2.3  Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Sebagai Kesatuan Ekosistem
Ikan tidak hidup sendiri terisolasi, akan tetapi berintegrasi dengan berbagai jenis ikan lain dan komponen biotik lainnya yang hidup dalam ekosistem perairan.
Ekosistem  perairan  tersebut  mencakup  fitoplankton,  zooplankton,  benthos, mollusca,  crustacea,  echinodermata,  dan  jenis  lainnya  Dahuri,  2007.    Lebih
lanjut  dijelaskan,  bahwa  ikan  berintegrasi  dengan  komponen  abiotik  yang menyusun  ekosistem  perairan  seperti  arus,  gelombang,  pasang  surut,  suhu
permukaan laut, salinitas, dan iklim Dahuri,  2007. Ekosistem,  secara  fungsional  merupakan  komunitas  bersama  dalam
lingkungan  sekitar  yang  terdapat  pada  suatu  kawasan  perairan  Nuitja,    2010. Selanjutnya  dikatakan  bahwa  yang  terdapat  dalam  lingkungan  perairan,  terdiri
dari  kelompok  individual  dari  species  yang  sama  populasi  dan  kelompok  dari populasi  yang  berbeda  species  dalam  suatu  kawasan  perairan  komunitas.    Ilmu
yang  mempelajari  tentang  ekosistem  adalah  ilmu  ekologi,  yang  dapat didefinisikan  sebagai  hubungan  timbal  balik  antara  makhluk  hidup  dan
lingkungan abiotiknya Nuitja,  2010. Keberlanjutan  pengelolaan  sumberdaya  perikanan  sebagai  kesatuan
ekosistem  telah  didefinisikan  sebagai  suatu  manajemen  yang  terpadu  dan komprehensif  terhadap  kegiatan  manusia,  dan  didasarkan  pada  pengetahuan
ilmiah terbaik yang tersedia tentang ekosistem dan dinamikanya.  Untuk itu perlu dilakukan  identifikasi  dalam  mengambil  tindakan  agar  kelestarian  ekosistem
perairan  laut  terjaga  dengan  baik,  sehingga  mencapai  pemanfaatan  secara berkelanjutan.    Untuk  mewujudkan  hal  tersebut,  perlu  pemeliharaan  dan
penjagaan  yang  terintegrasi  antara  pemanfaatan  dan  pemeliharaan  ekosistem Frid, 2004.
Zhang dan Marasco 2003 menyatakan bahwa informasi tentang pengaturan keberlanjutan  pengelolaan  perikanan  sangat  minim,  seperti  informasi  dinamika
populasi  ikan,  interaksi  antar  spesies,  dampak  dari  faktor  lingkungan,  dan  efek dari  aktivitas  manusia  pada  ikan,  ekosistem  dan  habitatnya.  Habitat  merupakan
lingkungantempat  tumbuhan  satwa  termasuk  ikan  yang  dapat  hidup  dan berkembang  secara  alami.    Kegiatan  penangkapan,  telah  berpengaruh  terhadap
ekosistem  perairan  laut.  Untuk  itu,  perlu  dilakukan  pemahaman  secara komprehensif  tentang  ekosistem  dan  perlu  dilakukan  pendekatan  secara  holistik
untuk menilai dan mengelola sumber daya perikanan dan habitatnya.  Pendekatan tersebut  terkait  dengan  interaksi  spesies  ikan  target  penangkapan  dengan  faktor-
faktor lingkungan perairan dan daya dukungnya. Interaksi yang terjadi antara ikan dan habitatnya serta dampak penangkapan
ikan  terhadap  ekosistem  perlu  dilakukan  penelitian  Zhang  et  al.,  2009. Keberlanjutan  pengelolaan  dengan  menggunakan  ekosistem  sebagai  pendekatan
dikembangkan secara pragmatis untuk melakukan penilaian terhadap sumber daya perikanan.  Korea, dalam menerapkan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem
dilakukan berdasarkan 3 tiga unsur yaitu keanekaragaman hayati, keberlanjutan sumberdaya,  dan  kualitas  lingkungan  perairan  sebagai  habitat  ikan  target
penangkapan. Zhang et al 2009,  menyatakan bahwa tiga masalah dasar dan saling terkait
sebagai  ciri    kegiatan  perikanan  modern  adalah;  1  ancaman  kelebihan pemanfaatan stok ikan, 2 kelebihan kapitalisasi atau kelebihan kapasitas armada
penangkapan  ikan,  dan  3  konsekuensi  negatif  kegiatan  perikanan  terhadap ekosistem  yang  berkaitan  dengan  habitat.  Berdasarkan  3  tiga  hal  tersebut,
kegiatan penangkapan ikan secara modern, sudah mengarah kepada overfishing. Fauzi 2005 mengkategorikan overfishing dalam beberapa tipe, yaitu:
1 Recruitment overfishing, merupakan situasi populasi ikan dewasa ditangkap
sedemikian  rupa  sehingga  tidak  mampu  lagi  untuk  melakukan  reproduksi untuk memperbaharui speciesnya.
