STRATEGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI TAMAN KANAK-KANAK (TK) KATOLIK SANG TIMUR YOGYAKARTA.

(1)

STRATEGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI TAMAN KANAK-KANAK (TK) KATOLIK SANG TIMUR

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Tri Wulaningrum NIM 13110241052

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Tidak ada orang yang lahir untuk membenci sesama karena perbedaan warna

kulit atau agama” (Nelson Mandela)

“Faktanya pelangi indah karena tujuh spektrum warna yang berbeda, maka

sudah pasti dunia jauh lebih indah, karena di sini tidak hanya ada tujuh, tapi

jutaan warna yang semuanya rata indahnya”


(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orangtua tercinta yang sesungguhnya jauh lebih lelah daripadaku, yang selalu memberi motivasi dan doa, serta memberikan pengorbanan yang sangat luar biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga saya bisa menjadi kebanggaan mereka.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Ilmu Pendidikan, khususnya program studi Kebijakan Pendidikan.


(7)

vii

STRATEGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI TAMAN KANAK-KANAK (TK) KATOLIK SANG TIMUR

YOGYAKARTA Oleh Tri Wulaningrum NIM 13110241052

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang: (1) Alasan kebijakan pendidikan multikultural diterapkan di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta. (2) Strategi Pendidikan Multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta. (3) Faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subyek penelitian ini adalah Kepala Sekolah (sekaligus Suster yayasan Karya Sang Timur), guru, dan staf TK Katolik Sang Timur Yogyakarta. Setting penelitian ini di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Peneliti merupakan instrumen utama dalam melakukan penelitian yang dibantu oleh pedoman observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik komponensial secara induktif, dengan langkah: reduksi data, display data dan pengambilan kesimpulan. Triangulasi yang digunakan untuk menjelaskan keabsahan data adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Alasan penerapan kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dilandasi secara filosofis oleh dua hal, yaitu: (a) kewajiban saling mengasihi terhadap sesama, (b) kesadaran sekolah sebagai salah satu pionir dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. (2) Strategi pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dilakukan melalui lima aspek, yaitu: (a) struktur sosial yang dibangun oleh sekolah, (b) pelaksanaan proses pembelajaran, (c) pengembangan kurikulum sekolah, (d) kultur yang dibangun oleh sekolah, (e) evaluasi pendidikan yang dijalankan oleh sekolah. (3) Faktor pendukung implementasi kebijakan pendidikan multikultural: (a) keberadaan kebijakan pendidikan multikultural jauh sebelum sekolah didirikan, (b) keberagaman di lingkungan sekolah, (c) komitmen cinta kasih dan tidak mengunggulkan golongan tertentu. Faktor penghambat yaitu: (a) ketidakpahaman beberapa orangtua tentang kebijakan pendidikan multikultural, (b) belum adanya guru agama untuk memfasilitasi peserta didik yang beragama Kristen, Islam, dan Hindu, (c) belum tersedianya ruang peribadatan agama Kristen, Islam, dan Hindu.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah, rahmat, dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Strategi Pendidikan Multikultural di Taman Kanak-Kanak (TK) Katolik Sang

Timur Yogyakarta” dengan baik dan lancar. Penulis menyadari bahwa skripsi ini

tidak terwujud tanpa adanya kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, terimakasih telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, yang telah memberikan fasilitas dan sarana sehingga studi saya berjalan lancar.

3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan kelancaran dalam proses penelitian ini.

4. Ibu Dr. Siti Irene Astuti D, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan mengarahkan, memberi masukan, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Fakultasi Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan.

6. Seluruh keluarga besar TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang sudah sangat terbuka kepada penulis.

7. Orangtua yang senantiasa memberikan dukungan moril dan materil. Terimakasih selalu menyemangati, terimakasih telah menjadi orangtua terbaik. 8. Dua kakak dan satu adikku. Terimakasih selalu menjadi saudara terbaik.

9. Teman-teman dekatku (Amin, Dima, Isti, Ida) terimakasih untuk semangat yang selalu kalian berikan. Semoga pertemanan kita selalu terjaga.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN.……….. ii

HALAMAN PERNYATAAN.……….….. iii

HALAMAN PENGESAHAN..……….. iv

HALAMAN MOTTO…..……….….. v

HALAMAN PERSEMBAHAN...……….. vi

ABSTRAK………...……….. vii

DAFTAR ISI………....……….. x

DAFTAR TABEL……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.……….. 1

B. Identifikasi Masalah...……….……….. 10

C. Fokus Penelitian.……….……….. 11

D. Rumusan Masalah..……….……….. 12

E. Tujuan Penelitian……….. 12

F. Manfaat Penelitian..……….. 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori...……….. 15

1. Strategi Implementasi Kebijakan.……….. 15

a. Pengertian strategi.……….…….. 15

b. Implementasi kebijakan………..…….. 16

1) Pengertian kebijakan…...……….…….. 16

2) Pengertian implementasi kebijakan….……….…….. 19

c. Pemahaman strategi implementasi kebijakan……….…….. 23

2. Pendidikan Multikultural.……….…….. 26


(11)

xi

b. Pendekatan pendidikan multikultural….……….. 31

3. Pendidikan Multikultural di Sekolah…...……….…….. 34

B. Penelitian yang Relevan.……….. 44

C. Alur Pikir Penelitian…...……….. 48

D. Pertanyaan Penelitian.……….…….. 50

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian.……….. 52

B. Subyek Penelitian...……….. 53

C. Setting Penelitian……….. 54

D. Teknik Pengumpulan Data.……….. 55

E. Instrumen Penelitian...……….. 58

F. Teknik Analisis Data..……….. 60

G. Keabsahan Data..……….. 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian..……….….. 66

1. Deskripsi TK Katolik Sang Timur Yogyakarta…...……….….. 66

a. Gambaran umum TK Katolik Sang Timur Yogyakarta…….…….. 66

b. Guru dan karyawan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta………... 69

c. Peserta didik TK Katolik Sang Timur Yogyakarta……….. 72

2. Deskripsi Data Hasil Penelitian…...……….….. 75

a. Alasan kebijakan pendidikan multikultural diterapkan di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta……….….. 75

1) Landasan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan multikultural.….. 75

2) Proses dan perkembangan kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta……….. 78

b. Strategi pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta.……….. 80

1) Struktur sosial yang dibangun dalam mewujudkan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta…..…….. 81

2) Proses pembelajaran yang dibangun dalam mewujudkan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta………. 91

3) Pengembangan kurikulum pendidikan dalam mewujudkan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta………. 109


(12)

xii

4) Kultur sekolah yang dibangun dalam mewujudkan pendidikan

multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta……….... 116

5) Evaluasi pendidikan yang dijalankan dalam mewujudkan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta………. 125

c. Faktor pendukung dan penghabat implementasi kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta.……….. 129

1) Faktor pendukung implementasi kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta………… 129

2) Faktor penghambat implementasi kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta…..…….. 131

B. Pembahasan …...……….. 132

1. Alasan Kebijakan Pendidikan Multikultural Diterapkan di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta…...……….. 132

2. Strategi Pendidikan Multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta………. 138

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Kebijakan Pendidikan Multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta….… 165 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…….……….. 169

B. Saran…………...……….. 172

DAFTAR PUSTAKA..……….. 174


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Waktu Pelaksanaan Penelitian... 55

Tabel 2. Rincian Sarana Prasarana yang dimiliki TK Katolik Sang Timur Yogyakarta...

69 Tabel 3. Data Guru Kelas TK Katolik Sang Timur Yogyakarta Tahun

Ajaran 2016/2017………...

