas sufisme al Ghazali ghazalian yang dijembatani oleh sufisme Nawawi al Bantani, dan di jawa Timur
refleksikan sufisme pesantren merujuk kepada Kyai Muhammad Kholil Bangkalan.
5.2.3. Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur: Toko di
Rumah Sufi
5.2.3.1. Sejarah dan pendiri PP. Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri pertama kali dibuka oleh seorang Sayyid
54
dari Cirebon Jawa Barat bernama Sayyid Sulaiman dengan cara membabat hutan bersama salah seorang muridnya yang dibawa dari Cirebon. Beliau adalah
keturunan Rasulullah dari marga Basyaiban. Ayahnya, Sayyid Abdurrahman, adalah seorang perantau dari Hadramaut Yaman. Sedangkan ibunya, Syarifah
Khodijah, adalah keturunan Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati ada yang mengatakan cucunya. Dengan demikian, dari garis ibu, Sayyid Sulaiman
merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati. Sayyid Sulaiman membabat dan mendirikan pondok pesantren di Sidogiri dengan dibantu oleh Kiai Aminullah.
Kiai Aminullah adalah santri sekaligus menantu Sayyid Sulaiman yang berasal dari Pulau Bawean. Konon pembabatan Sidogiri dilakukan selama 40 hari. Saat
itu Sidogiri masih berupa hutan belantara yang tak terjamah manusia dan dihuni oleh banyak makhluk halus. Sidogiri dipilih untuk dibabat dan dijadikan pondok
pesantren karena diyakini tanahnya baik dan berbarakah. Terdapat dua versi tentang tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri yaitu 1718 atau 1745. Dalam
suatu catatan yang ditulis Panca Warga tahun 1963 disebutkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri didirikan tahun 1718. Catatan itu ditandatangani oleh
Almaghfurlahum KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, dan KA Sa’doellah Nawawie pada 29 Oktober 1963. Dalam surat lain tahun 1971 yang
ditandatangani oleh KA Sa’doellah Nawawie, tertulis bahwa tahun tersebut 1971 merupakan hari ulang tahun Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-226. Dari sini
disimpulkan bahwa Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1745. Dalam kenyataannya, versi terakhir inilah yang dijadikan patokan hari ulang
tahunikhtibar Pondok Pesantren Sidogiri setiap akhir tahun pelajaran.
Selama beberapa masa, pengelolaan Pondok Pesantren Sidogiri dipegang oleh kiai yang menjadi Pengasuh saja. Kemudian pada masa kepengasuhan KH
Cholil Nawawie, adik beliau KH Hasani Nawawie mengusulkan agar dibentuk wadah permusyawaratan keluarga, yang dapat membantu tugas-tugas Pengasuh.
Setelah usul itu diterima dan disepakati, maka dibentuklah satu wadah yang diberi nama “Panca Warga. Panca WargaAnggotanya adalah lima putra laki-laki KH
54
Istilah sayyid, adalah istilah penghormatan kepada seseorang karena keshalehan atau karena keagaamaan.
Nawawie bin Noerhasan, yakni: KH Noerhasan Nawawie wafat 1967. KH Cholil Nawawie wafat 1978.KH Siradj Nawawie wafat 1988.KA Sa’doellah
Nawawie wafat 1972.KH Hasani Nawawie wafat 2001.Dalam pernyataan bersamanya, kelima putra Kiai Nawawie ini merasa berkewajiban untuk
melestarikan keberadaan Pondok Pesantren Sidogiri, dan bertanggung jawab untuk mempertahankan asas dan ideologi Pondok Pesantren Sidogiri.
Setelah tiga anggota Panca Warga wafat, KH Siradj Nawawie mempunyai gagasan untuk membentuk wadah baru. Maka dibentuklah organisasi
pengganti yang diberi nama “Majelis Keluarga”, dengan anggota terdiri dari cucu- cucu laki-laki KH Nawawie bin Noerhasan. Rais Majelis Keluarga pertama
sekaligus Pengasuh adalah KH Abd Alim Abd Djalil. Sedangkan KH Siradj Nawawie
dan KH
Hasani Nawawie
sebagai Penasehat.
Anggota Majelis Keluarga saat ini adalah: KH A Nawawi Abd. Djalil
RaisPengasuh. d. Nawawy Sadoellah Katib dan Anggota. KH Fuad Noerhasan Anggota. KH Abdullah Syaukat Siradj Anggota. KH Abd Karim Thoyib
Anggota. H Bahruddin Thoyyib Anggota
5.2.3.2. Kekhususan pengetahuan PP. Sidogiri Mengacu pada bidang kekhususan pengetahuan pesantren yang dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu 1 Pondok pesantren tasawuf yaitu jenis pesantren yang pada umumnya mengajarkan pada santrinya untuk selalu menghambakan diri
kepada Allah sang pencipta, dan banyak bermunajat kepada-Nya. 2 Pondok pesantren Fiqh yaitu jenis pesantren yang pada umumnya lebih menekankan
kepada santri untuk menguasai ilmu fiqih atau hukum Islam, sehingga diharapkan santri lulusannya dapat menyelesaikan permasalahan hidup berdasarkan hukum
Islam. 3 Pondok pesantren alat yaitu jenis pesantren yang pada umumnya lebih mengutamakan pengajaran tentang gramatika bahasa Arab dan pengetahuan
filologis dan etimologis, dengan pelajaran utama Nahwu dan Syorof. Pondok Pesantren Sidogiri PP. Sidogiri tidak bisa dikatakan sebagai pesantren dengan
kekhususan pengetahuan. Ketiga bidang pengetahuan di pesantren yaitu Tasawuf, fiqih, maupun alat dipelajari. Pengajaran disampaikan sesuai dengan tingkatan
santri yang ada.