2 Grouth  overfishing,  terjadi  ketika  stok  yang  ditangkap  rata-rata  ukurannya
lebih  kecil  dari    ukuran  yang  seharusnya  untuk  berproduksi  pada  tingkat yield per rekruit yang maksimum.
3 Economic  overfishing,  terjadi  jika  rasio  biayaharga  terlalu  besar  atau
jumlah  input  yang  dibutuhkan  lebih  besar  dari  jumlah  input  yang dibutuhkan  untuk  berproduksi  dari  pada  tingkat  rente  ekonomi  yang
maksimum maximized economic rent
4 Malthusian overfishing, terjadi manakala nelayan skala kecil yang biasanya
miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan namun menghadapi hasil tangkap yang menurun.
Kondisi  tersebut  memicu  destruksi  ekosistem  secara  keseluruhan  sebagai  akibat kegiatan  penangkapan  yang  dilakukan  secara  modern  ADB,  2004  vide  Fauzi,
2005. Kelompok kerja ilmu manajemen di Negara Pasifik Utara telah menerapkan
keberlanjutan  pengelolaan  sumberdaya  perikanan  dengan  memasukkan  unsur ekosistem  yang  dimulai  pada  tahun  2005  Zhang  et  al,  2009.    Selanjutnya
dikatakan  bahwa,  negara-negara  seperti  Australia,  Kanada,  Korea  dan  Amerika Serikat,  sudah  memikirkan  bagaimana  menerapkan  konsep  pengelolaan
sumberdaya  perikanan  tangkap  dengan  tetap  mempertimbangkan  faktor-faktor ekosistem.
Aktifitas  nelayan  sangat  berpengaruh  terhadap  kondisi  ekosistem  perairan. Untuk itu secara komprehensif, pendekatan secara holistik  perlu dilakukan  untuk
mengelola sumberdaya perikanan dan habitat yang terkait dengan ekosistem Frid et  al,  2004.    Pertimbangan  adanya  interaksi  ekologis  spesies  target  dengan
predator,  pesaing,  dan  spesies  mangsa,  serta  interaksi  antara  ikan  dan  habitat mereka,  serta  dampak  pada  proses  penangkapan  ikan  itu  sendiri  perlu  mendapat
perhatian.  Gasalla  dan  Wongtschowski  2004  menyatakan  bahwa,  analisis ekosistem  telah  terbukti  sebagai  alat  untuk  menyelidiki  efek  langsung  dan  tidak
langsung dari kegiatan penangkapan ikan. Perlu  diketahui  bersama  bahwa,  secara  sosial  biaya  sebagai  akibat  dari
kerusakan lingkungan di wilayah pesisir sering harus ditanggung oleh masyarakat Fauzi, 2005.  Industri sering tidak peduli dengan biaya sosial yang ditimbulkan
akibat  kerusakan  lingkungan.  Hal  lain  yang  berpengaruh  adalah  tingginya pertumbuhan  penduduk,  sehingga  permintaan  produk  perikanan  ikut  meningkat.
Menurut  Fauzi  2005,  kondisi  tersebut  mengakibatkan  terjadinya  peningkatan eksploitasi  sumberdaya  perikanan  secara  tidak  bertanggungjawab  dan  tidak
memperhatikan  kelestarian  lingkungan,  dan  ini  banyak  terjadi  di  negara-negara berkembang.