70 Tabel 4. Data Guru Ekstra Kurikuler TK Katolik Sang Timur Yogyakarta... 71 Tabel 5. Data Karyawan TK Katolik Sang Timur Yogyakarta………... 71

Tabel 6. Data Jumlah Peserta Didik TK Katolik Sang Timur Yogyakarta 5 Tahun Terakhir ……….…....

72 Tabel 7. Data Peserta Didik TK Katolik Sang Timur Yogyakarta

berdasarkan Jenis Kelamin ……….………..

73 Tabel 8. Data Peserta Didik TK Katolik Sang Timur Yogyakarta

berdasarkan Agama ……….……….

74 Tabel 9. Data Peserta Didik TK Katolik Sang Timur Yogyakarta

berdasarkan Profesi Orangtua ……….…………. 75 Tabel 10. Strategi Pendidikan Multikultiral melalui Struktur Sosial yang

Dibangun di Sekolah ……….…………...

147 Tabel 11. Strategi Pendidikan Multikultural melalui Proses Pembelajaran

yang Dibangun di Sekolah ……….………….. 153 Tabel 12. Strategi Pendidikan Multikultural ditinjau dari Teori Dimensi

Pendidikan Multikultural James Bank (1993……… 156 Tabel 13. Strategi Pendidikan Multikultural melalui Kultur yang Dibangun

oleh Sekolah ………...

163


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Pedoman Observasi, Dokumentasi, dan Wawancara... 178 Lampiran 2. Catatan Lapangan... 192 Lampiran 3. Analisis Data Hasil Penelitian (Reduksi dan Penarikan

Kesimpulan)……….

205 Lampiran 4. Dokumentasi Foto……….... 225 Lampiran 5. Daftar Prestasi Sekolah, Surat Edaran Sekolah Terkait

Perayaan Hari Besar Agama, dan Lagu Pembelajaran Multikultural……….………... 228 Lampiran 6. Surat Izin Penelitian……….………… 236


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan multikultural belum menjadi kebijakan yang implementatif di Indonesia. Padahal pendidikan multikultural sangat diperlukan pada masyarakat multidimensi seperti halnya bangsa ini. Indonesia merupakan salah satu negara multidimensi terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih dari 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan (Ainul Yakin, 2005).

Membangun pendidikan multikultural bukan sekedar amanat konstitusi, tetapi merupakan suatu keharusan dalam menghadapi keadaan bangsa Indonesia yang multikultural, sehingga mampu menunjukkan eksistensi dan integrasinya di tengah kehidupan global. Pendidikan multikultural dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman geografis, kultural, hak-hak asasi manusia dan pengurangan serta penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang multidimensi. Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan


(16)

2

instrumen strategis untuk mengembangkan kesadaran seseorang terhadap bangsanya. Secara lebih dalam, pendidikan multikultural berperan untuk membangun fondasi bagi pengembangan masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, toleran, dan demokratis di atas segala perbedaan yang dimiliki. Pendidikan ini tidak sekadar terpaku pada dimensi kognitif atau pengetahuan, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, pendidikan multikultural seharusnya diberikan sejak awal pada peserta didik. Kekuatan yang paling menonjol dalam penerapan pendidikan multikultural adalah kemampuan peserta didik menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar.

Implementasi pendidikan multikultural akan terwujud jika diimbangi dengan kebijakan dan regulasi khusus yang mengikat dan mengatur penyelenggaraannya. Secara nasional, penerapan pendidikan multikultural telah diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa:

“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.

Bunyi pasal tersebut mengimplikasikan bahwa paradigma multikulturalisme menjadi salah satu perhatian dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Secara implisit, pasal 4 undang-undang sisdiknas tersebut menyatakan bahwa pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang beragam, hak azasi manusia, nilai budaya dan kemajemukan bangsa.


(17)

3

Hal ini mendorong pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia agar dapat diimplementasikan, baik melalui pendidikan formal, maupun pendidikan nonformal.

Faktanya, pendidikan multikultural belum menjadi perhatian di beberapa wilayah Indonesia. Terlebih lagi dalam hal pembudayaan kultur multikultural pada lembaga pendidikan. Laman berita Tribun Senayan.com (28/11/2016) memberitakan bahwa Kepala SMP Negeri 4 Desa Katipo Jaya memberikan pernyataan yang kontroversial terkait petugas pembaca Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) pada pelaksanaan upacara bendera di sekolah. Kepala Sekolah tersebut menyampaikan bahwa siswa Kristen tidak pantas menjadi pembaca pembukaan UUD 1945. Secara eksplisit dalam Tribun Senayan.com Kepala SMPN 4 Desa Katipo Jaya menyampaikan bahwa:

“Saya memang benar mengatakan siswa Kristen tak pantas menjadi

pembaca Pembukaan UUD 1945, sebab dalam alenia ketiga ada kata "Allah" yang menurut saya jikalau orang Krsiten mengucapkan sepertinya janggal, dan bisa jadi bahan tertawaan. Dengan Rahmat “Allah”, itu harus dibaca dengan Allah (Alloh), kalau Kristen kan Allah dibaca (Allah). Jadi yang pantas jadi pembaca Pembukaan UUD 1945 itu adalah Islam dan Siswa Kristen tidak pantas membacanya. Allah yang dibaca “Alloh” merupakan Tuhan umat Islam.”

Kondisi di atas menunjukkan betapa pendidikan multikultural belum menjadi perhatian pada lembaga pendidikan di daerah tertentu Indonesia. Lain halnya dengan kota Yogyakarta, secara manajerial, kota ini memiliki keseriusan dan perhatian khusus terhadap penerapan nilai-nilai multikultural dalam pendidikan. Salah satu bentuk keseriusan tersebut ditandai dengan dirumuskannya peraturan daerah yang menyatakan urgensitas pendidikan


(18)

4

multikultural untuk diimplementasikan. Secara eksplisit tertera pada pasal 28 ayat 2 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 5 Tahun 2008 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan, berbunyi:

“Pendidikan budi pekerti termasuk di dalamnya antara lain pendidikan multikultural, toleransi antargolongan untuk menumbuhkan kesadaran

akan arti pentingnya wawasan kebangsaan.” (Perda No 5 Tahun 2008)

Peraturan daerah di atas memberikan penegasan bahwa pendidikan multikultural merupakan salah satu bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan di kota Yogyakarta. Hal itu menjadi garis haluan pendidikan di kota ini, bahwa dalam proses pelaksanaannya, pendidikan di kota Yogyakarta harus senantiasa menjunjung tinggi konsep pendidikan multikultural.

Faktanya, keberadaan peraturan daerah sebagai regulasi yang mengikat tidak menjamin implementasi pendidikan multikultural di Yogyakarta berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini muncul ketika regulasi atau kebijakan yang sudah ada tidak diimbangi dengan intervensi dari dinas pendidikan terkait. Padahal dinas pendidikan merupakan lembaga yang bertugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang pendidikan berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan. Seharusnya dinas pendidikan menggunakan wewenang tersebut untuk memberikan intervensi positif terhadap implementasi pendidikan multikultural di kota Yogyakarta. Dalam Harian Jogja.com (29/03/15), Wakil Ketua DPD RI menyampaikan bahwa:

“Dinas Pendidikan sendiri kurang memahami betapa pentingnya keberagaman harus ditanamkan di lingkungan sekolah negeri. Setidaknya harus ada pola kurikulum pendidikan yang bisa menyentuh nilai-nilai lokal kedaerahan, sehingga melekat nilai toleransi pada


(19)

5

sektor pendidikan di kota gudeg. Pendidikan berkarakter nilai keberagaman dan penanaman budi pekerti menjadi multikultur yang harus tumbuh di sekolah-sekolah”.

Pernyataan Wakil Ketua DPD RI tersebut memberikan dua indikasi.

Pertama, dinas pendidikan belum memiliki kebijakan khusus terkait dengan

aturan penerapan pendidikan multikultural ke dalam pembelajaran di sekolah.

