- 10,000.000
20,000.000 30,000.000
40,000.000 50,000.000
60,000.000 70,000.000
2005 2006
2007 2008
2009 2010
H a
si l
ta ng
k a
pa n
t on
Tahun
Triwulan I Triwulan II
Triwulan III Triwulan IV
Gambar 21 Fluktuasi hasil tangkapan lemuru berdasarkan triwulan selama
periode 2005-2010
Hal yang berbeda terjadi pada triwulan I tahun 2007, bahwa konsentrasi klorofil-a kecil 0,35 mgm3 akan tetapi hasil tangkapan tinggi, inilah fenomena
alam yang tidak dapat diprediksi oleh manusia. Jika dilihat pengaruh angin terhadap hasil tangkapan Gambar 18, kecepatan angin pada triwulan IV tahun
2006 adalah 4,00 knot, dan untuk triwulan I tahun 2007 kecepatan angin adalah 5,33 knot. Artinya, dengan kecepatan angin yang rendah memungkinkan nelayan
untuk melaut. Hasil perhitungan analisis ini merupakan parameter untuk analisis model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali bab
9.
5.5 Pembahasan
Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam bab ini hal-hal yang ingin dibahas berkaitan dengan faktor oseanografi dan klimatologi yang terjadi di perairan Selat
Bali selama kurun waktu 2005-2010, kualitas perairan di lokasi fishing ground periode Mei-Oktober 2011, dan pembahasan tentang pengaruh faktor oseanografi
dan klimatologi terhadap hasil tangkapan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseangorafi dan
klimatologi mempunyai hubungan yang erat dengan hasil tangkapan lemuru oleh nelayan di Selat Bali, baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten
Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana periode tahun 2005 –2010. Faktor
oseanografi yang berpengaruh adalah klorofil-a, dimana klorofil-a merupakan sumber makanan bagi plankton.
Rata-rata tahunan konsentrasi klorofil-a paling tinggi terjadi pada triwulan III tahun 2007 yaitu 1,33 mgm
3
. Hal ini erat kaitannya dengan fenomena regional berupa El Nino dan menguatnya Indian Ocean Dipole IOD. Hal yang
sama pernah terjadi pada tahun 1987 dan 1998 pada saat terjadi El Nino yang kuat karena peningkatan suhu permukaan laut yang cukup signifikan. Begitu juga
yang terjadi pada tahun 2010 Gambar 16, dimana suhu permukaan laut secara keseluruhan lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu
rata-rata sebesar 29,63
o
C. Peningkatan suhu permukaan laut ini kemungkinan akibat dari fenomena La Nina yang berkepanjangan yang terjadi di Samudera
Pasifik, yang mengalirkan air hangat ke Samudara Hindia. Kondisi ini dibarengi dengan rendahnya rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,4425 mgm
3
, dan merupakan konsentrasi terendah selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan hal
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebaran klorofil-a sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suhu permukaan laut.
Hasil analisis kandungan klorofil-a yang dilakukan dari bulan Mei - Oktober 2011 di Laboratorium Kualitas Perairan BROK Perancak Bali Gambar
15, dapat dilihat bahwa sebaran klorofil-a tertinggi tercatat pada bulan Agustus baik itu disisi paparan Bali 1,1210 mgm
3
, maupun disisi paparan Jawa 4,2964 mgm
3
. Apabila kita sejajarkan dengan data time series dari citra satelit selama kurun waktu 2005
– 2010, terlihat bahwa pada bulan Agustus memang terjadi peningkatan sebaran klorofil-a di Selat Bali.
Klorofil-a terdapat pada fitoplankton. Klorofil-a, adalah suatu pigmen aktif sel tumbuhan yang memiliki peran penting dalam berlangsungnya proses
fotosintesis didalam perairan Prezelein, 1981. Konsentrasi sebaran klorofil-a, sangat mempengaruhi keberadaan planton di suatu wilayah perairan. Kesuburan
plankton dalam satu ekosistem perairan ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara plankton tersebut dengan faktor fisika, kimia dan biologi air Basmi 1988.