Hal ini berbeda dengan PP. Roudatul Ulum Cidahu Banten yang mengkhsusukan sebagai pesantren Tasawuf. Jika pesantren PP. Roudatul hanya
menerima santri yang sudah dewasa atau untuk pendidikan lanjutan, PP. Sidogiri sidogiri menampung santri dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi.
5.2.3.3. Klasifikasi dari Pola Pengajaran PP. Sidogiri.
klasisifikasi pola pengajaran diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu: 1 pesantren tradisional salafiyah yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu
agama saja kepada para santri. yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M
dengan menggunakan bahasa Arab. 2 pesantren modern kalafiyah yaitu pondok pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem klasikal
dan sekolah ke dalam pondok pesantren.Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang hanya sekedar pelengkap, tetapi berubah menjadi
mata pelajaran atau bidang studi, karenanya pemahaman terhadap kitab kuning kurang mendalam. 3 pesantren komprehensif yaitu pondok pesantren yang
menggabungkan sistem pendidikan dan pengajaran antara yang tradisional dan yang modern.
PP. Sidogiri, satu sisi merupakan pesantren salafiyah yaitu mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri dan tetap mempertahankan bentuk
aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab. Tetapi dari sisi sistem dan jenjang
menyerupai pesantren kalafiyah dimana dimasukannya sistem klasikal dan penjejnajangan ke dalam sistem pondok.
Secara umum, kegiatan pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri terbagi menjadi dua bagian; pendidikan madrosiyah diniyah-klasikal, dan pendidikan
ma’hadiyah luar madrasah-non klasikal berupa Kuliah Syariah. Pendidikan madrasah bernama Madrasah Miftahul Ulum MMU. Kurikulum yang dipakai
adalah kurikulum klasik diniyah berupa kitab kuning yang biasa dipakai di berbagai pesantren pada umumnya, dan diramu dengan metode yang relevan serta
tidak meninggalkan makna ala-jawa guna menentukan kedudukan nahwiyah dan sharraf-nya, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Madrasah Miftahul Ulum ini dibagi menjadi empat tingkat: Sifir satu tahun, Ibtidaiyah enam tahun. Kegiatan belajar mengajarnya dilaksanakan di
pagi hari. Sebelum memasuki kelas 5 Ibtidaiyah, para santri harus meyelesaikan program idadiyah. Tsanawiyah tiga tahun, Aliyah Tarbiyatul Muallimin tiga
tahun, dilaksanakan di sore hari. Di samping itu, masih ada jenjang pendidikan persiapan yang diberi nama Isti’dadiyah. Jenjang ini menggunakan program
khusus dan diselesaikan hanya dalam waktu 1 tahun.Mengingat animo masyarakat yang begitu tinggi untuk belajar di PP.Sidogiri, sementara fasilitas di PP.Sidogiri
memiliki keterbatasan. PP.Sidogiri membangun kerjasama dengan masyarakat sekitar pesantren untuk bersama-sama menyelenggarakan Kegiatan belajar
mengajar yang disebut Program madrasah LPPS Luar Pondok Pesantren Sidogiri. Madrasah LPPS memiliki jenjang yang sama dan materi pengajaran
yang sama seperti apa yang dilakukan di PP.Sidogiri.
Kuliah Syariah di Ponpes Sidogiri bukan sebuah fakultas Syariah seperti yang biasa kita kenal. Kuliah Syariah adalah salah satu lembaga yang memiliki
orientasi pendalaman
dan pengembangan
pengetahuan agama
secara komprehensif. Keanggotaan lembaga ini terdiri dari santri-santri senior Santri
yang telah menyelesaikan tugas mengajar dan santri baru yang dinyatakan lulus tes masuk Kuliah. Lembaga ini diharapkan menjadi salah satu penggerak
pendidikan pesantren di luar madrasah. Aktivitas utama anggota Kuliah Syariah setiap harinya adalah mengikuti pengajian kitab yang diasuh oleh pengasuh
kyai, diskusi kitab dan pengembangan budaya tulis-menulis.Bidang Kegiatan Kuliah Syariah memiliki beberapa lembaga di bawahnya. Yaitu; LPSI Lembaga
Penelitian dan Studi Islam dan LMF Lajnah Muraja’ah Fiqhiyah., Takhashshush Fiqh, Bahtsul Masail Wustha BMW.