Kedua, terjadinya kesenjangan urgensi penerapan pendidikan multikultural

pada lembaga pendidikan negeri dan swasta di Yogyakarta.

Pendapat Wakil Ketua DPD RI dalam Harian Jogja.com menjadi gambaran bahwa pemerintah lebih condong memberikan perhatian kepada sekolah negeri dalam hal urgensitas implementasi pendidikan multikultural. Hal itu mengingkari kondisi pendidikan senyatanya di kota Yogyakarta. Lembaga pendidikan di kota ini terdiri atas lembaga pendidikan negeri dan swasta. Kota Yogyakarta memiliki beberapa lembaga pendidikan swasta dengan input peserta didik yang multidimensi, baik dari segi agama, ekonomi, budaya, ras, gender, maupun kemampuan fisik dan akademik. Adanya kesenjangan perhatian pemerintah terhadap implementasi pendidikan multikultural yang lebih condong pada lembaga pendidikan negeri menyebabkan tidak sedikit lembaga pendidikan swasta yang berjalan berlawanan dengan konsep pendidikan multikultural. Hal ini menjadi fenomena tersendiri, di mana saat ini di Yogyakarta terdapat lembaga pendidikan swasta yang hanya memberikan pelayanan pendidikan pada peserta didik dengan latar belakang agama tertentu. Keadaan ini menjadikan sekolah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Di mana sekolah


(20)

6

merupakan salah satu wahana transformasi dalam mewujudkan pendidikan multikultural. Hal itu merujuk pada pendapat Abdul Munir Mulkhan (2005) yang menyebutkan bahwa pendidikan multikultural mencakup tiga jenis transformasi: 1) transformasi diri; 2) transformasi sekolah dan pengajaran; dan 3) transformasi masyarakat.

Sekolah menjadi lembaga strategis dalam membumikan berbagai nilai multikultural ke dalam perilaku keseharian warga sekolah, terutama peserta didik. Pendidikan multikultural menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi kepada para peserta didik. Penerapan pendidikan multikultural di sekolah akan menjadikan peserta didik sebagai anggota masyarakat yang saling menghargai, bekerjasama, dan menghormati satu sama lain. Dengan begitu, peserta didik akan tumbuh menjadi manusia yang mampu menghargai pluralisme dan multikulturalisme dalam berbagai aspek. Secara lebis luas, sekolah diharapkan menjadi agen perubahan di masyarakat yang memberikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan multikultural. Dengan demikian, dalam masyarakat yang multikultural akan tercipta kepribadian yang cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman.

Strategi implementasi pendidikan multikultural di sekolah melibatkan kerja sama berbagai pihak, meliputi kepala sekolah atau yayasan, guru, komite sekolah, karyawan sekolah, peserta didik, dan orangtua peserta didik. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian multiyear tentang pengembangan model pembelajaran


(21)

7

multikultural di SD yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Setya Raharja tahun 2006 dalam jurnal Farida Hanum dan Sisca Rahmadona (2010), sebagian besar guru, kepala sekolah, dan komite sekolah belum memahami pembelajaran multikultural, bahkan asing dengan istilah pembelajaran multikultural ataupun pendidikan multikultural. Tidak sedikit guru yang memperlakukan peserta didiknya dengan mengesampingkan aspek multikulturalisme yang mereka miliki. Guru masih terjebak pada pola pendidikan yang menseragamkan, bukan menghargai perbedaan. Kondisi ini semakin mendesak adanya transformasi pendidikan di berbagai sekolah untuk mewujudkan pendidikan yang tanggap dengan keberagaman.

Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan sejak dini untuk membangun self-awareness multikultural pada diri seorang anak. Oleh karena itu, nilai-nilai kesetaraan yang tidak menganggap diri dan kelompok sendiri sebagai superior atas yang lain sangat penting ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Jika sejak dini, peserta didik dibiasakan untuk memahami setiap perbedaan dan pluralitas kelompok, maka setidaknya peserta didik akan mampu menata dan mengendalikan emosinya ketika bersinggungan dengan perbedaan, karena sudah dibekali perspektif dan pandangan yang menghargai setiap perbedaan. Hal ini dirasa penting karena di satu sisi keragaman di Indonesia adalah realitas yang pasti akan dialami anak-anak saat mereka tumbuh, namun di sisi lain, saat ini banyak bermunculan kelompok sosial keagamaan yang menebarkan nilai-nilai intoleransi (H.A.R. Tilaar: 2002: 37). Kelompok-kelompok


(22)

8

demikian biasanya menanamkan kecurigaaan dan permusuhan yang membuat demarkasi sosial berdasarkan agama, suku, dan golongan.

Pendidikan multikultural ditanamkan sejak dini dengan harapan agar anak mampu memahami bahwa di dalam lingkungan mereka dan juga di lingkungan lain terdapat keberagaman. Slamet Suyanto (2005), mengatakan bahwa salah satu garis besar Pendidikan Anak Usia Dini adalah “PAUD sebagai pendidikan multikultur”. Hal ini dikarenakan peserta didik mengalami mobilitas sosial yang tinggi di sekolah. Dalam satu sekolah terdapat berbagai macam latar belakang peserta didik, meliputi agama, etnis, budaya, gender, sosial, ekonomi, maupun kemampuan fisik dan kognitif peserta didik. Para pendidik PAUD hendaknya mampu memberikan layanan pendidikan multikultur agar setiap anak merasa diperlakukan dengan baik di sekolah.

Taman Kanak-Kanak (TK) Katolik Sang Timur Yogyakarta adalah sebagian kecil lembaga pendidikan usia dini berbasis agama yang secara tegas menerapkan nilai multikulturalisme sebagai pionir dasar dalam membangun iklim sekolah yang kondusif bagi warganya. Walaupun sekolah sendiri bernafaskan agama Katolik, pelabelan agama sedapat mungkin dihilangkan. Sekolah berpandangan bahwa agama merupakan masalah yang privat, diserahkan pada individu masing-masing dan pada institusi yang berhak, seperti halnya masjid, gereja, wihara, pura, dan lain-lain. Berdasarkan data hasil prapenelitian, meskipun tidak ada arahan khusus dari dinas pendidikan terkait penerapan pendidikan multikultural, TK Katolik


(23)

9

Sang Timur Yogyakarta sudah berupaya menerapkan nilai-nilai multikultural kepada para peserta didiknya. TK Katolik Sang Timur Yogyakarta merupakan yayasan Katolik, akan tetapi sekolah tersebut terbuka kepada semua calon peserta didik dari berbagai latar belakang agama, budaya, etnik, ras, gender, keadaan sosial, ekonomi, maupun kemampuan fisik dan kognitif peserta didik. Di TK ini hidup dan berkembang beberapa kelompok agama, yaitu agama Islam, Katholik, Kristen, dan Budha. Di dalam lingkungan yang penuh keberagaman tersebut, semua warga sekolah hidup saling menghormati dan toleransi, baik antara guru dengan peserta didik maupun sesama peserta didik itu sendiri.

TK Katolik Sang Timur Yogyakarta meyakini bahwa penerapan pendidikan multikultural merupakan salah satu cara dalam berlaku kasih kepada semua makhluk Tuhan. Kultur sekolah (meliputi kultur fisik maupun akademik) di TK Katolik Sang Timur selalu diorentasikan pada penghargaan terhadap perbedaan. Kondisi inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Peneliti secara holistik ingin mengetahui penerapan kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta. Secara khusus, peneliti ingin mengetahui strategi yang digunakan sekolah tersebut dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural.


(24)

10 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, maka masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Pendidikan multikultural belum menjadi kebijakan yang implementatif di Indonesia.

2. Pendidikan multikultural merupakan hal yang sangat penting diterapkan di negara yang multidimensi seperti halnya Indonesia.

