Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan multikultural belum menjadi kebijakan yang implementatif di Indonesia. Padahal pendidikan multikultural sangat diperlukan pada masyarakat multidimensi seperti halnya bangsa ini. Indonesia merupakan salah satu negara multidimensi terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI lebih dari 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan Ainul Yakin, 2005. Membangun pendidikan multikultural bukan sekedar amanat konstitusi, tetapi merupakan suatu keharusan dalam menghadapi keadaan bangsa Indonesia yang multikultural, sehingga mampu menunjukkan eksistensi dan integrasinya di tengah kehidupan global. Pendidikan multikultural dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman geografis, kultural, hak-hak asasi manusia dan pengurangan serta penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang multidimensi. Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan 2 instrumen strategis untuk mengembangkan kesadaran seseorang terhadap bangsanya. Secara lebih dalam, pendidikan multikultural berperan untuk membangun fondasi bagi pengembangan masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, toleran, dan demokratis di atas segala perbedaan yang dimiliki. Pendidikan ini tidak sekadar terpaku pada dimensi kognitif atau pengetahuan, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, pendidikan multikultural seharusnya diberikan sejak awal pada peserta didik. Kekuatan yang paling menonjol dalam penerapan pendidikan multikultural adalah kemampuan peserta didik menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Implementasi pendidikan multikultural akan terwujud jika diimbangi dengan kebijakan dan regulasi khusus yang mengikat dan mengatur penyelenggaraannya. Secara nasional, penerapan pendidikan multikultural telah diamanatkan dalam Pasal 4 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemaj emukan bangsa”. Bunyi pasal tersebut mengimplikasikan bahwa paradigma multikulturalisme menjadi salah satu perhatian dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia . Secara implisit, pasal 4 undang-undang sisdiknas tersebut menyatakan bahwa pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang beragam, hak azasi manusia, nilai budaya dan kemajemukan bangsa. 3 Hal ini mendorong pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia agar dapat diimplementasikan, baik melalui pendidikan formal, maupun pendidikan nonformal. Faktanya, pendidikan multikultural belum menjadi perhatian di beberapa wilayah Indonesia. Terlebih lagi dalam hal pembudayaan kultur multikultural pada lembaga pendidikan. Laman berita Tribun Senayan.com 28112016 memberitakan bahwa Kepala SMP Negeri 4 Desa Katipo Jaya memberikan pernyataan yang kontroversial terkait petugas pembaca Pembukaan Undang-Undang Dasar UUD pada pelaksanaan upacara bendera di sekolah. Kepala Sekolah tersebut menyampaikan bahwa siswa Kristen tidak pantas menjadi pembaca pembukaan UUD 1945. Secara eksplisit dalam Tribun Senayan.com Kepala SMPN 4 Desa Katipo Jaya menyampaikan bahwa: “Saya memang benar mengatakan siswa Kristen tak pantas menjadi pembaca Pembukaan UUD 1945, sebab dalam alenia ketiga ada kata Allah yang menurut saya jikalau orang Krsiten mengucapkan sepertinya janggal, dan bisa jadi bahan tertawaan. Dengan Rahmat “Allah”, itu harus dibaca dengan Allah Alloh, kalau Kristen kan Allah dibaca Allah. Jadi yang pantas jadi pembaca Pembukaan UUD 1945 itu adalah Islam dan Siswa Kristen tidak pantas membacanya. Allah yang dibaca “Alloh” merupakan Tuhan umat Islam.” Kondisi di atas menunjukkan betapa pendidikan multikultural belum menjadi perhatian pada lembaga pendidikan di daerah tertentu Indonesia. Lain halnya dengan kota Yogyakarta, secara manajerial, kota ini memiliki keseriusan dan perhatian khusus terhadap penerapan nilai-nilai multikultural dalam pendidikan. Salah satu bentuk keseriusan tersebut ditandai dengan dirumuskannya peraturan daerah yang menyatakan urgensitas pendidikan 4 multikultural untuk diimplementasikan. Secara eksplisit tertera pada pasal 28 ayat 2 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 5 Tahun 2008 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan, berbunyi: “Pendidikan budi pekerti termasuk di dalamnya antara lain pendidikan multikultural, toleransi antargolongan untuk menumbuhkan kesadaran akan arti pentingnya wawasan kebangsaan.” Perda No 5 Tahun 2008 Peraturan daerah di atas