LPSI Lembaga Penelitian dan Studi Islam mempunyai program menerbitkan bulletin mingguan Istinbat. Hingga saat ini, Istinbat terbit pertama
kali tahun 2011 telah terbit lebih dari 100 edisi dan telah didistribusikan di berbagai kota di Jawa Timur, Jakarta dan Kalimantan dengan jumlah 2000 lembar
lebih
setiap edisi.
LMF Lajnah Muraja’ah Fiqhiyah berfungsi sebagai konsultan hukum fiqih.
Semua permasalahan hukum Islam, baik yang dikirim oleh santri atau yang oleh masyarakat akan dibahas oleh anggota LMF setiap malam, dari pukul 22.00
sampai 23.30 wis. Hasil rumusan jawabannya akan dikirim kepada penanya dan kemudian dikumpulkan dalam satu buku bernama Muraja’ah al-Tholabah. Pada
akhir tahun pelajaran 1424, LMF sedang menyelesaikan penyusunan Muraja’ah al-Tholabah juz VII. Takhashshush Fiqh Program kekhususan Ilmu Fikih
program merupakan sebuah pendidikan khusus ilmu fiqh dengan segala aspek yang terkait. Program ini dibuka pada 1 Rabiul Akhir 14243 Mei
2003.selanjutnya, Kuliah Syariah diharapkan bisa mengembangkan program kekhususan dengan segala khazanah keislaman. Kegiatan lain Kuliah Syariah
berupa kursus ilmu falak, ilmu faraidl, manasik haji, Bahtsul Masail Wustha BMW. BMW adalah diskusi antar pesantren untuk membahas persoalan-
persoalan
kemasyarakatan dalam
kacamata agama.
BMW dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Untuk BMW pertama, Kuliah Syariah mengundang berbagai pesantren di Jawa dan Madura untuk menjadi
pembahas.sedangkan, untuk yang kedua, mengundang alumnus Pondok Pesantren Sidogiri.
Untuk kursus ilmu falak, Kuliah Syariah setiap tahunnya rutin mengadakan pelatihan ru’yatul hilal bil fi’l di Tanjung Kodok Lamongan. Kuliah Syariah juga
rutin mengadakan seminar keislaman. Pada tahun 2015, tema yang diangkat adalah “Urgensi Sains dalam Tafsir al-Qur’an”, dengan nara sumber KH. Malik
Madani, MA dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Wakil Rais Syuriyah PWNU DIY, dan Dr. Djamaluddin Miri, LC dan Drs. Sja’roni Muntaha, M. Ag. dari
IAIN Sunan Ampel Surabaya
5.2.3.4. Sarana dan Prasarana di PP.Sidogiri Asrama pemukiman santri terbagi dalam beberapa blok yang disebut
Daerah. Masing-masing daerah terdiri atas beberapa kamar.Hingga saat ini, ada 14 daerah A sampai L, dan Z plus asrama khusus anak-anak yatim dengan jumlah
total 276 kamar. Semua asrama daerah terletak di lingkungan PPS desa Sidogiri kecuali asrama khusus yatim Dairul Aitam yang terletak di
Surabaya. Di antara 14 asrama tersebut, ada empat daerah yang bersifat khusus. Daerah J khusus santri kelas tiga Ibtidaiyah dan Isti’dadiyah ke bawah. Daerah K
dan L adalah asrama khusus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Sedang daerah Z hanya dihuni oleh santri yang menjadi petugas kopontren. Sedang Darul Aitam
yang berada di Jl. Bonowati I25 Surabaya khusus menampung anak-anak yatim.
Setiap daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan dibantu oleh beberapa pembantu urusan baur. Setiap kamar
dipimpin oleh seorang kepala kamar, yang bertugas menjadi pimpinan dari semua kegiatan dalam kamar dan berwenang mengajukan izin warga kamarnya yang
sakit atau hendak pulang, kepada Pungurus PPS. Selain fasilitas belajar mengajar disediakan pula fasilitas klinik, Ruang perpustakaan, ruang penerimaan tamu.