3. Membangun pendidikan multikultural bukan sekedar amanat konstitusi, tetapi merupakan sebuah keharusan dalam menghadapi keadaan bangsa Indonesia yang multikultural sehingga mampu menunjukkan eksistensi dan integrasinya di tengah kehidupan global.

4. Pendidikan multikultural belum menjadi perhatian di beberapa wilayah Indonesia. Terlebih lagi dalam hal pembudayaan kultur multikultural pada lembaga pendidikan.

5. Dinas Pendidikan di kota Yogyakarta belum membuat kebijakan khusus terkait dengan aturan penerapan pendidikan multikultural ke dalam pembelajaran di sekolah.

6. Asumsi dan perhatian pemerintah di beberapa daerah di Indonesia tentang penerapan pendidikan multikultural lebih condong pada lembaga pendidikan negeri. Hal ini mengingkari keberadaan lembaga pendidikan swasta dan bernuansa agama yang juga memiliki input siswa yang multidimensi.


(25)

11

layanan pendidikan bagi peserta didik dengan latar belakang agama tertentu.

8. Adanya fakta (didukung hasil penelitian) yang menunjukkan bahwa sebagian besar guru, kepala sekolah, dan komite sekolah belum memahami pembelajaran multikultural, bahkan asing dengan istilah pembelajaran atau pendidikan multikultural.

9. Tidak sedikit guru yang memperlakukan peserta didiknya dengan mengesampingkan aspek multikulturalisme yang mereka miliki. Guru masih terjebak pada pola pendidikan yang menseragamkan, bukan menghargai perbedaan.

10. TK Katolik Sang Timur Yogyakarta adalah lembaga pendidikan anak usia dini milik yayasan Katolik yang menerapkan pendidikan multikultural, tetapi belum diketahui bagaimana strategi yang mereka gunakan.

C. Fokus Penelitian

Untuk menghindari meluasnya pembahasan, penelitian ini difokuskan pada: (1) struktur sosial yang dibangun sekolah; (2) pelaksanaan proses pembelajaran; (3) pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh sekolah; (4) kultur yang dibangun oleh sekolah; dan (5) evaluasi pendidikan yang dijalankan oleh sekolah dalam mewujudkan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta.


(26)

12 D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah adalah permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Mengapa kebijakan pendidikan multikultural diterapkan di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

2. Bagaimana strategi pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

3. Apakah faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk memperoleh informasi tentang alasan kebijakan pendidikan multikultural diterapkan di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta.

2. Untuk memperoleh informasi tentang strategi pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang dilihat pada: (a) struktur sosial yang dibangun sekolah; (b) pelaksanaan proses pembelajaran; (c) pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh sekolah; (d) kultur yang dibangun oleh sekolah; dan (e) evaluasi pendidikan yang dijalankan oleh sekolah dalam mewujudkan pendidikan multikultural.

3. Untuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta.


(27)

13 F. Manfaat Penelitian

Diadakannya penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Sebagai referensi ilmiah untuk perkembangan ilmu kebijakan pendidikan seperti pada mata kuliah Dasar-Dasar Penelitian Kebijakan, Sosio Antropologi Pendidikan, Manajemen Pendidikan, Inovasi dan Perkembangan Kurikulum Pendidikan, Perencanaan Pendidikan Terpadu, dan Kultur Sekolah.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dinas pendidikan kota Yogyakarta dalam mewujudkan sistem penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan pasal 28 ayat 2 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 5 Tahun 2008, yaitu tentang penyelenggaraan pendidikan multikultural.

b. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan oleh pihak sekolah terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan multikultural.

c. Bagi Peneliti

1) Memberikan pengalaman kepada peneliti untuk menerapkan dan memperluas wawasan, penerapan teori dan pengetahuan yang telah


(28)

14

diterima di dalam perkuliahan pada kegiatan nyata, khususnya dalam bidang penelitian.

2) Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan rujukan atau bahkan dapat dikembangkan lebih lanjut terkait dengan penelitian pendidikan multikultural, serta dapat dijadikan sebagai referensi terhadap penelitian yang sejenis.


(29)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Strategi Implementasi Kebijakan a. Pengertian strategi

Kata strategi berasal dari kata strategos dalam bahasa Yunani, merupakan gabungan dari stratos atau tentara dan ego atau pemimpin. Suatu strategi mempunyai dasar atau skema untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi, pada dasarnya strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan (Trianto, 2007: 85). Chandler dalam Ati Cahayani (2009) menjelaskan bahwa strategi adalah penetapan tujuan jangka panjang sasaran perusahaan, serta penetapan serangkaian tindakan dan alokasi sumber daya yang penting untuk melaksanakan sasaran ini.

Selanjutnya, Marrus (2002: 31) mendefinisikan strategi sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya agar tujuan tersebut dapat dicapai. Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, sumber daya, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi


(30)

16

menjadi suatu kesatuan yang utuh agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Implementasi kebijakan 1) Pengertian kebijakan

Secara estimologi, kata kebijakan berasal dari bahasa Inggris, yaitu “policy”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

Amri Marzali (2012) mendefinisikan kebijakan sebagai cetak biru bagi tindakan yang mengarah dan mempengaruhi perilaku orang banyak yang terkena dampak keputusan yang ditetapkan. Kebijakan sengaja disusun dan dirancang untuk membuat perilaku orang banyak yang dituju (kelompok target) menjadi terpola sesuai dengan bunyi dan rumusan kebijakan tersebut. Definisi ini merujuk pada pemahaman bahwa kebijakan berasal dan diperuntukan bagi sekelompok orang yang telah ditargetkan. Artinya, perumusan kebijakan didasarkan atas permasalahan yang ada dalam suatu masyarakat dan implementasinya ditujukan pada masyarakat itu juga.


(31)

17

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented), sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan (Edi Suharto, 2006).

Kebanyakan orang berpandangan bahwa istilah kebijakan senantiasa disamakan dengan istilah kebijaksanaan. Padahal apabila dicermati, berdasarkan tata bahasa, istilah kebijaksanaan

berasal dari kata “wisdom”. Pendapat Anderson yang dikutip oleh

Solichin Abdul Wahab (2008: 2), merumuskan kebijaksanaan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, kebijaksanaan menurut Anderson merupakan langkah tindakan yang sengaja dilakukan oleh aktor yang berkenaan dengan adanya masalah yang sedang dihadapi.

Selanjutnya, Solichin Abdul Wahab (2008) mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih terjadi silang pendapat dan menjadi ajang perdebatan para ahli. Maka untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008: 40) memberikan


(32)

18

beberapa pedoman sebagai berikut, yaitu: (a) kebijakan harus dibedakan dari keputusan; (b) kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi; (c) kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan; (d) kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan; (e) kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai; (f) setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit; (g) kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu; (h) kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antarorganisasi dan yang bersifat intra organisasi; (i) kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah; dan j) kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan atau masalah tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mewujudkan sasaran yang diinginkan, sehingga berhasil membuat perilaku kelompok yang dituju menjadi terpola sesuai tujuan yang diinginkan.


(33)

19

2) Pengertian implementasi kebijakan

Pengertian implementasi menurut Van Meter dan Van Horn (1975) dalam Solichin Abdul Wahab (2008: 65) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1979) dalam Solichin Abdul Wahab (2008: 65), menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa:

Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/ dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Riant Nugroho (2003: 158) menjelaskan bahwa pada prinsipnya implementasi merupakan cara yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Implementasi merupakan prinsip dalam sebuah tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah serangkaian praktik atau cara yang dilakukan individu atau kelompok dalam mencapai tujuan yang telah


(34)

20

dirumuskan. Maka dari itu, implementasi kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Tindakan tersebut dilakukan baik oleh individu, pejabat pemerintah ataupun swasta melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang bersangkutan.