memberikan penegasan bahwa pendidikan multikultural merupakan salah satu bagian dari sistem penyelenggaraan pendidikan di kota Yogyakarta. Hal itu menjadi garis haluan pendidikan di kota ini, bahwa dalam proses pelaksanaannya, pendidikan di kota Yogyakarta harus senantiasa menjunjung tinggi konsep pendidikan multikultural. Faktanya, keberadaan peraturan daerah sebagai regulasi yang mengikat tidak menjamin implementasi pendidikan multikultural di Yogyakarta berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini muncul ketika regulasi atau kebijakan yang sudah ada tidak diimbangi dengan intervensi dari dinas pendidikan terkait. Padahal dinas pendidikan merupakan lembaga yang bertugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang pendidikan berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan. Seharusnya dinas pendidikan menggunakan wewenang tersebut untuk memberikan intervensi positif terhadap implementasi pendidikan multikultural di kota Yogyakarta. Dalam Harian Jogja.com 290315, Wakil Ketua DPD RI menyampaikan bahwa: “Dinas Pendidikan sendiri kurang memahami betapa pentingnya keberagaman harus ditanamkan di lingkungan sekolah negeri. Setidaknya harus ada pola kurikulum pendidikan yang bisa menyentuh nilai-nilai lokal kedaerahan, sehingga melekat nilai toleransi pada 5 sektor pendidikan di kota gudeg. Pendidikan berkarakter nilai keberagaman dan penanaman budi pekerti menjadi multikultur yang harus tumbuh di sekolah- sekolah”. Pernyataan Wakil Ketua DPD RI tersebut memberikan dua indikasi. Pertama, dinas pendidikan belum memiliki kebijakan khusus terkait dengan aturan penerapan pendidikan multikultural ke dalam pembelajaran di sekolah. Kedua, terjadinya kesenjangan urgensi penerapan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan negeri dan swasta di Yogyakarta. Pendapat Wakil Ketua DPD RI dalam Harian Jogja.com menjadi gambaran bahwa pemerintah lebih condong memberikan perhatian kepada sekolah negeri dalam hal urgensitas implementasi pendidikan multikultural. Hal itu mengingkari kondisi pendidikan senyatanya di kota Yogyakarta. Lembaga pendidikan di kota ini terdiri atas lembaga pendidikan negeri dan swasta. Kota Yogyakarta memiliki beberapa lembaga pendidikan swasta dengan input peserta didik yang multidimensi, baik dari segi agama, ekonomi, budaya, ras, gender, maupun kemampuan fisik dan akademik. Adanya kesenjangan perhatian pemerintah terhadap implementasi pendidikan multikultural yang lebih condong pada lembaga pendidikan negeri menyebabkan tidak sedikit lembaga pendidikan swasta yang berjalan berlawanan dengan konsep pendidikan multikultural. Hal ini menjadi fenomena tersendiri, di mana saat ini di Yogyakarta terdapat lembaga pendidikan swasta yang hanya memberikan pelayanan pendidikan pada peserta didik dengan latar belakang agama tertentu. Keadaan ini menjadikan sekolah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Di mana sekolah 6 merupakan salah satu wahana transformasi dalam mewujudkan pendidikan multikultural. Hal itu merujuk pada pendapat Abdul Munir Mulkhan 2005 yang menyebutkan bahwa pendidikan multikultural mencakup tiga jenis transformasi: 1 transformasi diri; 2 transformasi sekolah dan pengajaran; dan 3 transformasi masyarakat. Sekolah menjadi lembaga strategis dalam membumikan berbagai nilai multikultural ke dalam perilaku keseharian warga sekolah, terutama peserta didik. Pendidikan multikultural menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi kepada para peserta didik. Penerapan pendidikan multikultural di sekolah akan menjadikan peserta didik sebagai anggota masyarakat yang saling menghargai, bekerjasama, dan menghormati satu sama lain. Dengan begitu, peserta didik akan tumbuh menjadi manusia yang mampu menghargai pluralisme dan multikulturalisme dalam berbagai aspek. Secara lebis luas, sekolah diharapkan menjadi agen perubahan di masyarakat yang memberikan pemahaman tentang pentingnya pendidikan multikultural. Dengan demikian, dalam masyarakat yang multikultural akan tercipta kepribadian yang cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi masalah- masalah keberagaman. Strategi implementasi pendidikan multikultural di sekolah melibatkan kerja sama berbagai pihak, meliputi kepala sekolah atau yayasan, guru, komite sekolah, karyawan sekolah, peserta didik, dan orangtua peserta didik. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian multiyear tentang pengembangan model pembelajaran 7 multikultural di SD yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Setya Raharja tahun 2006 dalam jurnal Farida Hanum dan Sisca Rahmadona 2010, sebagian besar guru, kepala sekolah, dan komite sekolah belum memahami pembelajaran multikultural, bahkan asing dengan istilah pembelajaran multikultural ataupun pendidikan multikultural. Tidak sedikit guru yang memperlakukan peserta didiknya dengan mengesampingkan aspek multikulturalisme yang mereka miliki. Guru masih terjebak pada pola pendidikan yang menseragamkan, bukan menghargai perbedaan. Kondisi ini semakin mendesak adanya transformasi pendidikan di berbagai sekolah untuk mewujudkan pendidikan yang tanggap dengan keberagaman. Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan sejak dini untuk membangun self-awareness multikultural pada diri seorang anak. Oleh karena itu, nilai-nilai kesetaraan yang tidak menganggap diri dan kelompok sendiri sebagai superior atas yang lain sangat penting ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Jika sejak dini, peserta didik dibiasakan untuk memahami setiap perbedaan dan pluralitas kelompok, maka setidaknya peserta didik akan mampu menata dan mengendalikan emosinya ketika bersinggungan dengan perbedaan, karena sudah dibekali perspektif dan pandangan yang menghargai setiap perbedaan. Hal ini dirasa penting karena di satu sisi keragaman di Indonesia adalah realitas yang pasti akan dialami anak-anak saat mereka tumbuh, namun di sisi lain, saat ini banyak bermunculan kelompok sosial keagamaan yang menebarkan nilai-nilai intoleransi H.A.R. Tilaar: 2002: 37. Kelompok-kelompok 8 demikian biasanya menanamkan kecurigaaan dan permusuhan yang membuat demarkasi sosial berdasarkan agama, suku, dan golongan. Pendidikan multikultural ditanamkan sejak dini dengan harapan agar anak mampu memahami bahwa di dalam lingkungan mereka dan juga di lingkungan lain terdapat keberagaman. Slamet Suyanto 2005, mengatakan bahwa salah satu garis besar Pendidikan Anak Usia Dini adalah “PAUD sebaga i pendidikan multikultur”. Hal ini dikarenakan peserta didik mengalami mobilitas sosial yang tinggi di sekolah. Dalam satu sekolah terdapat berbagai macam latar belakang peserta didik, meliputi agama, etnis, budaya, gender, sosial, ekonomi, maupun kemampuan fisik dan kognitif peserta didik. Para pendidik PAUD hendaknya mampu memberikan layanan pendidikan multikultur agar setiap anak merasa diperlakukan dengan baik di sekolah. Taman Kanak-Kanak TK Katolik Sang Timur Yogyakarta adalah sebagian kecil lembaga pendidikan usia dini berbasis agama yang secara tegas menerapkan nilai multikulturalisme sebagai pionir dasar dalam membangun iklim sekolah yang kondusif bagi warganya. Walaupun sekolah sendiri bernafaskan agama Katolik, pelabelan agama sedapat mungkin dihilangkan. Sekolah berpandangan bahwa agama merupakan masalah yang privat, diserahkan pada individu masing-masing dan pada institusi yang berhak, seperti halnya masjid, gereja, wihara, pura, dan lain-lain. Berdasarkan data hasil prapenelitian, meskipun tidak ada arahan khusus dari dinas pendidikan terkait penerapan pendidikan multikultural, TK Katolik 9 Sang Timur Yogyakarta sudah berupaya menerapkan nilai-nilai multikultural kepada para peserta didiknya. TK Katolik Sang Timur Yogyakarta merupakan yayasan Katolik, akan tetapi sekolah tersebut terbuka kepada semua calon peserta didik dari berbagai latar belakang agama, budaya, etnik, ras, gender, keadaan sosial, ekonomi, maupun kemampuan fisik dan kognitif peserta didik. Di TK ini hidup dan berkembang beberapa kelompok agama, yaitu agama Islam, Katholik, Kristen, dan Budha. Di dalam lingkungan yang penuh keberagaman tersebut, semua warga sekolah hidup saling menghormati dan toleransi, baik antara guru dengan peserta didik maupun sesama peserta didik itu sendiri. TK Katolik Sang Timur Yogyakarta meyakini bahwa penerapan pendidikan multikultural merupakan salah satu cara dalam berlaku kasih kepada semua makhluk Tuhan. Kultur sekolah meliputi kultur fisik maupun akademik di TK Katolik Sang Timur selalu diorentasikan pada penghargaan terhadap perbedaan. Kondisi inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Peneliti secara holistik ingin mengetahui penerapan kebijakan pendidikan multikultural di TK Katolik Sang Timur Yogyakarta. Secara khusus, peneliti ingin mengetahui strategi yang digunakan sekolah tersebut dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural. 10

B. Identifikasi Masalah