realitas sosial-politik, konflik dengan warna agama seperti banyak terjadi di berbagai negara seringkali membawa resiko tinggi dan bisa membawa
malapetaka bangsa. Implementsi dari politik agama pemerintah Orde Baru adalah mendorong terwujudnya suatu religious order orde religius di antara agama-
agama di Indonesia. Dalam kerangka ini pemerintah Orde Baru bermaksud mendorong terwujudnya kerukunan dan toleransi beragama di Indonesia. Melalui
langkah-langkah ini pemerintah Orde Baru mengharapkan partisipasi aktif dari tokoh-tokoh dan pemimpin agama dalam rangka mewujudkan dialog dan
kerukunan antar umat beragama demi terwujudnya integrasi nasional.
Menjelang di berlakukannya asas tunggal, semula umat islam banyak yang cemas karena UU no 8 1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas
tunggal yang berarti dilarang mencantumkan asas lain sebagai ciri khas atau identitas sendiri. Akibatnya, partai Islam dan Organisasi kemasyarakatan Islam
harus menghapus asas islamnya dan menjadi organisasi nasional tanpa mencantumkan azas Ilam. Sementara sikap NU sejak dini bisa menerima
pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan dalam muhammadiyah lebih berhati- hati dalam menerima asas tunggal tersebut.
Sesudah asas tunggal diterima oleh umat islam, umat islam mulai berjuang untuk mengatasi berbagai macam masalah, seperti pelaksanaan hukum
islam RUU perkawinan yang bagi umat Islam dianggap bertentangan dengan syariah Islam. Umat Islam juga menuntut pemerintah memberi perhatian potensi
ekonomi umat Islam. Untuk masalah ekonomi pemerintah Orde Baru membuat BAZIS badan amil zakat infaq shodaqoh Selanjutnya berdiri lah bank islam
pertama tanpa bunga, yakni bank Muamalat. Pemerintah juga mengijinkan masyarakat mendirikan koperasi-koperasi umat dan bank perkreditan rakyat,
seperti NU mendirikan bank Nusuma dan Muhammadiyah mendirikan bank Matahari.
Untuk kalangan Islam Soeharto mulai merubah arah dan strategi politiknya dengan cara menarik simpati ummat Islam melalui pendekatan agama.
Presiden Soeharto menyadari hampir semua kekuatan sosial-politik di negara, untuk memperoleh legitimasi bagi eksistensinya, harus menunjukkan kedekatan
pada atau paling tidak simpatinya bagi Islam. Di era pertengahan yaitu antara tahun 1985 sampai 1995, Orde Baru memberi peluang terhadap perkembangan
masyarakat Islam dan cenderung mulai condong pada pembangunan bidang keislaman. Para pengamat dunia Islam, seperti Fazlur Rahman, John Esposito dan
Bruce Lawrence sewaktu berkunjung ke Indonesia menemukan bahwa kebangkitan Islam di Indonesia yang cukup progresif sejak era 1980-an itu
ditandai tumbuhnya semangat keislaman, maraknya syiar Islam dan hadirnya berbagai aliran pemikiran, khususnya di kampus-kampus M. Amin Rais 1983.
Selain itu, UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi kebijakan Orde Baru yang akomodatif bagi kalangan Islam. UU ini
mengakui pendidikan agama sebagai sub-sistem dari pendidikan nasional. Mata pelajaran agama juga menjadi mata pelajaran yang wajib di sekolah-sekolah
umum. Selain itu, UU ini juga menjamin eksistensi lembaga pendidikan seperti MI, MTs, MA dan lainnya. Akan tetapi, langkah ini selain dipandang akomodatif,
dipandang sebagai langkah politik Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya Suharto 2013. Di sinilah konsep hegemoni Gramsci bermain,
yaitu melalui upaya penyeragaman pemahaman kelompok Islam dalam
memahami dan mendukung kebijakan Orde Baru. Hal itu dilihat sebagai peran intelektual dan moral pada ranah supra-struktur. Penguatan hegemoni yang
ditopang oleh banyaknya kaum intelektual juga turut menyebarkan idegagasan mengenai pembangunan. Sebut saja salah satunya Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia ICMI yang mendukung kebijakan pemerintah pada saat itu untuk melakukan modernisasi pendidikan pesantren. Tidak cuma itu, ICMI juga
mengadakan diskusi dengan berbagai kalangan agamis dan sekuler dalam rangka mencapai kesadaran bersama bahwa wacanamodernisasi pendidikan Islam
memang harus dilakukan.