Implementasi kebijakan menurut Riant Nugroho (2004) adalah cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan yang diinginkan melalui bentuk program-program serta melalui derivate. Derivate adalah turunan dari kebijakan, antara lain melalui proyek intervensi dan kegiatan intervensi. Sejalan dengan itu, Dunn mengatakan implementasi kebijakan (Policy Implementation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan dalam kurun waktu tertentu (Dunn, 2003: 132). Arif Rohman (2012) mengemukakan pendapat bahwa implementasi kebijakan adalah proses yang berpengaruh pada beberapa aspek, di luar badan administratif, melainkan menyangkut pada faktor hukum, politik, ekonomi, maupun sosial.

Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli dalam Subarsono (2005: 101) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program-program


(35)

21

pemerintah yang bersifat desentralistis. Faktor- faktor tersebut di antaranya:

a) Kondisi lingkungan. Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosio-kultural serta keterlibatan penerima program.

b) Hubungan antarorganisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antarinstansi bagi keberhasilan suatu program. c) Sumberdaya organisasi untuk implementasi program.

Implementasi kebijakan perlu didukung sumberdaya, baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human resources).

d) Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana. Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang seluruhnya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

Faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Samodra Wibawa (1994: 42) terdiri atas; isi kebijakan, kinerja kebijakan, serta kelompok dan sasaran. Masing-masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnya, kemudian


(36)

22

secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap implementasi kebijakan.

Pertama. Isi kebijakan adalah aturan tertulis yang

merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif.

Kedua. Kinerja kebijakan, merupakan jawaban dari berhasil

atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Akan tetapi pada dasarnya hal itu merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan.

Ketiga. Kelompok dan sasaran, merupakan kumpulan yang

terdiri dari dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantung, yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu dan merupakan interaksi untuk membagi informasi dan mengambil keputusan dalam membantu tiap anggota di bidang


(37)

23

tanggung jawabnya dan tepat pada sasaran yang telah direncanakan.

c. Pemahaman strategi implementasi kebijakan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi implementasi kebijakan adalah suatu bentuk cara atau rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan, sumber daya dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan, sehingga berhasil membuat perilaku kelompok yang dituju menjadi terpola sesuai tujuan yang diinginkan. Strategi implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, hubungan antarorganisasi, sumber daya oraganisasi, dan karakteristik agen pelaksana.

Konsep strategi dalam implementasi kebijakan diturunkan menjadi konsep pendekatan. Solichin Abdul Wahab (2008: 110) mengatakan, dalam studi kebijakan, pendekatan dalam implementasi kebijakan meliputi: (1) pendekatan struktural, (2) pendekatan prosedural dan manajerial, (3) pendekatan perilaku, (4) dan pendekatan politik. Adapun keempat pendekatan sebagaimana dimaksudkan Solichin Abdul Wahab (2008: 110) adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan struktural (structural approaches). Pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan yang bersifat top-down yang


(38)

24

dikenal dalam teori organisasi modern. Pendekatan ini memandang bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara struktural. Pendekatan ini menekankan pentingnya komando dan pengawasan menurut tahapan atau tingkatan dalam struktur masing-masing organisasi.

2) Pendekatan prosedural dan manajerial (procedural and

managerial approaches). Pendekatan prosedural dan manajerial

dikembangkan dalam rangka suksesnya implementasi kebijakan pendidikan. Pendekatan prosedural dan manajerial ini tidak mementingkan pemetaan struktur-struktur birokrasi pelaksana yang cocok bagi implementasi program, melainkan dengan upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur yang relevan, termasuk prosedur-prosedur manajerial beserta teknik-teknik manajemen yang tepat.

3) Pendekatan perilaku (behavioral approaches). Pendekatan prosedural dan manajerial memang memiliki keunggulan dari beberapa segi seperti yang telah dijelaskan di atas, namun dari segi lain, pendekatan tersebut juga memiliki kelemahan. Adapun kelemahannya antara lain; pendekatan prosedural dan manajerial terlalu menekankan pada aturan-aturan dan teknik-teknik manajemen yang bersifat impersonal, pendekatan ini juga


(39)

25

menuntut ketersediaan piranti teknologi yang canggih dalam penerapannya, sehingga terkesan sangat mahal.

Berbeda dengan pendekatan sebelumnya, pendekatan perilaku berorientasi pada perilaku manusia sebagai pelaksana, bukan pada organisasinya. Pendekatan perilaku ini berasumsi bahwa upaya implementasi kebijakan yang baik adalah bila perilaku dan sikap manusia juga harus dipertimbangkan dan dipengaruhi agar proses implementasi kebijakan tersebut dapat berlangsung dengan baik. Beberapa kasus yang terjadi dalam implementasi kebijakan di mana program kebijakannya baik, peralatan dan organisasi pelaksananya juga baik, namun di tengah jalan terjadi penolakan-penolakan di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa aspek perilaku manusia sangat penting untuk diperhatikan.

4) Pendekatan Politik (Political Approaches). Pendekatan ini lebih melihat pada faktor-faktor politik atau kekuasaan yang dapat memperlancar atau menghambat proses implementasi kebijakan. Dalam suatu organisasi, selalu ada perbedaan dan persaingan antarindividu atau kelompok dalam menyebar ataupun memperebutkan pengaruh. Hal itu menyebabkan timbulnya kelompok atau idividu yang dominan serta yang kurang dominan; ada kelompok yang menjadi pengikut dan ada kelompok penentang. Dalam hal ini, pendekatan politik selalu memberikan


(40)

26

pertimbangan atas dasar pemantauan kelompok pengikut dan kelompok penentang beserta dinamikanya.

2. Pendidikan Multikultural

a. Pemahaman pendidikan multikultural

Ainnurofiq Dawam (2003: 100) menjelaskan pendidikan multikultural secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan adalah proses pengembangan sikap dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran, pelatihan dan dengan cara mendidik.

Mahmud dan Ija Suntana (2012: 113) berpendapat bahwa dalam perspektif antropologis, pendidikan merupakan gejala budaya. Dengan demikian, menurut para antropolog, pendidikan adalah setiap sistem budaya atau instruksi intelektual yang formal atau semiformal. Pendidikan adalah ciri masyarakat manusia yang universal. Walaupun sebagai universalisme kebudayaan, sifat spesifiknya sangat berbeda antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lainnya. Dwi Siswoyo dkk (2008) memaparkan bahwa dalam arti teknis, pendidikan adalah proses di mana masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi (Dwi Siswoyo, dkk, 2008: 17-19).


(41)

27

Berdasarkan beberapa definisi di atas dimaknai bahwa pendidikan pada dasarnya dapat dilihat menggunakan dua cara pandang yaitu pendidikan dalam arti sempit dan pendidikan dalam arti yang luas.

Dalam arti sempit, makna pendidikan adalah proses mentransmisikan

nilai-nilai dan pengetahuan kepada peserta didik secara formal berdasarkan undang-undang. Pendidikan dalam arti yang luas tidak terpaku pada tempat pendidikan berlangsung, misalnya lembaga formal seperti sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan dalam lingkungan apapun, tidak hanya berkisar pada lingkungan sekolah atau formal semata. Pendidikan dapat berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat atau sosial, dalam peribadatan atau agama, dalam kehidupan berpolitik, serta dalam lingkungan sosial lainnya.

Berdasarkan definisi di atas diperoleh juga pengertian bahwa pendidikan berkaitan dengan gejala budaya dan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, kegiatan pendidikan selalu berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat, seperti kehidupan ekonomi, sosial, politik, agama, dan kebudayaan masyarakat yang masing-masing mengalami fluktuasi menuju pola-pola perkembangan yang saling mempengaruhi (Arif Rohman: 2012: 3). Hal ini menegaskan bahwa pendidikan selalu bersinggungan dengan sifat multikultural masyarakat.