Kemandirian sebagai prinsip dasar Pondok Pesantren Sidogiri PPS perlu didukung kekuatan finansial yang kuat. Koperasi Pondok Pesantren
Kopontren Sidogiri, sejak kali pertama dirintis oleh KA. Sadoellah Nawawie pada tahun 1961 M., dapat mengambil peran sebagai sumber penyokong
keuangan utama di PPS. Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 70 subsidi biaya operasional pendidikan di PPS disokong oleh SHU Sisa Hasil Usaha
Kopontren. Manfaat riil Kopontren Sidogiri juga dapat dirasakan oleh alumni dan masyarakat umum. Keberadaan cabang Kopontren di sebuah daerah misalnya,
secara tidak langsung turut meningkatkan perekonimian di daerah tersebut. Selain itu, Kopontren Sidogiri menjadi salah satu sarana bagi santri untuk mengamalkan
fikih muamalah. Melalui Kopontren, konsep ekonomi syariah dalam kitab- kitab fikih dapat diimplementasikan secara nyata di tengah masyarakat. Di awal
berdirinya, Kopontren Sidogiri hanya berupa kedai makanan dan toko kelontong, dengan santri sebagai pelanggan. Waktu berganti, Kopontren Sidogiri terus
tumbuh pesat. Saat ini, Kopontren memiliki 36 cabang yang tersebar di Jawa Timur. Jenis usaha yang dikembangkan pun beragam, dengan empat klasifikasi
utama: ritel dan grosir, layanan jasa, penyerapan produk Usaha Kecil dan Menengah UKM, serta industri dan manufaktur. Kopontren Sidogiri resmi
berbadan hukum sejak tanggal 15 Juli 1997. Semenjak itu, kopontren Sidogiri dikelola oleh tenaga-tenaga ahli, dengan manajemen yang profesional.
Disamping lembaga ekonomi internal berupa kopontren sidogiri, PP.Sidogiri memiliki aliansi strategik dengan lembaga ekonomi diberi nama
Koperasi BMT UGT Sidogiri, yaitu lembaga alumni yang berafiliasi dengan pondok pesantren Sidogiri. Koperasi BMT UGT Urusan Guru Tugas Sidogiri,
adalah lembaga keuangan yang didirikan oleh para alumni yang menjalankan Urusan Guru Tugas, yaitu tugas profesi para alumni untuk mengajar agama di
daerah-daerah. Para guru alumni ini menghimpun dana dalam koperasi dan selanjutnya menggulirkannya pada sesama alumni pesantren Sidogiri. BMT UGT
Sidogiri adalah lembaga keuangan simpan pinjam dengan cara-cara syariah Islam. Pada Rapat Anggota Tahun 2014, tercatat omset Koperasi BMT UGT Sidogiri
adalah sebesar 6,37 Triliun dengan aktiva tetap sebesar 1.069 triliun. Aktivitas ekonomi progresif dari Kopontren sidogiri dan afiliasi ekonomi koperasi BMT
UGT Sidogiri, menjadikan aktivitas ekonomi pondok pesantren Sidogiri dijuluki sebagai pesantren berwajah modern namun tetap dengan ruh tradisonal.
5.2.3.5. Jumlah Santri di PP.Sidogiri Berbeda dengan PP, Roudatul Ulum di Cidahu Banten yang tidak
memiliki catatan yang akurat mengenai jumlah santri. PP. Sidogiri telah memiliki manajemen santri yang sangat baik. Santri di PP. Sidogiri dibagi menjadi dua
yaitu santri mondok dan santri kalong. Santri mondok adalah santri yang tinggal di asrama yang disiapkan oleh PP.Sidogiri. mereka hanya boleh pulang setahun
sekali yaitu pada akhir tahun ajaran yaitu di akhir bulan Ramadhan. Liburan di berikan selama 40 hari. Kedua adalah santri kalong yaitu santri yang mengikuti
program santri LPPS Luar Pondok Pesantren Sidogiri mereka tinggal di rumah masing-masing, tempat belajar mereka pun di luar pondok PP.Sidogiri. Sesekali
mereka mengikuti kegiatan bersama dengan santri mondok. Berdasarkan data sekretariat PP.Sidogiri, saat ini jumlah santri PP.Sidogiri adalah 2015:
Idadiyah: 2.258PPS, 5LPPS. Istidadiyah: 238PPS, 12 LPPS, Ibtidaiyah: 1. 024 PPS, 20LPPS, Tsanawiyah: 1.909 PPS 235LPPS, Aliyah : 720PPS,
140 LPPS, Kuliah Syariah: 229. Guru TugasDai : 599PPS, 31 LPPS, Tugas kepengurusan: 14. Tugas Belajar: 27 PPS 1LPPS, total keseluruhan adalah
7.462 santri.
BAB VI. RELASI SOSIAL POLITIK PESANTREN
6.1. Relasi Politik Pesantren
Dengan mengambil sampel dua pesantren, yaitu pondok pesantren Roudatul Ulum PP. Roudlatul Ulum di Cidahu Banten dan pondok pesantren
Sidogiri PP.Sidogiri di Pasuruan Jawa Timur diulas mengenai kebersinggungan pesantren dengan dinamika sosial dan politik. Penjelasan di bawah ini dibahas
seputar : isu-isu politik apa yang terkait dengan pesantren. Sejauh mana kekuasaan politis negara menciptakan kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan pesantren. Produk-produk politis apa yang telah dikeluarkan oleh negara. Untuk apa dan siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam relasi politik antara
pesantren dan Negara. Pada penjelasan di bawah ini juga dibahas kebersinggungan pesantren dengan masyarakat. Penjelasan berisi seputar
pandangan dan keinginan masyarakat terhadap pesantren. Kedua penjelasan tersebut untuk melihat kebijakan negara yang bersifat struktural dan produk
sosial masyarakat yang lebih bersifat kultural.
