Pertanahan Pesantren di Zaman Kemerdekaan dan orde Baru : Wakaf dan Kepastian Hukum
yang tidak dimiliki seorangpun, maka dialah yang lebih berhak atas tanah tersebut. “” HR. Bukhari dari Aisyah r.a.
Kepemilikan tanah PP. Raudlatul Ulum masuk ke dalam kasifikasi pemilikan tanah karena membeli. Bukan hanya tanah yang kepemilikannya karena
dasar jual beli, tanah ihya ul mawat pun bisa untuk diwariskan jadi para penerus pesantren yang ada saat ini adalah ahli waris yang sah menurut hukum syariah
untuk menguasai tanah-tanah pondok pesantren yang dikelolanya.
Seperti dikemukakan di atas peraturan pertanahan yang dikeluarkan pemerintah baik pada zaman kolonial maupun pemerintahan Republik Indonesia,
termasuk yang menyangkut wakaf mesjid tidak menimbulkan konflik dengan dunia pesantren karena peraturan-peraturan yang dikeluarkan secara normatif
tidsk bertentangan dengan norma atau syariah agama Islam. Peraturan wakaf diambil dari aturan-aturan keagamaam yang kemudian diadopsi dan dilegalkan
oleh negara. Hanya saja, peraturan perwakafan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Bagi pemerintah penjajah Belanda, wakaf dijadikan sebagai
alat untuk mengontrol aktivitas masjid. Pemerintah penjajah Belanda lebih fokus pada aktivitas masjid sebagai bahan kontrol politiknya, sedangkan pemerintah
Orde Baru, memanfaatkan status wakaf masjid untuk membangun kelembagaan tandingan dari kelembagaan tradisional kyai, melalui pembentukan DKM sebagai
nazir yang menjadi bagian dari perangkat wakaf masjid.
Peraturan Wakaf dan pembentukan DKM dapat menjadi konflik non rasional antara pemerintah dengan masyarakat pesantren. Karena itu ada beberapa
masjid yang tidak dijadikan wakaf oleh pendiri dan penerusnya. Pelepasan hak tanah dari seseorang kepada badan wakaf dapat berdampak secara sosial maupun
ekonomi. konflik kepengurusan masjid dan wakaf dapat terjadi. Potensi pertama adalah seiring dengan pertumbuhan penduduk, semakin tinggi tingkat kebutuhan
tanah khususnya di daerah urban dan semakin tingginya aset ekonomi wakaf dan masjid. Sedangkan potensi yang ke dua adalah masjid merupakan suatu hal yang
sensitif dan menyulut emosi masyarakat. Tentu saja karena masjid memiliki tempat istimewa bagi Muslim, bernuansa sakral, spiritual keagamaan, serta ada
kultur sosial yang sudah terjalin yang mengukuhkan kedekatan emosional warga. Dalam bahasa lain, masjid memiliki ruang-ruang sosial dan spiritual social and
religious spheres, bukan hanya sekedar bangunan fisik
..
84
Konflik masalah perwakafan masjid umumnya terjadi pada masjid-masjid masyarakat di luar
pesantren. Cikal bakal konflik terjadi karena ruislag atau alih fungsi masjid karena Rencana Tata Ruang atau karena perselisihan pemahaman mengenai hak
atas tanah wakaf oleh Badan Wakaf yang mewakili negara dengan masyarakat yang merasa sebagai ahli waris dari pewakaf.
Sebagaimana diketahui bahwa posisi masjid dalam masyarakat pesantren adalah sangat penting.Masjid berfungsi sebagai pembentuk komunitas sekaligus
sebagai saluran modal sosial.Betapapun masjid memiliki arti strategis, namun PP. Sidogiri mentaati peraturan negara untuk melepaskan tanah masjid sebagai tanah
wakaf, demikian pula dengan pengelolaan masjidnya.Untuk PP. Sidogiri pelepasan hak atas masjid menjadi tanah wakaf dan dikelola oleh nadzir
pengelola otonomi wakaf, tidak mengurangi kemampuan ekonominya, justru penyerahan masjid kepada badan wakaf menunjukkan kekuatan kemandirian yang
84
Badan Wakaf Indonesia BWI 2011.