6.1.3. Hubungan Politik Pesantren dengan Partai Politik Pesantren salafiyah yang berada di pulau Jawa pada umumnya adalah
pesantren yang berafiliasi dengan organisasi Nahdlatul Ulama. Ditinjau dari awal pembentukannya pada 16 Rajab 1344 31 Januari 1926 oleh K.H Hasyim Asy’ari
dan K.H Abdul Wahab Chasbullah, NU sebenarnya merupakan wadah perjuangan politis para ulama tradisionalis untuk tetap meneguhkan eksistensi sikap politis
mereka dalam beragama ditengah maraknya gerakan pembaharuan keagamaan Anam 1999. NU sendiri bisa dikatakan sebagai praktik berjejaring para ulama
dan pesantren dalam praktik keagamaanyang mengedepankan tradisi maupun kebebasan dalam berpikir keagamaan yang tidak sepenuhnya mengdepankan
konservatisme. Oleh karena itulah, praktik politik yang dijalankan oleh NU sendiri menggunakan politik komunalisme yang dilakukan oleh santrimaupun
kalangan nahdliyyin lainnya dimana sikap rasionalisme tidak terlalu ditonjolkan
65
. Keterlibatan NU dalam dunia politik dimulai ketika NU bergabung
dalam Masyumi sebagai partai politik. Namun kedudukan NU dalam kepengurusan Masyumi tidak terwakili di badan eksekutif dan hanya menduduki
dewan syuro yang tidak banyak menentukan terhadap kebijakan partai bahkan sampai akhirnya dewan syuro diturunkan, kedudukannya hanya menjadi
penasehat partai. Keretakan ditubuh Masyumi akibat berbagai polemik membuat NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Setelah keluar dari
Masyumi, NU secara institusi telah siap berubah orientasi visi dan misi jika semula NU sebagai organisasi keagamaan maka sekarang menjadi organisasi
politik.
Setelah pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis
sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga
rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya
didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis sekuler yang
mengajukan Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan tentang dasar negara ini
65
WasistoRaharjoJati, ttps:www.academia.edu2149949Ulama_dan_Pesantren_dalam_Dinamika_Politik_dan_Kultur
_Nahdlatul_Ulama
berakhir setelah Bung karno membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945
dengan tetap berdasarkan pancasila
66
. Suasana diatas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk
merumuskan kembali hubungan antara agama Islam dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik
tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik negara selalu berujung pada kebuntuan dan
pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran politik di kalangan aktivis politik muslim yakni kelompok Islam dan kelompok nasionalis sekuler.
Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan negara yang bersifat formalistik
dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok Islam Deliar Noer 1987.
Perdebatan yang berkepanjangan antara Kalangan Islam dan Nasionalis Sekuler serta kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia, Pada
Demokrasi Terpimpin,Masyumi dan PSII dibubarkan.Akan tetapi masih ada wakil umat Islam di parlemen yaitu: NU, meskipun NU mengikui kehendak Soekarno,
tetapi NU dapat menandingi PKI, Kalau PKI membuat Lekra, NU membuat lembaga seni budaya muslim Lesbumi, dalam perburuhan PKI punya Sobsi, NU
punya Serikat Buruh Muslim Indonesia Serbumusi. Sejumlah organisasi khusus, organisasi pelajar dan mahasiswa seperti IPNU, PMII juga untuk
mengimbangi kekuatan PKI. Organisasi masa Islam NU, PSII, dan Perti mendirikan organisasi seperti HMI, PII. Tahun 1964, PKI melancarkan
melancarkan aksi mereka merebut tanah perkebunan, tanah wakaf, melakukan penggerebekan, dan penganiayaan terhadap ulama yang mereka sebut sebagai
setan desa. Tahun 1965, PKI melakukan pemberontakan berusaha melakukan kup atas kekuasaan Soekarno. Kegagalan pemberontakan PKI membuka luka lama
konflik antara kelompok komunis dan masyarakat Islam.
Dimasa Orde baru , ada ketakutan akan bangkitnya partai politik Islam, terutama pada Masyumi yang sebenarnya banyak mendapat dukungan
masyarakat. Untuk mengurangi kekecewaan umat, Orde Baru mendirikan Partai Muslimin Indonesia Parmusi di tahun 1968. Masyarakat Pesantren merasa
bahwa parmusi bukanlah rumah yang nyaman, untuk itulah masyarakat pesantren masih mengandalkan Nu sebagai rumah besar masyarakat Islam sunah wal
jamaah.