Selanjutnya dijelaskan seperti apa respon pesantren terhadap kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan oleh negara maupun terhadap produk-produk sosial
yang ada di masyarakat. Respon pesantren yang dimaksud dalam bab. 6 ini, lebih menekankan kepada sikap-sikap kyai sebagai pemimpin pesantren menyikapi
kebijakan struktural maupun produk sosial kultural. Dijelaskan pula dampak dari kebijakan struktural yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun produk sosial
terhadap ruang-ruang ekonomi pesantren.
6.1.1 Relasi Politik Pesantren di masa Penjajahan Belanda: konflik
dan kecurigaan
Dari catatan sejarah yang ada pemerintah penjajah Belanda menerapkan beberapa kebijakan politik terhadap masyarakat pesantren. Pada abad 19
pemerintah penjajah Belanda melakukan aksi-aksi intelejen pada pesantren yang dipimpin oleh kyai. Pemerintah penjajah Belanda mengeluarkan : Surat Edaran
Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361A termuat dalam Bijblad No. 1253 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang
pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang jumat dan wakaf.
Kyai dan pesantren dicurigai sebagai sumber gerakan makar melawan pemerintah. Tindakan tersebut cukup beralasan dengan melihat pemberontakan-
pemberontakan pribumi pada abad 19 yang didalamnya ada peran para kyai. Pemberontakan tersebut diantaranya adalah pemberontakan di Pandeglang tahun
1811 yang dipimpin oleh KH. Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850 dan juga peristiwa Usup tahun 1851 Sartono
Kartodirdjo. 1966. Kyai-kyai yang jadi pemimpin pemberontakan kebanyakan adalah mereka yang baru pulang berhaji di Mekkah. Untuk itu pemerintah
kolonial pada tahun 1825, 1831, dan terakhir pada tahun 1859 mengeluarkan beragam aturan ordonnantie yang dimaksudkan untuk membatasi aktivitas
keagamaan Islam yang dilakukan oleh kelompok kyai. Ordonantie tersebut diantaranya adalah yang mengatur keberangkatan haji dan ordonantie untuk
memonitor aktivitas dari para haji yang telah kembali ke tanah air Suminto 1996.
Keluarnya beragam aturan ordonnantie menambah kecurigaan para masyarakat santri kepada Pemerintah Kolonial. Pemerintah Kolonial Belanda
dianggap akan melakukan de-islamisasi dan akan menyebarkan aliran kafir yang merusak tatanan kepercayaan umat Islam. Sikap saling curiga justru menunjukkan
revivalisme agama, yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan yang luar biasa dalam aktivitas-aktivitas keagamaan, seperti ketaatan sholat lima waktu, naik haji,
penggemblengan pendidikan Islam tradisional kepada pemuda, pendirian cabang- cabang tarekat, penyebarluasan para dai dan seabagainya. Dorongan revivalisme
keagamaan bersama-sama dengan kesadaran Muslim akan potensi kelangkaan ulama karena banyak dari mereka yang terbunuh dalam pemberontakan-
pemberontakan menjadi motivasi tambahan bagi keluarga-keluarga Muslim yang kaya untuk mengirimkan anak-anak mereka ke pusat-pusat belajar Islam di Timur
Tengah Abaza 1999.
Sampai dengan tahun 1888 Pemerintah penjajah Belanda tetap dengan tindakan represifnya terhadap masyarakat pesantren. Kebijakan ini terbukti tidak
bisa meredam kegiatan para kyai, justru memunculkan gejolak sosial yang berakhir pada konflik fisik seperti kasus Pungut tahun 1862, kasus Kolelet
tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh KH. Wasid bersama KH. Asnawi.
Peristiwa Geger Cilegon menjadi momentum bagi Pemerintah penjajah Belanda untuk merubah kebijakan politiknya terhadap masyarakat santri. Berbeda dengan
kasus-kasus sebelumnya Geger Cilegon menciptakan dimensi pemberontakan yang lebih luas, pemberontakan bukan hanya melibatkan masyarakat santri tetapi
juga masyarakat petani dan nelayan. Isu yang diusungnya pun bukan saja masalah agama tetapi meluas ke isu-isu ekonomi dan sosial lainnya. Ahmad Mansyur
Suryanegara 1996.
kasus Geger Cilegon berdampak kepada terciptanya jaringan pesantren yang semakin luas ke desa-desa. Dengan mengusung isu-isu di luar agama untuk
memberontak kepada pemerintah, petani merasa bahwa kyai menjadi pembela kepentingan mereka. Petani menunjukkan ketertarikannya dengan gerakan-
gerakan kyai. Anak-anak petani banyak yang dikirim ke pesantren. Setelah lulus dari pesantren mereka kembali ke desa masing-masing untuk membuka langgar.
