kebersinggungannya dengan politik, dalam hal sosial terutama dalam prinsip kependidikan, pesantren dapat saja bersifat akomodatif, kolaboratif, mandiri atau
bahkan bersifat berlawanan dalam hal tersebut.
Sifat–sifat yang dapat muncul sebagai respon kebersinggungan pesantren dengan perubahan sosial, sangat dipengaruhi oleh aktor kunci pesantren yang
biasa disebut kyai, yaitu ulama pemimpin pondok pesantren. Kyai bukan hanya reepresentasi sikap pesantren dalam berinteraksi sosial, namun juga menentukan
bentuk konkret pesantren saat ini baik dari sifat relasi sosialnya maupun ruang- ruang sosial yang terbentuk.
Pada awal mula berdirinya, ruang-ruang fisik pesantren adalah Masjid, Majlis dan Rumah Kyai.Dari aktivitas pada ruang fisik itulah ruang-ruang sosial
pesantren terbentuk. Ketiga ruang tersebut adalah unsur-unsur dari senyawa untuk pembentukan komunitas sekaligus membentuk intelektualitas religius
masyarakat. Keberadaan ketiganya yang ditopang oleh modal sosial setempat membuat pesantren dapat menjalankan fungsinya. Pesantren tidak memerlukan
surplus atau akumulasi kapital karena digerakan oleh people driven masyarakat desa yang berorientasi self sufficient. Namun saat ini, tidak semua pesantren
memiliki ruang fisik yang lengkap, terutama dengan lepasnya struktur formal masjid sebagai komponen pesantren dari otoritas kyai. Lepasnya unsur masjid dari
pesantren mengubah konstelasi pengelolaan dan sumber pembiayaan pesantren. Pesantren harus menciptakan ruang baru penghasil modal untuk menggerakan
dirinya. Ruang-ruang yang dimilikinya selama ini dianggap perlu untuk direkonstruksi. Pekonstruksi tersebut menyangkut struktur maupun nilai-nilai
yang selama ini digunakan. Pendekatan selama ini yang berrsifat self sufficient dan pragmatikvis a vis dengan pendekatan kapitalis yang progresif. Pada kondisi
ini ruang-ruang sosial pesantren memasuki kontemplasi menjadi ruang-ruang ekonomi. Wacana perubahan ruang pesantren menghadapkan kyai pada
keputusan-keputusan rasional rasionalisasi yang harus diambilnya. Kontemplasi pengalaman empirik, preferensi sosial dan pengetahuan dogmatik adalah unsur-
unsur yang menyertakan dalam pilihan-pilihan tindakan. Untuk menyelamatkan pesantren kyai dapat saja memilih satu dari ketiga unsur tadi, memadukannya atau
menghasilkan unsur lain yang lebih bisa menjadi alasan rasional yang kuat apabila pilihan perubahan ruang harus terjadi.
Pada kenyataannya saat ini, perubahan ruang–ruang pesantren telah terjadi, setiap unsur ruang tidak hanya menciptakan komunitas dan intelektualitas
tetapi juga menciptakan nilai-nilai ekonomis yang terukur secara material. Terdapat varian struktur ruang dan nilai-nilai yang mengendalikannya, varian itu
merepresentasikan aliran progresif dan aliran konservatif. Masing-masing varian mempunyai rasionalisasi dalam memutuskan bentuk struktur dan nilai-nilai ruang-
ruang yang dimilikinya. Jika ditarik garis ke belakang, maka akan terungkap bahwa pembentukan struktur dan nilai mempunyai trajectory yang panjang.
Sebagaimana diungkapkan pada bab pendahuluan bahwa ruang-ruang ekonomi pesantren merupakan reproduksi ruang eksternal yang dikonstruksi oleh Kyai dari
kebersinggungannya dengan dinamika sosial, ekonomi politik yang terjadi dari waktu ke waktu. Ulama tidak hanya mampu memelihara tradisi pesantren yang
ada, tetapi melakukan peran dalam merasionalisasi dan mengkonstruksi ruang- ruang sosial menjadi ruang ekonomi pesantren. Tinggal perlu dilihat bagaimana
konstruksi perubahan tersebut berdampak kepada masyarakat di luar pesantren.