NU sebagai partai politik boleh dibilang sukses merajai kancah pemilu nasional. Indikasi bisa terlihat daridalam Pemilu 1955, NU memperoleh kursi 45
buah dalam Perlemen, 35 kursi lebih banyak dibandingkan ketika NU masih bergabung dengan Masyumi Fealy 2007. Dalam Pemilu1971, partai NU
memperoleh prosentasi terbesar kedua 18,67 suara dari jumlah pemilihsembilan partai politik dan Golkar. Sedangkan partai politik Islam yang
lain, misalnyaPermusi hanya memperoleh suara 5,36 , PSII memperoleh suara 2,36 dan Perti Cuma 0,70 . NU setidaknya bisa memanfaatkan suara pemilih
Islam komunal berbasis di pelosok pedesaan yang merupakan basis islam tradisional. Adapun kebijakan fusi partai politik pada1973 yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru dimana kemudian NU dilebur dalam Partai Persatuan
66
ibid..124
Pembangunan PPP yang mewakili aspirasi kelompok agama tidak serta membuat basis politik NU goyah. NU menjadi elemen organik yang penting bagi
PPP dalam perolehan suara di setiap pemilu.
Di kalangan NU, di mana kyai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim
sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kyai dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak
ataupun sekedar legitimasi. Pada masa Orde Baru, posisi kyai dalam kancah politik nasional semakin terpinggirkan, bahkan tidak jarang dicurigai pemerintah,
meski demikian, para kiyai tetap eksis dengan perjuangan dan pilihan politiknya. Sebagai contoh, dapat dilihat, pada saat kampanye pemilu 1977, Kyai Bisyri
Syamsuri dengan kapasitasnya sebagai kyai NU dan ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP, mengeluarkan “fatwa politik”, bahwa setiap muslim diharuskan
memilih PPP.[1] Sikap “radikal” Kyai Bisyri kembali ditunjukkan pada Sidang Umum MPR tahun 1978 dengan melakukan walk out yang kemudian diikuti oleh
semua anggota DPRMPR dari PPP, sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang memberi tempat terhormat pada aliran kepercayaan. Dalam perspektif teori
politik, tindakan para kiyai tersebut merupakan counters-hegemoni. Yaitu upaya untuk melalukan perlawanan terhadap kekuasaan yang cenderung melakukan
penguasaan terhadap seluruh dimensi kehidupan politik dan pemerintahan. Akibatnya, sejak periode Pemilu pasca Orde Baru afiliasi politik para kyai dan
tokoh pesantren terpecah ke dalam beberapa partai NU. Perpecahan internal yang muncul kemudian juga senantiasa dilegitimasi dengan dukungan dan restu
sekelompok kyai tertentu Bruinessen 1994.
Pada masa Orde baru Golkar pun membuat sayap organisasi dakwah Islam seperti MDI Majelis Dakwah Islamiah dan Satkar Ulama Satuan Karya
Ulama. Satkar Ulama Indonesia didirikan pada 13 Maret 1970 merupakan organisasi yang didirikan Golkar bersama AMPI, Al Hidayah dan MDI serta
organisasi sayap Golkar, antara lain, AMPG dan KPPG didirikan oleh Mantan Presiden Republik Indonesia Jendral Muhammad Soeharto, Jendral Suwono,
Kolonel Anwar, bersama dengan KH Mahmud ulama dari Provinsi Banten. tujuan memenangkan partai Golkar namun organisasi tersebut juga harus tetap berperan
dalam menyiarkan agama Islam keseluruh pelosok Indonesia.
Pemerintahan Orde Baru dengan Satkar Ulamanya telah mewarisi preseden politik, menghubungkan keterlibatan ulama atau kyai dalam upaya-
upaya meneguhkan kekuasaan. Pemerintah Orde baru sangat memanjakan ulama- ulama yang tergabung dalam satkar Ulama Golkar namun sebaliknya menekan
ulama-ulama yang ada di luar Satkar. Di sinilah kharismatik tradisional ulama dieksplorasi untuk membentuk sikap atau preferensi politis tertentu dalam
struktur sosial masyarakat disekitarnya Mulkhan 2009. Kerangka eksplorasi politik ulama adalah janji akan adanya penerapan gagasan moral Islam, jaminan
keberpihakan penguasa dalam pembangunan umat. Dengan itu hubungan timbal balik antara ulama dengan pemerintah maupun pelaku politik lainnya
dipertemukan. Moaddel 2002 mengemukakan bahwa Kepentingan dua belah pihak antara legitimasi politik penguasa dan kebutuhan fasilitasi pihak penggiat
keagamaan menciptakan transaksi politik yang menguntungkan kedua belah fihak, walaupun pada kenyataanya transaksi ini tidak selalu bersifat permanen atau
berakhir dengan deal ekonomi pragmatis. Kerangka eksplorasi politik ulama inilah yang terus berlanjut hingga saat ini.