Kondisi  lingkungan  perairan  sangat  berpengaruh  terhadap  pola  kehidupan ikan  secara  umum.    Keadaan  lingkungan  perairan  yang  berfluktuasi  sangat
berpengaruh  terhadap  periode  migrasi  ikan.    Disamping  itu,  suhu  juga berpengaruh terhadap aktifitas metabolisme dan penyebaran ikan Gunarso, 1985
vide Nababan, 2008. Keberlanjutan  pengelolaan  sumberdaya  dalam  suatu  ekosistem,  menjadi
penting  diketahui,  karena  Indonesia  sebagai  negara  kepulauan  terbesar  yang dikaruniai  dengan  ekosistem  perairan  tropis  memiliki  karakteristik  dan  dinamika
sumberdaya perairan dan perikanan yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan  tidak  terlepas  dari  kompleksitas  ekosistem  tropis  tropical  ecosystem
complexities yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis Adrianto et al,    2010.      Selanjutnya  dikatakan  bahwa  interaksi  antar  komponen  abiotik  dan
biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu  komponen  utama,  karena  interaksi  dinamika  antara  komponen  abiotik  dan
biotik  dapat  berpengaruh  terhadap  sumberdaya  ikan.  Berkenaan  dengan  hal tersebut,    maka  dalam  mewujudkan  keberlanjutan  pengelolaan  sumberdaya
perikanan,  memasukkan  unsur  ekosistem  perairan  laut  menjadi  sangat  penting sehingga  pengelolaan  sumberdaya  dapat  dilakukan  secara  berkelanjutan  dan
lestari.    Apabila  interaksi  antar  komponen  ini  diabaikan,  maka  keberlanjutan perikanan menjadi terancam.  Gambar 3 menunjukan keterkaitan antar komponen
dalam  ekosistem  perairan  yang  dapat  mempengaruhi  keberlanjutan  pengelolaan perikanan.
Pengelolaan  sumberdaya  perikanan  Gambar  3,  merupakan  pendekatan keberlanjutan  yang  ditawarkan  untuk  meningkatkan  kualitas  pengelolaan  yang
sudah ada conventional management.  Seperti diketahui bersama bahwa,  proses yang  terjadi  pada  conventional  management  digambarkan  melalui  garis  tebal,
sedangkan  pengembangan  dari  pengelolaan  konvensional  menuju  pengelolaan dengan  menyertakan  unsur  ekosistem  lingkungan  perairan  beserta  dengan
interaksinya,  digambarkan  melalui  garis  putus-putus.  Pengelolaan  perikanan secara konvensional hanya dipandang pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada dan
lebih didorong dan disesuaikan dengan permintaan pasar untuk tujuan ekonomi.
Prot ect
ion R
ehabil it
at ion
Development Information
Lobbying Management
Votes
Ba hav
iou r
A ttra
ct ion
D ep
let ion
R emo
va ls
Impa cts
Impa cts
Pro te
ct ion
R estor
ation
Demand
Supply
W ork
in g co
nd it
ion s
Fluctuations
Habitat Survival
G ea
r I mp
a ct
P o
ll u
ti o
n C
lue s
R isks
Glob al c
han ge
ABIOTIC Bottom
Water
Weather Topography
FISHING Capture
Processing
BIOTIC Target species
Other species Living habitat
Predator Preys
INSTITUTIONS Conventions
Regulations Financing
Organization
Process
O T
H E
R E
C O
SY ST
E M
POLIC Y
OTHER ACTIVITIES
VALUES Interactions
MAR K
E T
S
Competitions
C L
IM A
T E
Gambar 3   Interaksi dan proses antar komponen dalam keberlanjutan pengelolaan perikanan Garcia,  et al  2003
Dalam  konteks  keberlanjutan  pengelolaan  sumberdaya  perikanan,  harus dipertimbangkan  faktor  dinamika  dan  pengaruh  tingkat  survival  terhadap  habitat
yang menunjang kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri Adrianto et al,  2010. Nuitja  2010  menyatakan  bahwa,  setiap  species  ikan  memiliki  kondisi
hidup yang ideal, bisa bekembang dengan subur dan dapat bertoleransi bila terjadi perubahan  dari  kondisi  sebelumnya.    Toleransi  tersebut  mencakup  kondisi  fisik
dan  kimia  tertentu  Darmono  2010,  dan  kondisi  tersebut  diperlihatkan  dengan tanda awal dari tingkat toleransi  yang dimiliki  yaitu tingkat  toleransi tinggiEury
dan  tingkat  toleransi  rendahSteno  Nuitja,  2010.    Pada  kondisi  suhu  optimum dari  faktor  abiotik  terdapat  sejumlah  organisme  yang  dapat  hidup  secara  normal
Darmono,  2010.    Disamping  itu,  meski  dua  species  yang  sama  hidup  bersama pada  kawasan  yang  sama,  namun  keinginan  mereka  akan  berbeda  terhadap
makanan, hal ini menunjukkan toleransi masing-masing species terhadap beberapa faktor  lingkungan  berbeda.    Daya  toleransi  tersebut  juga  bergantung  terhadap
kebutuhan untuk berkembang biak breeding.