Persoalannya selanjutnya adalah apakah struktur dan nilai-nilai yang ada di pesantren yang merupakan konstruksi intelektual ulama yang notabene
merupakan representasi dunia islam dapat menjadi model pengembangan struktur kelembagaan ekonomi desa, atau bahkan untuk struktur kelembagaan ekonomi
pada skala yang lebih luas.Atau ia hanya merupakan mainstream dan atau hanya metamorfosa dari sistem ekonomi kapitalis yang berkembang. Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut Gambar.1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Nilai Relasi
Struktur Ruang-Ruang
Ekonomi Baru Pesantren
Transformasi Konstruksi
Rasionalitas rasionalisasi
Ulama Dinamika Sosial
Struktural kultural
Tradisi Peran dan Fungsi Pesantren
Ruang – Ruang Ekonomi Pesantren
Peran Tradisi Ekonomi Pesantren
Peran baru Ekonomi Pesantren
Pesantren dalam konstelasi Sosio Politik Nasional
III. METODE PENELITIAN
3.1 Subyek dan Lokasi Penelitian
Dalam kajian tentang Transformasi Sosio Ekonomi Pesantren ini, ada beberapa hal yang penting untuk digaris bawahi. Pertama adalah institusi, institusi
yang menjadi obyek kajian adalah institusi yang telah mapan secara kelembagaan yang dapat diukur dari lamanya pesantren itu telah berdiri dan bertahan. Kedua,
pesantren yang dikaji harus mewakili pesantren tradisional, karena yang ingin dilihat adalah bagaimana transformasi terjadi dengan adanya kebersinggungan
dengan dunia luar. Ketiga, skala pesantren, yang diukur dari jumlah peserta dan alumni yang telah dilahirkannya. Keempat, karena dalam penelitian ini, juga
mengkaji tentang keputusan-keputusan perubahan rasionalisasi, maka pengambil keputusan adalah tokoh yang keputusannya dianggap sebagai representasi putusan
religi yang mengikat.
Dengan pertimbangan tersebut, secara purposive, Subyek yang diambil adalah; pertama pondok pesantren dan pimpinan pondok Pesantren ulama
Roudlatul Ulum Cidahu Kabupaten Pandeglang Banten, Kedua pondok dan pondok pimpinan pondok pesantren Sidogiri, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur.
Pilihan pada kedua pesantren tersebut karena terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut: 1 karena penelitian ini menekankan pada transformasi yang terjadi di
lembaga tradisional, maka secara klasifikasi, pesantren yang dipilih adalah pesantren tradisional dari sisi pengajaran yang disebut pesantren salafiyah.
Pesantren Roudlatul Ulum Cidahu Pandeglang Banten maupun pondok pesantren Sidogiri
Pasuruan Jawa
Timur, sebagaimana
yang ditegaskan
oleh pengasuhnyakyai adalah pesantren salafiyah
28
. 2 Keilmuan pemimpin Pondok, dalam masayarakat nahdliyin keilmuan seorang kyai ditentukan berdasarkan
beberapa kriteria yaitu faqiih memiliki penguasaan yang mendalam atas ilmu- ilmu syari’at dan mutawarri’ terjaga martabat keulamaannya dari akhlak dan
haaliyyah yang tidak pantas, termasuk keterlibatan yang terlampau vulgar dalam politik praktis. Hal itu dikarenakan bagi masyarakat nahdliyin Ulama bukan
sekedar tokoh agama biasa tapi merupakan “qiyaadah diiniyyah”, yaitu acuan keagamaan bagi warganya, pengasuh kedua pondok baik pada masa
kepengasuhan sebelumnya maupun saat ini adalah kyai-kyai yang menjadi tokoh–
28
Para Ulama terutama dari kalangan Nahdliyin bependapat bahwa Pesanten Salafiyah adalah bentuk asli dari lembaga pesantren sebagaimana pertama kali didirikan oleh Wali Songo.
Format pendidikan pesantren adalah bersistem salaf. Kata salaf berasal dari bahasa Arab.“ salaf”. Harap dibedakan antara pesantren salaf salafiyah sebagai sebuah sistem pendidikan
dengan aliran “salafi wahabi”. Kata salaf dalam pengertian pesantren di Indonesia dapat dipahami dalam makna literal dan sekaligus terminologis khas Indonesia.Secara literal, kata salaf
dalam istilah pesantren di Indonesia adalah klasik dan tradisional sebagai kebalikan dari pondok modern, kholaf atau ashriyah. Pada Pesantren salafiyah yang diajarkan ilmu-ilmu agama saja
kepada para santri. Dengan mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M kitab-kitab kuning yang menggunakan bahasa
Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Di Pesantren Roudlatul Ulum kitab-kitab kuning diterjemahkan ke bahasa Sunda Banten oleh Kyai-nya, sedang di Pondok Pesantren
sidogiri diterjemahkan ke bahasa Jawa atau bahasa Madura.