Keberadaan plankton yang merupakan sumber makanan lemuru dan sangat
berpotensi dalam meningkatkan jumlah atau kepadatan sumberdaya lemuru di Selat Bali. Menurut Sartimbul et al. 2010 Selat Bali merupakan wilayah
upwelling dan memiliki kandungan nutrient yang sangat baik. Upwelling, merupakan pergerakan massa air secara vertikal, sebagai akibat dari stratifikasi
densitas air laut Surinati 2009. Perairan laut Selat Bali merupakan daerah upwelling yang lebih baik bila dibandingkan dengan perairan laut lainnya,
sehingga jumlah ikan tidak pernah habis. Hendiarti et al. 2004 menyatakan konsentrasi klorofil-a meningkat sebagai akibat upwelling. Upwelling disebabkan
oleh angin musim tenggara, yang terjadi sekitar bulan April hingga awal bulan Oktober Pranowo dan Realino 2004. Proses upwelling yang terjadi
menyebabkan Selat Bali mempunyai nilai lebih secara ekonomi, karena Selat Bali merupakan habitat yang baik bagi ikan lemuru. Upwelling yang terjadi disuatu
kawasan perairan dapat dilihat dari penurunan atau kenaikan suhu permukaan laut di wilayah perairan tersebut. Di Selat Bali sendiri titik upwelling terjadi di bagian
selatan yang mengarah ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang nelayan di Pengambengan, mengatakan bahwa ikan di Selat
Bali tidak akan pernah habis, ibaratnya dapat diambil dengan “centong” saking
banyaknya. Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kesuburan perairan
laut. Secara keseluruhan selama kurun waktu enam tahun terakhir terjadi peningkatan suhu permukaan laut. Berdasarkan hasil analisis citra Gambar 16
dapat dilihat, untuk tahun 2010 suhu permukaan laut bulanan jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu rata-rata sebesar 29,63
C. Peningkatan suhu permukaan laut ini kemungkinan disebabkan oleh fenomena La Nina yang terjadi
di Samudera Pasifik, yang mengalirkan air dengan suhu panas ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil foto citra satelit selama periode bulan Mei
– Oktober 2011, suhu permukaan laut tidak dapat dilihat, karena permukaan laut lebih sering
tertutup awan, terutama untuk suhu permukaan laut pada Bulan Agustus. Apabila dilihat lebih rinci, dapat dijabarkan disini bahwa, terjadi hubungan
yang sangat erat antara sebaran klorofil-a dengan suhu permukaan laut. Dari tampilan trend rata-rata triwulanan sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut
dapat dilihat bahwa, apabila suhu permukaan laut meningkat, maka sebaran
klorofil-a menurun. Haluan et al. 1991 menyatakan bahwa sebaran suhu horizontal lebih banyak dipengaruhi oleh arus permukaan.
Seperti kita ketahui bersama, akhir tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2010, terjadi fenomena hilangnya ikan lemuru dari perairan Selat Bali.
Berdasarkan hasil analisis ini, maka terjawab penyebab hilangnya ikan lemuru dari Selat Bali terjadi sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan laut.
Peningkatan suhu permukaan laut yang sangat signifikan terjadi tahun 2009 –
2010 yaitu mencapai 29,50°C. Peningkatan yang terjadi menyebabkan klorofil-a tidak mampu mentolerir keadaan tersebut. Jika konsentarasi sebaran klorofil-a
yang merupakan pigmen dari fitoplankton menipis, maka sumber makanan berupa zat renik menjadi berkurang. Disamping itu lemuru tidak dapat hidup pada suhu
perairan laut yang tinggi 29,50°C. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala BROK Perancak Bali ada kemungkinan ikan lemuru turun ke lapisan perairan
yang lebih dalam, dan tidak terjangkau oleh alat tangkap purse seine yang dimiliki oleh nelayan, karena tinggi maksimal rata-rata yang digunakan adalah 75
– 100 meter. Penyebab turunnya lemuru ke lapisan perairan lebih dalam diperkirakan
sebagai akibat proses la-nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang mengalirkan suhu air yang hangat ke Samudera Hindia termasuk Selat Bali.
Suhu di lautan kemungkinan berkisar antara -1,87°C titik beku air laut di daerah kutub sampai maksimum sekitar 42°C di daerah perairan dangkal
Hutabarat, 2001. Namun untuk tingkat kesuburan perairan, suhu maksimal adalah 28°C, kenapa demikian, hal ini dapat dilihat bahwa pada periode tahun
2006, dengan suhu perairan seperti tersebut diatas maka sebaran klorofil-a lebih tinggi.
Menurut Desser et al 1992, bahwa struktur kinematik dan termodinamika lapisan batas atmosfer planet menunjukkan respon yang baik untuk distribusi suhu
permukaan laut terjadi di Pasifik bagian timur. Rendahnya tingkat geser angin, kecepatan angin permukaan laut, kelembaban relatif permukaan laut, dan tekanan
udara di atas permukaan laut menyebabkan perbedaan suhu pada setiap transisi di khatulistiwa. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dilautan Pasifik, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara awan, gelombang dan suhu permukaan laut.