(42)

28

Multikultural berasal dari kata multi yang berarti beragam dan kultur yang berarti budaya. Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Choirul Mahfud, 2006: 75). Multikulturalisme ternyata bukanlah suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kulturalisme” berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi (H.A.R. Tilaar, 2004: 82).

Andersen dan Cusher dalam Abdul Munir Mulkhan (2005) menyatakan bahwa pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan. Kemudian bagaimana cara menghadapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.

Muhaemin El Ma’hady dalam Choirul Mahfud (2006: 168) berpendapat, pendidikan multikultural adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural di lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara


(43)

29

keseluruhan. Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Howard (1993) dalam Farida Hanum dan Sisca Rahmadona (2010) berpendapat bahwa pendidikan multikultural memberikan kompetensi multikultural. Dengan demikian pendidikan multikultural harus dibelajarkan sejak dini, sehingga anak mampu menerima dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage,

folkways, mores, dan customs. Dengan pendidikan multikultural,

peserta didik mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang golongan, status, gender, dan kemampuan akademik.

Lebih dalam lagi, Ainul Yaqin (2005: 25) mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan ke dalam semua jenis mata pelajaran yang mengakomodir perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik. Seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, kemampuan dan umur, agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural juga diperlukan dalam menumbuhkan karakter peserta didik agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam


(44)

30

lingkungan mereka. Pendapat selanjutnya disampaikan oleh Agus Salim (2006: 25) yang menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses yang memberikan penyadaran dalam keragaman hidup bersama di bidang sosial, ekonomi, dan budaya dengan menanamkan nilai-nilai toleransi, empati, simpati, dan solidaritas sosial dalam masyarakat multikultural.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penyadaran dan pengembangan potensi manusia agar dapat menghargai pluralitas dan heterogenitas, meliputi keberagaman budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan lainnya, yang harus diberikan kepada peserta didik sedini mungkin. Hal ini dilakukan agar peserta didik mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa toleran antarsesama.

Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar (2004) mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural


(45)

31

sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas). Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar pada ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, diperoleh kesimpulan bahwa pendidikan multikultural pada dasarnya diimplementasikan untuk menciptakan masyarakat yang menyadari dan menghargai kemultikulturalan.

b. Pendekatan pendidikan multikultural

Mendesain pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antarkelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti di Indonesia merupakan tantangan yang tidak ringan. Perlu ditumbuhkan pengetahuan dan kesadaran bahwa pendidikan multikultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Dalam kondisi demikian, pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah


(46)

32

pendekatan. Mengacu pada pendapat Choirul Mahfud (2006), terdapat empat pendekatan untuk mencapai pendidikan multikultural.

Pertama, pendidikan multikultural akan terwujud jika semua

masyarakat tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (scholling), atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Hal ini berarti tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik tertentu. Dalam kontek pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program pendidikan multikultural untuk menghilangkan kecenderungan melihat peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu

“kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antithesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan


(47)

33

bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi

dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal mapun non formal) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.

Pendekatan pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan melihat benang merah dari beberapa kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Rabad Sihabuddin (2006: 26) menggambarkannya melalui tarian daerah yang berkembang di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

“Di Sumatera Utara terdapat jenis tarian dengan nama tari Manduda. Pada dasarnya tarian ini menggambarkan suasana bersuka ria pada saat masa panen. Rasa sukaria itu timbul akibat rasa syukur karena melimpahnya hasil panen yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka. Demikian juga dengan tari lainnya seperti tari Tor-Tor, dan tari Serampang Dua Belas. Kesemuanya merupakan refleksi rasa gembira, bersyukur, dan bahagia atas berbagai rahmat Tuhan kepada mereka.”

Rabad Sihabuddin (2006: 26) memberikan penjelasan pada ilustrasi yang dibuat tersebut, bahwasannya, jika diamati, berbagai bentuk tarian serta bentuk budaya lainnya pada masyarakat di Indonesia, maka didapat kesan yang membentuk benang merah berupa kesamaan cita dan rasa. Jika diamati lebih dalam lagi, Rabad Sihabuddin (2006: 26) mengatakan bahwa melalui analisa berbagai


(48)

34

kebudayaan di Indonesia, maka akan dapat diambil nilai kepaduan dari beberapa budaya. Pada dasarnya, budaya masyarakat Indonesia adalah budaya serumpun, yang apabila digali kesamaannya maka akan dapat membentuk budaya nasional. Maka budaya daerah pada dasarnya merupakan bagian dari budaya nasional.

3. Pendidikan Multikultural di Sekolah

Dalam pelaksanaan pendidikan multikultural, sekolah memiliki beberapa peran yang harus dijalankan agar tercipta suasana yang multikultural. Banks & Banks (2005: 23) menyatakan bahwa:

“To implement multikultural education in a school, we must reform power relationships, the verbal interaction between teachers and students, the culture of the school, the curriculum, extracurricular activities, attitudes toward minority languages, the testing program, and grouping practices. The institutional norms, social structures, cause-belief statements, values, and goals, of the school must be transformed and reconstructed.” Berdasarkan pendapat di atas untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah maka sekolah harus mengubah bentuk interaksi antara guru dan peserta didik, budaya sekolah, kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, sikap terhadap perbedaan bahasa, program-program, norma-norma kelembagaan, struktur sosial, nilai-nilai, dan tujuan sekolah. Perubahan-perubahan tersebut harus mencerminkan nilai-nilai multikultural. Dalam konteks pengembangan kurikulum sebagai titik tolak pada proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik


(49)

35

dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.

William A. Howe dan Penelope L. Lisi (2014: 20) mengungkapkan bahwa pendidikan berbasis multikultural di sekolah memiliki empat tema utama, yaitu:

a. A commitment to being culturally responsive and culturally

responsible

Tema ini menjelaskan sebagai seorang pendidik multikultural harus memiliki prinsip bahwa proses belajar dipengaruhi oleh budaya. Peserta didik datang ke kelas dengan berbagai tingkat, pengalaman kehidupan dan pengalaman budaya. Mereka membawa nilai-nilai dan dan keyakinan yang unik. Sebagai seorang pendidik multikultural, guru dituntut mampu dan terampil menggabungkan beberapa kondisi (perbedaan) latar belakang peserta didik ke dalam penggunaan konten dan strategi pembelajaran. Hasil pendekatan ini dalam peserta didik menemukan pendidikan yang lebih relevan dan bermakna.

Guru harus sadar pada keanekaragaman dalam berbagai bentuk dan berusaha untuk memanfaatkannya dalam proses pendidikan. Peserta didik diajarkan untuk melihat keberagaman sebagai aset, bukan kelemahan ataupun kerugian. Keberagaman dianggap sebagai kekuatan, bukan gangguan. Asumsi tentang ras, etnis, agama, kelas, dan bentuk-bentuk perbedaan lainnya dilihat dari sisi positif yang membangun.


(50)

36

b. A process of changing pedagogical approaches

Willian A. Howe dan Penelope L. Lisi (2014) meyampaikan bahwa berdasarkan penelitian, peserta didik berprestasi dididik melalui pembelajaran bervariasi dengan memanfaatkan keragaman yang dimiliki oleh masing-masing anak. Hal itu akan terwujud jika ditunjang dengan adanya kemampuan guru dalam merumuskan strategi pembelajaran. Penggunaan strategi harus bervariasi disesuaikan dengan keadaan peserta didik.

c. A process of expanding the curriculum

Di masyarakat yang semakin multikultural, guru dan sekolah harus mencari cara untuk memperluas kurikulum. Konten dalam kurikulum harus memiliki makna dan relevansi untuk peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan di sekolah diselenggarakan dengan memperhatikan beberapa perspektif, yaitu perspektif akademis dan perspektif keberagaman pada peserta didik, sehingga pendidikan di sekolah dapat memberikan pengalaman akademis yang dibutuhkan peserta didik sebagai bagian dari masyarakat sosial. Tujuan utama dari pendidikan adalah untuk membantu meningkatkan kognitif dan kesadaran sosial warga sipil, juga diperlukan untuk mengatasi isu-isu sosial yang penting. Penggabungan studi etnis dan studi tentang perbedaan, penindasan, kelas, rasisme, dan ketidaksetaraan gender menjadi komponen penting dari pengembangan kurikulum pendidikan multikultural.


