Pendekatan pendidikan multikultural Pendidikan Multikultural

31 sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti difference, atau politics of recognition politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar pada ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, diperoleh kesimpulan bahwa pendidikan multikultural pada dasarnya diimplementasikan untuk menciptakan masyarakat yang menyadari dan menghargai kemultikulturalan.

b. Pendekatan pendidikan multikultural

Mendesain pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antarkelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti di Indonesia merupakan tantangan yang tidak ringan. Perlu ditumbuhkan pengetahuan dan kesadaran bahwa pendidikan multikultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Dalam kondisi demikian, pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah 32 pendekatan. Mengacu pada pendapat Choirul Mahfud 2006, terdapat empat pendekatan untuk mencapai pendidikan multikultural. Pertama, pendidikan multikultural akan terwujud jika semua masyarakat tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan education dengan persekolahan scholling, atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Hal ini berarti tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik tertentu. Dalam kontek pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan melihat peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik. Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan 33 bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan baik formal mapun non formal meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Pendekatan pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan melihat benang merah dari beberapa kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Rabad Sihabuddin 2006: 26 menggambarkannya melalui tarian daerah yang berkembang di Indonesia, yaitu sebagai berikut: “Di Sumatera Utara terdapat jenis tarian dengan nama tari Manduda. Pada dasarnya tarian ini menggambarkan suasana bersuka ria pada saat masa panen. Rasa sukaria itu timbul akibat rasa syukur karena melimpahnya hasil panen yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka. Demikian juga dengan tari lainnya seperti tari Tor-Tor, dan tari Serampang Dua Belas. Kesemuanya merupakan refleksi rasa gembira, bersyukur, dan bahagia atas berbagai rahmat Tuhan kepada mereka .” Rabad Sihabuddin 2006: 26 memberikan penjelasan pada ilustrasi yang dibuat tersebut, bahwasannya, jika diamati, berbagai bentuk tarian serta bentuk budaya lainnya pada masyarakat di Indonesia, maka didapat kesan yang membentuk benang merah berupa kesamaan cita dan rasa. Jika diamati lebih dalam lagi, Rabad Sihabuddin 2006: 26 mengatakan bahwa melalui analisa berbagai 34 kebudayaan di Indonesia, maka akan dapat diambil nilai kepaduan dari beberapa budaya. Pada dasarnya, budaya masyarakat Indonesia adalah budaya serumpun, yang apabila digali kesamaannya maka akan dapat membentuk budaya nasional. Maka budaya daerah pada dasarnya merupakan bagian dari budaya nasional.

3. Pendidikan Multikultural di Sekolah