Effendi 2003 menyebutkan bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti musim, koordinat pada bumi, ketinggian dari permukaan laut,
waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air itu sendiri. Disini jelas terlihat bahwa faktor oseanografi sangat
berperan dalam penentuan kesuburan suatu perairan, sehingga dengan demikian hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang berkompeten.
Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya, adalah sangat berpengaruh kepada
ketersediaan sumberdaya perikanan target penangkapan.
Baik tidaknya suatu kawasan perairan sangat tergantung kepada faktor manusia yang memanfaatkan apa-apa yang terkandung dalam lingkungan perairan
tersebut. Namun demikian, hal yang perlu disikapi dengan baik dan bijak, bagaimana mempertahankan lingkungan perairan agar biota yang hidup
didalamnya dapat dikelola dengan baik. Berbicara tentang kualitas perairan di lokasi penangkapan ikan fishing
ground, terutama di Selat Bali sesuai dengan pokok bahasan sangat perlu mendapat perhatian, karena di Selat Bali terdapat pelabuhan penyeberangan antara
Ketapang Kabupaten Banyuwangi dan Gili Manuk Kabupaten Jembrana. Disamping itu, Muncar sebagai pusat pendaratan ikan terbesar di wilayah Jawa
Timur terdapat industri pengolahan ikan demikian juga halnya di Pengambengan. Penelitian kualitas perairan air laut pernah dilakukan pada tahun 2008
yaitu di sepanjang pantai Cupel sampai dengan Pengambengan, hal ini berkaitan dengan keberadaan industri perikanan yang ada di Pengambengan Poppo et al,
2008. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perairan dilokasi penelitian mengalami cemar ringan sampai cemar berat mengacu pada permen LH no. 115
tahun 2003. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali secara periodik mulai tahun 2009 sudah melakukan uji terhadap kualitas perairan Selat Bali. Namun kualitas
perairan yang diuji, mengarah kepada fungsi laut sebagai kawasan pariwisata Lampiran 8.
Uji kualitas perairan dilokasi fishing ground yang dilakukan pada periode Mei
– Oktober 2011, secara keseluruhan dari parameter yang diuji yaitu pH, Salinitas, Nitrat NO
3
dan Posfat PO
4
dapat dilihat Gambar 20. Tingkat keasaman pH perairan di lokasi fishing ground terdeteksi normal. Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7
–8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Selain itu toksisitas
logam-logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah Effendi, 2003. Derajat keasaman pH dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta ion
–ion yang bersifat asam atau basa. Fitoplankton yang memilik pigmen hijau dan lebih
sering disebut klorofil-a dan tanaman air akan mengambil karbondioksida selama proses fotosintesis berlangsung, sehingga mengakibatkan pH perairan menjadi
meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari Apridayanti, 2008. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pH di perairan Selat Bali berkisar
antara 7,92 – 8,47. Sementara kadar posfat sudah melebihi baku mutu yang
diperuntukan bagi biota laut, demikian juga untuk kadar nitrat. Rata-rata salinitas juga terdeteksi lebih tinggi
Gambar 20, sehingga sesuai dengan keterangan dan uraian terdahulu, maka pH perairan Selat Bali masih dapat mendukung kehidupan
organisme akuatik yang ada di dalamnya.
Zat hara, terutama posfat dan nitrat merupakan unsur yang sangat diperlukan dalam jejaring rantai makanan dan mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Salah satu organisme yang membutuhkan zat hara adalah plankton. Keberadaan plankton merupakan
salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan kandungan zat hara. Tinggi rendahnya kelimpahan plankton tergantung kepada kandungan zat hara di
suatu perairan Nybakken, 1982. Namun, Nitrogen sebagai unsur pembentuk nitrat merupakan degradasi kontaminan utama penyebab penurunan kualitas air di
perairan pantai. Sedangkan diperairan laut lepas, kadar nitrat sangat cepat mengalami perubahan dan sangat mempengaruhi kesuburan perairan.
Menurunnya tingkat kesuburan perairan bisa disebabkan oleh pengaruh global warming yang terjadi dimuka bumi. Kemungkinan lain bisa saja terjadi
akibat pengaruh La Nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang
mengalirkan arus panas ke Samudera Hindia, sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan, dan salah satunya terjadi di Selat Bali.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dan memberikan dampak kepada kehidupan laut sangat perlu diperhatikan khususnya
dalam hal penanggulangan dampak yang diberikan oleh keadaan tersebut. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan sangat merugikan bagi kegiatan
pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena pada umumnya daerah penangkapan ikan selalu berubah dan tidak pasti. Nelayan, pada saat turun melaut sangat
memperhatikan iklim yang lebih mereka kenal dengan faktor cuaca. Perubahan iklim sangat sulit untuk dihindari, dan memberikan dampak terhadap berbagai
segi kehidupan. Dampak ekstrim dari perubahan iklim adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim.