Darmono  2010  menyatakan  bahwa  dalam  komponen  ekosistem  biotik terdapat bermacam-macam jenis dan species makhluk hidup.  Dalam suatu sistem
ekologi  komponen  biotik  terdiri  dari  produsen  dan  konsumen,  yang  didasarkan atas bagaimana cara mereka memperoleh makanan atau unsur nutrisi organik yang
diperlukan  untuk  mempertahankan  siklus  hidup.    Sebagai  konsumen,  ekosistem biotik  lebih  bersifat  heterotrof,  dan  nutrisi  organik  diperoleh  dengan  cara
memakan  produsen  atau  konsumen  lain.    Lebih  lanjut  Darmono  2010, menjabarkan  beberapa  jenis  konsumen  yang  bergantung  pada  jenis  pakannya
adalah sebagai berikut: 1  Konsumen  primer  herbivora;  yaitu  memakan  langsung  jenis  tanaman  atau
jenis produsen lainnya. 2  Konsumen sekunder karnivora; adalah pemakan komsumen tingkat pertama.
3  Konsumen  tersier  konsumen  tingkat  tinggi;  adalah  pemakan  konsumen sekunder karnivora.
4  Omnivora pemakan segala; adalah pemakan tanaman dan binatang 5  Detrivora  pemakan  sisa-sisa;  adalah  pemakan  bagian  organisme  yang  mati
dan mengubahnya menjadi partikel organik. Tipe  jejaring  makanan  yang  terjadi  pada  ekosistem  laut,  secara  umum
membentuk limas pakan atau lebih dikenal dengan  food piramide Nontji, 2005. Keadaan  ini  sebagai  akibat  dari  perpindahan  senyawa  organik  berlangsung  dari
bawah  ke  atas  tidak  efisien.    Selanjutnya  dikatakan  bahwa,  tingkat  efisiensi perpindahan senyawa organik satu tingkat diatasnya diperkirakan hanya mencapai
10,  sementara  90  lainnya  hilang  sebagai  panas.    Nontji  2005  menyatakan bahwa dari 100 unit senyawa organik yang dihasilkan oleh fitoplankton, hanya
10 unit senyawa yang diserap oleh konsumen tingkat pertama, hal ini berlanjut seperti itu sampai dengan tingkat paling tinggi yaitu karnivor puncak Gambar 4.
Plankton,  dalam  siklus  rantai  makanan  mempunyai  peranan  sangat  penting dalam  ekosistem  laut  dan  sangat  berpengaruh  terhadap  tingkat  survival  habitat
yang menunjang kehidupan sumberdaya ikan Nybakken 1992 dan Nontji  2007.
PP=Produsen  primer  fitoplankton,  H=Herbivora  zooplankton,  K1=Karnivora  pertama  ikan- ikan kecil, K2=Karnivora kedua ikan-ikan yang lebih besar, K3=Karnivora ketiga ikan besar
Gambar 4 Piramida makanan  pada ekosistem laut Nontji, 2005
Lebih  lanjut,  Nontji  2007  menyatakan  bahwa,  rantai  makanan  di  laut  berawal dari  fitoplankton  sebagai  produsen  pembentuk  makanan  malalui  proses
fotosintesis  klorofil-a  dan  memiliki  peranan  penting  terhadap  ekosistem  laut, yaitu  sebagai  makanan  bagi  hewan-hewan  yang  hidup  di  laut  Nybakken,  1988.
Fitoplankton  merupakan  makanan  bagi  zooplankton  yang  bersifat  herbivora. Zooplankton  merupakan  sumber  makanan  bagi  ikan  kecil,  termasuk  lemuru
karena  lemuru  adalah  plankton  feeder  dan  seterusnya  sampai  pada  tingkat predator paling puncak Gambar  4.