(51)

37

d. Systemic change

Sekolah dengan konsep pendidikan multikultural harus senantiasa mampu bersaing dengan aspek yang terus berubah di masyarakat. Hal itu dilakukan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga dunia. Kurikulum, sifat pengajaran dan pembelajaran, serta peran masyarakat dalam pendidikan menjadi elemen kunci dari sistem sekolah. Kebijakan pendidikan dan praktek pendidikan harus mempertimbangkan kebutuhan semua peserta didik dengan berbagai latar belakang yang dimiliki.

S. Hamid dalam Choirul Mahfud (2006) menjelaskan pengembangan kurikulum berdasarkan pendekatan multikultural adalah sebagai berikut:

a. Mengubah filosofi kurikulum

Filosofi kurikulum diubah dari yang berlaku seragam kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Pada tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diubah ke dalam filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresivisme dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan kurikulum.


(52)

38

William A. Howe dan Penelope L. Lisi (2014: 19) mengungkapkan beberapa tujuan yang melekat pada kurikulum pendidikan multikultural, yaitu:

1) Teach to eliminate racism, sexism, homophobia, and others forms of intolerance; 2) create an equitable education system in which all students can achieve to high standards; 3) use content and processes that meet the needs of diverse students; 4) recognize bias and the importance of teaching from multiple perspectives; 5) prepare all students to live and work in a global, multikultural word; 6) instill in students a sense civic responsibility and social consciousness.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dimaknai bahwa dalam implementasi pendidikan multikultural, sekolah harus memiliki keterbukaan pemikiran yang tinggi. Sekolah harus mampu menciptakan atmosfir pendidikan yang menghilangkan rasisme, seksisme, dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi lainnya. Sistem pendidikan yang diselenggarakan merupakan sistem pendidikan yang adil bagi seluruh peserta didik, di mana semua peserta didik memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan potensi masing-masing. Oleh karena itu, konten dan proses pendidikan harus disesuaikan dengan segala kebutuhan peserta didik. Pengajaran yang diselenggarakan di sekolah harus dilakukan dalam berbagai perspektif. Secara garis besar, pendidikan multikultural di sekolah berguna untuk mempersiapkan peserta didik hidup dalam masyarakat sosial secara global.

b. Teori belajar

Teori belajar harus memperhatikan keragaman sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada


(53)

39

teori psikologi belajar yang menempatkan peserta didik sebagai makhluk sosial, budaya, politik, yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.

c. Proses belajar

Proses belajar yang dikembangkan untuk peserta didik harus berdasarkan pada proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok, dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan apirasi politik. d. Evaluasi

Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemanusiaan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat, tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan. Penggunaan alternative assessment (portofolio, catatan observasi, wawancara) dapat pula digunakan.

Bank (1993) dalam Sopiah (2009: 23), menjelaskan bahwa terdapat lima dimensi dalam pendidikan multikultural. Pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang bertujuan untuk menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu


(54)

40

pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komprehensif keragaman yang ada.

Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari

interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture), yaitu bahwa sekolah adalah elemen pengentas sosial dari struktur masyarakat yang timpang ke struktur masyarakat yang berkeadilan (Sopiah, 2009: 23).

a. Integrasi konten

Pemaduan konten mengenai sejauh mana guru menggunakan contoh dan konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori utama dalam bidang mata pelajaran atau disiplin mereka. Dimensi ini berkaitan dengan upaya untuk menghadirkan aspek kultur yang ada ke ruang-ruang kelas. Seperti pakaian, tarian, kebiasaan, sastra, bahasa, dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan akan mampu mengembangkan kesadaran pada diri siswa akan kultur milik kelompok lain. Konsep atau nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan ke dalam materi-materi, metode pembelajaran, tugas/latihan, maupun evaluasi yang ada dalam buku pelajaran.


(55)

41

Rustam Ibrahim (2013: 143) berpendapat, dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan “poin kunci” pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

b. Proses kontruksi/penyusunan pengetahuan

Sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana guru membantu peserta didik paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsi budaya yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan prasangka di dalam disiplin mempengaruhi cara pengetahuan disusun di dalamnya. Rustam Ibrahim (2013: 143) mengutarakan bahwa dalam dimensi ini para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri.


(56)

42 c. Mengurangi prasangka

Dimensi ini fokus pada karakteristik dari sikap rasial peserta didik dan bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode dan materi pengajaran. Rustam Ibrahim (2013: 144) mengatakan, pada dimensi ini guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotype, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan

textbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi

pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para


(57)

43

pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik, dan kelompok budaya lain (Rustam Ibrahim, 2013: 144).

d. Pedagogi kesetaraan

Pedagogi kesetaraan ada ketika guru mengubah pengajaran mereka ke cara yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari peserta didik dari berbagai kelompok ras, budaya, dan kelas sosial. Termasuk dalam pedagogi ini adalah penggunaan beragam gaya mengajar yang konsisten dengan banyaknya gaya belajar di dalam berbagai kelompok budaya dan ras.

Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve

learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition

learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang

untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar (Rustam Ibrahim, 2013: 144).


(58)

44

e. Pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sekolah

Dimensi ini merupakan tahap dilakukannya rekonstruksi baik struktur sekolah maupun kultur sekolah. Hal tersebut diperlukan untuk memberikan jaminan kepada semua siswa dengan latar belakang yang berbeda agar mereka merasa mendapatkan pengalaman dan perlakuan yang setara dalam proses pembelajaran di sekolah.

Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah (Rustam Ibrahim, 2013: 144).

B. Penelitian yang Relevan

Untuk menghindari duplikasi, peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelusuran penelitian terdahulu, diperoleh beberapa masalah yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu:

Pertama. Penelitian yang dilakukan oleh Evika Fiana Sari (2015)

dengan judul “Pelaksanaan Pembelajaran Multikultural Kelompok TK di Labscholl Rumah Citta Yogyakarta” menyimpulkan bahwa: (1) Kurikulum


(59)

45

yang digunakan adalah kurikulum yang dibuat sendiri dan memiliki kekhasan, diantaranya inklusif, berpusat pada anak, multiple intelligence, pendidikan nilai universal, ramah lingkungan hidup, menghormati kearifan lokal, mandiri, kreatif, dan adil gender. Perencanaan pembelajaran disusun dengan memperhatikan perkembangan, latar belakang anak dan melibatkan anak. (2) Kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakteristik usia anak TK yaitu memberikan stimulai kelima aspek perkembangan anak dan kegiatan terdiri dari: (a) kegiatan pra pembelajaran dilakukan dengan kegiatan transisi dan apersepsi di circle awal. (b) kegiatan inti mengenalkan identitas budaya, ras dan keberagaman yang ada di sekitar dengan pembelajaran yang konkret. (c) kegiatan penutup dilakukan di circle akhir yaitu melakukan review, refleksi, mengevaluasi dan informasi kegiatan berikutnya. (3) Faktor bawaan anak di antaranya agama, bahasa, suku, budaya, kebutuhan, kemampuan dan usia. (4) Bawaan guru di antaranya latar belakang pendidikan, budaya, suku, agama, dan pengalaman hidup. (5) Pedagogi yaitu strategi pembelajaran dan metode. (6) Faktor pendukungnya adalah adanya keberagaman yang ada di sekitar diantaranya anak, guru, staf dan orang tua. Faktor penghambatnya adalah guru dan kurikulum secara umum belum memuat multikultural dalam kebijakan kurikulum nasional.