6.1.4. Hubungan Politik Penguasa dan Pesantren: Argumen dan teorisasi
Masyarakat santri
67
, khususnya yang ada di Banten pada dekade tahun 1980an, menyatakan bahwa Kyai Dimyati, pimpinan pondok pesantren Roudautul
Ulum Cidahu
Banten sebagai
pakunya Banten
bahkan pakunya
Indonesia
68
.Penyebutan yang mendekati pengkultusan juga terjadi di masyarakat santri Jawa Timur. Pimpinan PP. Sidogri Pasuruan, sebut saja KH. Abdul Adzim
bin Oerip 1879-1959, oleh masyarakat santri Jawa Timur disebut sebagai rajanya para wali. KH. Noerhasan Nawawie1909-1967 mendapat sebutan
sebagai Wali yang salamnya diterima Nabi dan KH. Hasani Nawawie wafat tahun1934-2011 yang disebut sebagai Wali yang didatangi Al Ghazali
69
. Kyai Dimyati di Cidahu maupun para kyai pimpinan PP.Sidogiri oleh masyarakat
santri dilekatkan dengan ke”karomahan”. Kekaromahan dalam masyarakat santri salafiyah bukan hanya pengakuan tingginya religiusitas seseorang dari manusia
yang lain tetapi juga menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah orang yang segala “dawuh’-nya mengandung kebenaran dan patut untuk dijalankan.
Penghormatan kepada para kyai bertambah kuat dengan gaya hidup mereka yang wara sederhana,suka menolong kepada sesama dan bersikap mandiri.
Masyarakat santri mempercayai bahwa para kyai dalam berbagai urusan, dengan kekaromahannya di bantu oleh Allah. Masyarakat mengetahui bahwa para kyai
tersebut tidak mau menerima bantuan dari pemerintah. Sikap tidak mau menerima bantuan pemerintah memparipurnakan kedudukan seorang kyai, menambah
kharismanya sebagai seorang pemimpin yang dapat dipercaya.
Pernyataan “paku”, “raja para wali” dalam tradisi tarekat sebenarnya dimaksudkan sebagai tingkatan sufistik seorang mursyid
70
, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pernyataan tersebut juga diartikan secara harfiah oleh
pengikutnya. Paku dan raja para wali diartikan sebagai kepemimpinan yang “tiban”
71
dari atas dan kehadirannya diridhoi Tuhan. Pengertian kepemimpinan semacam itu sekalipun dalam aras metaphisis oleh pemerintah Orde Baru
dipandang sebagai bahasa politik. Istilah-istilah tersebut dipandang sebagai kontestasi kepemimpinan secara politik. Dalam hal ini penguasa salah dalam
memahami keseluruhan makna dari pernyataan yang muncul dari akar rumput kepada pemimpin-pemimpin informal yang mereka kagumi.. Makna-makna
dalam ajaran agama bukanlah logika matematis, setiap kata mengandung makna tertentu, dan setiap kalimat memiliki satu fungsi.
67
Saya menyebut masyarakat santri, yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan dengan dunia pesantren, termasuk di dalamnya adalah para kyai atau ulama pimpinan
pondok pesantren, khususnya pesantren salafiyah tradisional yang umumnya berafiliasi ke Ormas Nahdlatul Ulama.
68
Dapat dilihat pada, Murtadho Hadi. Tiga Guru Sufi tanah Jawa, Pustaka Pesantren,kelompok penerbit LKIS, 2010.
69
Jejak langkah 9 Masyayikh Sidogiri jilid 1 dan 2, Pustaka Sidogiri, 2015.
70
Mursyid : guru kaum tarekat.
71
Secara harfiah “Tiban” dalam bahasa Jawa yang berarti “Jatuh”.
Pemerintah Orde Baru melihat Keberadaan orang-orang semacam Kyai Dimyati, dan para Kyai PP.Sidogiri yang sampai pada batas-batas tertentu
terkesan dikultuskan oleh pengikutnya dianggap sebagai suatu yang membahayakan. Terlebih sikap para kyai-kyai tersebut yang tidak mau menerima
bantuan pemerintah dalam kegiatan pengajian dan aktivitas lainnya, dianggap laten dan sebagai sikap perlawanan.
Menurut Kyai Muhtadi
72
tak urung pernyataan dan penyebutan tersebut menimbulkan dampak pada kegiatan di PP.Roudatul Ulum. Pengajian yang
dipimpin oleh Kyai Dimyati, yang biasanya diisi oleh masyarakat santri, mulai dihadiri oleh orang-orang asing. Mereka ikut pengajian, namun dari sikap dan
perilakunya tidak menunjukkan sebagai orang yang sedang “mesantren” tetapi sebagai orang yang sedang memata-matai. Belakangan diketahui mereka adalah
anggota TNI yang dikirim Kopkamtib untuk memata-matai kegiatan pesantren. Hal yang sama juga terjadi di PP sidogiri, dikatakan oleh KH. A. Nawawi Abdul
Djalil
73
, bahwa pada masa awal-awal Orde Baru tentara dengan cara menyamar sering ikut pengajian di pesantren-pesantren. PP Sidogiri didatangi oleh tentara
lebih sering dibandingkan pesantren-pesantren lain di Jawa Timur ~ hal tersebut disebabkan PP. Sidogiri mempunyai latar belakang perjuangan fisik dan dunia
politik.PP.Sidogiri pernah menjadi basis pejuang hisbullah. PP. Sidogiri juga pernah dekat dengan Partai Nahdlatul Ulama Partai NU.