tokoh yang masuk dalam kriteria qiyaadah diiniyyah kalangan nahdliyin
29
. 3 ketokohan sosial, Pengasuh kedua pondok ini, disamping dilekatkan pada posisi
qiyaadah diiniyyah, juga merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam organisasi sosial
30
, Disamping pertimbangan tipologi
31
dan ketokohan pimpinannya , pilihan pada Pondok Pesantren Roudhatul Ulum di Cidahu Pandeglang Banten dan
Pondok Pesantren Sidogiri di Pasuruan Jawa Timur, juga untuk merepresentasikan kewilayahan. Lokasi penelitian mengambil wilayah di Provinsi Banten dan Jawa
Timur, dengan beberapa pertimbangan. Kedua Wilayah ini secara historis merupakan wilayah-wilayah yang merupakan cikal bakal tersebarnya agama
Islam, dan lembaga pesantren sebagai bagian dari isntitusi penyebaran dan pengembangan agama Islam telah lama terjadi di kedua wilayah ini. Kedua,
Wilayah ini sampai dengan sekarang menunjukkan sebagai wilayah dengan jumlah pesantren yang banyak di Indonesia. Tipologi-tipologi pesantren yang ada
menyebar dan secara lengkap di kedua wilayah ini. Ketiga kedua wilayah inipun
29
KH. Abuya Muhtadi Dimyathi al-Bantani pemimpin pondok pesantren Roudlatul ulum Cidahu merupakan Salah satu ulama ahlussunnah wal jamaah asal Banten, ayahnya adalah
KH.Muhammad Dimyati pendiri dan pengasuh pondok pesantren Roudlatul ulum sebelumnya yang biasa dipanggil dengan Buya Dimyati atau mbah Dim, merupakan sosok Ulama Banten
yang memiliki kharisma, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tapi juga menjalankan kehidupan dengan metode bertashauf, tarekat yang di anutnya tarekat
Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Demikian halnya dengan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, KH. Nawawi Abdul Jalil,. Ia adalah pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan,
Jawa Timur yang merupakan salah satu Pesantren tertua di Nusantara. Didirikan tahun 1718 oleh Sayyid Sulaiman Bin Abdurrahman Basyaiban, yang berasal dari Cirebon dan masih
keturunan Sunan Gunung Djati dari sisi Ibu. Kiai Nawawi adalah generasi ke 12 pimpinan Pondok Pesantren Sidogiri yang didaulat menjadi Pengasuh Pesantren sejak tahun 2005. Dalam
berbagai kesempatan, Kiai Nawawi selalu menekankan kepada para santrinya tentang pentingnya menjaga marwah Ulama dan komitmen pengabdian terhadap Jam’iyah Nahdlatul Ulama. selalu
melabeli pesantrennya sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama yang mempertahankan kajian kitab klasik kitab kuning.
30
KH Muhtadi merupakan yang juga Rois Am Majelis Muzakaroh Cidahu Banten M3CB, sebuah perkumpulan alim ulama yang meneguhkan pada ajaran-ajaran kitab-kitab klasik.
Anggota Majlis ini terdiri dari ulama-ulama Banten dan dari daerah di luar Banten. Dengan posisi sebagai bagian dari qiyaadah diiniyyah maupun rois am M3CB,. Demikian halnya dengan
KH Nawawi Abdul Jalil, ia merupakan beliau merupakan tokoh yang masuk ke dalam kelompok elite kyai di kalangan masyarakat Nahdliyin. KH nawawi merupakan kyai yang termasuk ke
dalam Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dalam organisasi Nahdlatul Ulama. ketokohan kedua ulama pengasuh pondok pesantren ini bukan hanya di kalangan para santri dan ulama tetapi juga pada
lingkungan sosial politik lainnya. Bahkan hamper bisa dipastikan bahwa elite politik di kedua wilayah ini, yaiytu Jawa Timur maupun Banten akan merapat kepada kedua tokoh ini untuk
kepentingan politik baik secara pribadi maupun mengatasnamakan lembaga.