dimilikinya. Pada kenyataannya sekalipun secara de jure masjid telah dikelola oleh nadzir, namun secara de facto keberjalanan masjid tetap ada di bawah
kharisma kyai. Dengan demikian ketika pelepasan hak tidak mempengaruhi kekuatan ekonomi maka buat pesantren tidak memiliki alasan untuk menolak
peraturan yang ada. Bagi PP. Sidogiri, pelepasan hak ini juga menjadi sebuah ibadah kolektif dari keluarga besar Kyai Nawawi.
PP. Roudlatul Ulum tidak mempunyai pengalaman adanya pelepasan hak atas tanah masjid dan pengelolaan masjid kepada fihak lain. Karena pesantren ini
tidak mempunyai fasilitas masjid di lingkungan komplek pesantrennya. Menurut pengakuan pengelolanya, sekalipun kompleks PP.Roudlatul Ulum memiliki asset
tanah yang cukup luas, namun asset tanah ini belum disertifikasi. Surat tanah yang mereka pegang masih berupa girik yang dicatatkan pada buku letter C di kantor
desa. PP. Raudlatul Ulum, menyadari bahwa pencatatan pertanahan adalah hal yang penting. Berkaitan dengan UU pertanahan yang dikeluarkan oleh negara,
PP.Sidogiri pada prinsipnya setuju dan tidak menolak.
Tidak resistennya pesantren terhadap wakaf tidak terlepas dari keberhasilan logika politik penguasa penjajah Belanda yang kemudian diteruskan
sampai zaman pemerintahan Orde Baru. Ketentuan wakaf dibangun dengan pendekatan moral dan intelektual. Penguasa mengatur asset masyarakat pesantren
tidak menggunakan yurisdiksi positif formal, tetapi menggunakan aturan keagamaan yang diacu oleh masyarakat pesantren. Wakaf mendapatkan sambutan
dari masyarakat pesantren tanpa resistensi, hal ini mengingatkan pada teori hegemoni Gramsci, dimana sebuah peraturan mendapatkan persetujuan secara
sukarela oleh kelas yang di bawah terhadap kelas atas yang menghegemoni. Karena hegemoni dicapai melalui sukarela, maka persetujuan tidak mengandung
sesuatu yang negatif. Justru sebaliknya, suatu tindakan, aturan dan kebijakan yang diambil selalu berdasarkan persetujuan yang berarti positif baik. Persetujuan
masyarakat pesantren ini terjadi karena berhasilnya penguasa mempropaganda kebijakan. Propaganda kebijakan wakaf ini dilakukan dengan membangun sistem
UU dan lembaga-lembaga Badan wakaf, pendidikan, dan seterusnya, yang dikemas dalam bahasa agama sebagai kemaslahatan bersama dan dalam bahasa
politik sebagai kewajiban warga negara. Karenanya Keberhasilan wakaf ini bukan saja pemerintah yang mengklaim dominasinya, melainkan juga
memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah.
Negara dalam perspektif Gramsci tidak hanya menyangkut aparat pemerintahan, tetapi juga menyangkut aparat hegemoni atau masyarakat sipil
.Dalam hal pewakafan, sejak zaman penjajah Belanda sampai ke masa Orde Baru, negara dengan kekuasaan pemerintahannya merupakan sebuah instrumen dari
kelas atas atau penguasa. Negara dijadikan sebagai alat menekan oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya. Lewat nagara ini kelas atas melakukan kebijakan-
kebijakan, baik yang bersifat hegemonik maupun dominatif. Tujuan dari kebijakan itu adalah untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya.Di sisi
lain, kaum intelektual dalam negara juga berperan dalam berlangsungnya hegemoni seperti pada kasus Snouck Hurgronje yang menciptakan proses
penempaan pemikiran, ide-ide pada penguasaan ide-ide untuk melemahkan satu kelas atas kelas lainnya.