74
Latar belakang sejarah dan sikap keras dalam menegakkan disiplin serta kritis terhadap masalah
sosial politik yang menjadi kekhasan PP. Sidogiri membuat pemerintah Orde Baru harus lebih ekstra melakukan pengawasan terhadap PP.Sidogiri.
Tindakan-tindakan penguasa
Orde Baru
pada awal
kekuasaannya,terhadap dunia pesantren ~ dalam realitas sosial justru menguatkan solidaritas masyarakat pesantren dan menegaskan identitas Kyai. Hal ini seperti
yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid 2012,agama bukan sekadar tata aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan namun terkandung aturan
mengenai tata hubungan antar manusia dan antara manusia dengan alam semesta. Kondisi ini menyebabkan agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bersama
dalam sebuah masyarakat. Menurutnya Politik dan agama sama-sama alat untuk mengatur kehidupan masyarakat menuju bonnum commune kebaikan bersama.
Namun ketika eksekusi pengaturan kehidupan masyarakat tidak dipegang oleh satu tangan, keduanya berkontestasi untuk sama-sama mendapatkan legitimasi
pada akar rumput. Inilah yang menyebabkan penguatan identitas masing-masing menjadi semakin kuat.
72
Kyai Muhtadi putera dari Kyai Dimyati, pimpinan PP. Roudatul Ulmu saat ini., Wawancara pada tanggal 3 Maret 2015.
73
RaisPengasuh PP. Sidogiri saat ini. Wawancara pada tanggal 2 Februari 2015.
74
PP.Sidogiri pernah dijadikan markas perjuangan pada masa perang kemerdekaan. Keluarga Besar PP. Sidogiri, KA. Sadoelah Nawawi adalah pemimpin laskar perjuangan kemerdekaan
dan salah satu Kyai PP. Sidogiri gugur ditembak saat tentara Belanda melakukan penyerangan terhadap PP. Sidogiri, yaitu KH. Abdul Djalil bin Fadlil. Pada masa pasca revolusi fisik, salah
satu keluarga besar PP. Sidogiri, KA. Sadoelah Nawawi terjun ke dunia politik mewakili partai NU, dan pada tahun 1955 beliau terpilih sebagai anggota dan sebagai ketua DPRD kab.
Pasuruan. Setelah menjalani selama tiga tahun, KA. Sadoelah, penyebabnya adalah karena untuk amar ma’ruf nahi munkar, tidak bisa dicapai melalui jalur politik partai dan sistem politik yang
ada
Melihat kondisi empirik yang terjadi di PP.Roudatul Ulum, PP. Sidogiri maupun dari data berbagai informasi sekunder, diketahui bahwa kebersinggungan
kyai-pesantren dengan pengusa-politik mengalami siklus konflik realistis –konflik non realistis.
75
Konflik realistis berasal dari tuntutan atau kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem dan hubungan sosial yang ada.sedangkan konflik
non-realistis berasal dari kebutuhan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Kebersinggungan kyai-pesantren dengan penguasa-politik dalam
Konflik realistik ditandai oleh adanya pemberontakan fisik, intimidasi atauteror,sedangkan konflik non realistik ditandai oleh munculnya sikap saling
curiga.Konflik realistik maupun non realistik sebenarnya disebabkan oleh ketidak- berhasilan masing-masing fihak menjelaskan definisi dirinya yang memuaskan
fihak lain. Sebagai contoh Kyai dengan keanekaragaman fungsinya seharusnya dideskripsikan oleh masyarakat pesantren, namun masyarakat pesantren gagal
memberi definisi tentang kyai secara memuaskan, maka definisi kyai menjadi dibuat oleh penguasa-politik. Lebih jauhpenguasa-politik dalam melakukan
pendefinisian
terhadap kyai
dan pesantrendidasarkan
pada beberapa
pertimbangan. Pertama, sejauhmana keberadaan kyai berdampak dalam menciptakan stabilitas sosial dalam bentuk toleransi dan kerukunan antar umat
beragama. Kedua, kyai dan pesantren diidentifikasi dalam kerangka pendukung atau penghambat kelangsungan kekuasaan politik.