Angin yang bertiup dilautan memberikan pengaruh terhadap arus permukaan sekitar 2 dari kecepatan angin itu sendiri. Kekuatan arus ini akan
berkurang dengan makin bertambahnya kedalaman perairan sampai pada akhirnya angin tidak berpengaruh, yaitu pada kedalaman 200 meter Suardi, 2006.
Menurut Hutabarat 2001, angin merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi iklim. Pada kehidupan sehari-hari nelayan, terutama nelayan
tradisional masih tergantung kepada angin dalam membantu menggerakkan perahu mereka perahu tanpa motor. Namun kadang kala angin dapat
menimbulkan bencana berupa badai yang dapat menghancurkan peralatan atau bahkan menenggelamkan perahu mereka.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi iklim yaitu suhu, curah hujan, dan angin. Suhu sangat berpengaruh terhadap sebaran klorofil-a pada suatu perairan,
hujan berfungsi sebagai penetralisir kadar garam perairan laut dan menetralkan suhu, Sedangkan angin berpengaruh terhadap arus yang terjadi di permukaan laut
Hutabarat, 2001. Selanjutnya dikatakan bahwa, diperkirakan jumlah total air dipemukaan laut yang hilang setiap tahunnya kira-kira setebal 97,3 cm, dari
jumlah tersebut 89,7 cm tergantikan oleh curah hujan yang langsung jatuh ke permukaan laut.
Arus di perairan Asia Tenggara, baik yang terjadi pada musim Barat bulan Desember - Pebruari ataupun pada musim Timur bulan Juni -Agustus,
dimana pada saat musim Barat ditandai dengan adanya aliran air dari arah utara melalui Laut Cina Selatan bagian atas. Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan
pada waktu musim Timur terjadi kebalikannya yaitu arus mengalir dari arah Selatan Hutabarat, 2001.
Tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah dimana massa air berasal Afdal dan Riyono, 2004. Romimohtarto dan
Thayib 1982 mengatakan bahwa perairan laut Indonesia nusantara dipengaruhi oleh angin monsoon. Selanjutnya dikatakan bahwa angin monsoon yang terjadi
berkaitan erat dengan sistem tekanan tinggi dan tekanan rendah di atas benua Asia dan Australia. Angin monsoon yang terjadi pada bulan Desember
– Februari dikenal sebagai angin barat, yaitu angin yang bertiup dari Asia ke Australia.
Bulan Juni –Agustus, terjadi kebalikannya yang dikenal sebagai monsoon timur.
Pergantian sistem angin ini memberi pengaruh yang nyata pada perairan khususnya dilapisan permukaan. Menurut Nontji 2007 pada bulan Desember
– Februari, arus musim barat mengalir menuju timur. Pada musim panca roba yang
terjadi bulan April, arus ke timur mulai melemah bahkan mulai berbalik arah, hingga dibeberapa tempat terjadi pusaran eddies. Pada bulan Juni-Agustus arus
musim timur mulai datang, dan arah arus telah berbalik arah sepenuhnya menuju ke barat yang akhirnya menuju ke Laut Cina Selatan. Pada musim panca roba
kedua, sekitar Oktober, pola arus berubah lagi. Kadangkala arah arus sering tak menentu, apabila arus ke barat melemah, maka arus ke timur mulai menguat.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseanografi dan klimatologi mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali,
baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana periode tahun 2005
–2010. Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat dilihat bahwa secara bersama-sama faktor oseanografi dan klimatologi yang
berpengaruh signifikan pada taraf uji 5 adalah klorofil-a dan angin. Sebaran klorofil-a yang tinggi dilokasi fishing ground akan meningkatkan keberadaan
ikan, sehingga hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak. Hal ini terjadi karena ikan berada pada suatu wilayah perairan berkaitan dengan adanya ketersediaan
makanan pada wilayah tersebut Himelda et al., 2012. Setelah dilakukan uji secara statistik, maka dapat diketahui bahwa faktor osenografi dan klimatologi
yang berpengaruh secara langsung terhadap hasil tangkapan lemuru adalah sebesar 43,5 R square. Sedangkan sebesar 56,5 berpengaruh secara tidak
langsung, dan diduga berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru di Selat Bali, yang mana sumberdaya lemuru tersebut tidak berhasil ditangkap oleh
nelayan. Untuk membuktikannya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil analisis ini merupakan salah satu parameter model dinamik keberlanjutan
pengelolaan perikanan lemuru Sardinella lemuru Bleeker 1853 yang akan dibahas pada bab 9.
5.6 Kesimpulan