55
Sejak saat itulah di Banten mulai muncul Ustadz atau da’i dari kalangan masyarakat petani biasa bukan dari kalangan priyayi. Langar-langar menjadi
cabang dari pesantren tempat mereka “nyantren”. Banyak diantara mereka kemudian dipanggil dengan gelar ajengan, sekalipun mereka bukan dari kalangan
feodal keturunan kesultanan Banten. Kemudian hari banyak dari mereka yang menjadi tokoh-tokoh masyarakat. Pendidikan pesantren terbukti berhasil
menciptakan kelas baru di masyarakat pedesaan.
55
Bisa dilihat :Hasan Muarif hambaly, Halwary Michrob. On the role of Kiyai Haji Wasyid and other freedom strugglers of Banten against Dutch colonialism in Kabupaten Serang, Jawa Barat;
proceedings of a seminar.
Pemerintah penjajah Belanda, dengan sikap represifnya terbukti gagal meredam pengaruh sosial politik kyai. Sejak 1889 pemerintah penjajah Belanda
merubah taktik untuk menghadapi ulama dan umat Islam. Perubahan kebijaksanaan politik ini diletakkan dasarnya oleh Prof. Dr. Snouck Hurgronje,
yang diangkat sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken. Snouck Hurgronje menyusun rekomendasinya dari hasil risetnya baik selama di Makkah maupun di
Aceh. Ia mengakui bahwa ulama dan santri merupakan kelompok kecil yang sangat mempengaruhi pandangan politik rakyat dan raja-raja atau sultan-sultan di
Indonesia. Dari diagnosisnya Hurgronje menyusun rekomendasi yaitu Dutch Islamic Policy. Menurutnya, para kyai dan para santrinya tidak harus dipandang
sebagai kelompok musuh yang berbahaya, sekalipun mereka berada di desa-desa dekat dengan para petani dan mempunyai peran mempengaruhi psikologi massa di
pedesaan. Mereka menjadi bahaya jika diberi kesempatan memahami politik dan diberi akses politik, untuk itu perlu diciptakan diagnosis “Menciptakan ulama dan
santri di desa-desa menjadi tuna politik depolitisasi” . Pemerintah tidak perlu takut kepada ulama dan santri, asal mereka dijauhkan dari propaganda politik,
baik dari kegiatan politik dalam negeri maupun luar negeri. Untuk merealisasikan diagnosis tersebut, Hurgronje menganjurkan supaya pemerintahan menjalankan
dwikebijaksanaan twin policies, yakni menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melancarkan
kegiatan politik dan militer. Pemerintah penjajahan Belanda seolah memberi ruang kepada ulama untuk mengembangkan pengajaran-pengajaran di desa,
namun pemerintah melakukan kontrol dengan ordonansi ketertiban sosial Ahmad Mansyur Suryanegara 1996.
Era 1930-an merupakan puncak penjajahan Belanda. Masa itu adalah masa pemberangusan pergerakan politik praktis. Kalangan nasionalis banyak
beralih kepada isu pendidikan. Melalui pendidikan, kalangan nasionalis membangun imajinasi politik baru. Mereka merengkuh dan merangkul kembali
pesantren. Padahal sebelumnya di masa-masa awal berdirinya Boedi Oetomo, pesantren sempat dicurigai dan dijadikan obyek pengawasan. Hal ini menurut
Ahmad Baso 2012 dapat dimaklumi mengingat banyak anggota Boedi Oetomo yang merupakan kader-kader Belanda. Goenawan Mangoenkoesoemo misalnya
pernah mengusulkan dalam Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta pada 1930 untuk membuat program pengawasan pesantren. Usulan ini kemudian ditolak oleh
peserta kongres berkat keberatan yang disampaikan Soetomo. Soetomo termasuk salah seorang pendiri Boedi Oetomo hasil didikan sekolah modern Barat yang
gigih mengangkat pesantren dan menghargainya sederajat bahkan melebihi kualitas sekolah modern. Baginya, pesantren bukan hanya khusus untuk masa
lalu, tapi juga bisa hadir dan berperan di masa kini hingga masa depan. Berikut penuturannya.
Pesantren dan pondoknja memberi pengadjaran lahir-batin bagi moerid- moeridnja. Pengadjaran dan pendidikan jang diberikan itoe joega jang
didjalankan di sekolah-sekolah modern, dipakai sehari-hari di dalam prijaji dan pegawai peroesahaan asing, akan tetapi ketjewanya, tidak
pesantren itoe. Karena pemoeda-pemoeda dari golongan apa sadja mempujai persatoean
di dalam mentjari dan mendapatnja bekal goena hodoepnja, oleh karena itoe, sikap rohaninja anggota masjarakat kita pada masa poerbakala itu
adalah tiada begitoe bertjerai berai. Sedang sang Kyai sebagai goeroe dan pemegang obor jang menerangi doenia lahir dan gaib mempoenjai
pengaroeh jang besar, agar soepaja masing-masing golongan anggota masjarakat kita dapatlah hidoep dengan tenteram dan damai…
Sekolah setjara Barat jang diberikan kepada kita dapat mentjoekooepi kepandaian bagi mereka jang soeka bekerja sebagai member kesempatan
goena mentjerdaskan mengolah sekalian tabiat jang berhoeboengan dengan boedi ataoe keperloean soekma, sedang keboedajaan kita tidak
ataoe sedikit sekali diperhatikannja. Karena itoelah, pemoeda-pemoeda hasil sekolahan ini kebanjakan
mempunjai sifat loba logstisch-materialistisch, dan kegemarannja akan bekerdja merdeka kian lama kian berkoerang-koerang semangatnja…
Karena sang malaise ini dengan akibat penoetoepan beberapa matjam sekolahan bagi kita dengan menoerangkan pengaruh Barat, ada member
kesempatan bagi kita goena mengatoer dan membentoek oedjoed masjarakat kita jang sesoeai dengan tjita-tjita, kemaoean dan kekoeatan
kita… Soetomo dalam Baso, 2012: 21-22.