Kebersinggungan dengan rasa saling curiga antara penguasa dan pesantren merupakan pola hubungan yang sudah berjalan dalam waktu lama. Pola
hubungan ini menunjukkan: sepanjang kedua belah pihak tidak dapat mendefiniskan posisi masing-masing maka konflik antara penguasa dan
pesantren akan terus berlangsung. Hubungan penguasa dengan pesantren tidak pernah menghasilkan agreement yang secara normatif menempatkan kedua belah
fihak memiliki derajat yang sama di masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena keduanya sama-sama alat untuk mengatur kehidupan masyarakat menuju bonnum
commune kebaikan bersama. Pesantren secara struktural merupakan institusi yang terdampak oleh kebijakan, namun pada praktiknya tidak sepenuhnya
menghasilkan apa yang diharapkan oleh politik. Teori pendekatan struktural fungsional Talcott Parsons yang mengatakan bahwa setiap proses sosial akan
menghasilkan general agreements berupa kesepakatan-kesepakatan yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan, dalam
kasus hubungan antara penguasa dan pesantren tidak sepenuhnya benar. Parson, menjelaskan bahwa secara natural interaksi akan membentuk persamaan-
persamaan ke arah bentuk ekuilibrium, kemudian terintegrasi di atas dasar kata sepakat akan nilai, norma, dan aturan tertentu. Teori struktural dalam hal inipun
tidak sepenuhnya berlaku demikian. Pesantren dan penguasa tidak menghasilkan konvergensi kesepakatan membentuk nilai, norma dan aturan.Interaksi antara
pesantren dengan penguasa, tidak menuju kepada sebuah persamaan yang saling meniadakan atau saling bertoleransi untuk mencapai ekuilibrium persamaan,
tetapi justru menunjukkan penguatan identitas masing-masing. Toleransi bagi pesantren adalah saling mengakui adanya perbedaan, dimana perbedaan itu tidak
untuk dipaksaan menjadi persamaan, atau dengan kata lain yang dibentuk justru adalah penguatan perbedaan.
75
Istilah konflik realistis dengan konflik non realistis dapat dilihat pada.Lewis A. Coser 1956,, The Functions of Social Conflict. Glencoe, IL: Free Press, 1956, pp. 151- 157
Konstruksi hubungan politik antara penguasa dan pesantren tidak dalam pilihan sebagaimana dikemukakan oleh Barbara Hargrove 1979, menurutnya
hubungan antara agama dan politik telah membentuk relasi tarik menarik yang bersifat adesif adhesive, dimana pilihannnya adalah:agama mendominasi politik,
politik mendominasi agama, atau perpaduan antara nilai dan norma agama dengan nilai dan norma politik. Konstruksi hubungan politik antara penguasa dan
pesantren bersifat laten konflik hal ini disebabkan oleh fungsi keduanya yang sama-sama mempunyai objek formal yang sama yaitu kebaikan masyarakat,
namun pada momen tertentu memiliki perbedaan pada tata cara dan sumber acuan untuk menciptakan kebaikan-kebaikan masyarakat. Pesantren mengedepankan
pendekatan kultural-religi
76
untuk menciptakan kebaikan-kebaikan masyarakat, sedangkan penguasa menggunakan struktural-yuridiksi formal untuk menciptakan
kebaikan masyarakat. Perbedaan pendekatan dapat dilihat dari sudut pandang penguasa dan
kyai dalam melihat insitusi pesantren. Penguasa melihat pesantren dari kacamata fungsi sosial-politiknya yaitu untuk : membangun masyarakat terdidik,
menciptakan iklim toleransi dan secara politik pesantren tidak menjadi bahaya laten bagi kestabilan politik. Penguasa juga berpandangan bahwa pendidikan
pesantren harus berorientasi menghasilkan tenaga terampil yang bisa digunakan untuk meningkatkan daya saing ekonomi, menghasilkan insan moderat yang tidak
berpikir eskslusif dan puritan. Kyai melihat pesantren bukan hanya berkaitan dengan
hubungan manusia
dengan manusia
lainnya yang
bersifat sosialhablumminnanas,
tetapi urusan
manusia dengan
Tuhannya hablumminnallah. Selain itu para kyai
77
mempunyai pandangan yang sama bahwa penguasa melihat segala sesuatunya untuk kepentingan ekonomi dan
politik, padahal menurut para kyai ekonomi adalah alat bukan tujuan. Pesantren didirikan untuk menciptakan manusia yang berbudi pekerti luhur ahlakul
karimah yang bisa menggunakan ekonomi dan politik sebagai alat untuk mencapai kemaslahatan dan keberkahan umat. Perbedaan sudut pandang ini
terletak pada perbedaan motivasi dan pilihan tindakan, yaitu yang berkaitan dengan arahan-arahan bagaimana mendapatkan dan memanfaatkan sebuah
institusi. Kyai melihat arahan-arahan itu berkaitan dengan keimanan, sedangkan penguasa berkaitan dengan stabilitas kekuasaan dan benefit ekonomi.