31
Pesantren salafiyah adalah pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu agama saja kepada para santri. yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab
yang ditulis oleh ulama abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa Arab, kalau ada ilmu umum, maka itu diajarkan dalam porsi yang sangat sedikit. Umumnya, ilmu agama yang diajarkan
meliputi Al-Quran, hadits, fikih, akidah, akhlak, sejarah Islam, faraidh ilmu waris Islam, ilmu falak, ilmu hisab, ilmu tasawuf dan lain-lain. Semua materi pelajaran yang dikaji memakai buku
berbahasa Arab yang umum disebut dengan kitab kuning, kitab gundul, kitab klasik atau kitab turots. Pertimbangan memilih pesantren salafiyah karena penelitian ini ingin mengetahui proses-
proses sosiologis yang terjadi pada lembaga tradisional salafiyah dan transformasinya yang terjadi, dari bentuk sebelumnya kepada bentuk yang ada saat ini baru.
dikenal dengan wilayah yang ulamanya cukup aktif bersinggungan dengan dinamika politik yang berkembang.
3.2 Jenis dan Paradigma Penelitian
Menurut Vredenberg 1979 pemilihan jenis penelitian yang tepat akan sangat menentukan tercapainya tujuan penelitian. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif. Denzin dan Lincoln 1994 mengatakan bahwa penelitian kualitatif bertujuan
untuk membuat deskripsi yang mendalam, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai keseluruhan fakta-fakta, serta hubungan
antar fenomena sosial yang sedang terjadi. Rancangan organisasional penelitian dikembangkan dengan kategorisasi-kategorisasi serta dihubung-hubungkan
dengan keseluruhan fenomena sosial yang ada di lapangan. Penelitian kualitatif merupakan multi metode dalam fokus, melibatkan interpretasi, dan merupakan
pendekatan yang menempatkan subyek penelitian tersebut secara alami. Penelitian kualitatif, mempelajari “sesuatu” dalam setting aslinya sehingga mendapatkan
sebuah pengertian, atau penafsiran, pemahaman suatu fenomena berdasarkan pemahaman masyarakat pemiliknya. Stake 2011 memberikan penegasan, bahwa
penelitian kualitatif sangat sesuai untuk menganalisis macam-macam realitas sosial tempat umat manusia hidup, untuk selanjutnya dihimpun ke dalam disiplin
ilmu pengetahuan.
Selain pemilihan jenis penelitian yang perlu diperhatikan dalam kajian ilmu-ilmu sosial adalah paradigma. Paradigma adalah pandangan yang mendasar
dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang mestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma dapat diartikan sebagai, a a set
of assumption, dan b beliefs concerning yaitu asumsi yang “dianggap” benar. Karenanya paradigma membawa implikasi pada pilihan metodologi dan teori
yang akan diambil dalam sebuah penelitian Ritzer 1980. Di dalam penelitian sosiologi dikenal lima jenis aliran paradigma, yaitu positivisme, post-positivisme,
teori kritis, konstruktivis dan partisipatoris Denzin and Lincoln 2000. Secara paradigmatik penelitian ini akan menggunakan paradigma konstruktivisme,
mengingat adanya konstruksi sosial yang perlu dipahami dari persepsi dan perspektif etika moral dari komunitas tertentu yaitu komunitas pesantren.
Meskipun demikian paradigma yang digunakan dalam penelitian ini keberlakuannya tidak bersifat mutlak, sehingga membuka kesempatan secara
selektif bagi paradigma lain yang bersesuaian untuk digunakan. Pilihan pada paradigma penelitian konstruktivisme karena secara metodologis paradigma ini
bersifat hermeunetikal dan dialektikal dimana konstruksi sosial individu dapat diperoleh dan diketahui melalui interaksi antara peneliti dan tineliti. Di samping
itu, penelitian ini juga menekankan empati dan interaksi dialektif antara peneliti dan informan dalam rangka merekonstruksi realitas sosial yang diteliti dengan
metode kualitatif Guba dan Lincoln 2000. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis peneliti dapat memotret realitas sosial, tidak hanya realitas objektif
yang berada di luar diri orang yang diteliti tineliti, tetapi juga realitas subjektif yang berada di dalam diri orang yang diteliti tineliti yang menyangkut kehendak
dan kesadarannya, karena diantara kedua realitas ini memiliki hubungan timbal- balik yang saling mempengaruhi Hardiman 2003. Selanjutnya realitas yang