Soetomo menampilkan secara kontras antara sistem pesantren pendidikan dan sistem pendidikan Barat di dalam penuturannya di atas. Setelah
menimbang kelebihan dan kekurangan kedua sistem pendidikan tersebut, akhirnya Soetomo menjatuhkan pilihannya pada sistem pendidikan pesantren.
6.1.1.1 Kelas Menengah pada Era kolonial,Bangkitnya Kesadaran Masyarakat Pesantren
Berdasarkan cacatan sejarah diketahui bahwa wilayah Hindia Belanda Indonesia pada era awal abad ke-20 erat kaitannya dengan kaum pergerakan
akibat munculnya golongan pengusaha dan golongan intelektual di kalangan kaum pribumi. Kemunculan kedua golongan tersebut memang tidak dapat
dipisahkan, dan merekalah yang memotori pergerakan. Sementara itu, timbulnya pergerakan di kalangan mereka secara umum sebenarnya merupakan akumulasi
dari jawaban atas kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang telah lama tidak pernah memihak pada kaum pribumi. Pada permulaan abad ini, telah timbul suatu
rasa kesadaran yang terus berkembang, yaitu kesadaran terhadap situasi yang terbelakang sebagai hasil dari kolonialisme. Perlakuan diskriminatif, telah
menyadarkan rakyat dan khususnya bagi kedua golongan tersebut atas keadaan yang terjajah ini Miftahuddin 2016.
Kedua golongan tersebut merupakan kelompok kelas menengah yang muncul diantaranya adalah berkembangnya pendidikan di Hindia Belanda saat itu.
Kelas terpelajar itu sendiri dapat dikelopmpokkan pada kelas terpelajar yang dihasilkan oleh pendidikan moderen yang dibangun oleh pemerintah kolonial,
maupun yang bersifat swakarsa seperti mereka-merka yang belajar agama di luar negeri. Menurutt Sartono 1999 karakter yang terdapat pada golongan menengah
atau golongan intelektual pada era ini. Pergerakan mereka dilandasi oleh keresahan atas kondisi yang ada, yaitu kondisi di mana kehidupan kaum pribumi
yang terbelakang dalam berbagai hal, setatus yang rendah bila dibandingkan dengan golongan Eropa, terjadi diskriminasi antara pribumi dan Belanda, dan
sebagainya. Oleh karena itu, wajar apabila kondisi semacam ini mendorong kedua golongan tersebut untuk mengadakan gerakan dengan tujuan ingin mencapai
kemajuan, mengikuti perkembangan zaman, meningkatkan taraf hidup, memperluas
kesempatan menuntut
pendidikan, dan
pendeknya ide
mengemansipasikan diri. kelas atau golongan menengah pribumi awal abad ke- 20 di wilayah
Hindia Belanda tentu saja tidak terlepas dari pembicaraan golongan intelektual baru kaum terpelajar atau priyayi profesional dan golongan pengusaha, karena
dapat dikatakan bahwa kedua golongan itu muncul hampir bersamaan Van Der Kroef 1954, Jadi, kemunculan kedua golongan tersebut merupakan fenomena
awal abad ke-20. Sebagaimana disebutkan bahwa pada awal abad ke-20 di kebanyakan kota Hindia Indonesia telah terjadi kebangkiatan golongan burjois
pribumi. Kelas baru ini berasal dari kaum pengusaha dan cendikiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota. Perlu ditegaskan bahwa di sini yang
kemudian dapat disebut sebagai golongan menengah pribumi dari kalangan pengusaha adalah mereka yang tengah mengalami keberhasilan dalam usahanya,
sehingga secara ekonomi mereka menempati posisi menengah. Dengan demikian, ukuran menengah di sini dihubungkan dengan kedudukan mereka dalam
masyarakat yang dimanifestasikan dengan tingkat kesejahteraan sosialnya. Kuntowijoyo 1985.