Dari perspektif hubungan sosial dan ekuilibrium, Kyai melihat hubungan sosial adalah untuk mendekatkan pada pelaksanaan ajaran agama, bukan
menjauhkan manusia dari ajaran agamanya. Karena itu menurut para kyai
76
Saya menggunakan istilah kultural religi : yang dimaksud adalah ajaran-ajaran agama yang sudah dijalankan secara empirik di masyarakat sesuai dengan kualitas peradaban yang
dimilikinya. atau dalam termonologi islam sering digunakan istilah ; syariah. Masalah pendekatan kultural sebagaimana pada bab IV, dikemukakan bahwa Pesantren
memiliki kekhasan dalam kebersinggungannya dengan dunia luar yaitu sifat akulturatif. Kaitan
Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: pertama, Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan kedua, Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya
oleh para ahli sering disebut dengan great tradition tradisi besar, sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition tradisi kecil atau local tradition tradisi lokal
atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam. Tradisi besar Islam adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan
interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar
77
Yang dimaksud kyai disini adalah pernyataan baik dari Kyai Muhtadi, Dari PP.Raudlatul Ulum Cidahu maupun Kyai Nawawi dari PP.Sidogiri
kesepakatan-kesepakatan yang disepakati dari hubungan sosial harus menjamin keutuhan ajaran agama. Satu contoh adalah dalam hal toleransi, pemerintah
memandang toleransi sebagai alat untuk mencegah timbulnya konflik antar pemeluk agama. Penguasa mendorong toleransi dilakukan secara aktif, seperti
perayaan bersama hari-hari besar keagamaan, padahal menurut para kyai titik temu perayaan bersama yang dianggap sebagai ekuilibrium hubungan sosial, dari
sudut pandang religi dapat diartikan sebagai pengingkaran keimanan.
Pesantren membuka diri terhadap perbedaan-perbedaan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektifitas dan sudut pandang yang sangat kompleks. Para Kyai
sependapat bahwa agama adalah milik manusia yang direfleksikan dalam kehidupan bermasyarakat kultural religi, sehingga penafsiran diperbolehkan,
namun Islam tidak mengenal ekuilibrium dari hasil toleransi kepentingan politik. Tidak ada sesuatu yang dapat dirubah kecuali memiliki dasar syariah baik alquran
maupun al hadits. Keputusan ada pada pilihan dogmatik ; menggunakan, meninggalkan, atau membiarkan orang lain menggunakan tetapi yang
bersangkutan tetap meninggalkan. Pesantren ditujukan untuk menciptakan manusia yang melestarikan dogma yang sudah terjadi beberapa abad lamanya.
General Agreement jika diartikan sebagi jalan tengah dalam menyikapi kompleksitas-kepercayaan tidak tercapai karena ada nilai-nilai normatif doktrinal
dan historis yang tetap akan dipertahankan. Para kyai mengacu pada sunnah perbedaan yaitu, “wujud keberagamaan merupakan wujud kongkrit dari integrasi
atau ekuiblirium”
78
. Mempertahankan sikap yang berbeda terhadap kebijakan penguasa maupun produksi sosial masyarakat merupakan tatacara menjaga
eksistensi keberlangsungan pesantren itu sendiri. Bentuk pesantren yang ada saat ini bukan hasil dari kesepakatan yang
harmoni antara penguasa dan kyai. Secara historis Kyai
79
maupun penguasa selalu ada dalam upaya mempertahankan atau merebut kepentingan-kepentingan
masing-masing. Pesantren bagi kyai adalah ruang publik public space di mana kyai dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-
kebutuhan mereka secara diskursif. Sekalipun tidak semua ekspektasi material dapat terpenuhi di ruang publik, tetapi ruang publik menjadi tempat komunikasi
yang menghasilkan ekspresi. Ekspresi ini dapat dinilai sebagai sebuah perolehan imaterial yang mendudukan posisi pesantren dalam lingkungan sosial politik
negara.
Dalam wacana politik di Indonesia, peran kiyai sangat strategis tetapi juga dilematis. Sebagai elit politik, sesuai dengan paham Sunni, kiyai wajib
mentaati pemerintah. Sebagai elit agama, kiyai mempunyai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai agama dengan cara amar makruf nahi munkar. Pada saat
78
Dalam khasanah pemikiran Islam dikenal adagium “ Perbedaan adalah rahmat”, adagium yang diambil dari hadits Nabi.