Masalah perwakafan adalah kemenangan tersendiri bagi penguasa atas nama negara dalam menunjukkan dominasi. Sekalipun wakaf adalah asset
sekaligus modal sosial untuk menggerakkan pendidikan muslim. Namun dengan adanya kebijakan prinsip dan tata kelola wakaf menciptakan prinsip baru yang
berbeda dengan prinsip tradisi wakaf yang selama ini dikenal dalam tradisi pendidikan islam klasik. Prinsip wakaf menurut hukum positif adalah bahwa
pelaksanaan wakaf pada pesantren-pesantren tidak dapat dilaksanakan dengan dalil dan hukum agama saja tetapi harus terikat dengan hukum negara. Dengan
demikian Peraturan pemerintah dan Undang-undang tentang perwakafan telah melegitimasi negara untuk memasuki ranah-ranah tradisi yang sebelumnya
merupakan otoritas ulama
Sekalipun negara telah memasuki ruang pesantren melalui media undang-undang perwakafan, bagi pesantren perwakafan tidak melemahkannya,
karena yang terkeluarkan dari pesantren dalam hal ini adalah ruang
85
masjid, dimana sesuai dengan UU masjid memiliki nazir tersendiri. Mengambil kasus
PP.Sidogiri, sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada arus ekonomi di ruang masjid, namun sejak lama arus dana yang masuk ke dalam masjid tidak digunakan
untuk kegiatan-kegiatan belajar mengajar di pesantren. UU dan peraturan perwakafan terutama yang berkaitan dengan mekanisme pengelolaan masjid,
justru menjadi pemicu kemandirian PP.Sidogiri.
Berbeda dengan hubungan politik, pada ideologi pemahaman pandangan hidup, pembangunan umat, sistem negara, yang mengantarkan pesantren dan
penguasa bersifat koeksistensi. Pada tataran hubungan politik pertanahan terjadi kooperasi antara pesantren dengan pemerintah. Ada beberapa hal yang membuat
pesantren mau bekerjasama dengan pemerintah. Pertama, alasan ekternal, pesantren pernah mengalami pengalaman traumatik pada masa Orde Lama, ketika
terjadi penyerobotan-penyerobotan tanah oleh komunis, dimana alasan utama penyerobotan lahan oleh komunis didasarkan pada alasan bahwa pesantrenkyai
menguasai lahan secara ilegal. Kedua, alasan internal, pesantren menyadari bahwa konflik internal antar keluarga dapat muncul disebabkan oleh pertanahan. Dengan
kedua alasan tersebut pesantren membutuhkan kekuatan hukum formal, dan pesantren mengakui bahwa hukum formal adalah otoritas negara.
Pemerintah berhasil melakukan hegemoni terhadap pesantren dengan menggunakan wacana perwakafan. Pemerintah membawakannya bukan kepada
pengambil alihan hak tanah dari pesantren kepada negara melainkan dengan isu kepastian hukum. Dengan pendekatan semacam ini pihak pesantren merasa tidak
kehilangan kontrol sepenuhnya terhadap objek yang yang diwakafkan. Objek- objek yang diwakafkan atau dipindah kuasakan dari pesantren kepada milik
publik tidak beralih fungsi. Tidak adanya konflik pertanahan antara pesantren dengan pemerintahan memang ditentukan oleh konsistensi kedua belah fihak
untuk tidak merubah fungsi objek wakaf sesuai dengan sejarah keberadaaannya
86
. Pemerintah juga menggunakan kaum intelektual, yang
85
Saya menyebut dengan istilah ruang masjid, karena pada bab tentang ruang-ruang ekonomi pesantren, masjid bukan saja diartikan secara fisik dan tempat aktivitas ibadah tetapi masjid
merupakan sarana untuk mengumpulkan modal sosial yang bersifat ekonomis.
86
Hak atas tanah wakaf adalah hak penguasaan atas satu bidang tanah tertentu semula hak milik dengan terlebih dahulu diubah statusnya menjadi tanah wakaf yang oleh pemiliknya telah
dipisahkan dari harta kekayaan dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatab atau keperluan umum lainnya seperti pesantren atau sekolah berdasarkan agama
sesuai dengan ajaran hukum islam. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan danatau menyerahkan