Selanjutnya, yang masuk dalam kategori golongan intelektual baru adalah bagi mereka yang telah mengenyam pendidikan model Barat. Tidak
berbeda dengan golongan pengusaha, golongan intelektual ini juga dapat dimasukkan ke dalam kelas menengah baik ditinjau dari posisi maupun tingkat
kesejahteraan sosialnya, terutama bagi mereka yang telah memperoleh jabatan dalam pemerintahan. Menurut Kroef 1954, bahwa munculnya kaum intelektual
di kota-kota Indonesia pada abad XX ini hampir bersamaan dengan pedagang kelas menengah yang berkecimpung dalam industri manufaktur dan usaha
pertokoan. Sementara itu, baik kelas menengah maupun golongan intelektual telah membawa konsep-konsep baru dalam masyarakat.
Kuntowijoyo1985 juga menyebutkan bahwa golongan menengah juga muncul di beberapa kota santri di Jawa yang terkenal dengan kauman sebagai
pusat perdagangan dan industri. Lebih lanjut di sebutkan bahwa Pusat-pusat kaum santri ini memperoleh pujian dalam dokumen tahun 1909 karena memiliki
semangat dagang bangsa pertengahan atau kelas menengah yang menggeluti bidang perniagaan. Tempat-tempat tersebut adalah Kotagede di Yogyakarta,
Laweyan di Surakarta, dan Kauman di Kudus.Contoh lainnya adalah Pekajangan, sebuah desa di kota Pekalongan, yang dalam dasawarsa ketiga abad ke XX,
berganti rupa dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat komersil dan industri, sehingga masyarakatnya layak di sebut dengan kelas menengah.
Sementara itu, pabrik manufakturing dan pencelupan menjadi mata pencaharian pokok penduduk kelas menengah di kota ini.
Pada era ini pula lahir, Nahdlatul Ulama kebangkitan ulama atau kebangkitan cendikiawan Islam disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam
yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.Keterbelakangan baik secara mental,
maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”.
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain.
Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon
kebangkitan nasional tersebut dengan Membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan Kebangkitan Tanah Air pada 1916. Kemudian pada tahun
1918 Didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” kebangkitan pemikiran, Sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
Keagamaan kaum santri. Didirikan Kemudian dan situ Nahdlatut Tujjar, pergerakan kaum saudagar. Serikat ini dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatut Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Nahdaltut Tujar, sebagai lembaga ekonomi masyarakat muslim saat itu didirikan Setelah melihat merosotnya ekonomi bangsa dan kaum pribumi,
maraknya pendidikan Belanda yang mengajarkan keduniawian, serta kecilnya perhatian dan kepedulian mereka terhadap syariat Islam yang ditunjukkan dengan
sedikitnya jumlah penuntut ilmu. Menurut Hasyim assyari
56
memajukan kepercayaan diri umat harus memadukan antara pendidikan dan perdagangan.
Orang Islam harus keluar dari tajarrud sikap mengisolir dan membebaskan dari mencari nafkah, sedangkan mereka belum mampu. Akibatnya sebagian besar
mereka merendah-rendahkan diri minta bantuan orang kaya yang bodoh atau penguasa yang durhaka. Sebab kedua, ketidakpedulian mereka terhadap tetangga
yang belum tahu rukun sholat, bahkan belum bisa melafalkan syahadat. Mereka tidak mendapatkan orang yang berdakwah membawa kabar gembira dan kabar
takut urusan agama. Mereka tidak mendapat orang yang dapat membimbing untuk urusan mencari rizki.Sebab ketiga, mereka merasa tidak memerlukanilmunya
orang lain dan mereka merasa cukup dengan ilmu yang telah dipelajari, sehingga merasa cukup dengan ilmu yang telah dipelajari, sehingga merasa tidak perlu
bermusyawarah atau suatu ikatan atau suatu jam’iyah yang khusus untuk para ulama guna membahas hal-hal yang menunjang kokohnya agama dan membahas
hukumnya. Selanjutnya untuk mengimplematasikannya harus dibangun suau badan usaha ekonomi yang beroperasi, dimana setiap kota terdapat satu badan
usaha yang otonom. Badan ini secara khusus untuk kaum ulama dan bagi lainnya yang masuk kaum terpelajar para santri . Dari badan usaha ini didirikan suatu
darun nadwah balai pertemuan sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat.
Melihat kenyataan timpang ini Hadlratusssyaikh KH. Hasyim Assyari kemudian mendirikan sebuah badan usaha yang diberi nama Badan Usaha Al
‘inan. Tujuan lembaga ini adalah untuk pengelolaan harta wakaf yang keuntungannya dipakai untuk tujuan amal dan pemeliharaan bangunan keagamaan
seperti masjid dan pesantren. Pada tahun 1937 NU mendirikan sebuah koperasi yang lebih luas dan lebih berhasil yang dinamakan syirkah muawanah yang
56
Bisa dilihat pada deklarasi Nahdlatut Tujjar, yang termaktub dalam piagam Nahdlatut Tujar, yang berisi amanat KH. Hasyim Asyyari, yang dideklarasikan di Surabaya pada tahun 1918.