79
Seorang kyai di sini tidaklah dimaknai sebagaiorangyang berkecimpung dalam bidang keagamaan saja, akan tetapi bagaimana kita menelaah Kyaisebagai pembentuk ruang kuasa
sosial-poltik dalam kemasyarakatan.Hal inilah yangkemudian membedakan Kyai dengan sebutan ulama dimana ulama berfokus padapengembangan syiar dan dakwah keagamaan. Kia dipandang
mempunyai legitimasi melakukan kontrol sosial terhadap masyarakat, memecahkan problem sosial yang terjadi di masyarakat. Ditinjau dari segi ilmu politik, Kyai merupakan aktor politik
yangmempunyai
sumber daya
politik berbasis
kharismatik dan
tradisional yang
memungkinkanKyai membentuk sikap ataupreferensi politis tertentu dalam struktur sosial masyarakat disekitarnya , bisa di lihat di Mulkhan, 2009.
yang sama, kiyai sebagai interpreteter ajaran agama yang pandangan dan pemikirannya menjadi referensi. Sebagai elit sosial, kiyai menjadi panutan dan
sekaligus pelindung masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Multi peran seperti inilah yang seringkali menjadikan kiyai bersikap serba salah
dan dilematis. Peran dan tanggung jawab kiyai terhadap agama, negara dan masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan
yang menjadikan pada posisi sulit. Pada saat hubungan pemerintah dengan rakyat tidak harmonis, di mana dominasi negara sangat kuat, kiyai yang tidak membela
dan memperjuangkan kepentingan masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan santrinya. Hal ini berarti kiyai akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan dan
legitimasi sebagai kiyai, yang apabila tidak dikelola dengan baik, kiyai akan kehilangan posisi daya tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi di
hadapan masyarakat. Meski tidak sekeras fragmentasi politik era 1950-an, sikap partisan kyai dan tokoh-tokoh pesantren dalam politik praktis telah memetakan
masyarakat Islam ke dalam beberapa kelompok politik yang tidak sepaham. Pada era 1950-an peran kyai masih sangat berpengaruh dalam menentukan sikap politik
pengikutnya dari kalangan santri. Masih menyatunya misi politik mereka vis a vis kelompok politik komunis ataupun nasionalis menjadikan sentimen politik dan
ideologis sekaligus dapat dengan mudah dieksploitasi tokoh-tokoh keagamaan dengan dalih memperjuangkan misi politik Islam. Kuatnya imperasi situasi politik
yang diliputi kentalnya kepentingan ideologis menempatkan kyai dan tokoh-tokoh pesantren sebagai acuan sikap politik ataupun sumber opini bagi kalangan Islam
suprayago 1997. Para kyai menyadari pentingnya posistioning pesantren untuk itu pesantren membuka relasi-relasi sosial baik dengan pemerintah maupun
dengan masyarakat. Relasi sosial disadari akan mempengaruhi keberadaan pesantren. Kyai melihat politik bukan sebuah kekangan constraint namun selalu
mengekang constraining dan membebaskan enabling.
Sementara hubungan politik pesantren dengan partai politik adalah Pesantren maupun kyai pada prinsipnya tidak buta dan tidak tuna politik. Namun
Kyai berpendapat bahwa tindakan dan proses politik ~ yang melibatkan kyai pesantren, sesungguhnya merupakan wujud partisipasi sebagai warga Negara.
Partisipasi bisa dilakukan dengan berbagai bentuk. Tindakan politik meliputi proses pembentukan pendapat politik, kecakapan politik dan bagaimana orang
menyadari setiap peristiwa-peristiwa politik. Dasar pemikiran tersebut menjadi ukuran bagi kyai pesantren dalam menentukan sikap politik ~ termasuk dalam
menentukan pilihan partai politik. Perilaku memilih partai politik bagi kyai pesantren akan memiliki keterkaitan dengan empat faktor meliputi: kekuasaan,
kepentingan, kebijaksanaan dan budaya politik. Pertama, faktor kekuasaan meliputi cara untuk mencapai hal yang diinginkan melalui sumber-sumber
kelompok yang ada di masyarakat. Kekuasaan ini merupakan dorongan manusia dalam berperilaku politik termasuk perilaku memilih yang tidak dapat diabaikan.
Kedua, faktor kepentingan merupakan tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik. Dalam hal mengejar kepentingan tersebut, manusia
membutuhkan nilai-nilai: keadilan, dan kejujuran. Ketiga, faktor kebijakan sebagai hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya
berbentuk perundang-undangan. Kebijakan akan memiliki implikasi penting dalam perilaku politik terutama yang dilakukan oleh elit masyarakat. Faktor
keempat, berupa budaya politik merupakan orientasi subjektif individu terhadap