Kedua. Penelitian yang dilakukan oleh Nuryadin (2014) dengan judul

“Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Karya Pembangunan Puruk

Cahu Kabupaten Murung Raya” menyimpulkan bahwa: (1) Pendidikan


(60)

46

yang terintegrasi dalam situasi dan kondisi aktivitas pondok pesantren meliputi: (a) desain kurikulum yang melibatkan yayasan dan pengurus pesantren. Desain kurikulum disusun berdasarkan pada dua orientasi yakni keadaan santri yang beragam dan kebutuhan tuntutan zaman. (b) Dalam pembelajaran, pendidikan multikultural diimplementasikan melalui penyisipan materi pembelajaran tentang kesediaan berpikiran luas dan terbuka serta tidak terjebak pada pemikiran dan perilaku radikal. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, penugasan, hafalan dan praktek langsung disertai strategi tertentu. (c) kepemimpinan pondok pesantren yang demokratis, terbuka dan mengakomodir keragaman pengurus maupun pengajar. (d) Lingkungan pondok pesantren yang terbuka bagi masyarakat dan penerapan tata tertib pondok yang dilandasi kemanusiaan dan keadilan. (2) Peranan pemimpin pondok pesantren dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural meliputi peran sebagai mudir atau leader, pendidik dan anggota masyarakat. Wewenang yang diemban mudir terkait perannya adalah melaksanakan proses pembelajaran, menjalankan kurikulum, dan melaksanakan kepengasuhan santri. Selain itu juga terdapat aktivitas kemasyarakatan yang dilakukan mudir sebagai anggota masyarakat. (3) Sementara nilai-nilai pendidikan multikultural yang diterapkan di PPKP terlihat dari visi misi, dan motto pesantren, kepemimpinan pondok pesantren, pembelajaran, kegiatan pengembangan diri santri, aturan pondok pesantren, dan simbol sarana


(61)

47

prasarana. Nilai tersebut meliputi nilai demokrasi, nilai toleransi, nilai humanisme dan HAM, dan nilai inklusif dengan berbagai sisinya.

Ketiga. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Rochmaniyah (2014)

dengan judul “Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah Inklusi

SMP Tumbuh Yogyakarta” menyimpulkan bahwa: (1) dalam

mengimplementasikan pendidikan multikultural, SMP Tumbuh Yogyakarta melakukan inovasi-kritis serta kreasi terhadap kurikulum yang ada dengan memasukkan nilai-nilai multikultural yang inklusif yakni dengan menyisipkan pendidikan multikultural ke dalam semua kegiatan belajar mengajar, baik melalui kegiatan intrakurikuler, ekstra kurikuler, maupun metode pembelajaran. Dengan begitu, peserta didik akan memiliki sikap saling menghargai, toleransi, terbuka dalam berfikir, dan percaya diri. (2) faktor pendukungnya adalah adanya kerjasama yang baik antara semua komponen sekolah, mulai dari murid, guru, karyawan, dan orangtua peserta didik. Adanya keluasan kepada peserta didik dalam mengembangkan potensinya baik melalui intra maupun ekstra kurikuler. (3) SMP Tumbuh masih tergolong sebagai sekolah baru, sehingga sarana dan prasarana sekolah masih kurang memadai dan belum banyak yang mengenal SMP Tumbuh Yogyakarta.

Dari ketiga hasil penelitian yang dipaparkan di atas, terdapat kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu implementasi pendidikan multikultural. Akan tetapi, dari ketiga penelitian tersebut tidak ada yang benar-benar sama dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini.


(62)

48

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian tentang alasan kebijakan pendidikan multikultural diterapkan di sekolah. Lebih jauh lagi, penelitian ini difokuskan pada strategi implementasi pendidikan multikultural yang dilihat pada: (1) struktur sosial yang dibangun sekolah; (2) pelaksanaan proses pembelajaran; (4) pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh sekolah; (3) kultur yang dibangun oleh sekolah; dan (5) evaluasi pendidikan yang dijalankan oleh sekolah dalam mewujudkan pendidikan multikultural. Selain itu, perbedaan penelitian terdahulu terhadap penelitian yang dilakukan terletak pada pemilihan seting. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada beberapa poin hasil penelitian yang sudah ada, di antaranya: pada penelitian pertama dan kedua, persamaan terletak pada kegiatan pembelajaran pendidikan multikultural dan juga beberapa poin terkait dengan pengembangan kurikulum sekolah.

C. Alur Pikir Penelitian

Pendidikan multikultural sangat diperlukan pada masyarakat multidimensi seperti halnya Indonesia. Keberadaan masyarakat Indonesia yang multidimensi ditandai dengan beragamnya etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, dan umur di dalam bangsa Indonesia. Pendidikan multikultural berperan membangun fondasi bagi pengembangan masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, toleran, dan demokratis di atas segala perbedaan yang dimiliki.

Penyelenggaraan pendidikan multikultural di Indonesia secara nasional telah diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003


(63)

49

tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di kota Yogyakarta sendiri, kebijakan penyelenggaraan pendidikan multikultural tertera pada pasal 28 ayat 2 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 5 Tahun 2008.

Kebijakan nasional maupun regional yang sudah ada menjadi acuan penerapan pendidikan multikultural pada tataran mikro, yaitu pada lembaga pendidikan. Hal tersebut ditindaklanjuti melalui implementasi kebijakan pendidikan multikultural di lingkup sekolah. Sekolah merupakan salah satu transformasi dalam mewujudkan pendidikan multikultural.

Implementasi kebijakan pendidikan multikultural di sekolah menuntut strategi dan pendekatan tertentu yang harus digunakan. Pendekatan tersebut dilakukan melalui beberapa dimensi, yaitu: integrasi konten, kontruksi/ penyusunan pengetahuan, mengurangi prasangka, pedagogi kesetaraan, serta budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan. Kelima jenis pendekatan tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang implementatif.

Pendidikan multikultural di sekolah diimplementasikan dengan mengubah bentuk interaksi antara guru dan peserta didik, budaya sekolah, kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan evaluasi, sikap terhadap perbedaan bahasa, program-program, norma-norma kelembagaan, struktur sosial, nilai-nilai, dan tujuan sekolah. Jika digeneralkan, bentuk-bentuk kegiatan yang dimaksudkan meliputi lima tema, yaitu: (1) Pemberdayaan struktur sosial di sekolah; (2) Proses pembelajaran; (3) Pengembangan kurikulum sekolah; (4) Kultur sekolah; dan (5) Evaluasi pendidikan.


(64)

50

Penelitian ini meneliti tentang strategi pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta yang dilihat melalui lima aspek di atas. Faktor pendukung dan penghambat dalam melaksanakan pendidikan multikultural juga dilihat sebagai aspek yang mempengaruhi strategi pendidikan multikultural di sekolah.

D. Pertanyaan Penelitian

1. Mengapa kebijakan pendidikan multikultural diterapkan di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

a. Apa yang melandasi TK Katolik Sang Timur Yogyakarta dalam menerapkan kebijakan pendidikan multikultural?

b. Bagaimana proses dan perkembangan kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

2. Bagaimana strategi pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

a. Bagaimana struktur sosial yang dibangun dalam mewujudkan pendidikan multikultural TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

b. Bagaimana proses pembelajaran yang dibangun dalam mewujudkan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta? c. Bagaimana pengembangan kurikulum pendidikan dalam mewujudkan

pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta? d. Bagaimana kultur sekolah yang dibangun dalam mewujudkan


(65)

51

e. Bagaimana evaluasi pendidikan yang dijalankan dalam mewujudkan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta? 3. Apakah faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan

pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

a. Apa saja faktor pendukung dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?

b. Apa saja faktor penghambat dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta?


(1)

235


(2)

236

LAMPIRAN 6


(3)

(4)

(5)

(6)