Produktivitas  fitoplankton  sangat  bervariasi  antara  satu  perairan  dengan perairan  lainnya,  dan  dari  satu  lokasi  dengan  lokasi  lainnya  pada  satu  luasan
perairan  yang  sama.    Produktifitas  primer  dari  fitoplankton  adalah  melakukan fotosintesis.  Proses  fotosintesis  ini  sangat  dipengaruhi  oleh  adanya  cahaya,
kondisi  suhu  perairan,  salinitas,  dan  kandungan  nutrient  yang  terdapat  dalam lingkungan  perairan.    Berdasarkan  hasil  penelitian  Jitts  et  al  1964,  Kain  and
Fogg  1958,    menunjukkan  bahwa  fitoplankton  yang  berada  di  laut  mampu melakukan pembelahan diri sebanyak dua sampai lima kali dalam satu hari.  Hal
ini dapat terjadi dalam kondisi cahaya, suhu dan salinitas serta kandungan nutrient berada pada kondisi yang optimum.
Berdasarkan  hasil  penelitian    Pranowo  2004  dan  Realino  2004,    Selat Bali merupakan salah satu daerah upwelling.  Upwelling yang terjadi di Selat Bali
lebih mengarah ke selatan berdekatan dengan Samudera Hindia.
K3 K2
K1 H
PP
Predator tertinggi Predator
Penyaring Herbivora
Algae
Gambar 5    Jejaring makanan di laut tropis Nybakken,  1988
Proses upwelling ini terjadi secara kontinyu terutama pada periode musim timur, dimana pada saat itu kondisi suhu permukaan meningkat Nuitja 2010.  Sebagai
daerah upwelling, Selat Bali merupakan perairan yang subur dan banyak terdapat plankton yang merupakan sumber makanan ikan lemuru.
Suhu,  terutama  suhu  permukaan  laut,  merupakan  parameter  oseanografi yang  berpengaruh  terhadap  kehidupan  ikan  dan  sumberdaya  hayati  laut  lainnya
Simbolon et al  2009 dan pengaruh tersebut sangat dominan.   Nybakken 1988 menyatakan,  organisme  laut  sebagian  besar  bersifat  poikilotermik,  yaitu  suhu
tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan.  Selanjutnya dikatakan bahwa suhu, merupakan  faktor  penting  dalam  pengaturan  proses  kehidupan    dan  penyebaran
organisme laut Nybakken  1988. Melalui penginderaan jauh  dengan citra satelit, dapat diketahui bahwa hasil
penginderaan  terhadap  suhu  berasal  dari radiasi  balik  pada  permukaan  laut  skin sea  surface  temperature,  yaitu    pada  beberapa  sentimeter  di  bawah  permukaan
laut  merupakan  suhu  aktual  dari  kolom  air  bulk  sea  surface  temperature Simbolon  et  al      2009.      Selanjutnya  dijelaskan  bahwa,  dari  pola  penyebaran
citra, dapat diketahui dan dilihat fenomena oseanografi upwelling, front, dan pola
arus  permukaan.    Daerah  ini  merupakan  perairan  yang  potensial  sebagai  daerah penangkapan Gambar 6.
Gambar 6  Cara kerja sistem penginderaan jauh Simbolon et al,  2009 Salinitas,  adalah jumlah berat garam yang terdapat dalam 1 satu liter air,
yang dinyatakan dalam satuan ‰ per mill Simbolon et al   2009.   Di perairan
samudera  salinitas  berkisar  antara  34-35
o
,  sedangkan  di  daerah  pantai  lebih rendah,  karena  pengaruh  aliran  sungai  Nontji    2007.    Selanjutnya  dijelaskan
bahwa sebaran salinitas di laut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai Nontji  2007. Untuk
menentukan  kadar  salinitas,  secara  kimia  maupun  fisika  dapat  dilakukan pengukuran dengan alat salinometer.  Alat ini bekerja didasarkan pada daya hantar
listrik.  Semakin tinggi salinitas, maka daya hantar listriknya juga semakin besar Nontji  2007.
Kualitas perairan, terutama di daerah penangkapan perlu mendapat perhatian dan harus ditangani secara serius dan bersungguh-sungguh Hutabarat dan Evans,
2008,  karena  berkaitan  dengan  bahan  pencemar  yang  datang  dari  kegiatan  di daratan.  Pencemaran yang terjadi dikawasan pantai, dapat ditanggulangi dengan
cepat,  namun  tidak  demikian  halnya  apabila  pencemaran  terjadi  di  perairan  laut. Secara ekstrim bahan pencemar dapat menjadi racun bagi tumbuhan renik, seperti
fitoplankton yang merupakan produsen utama dalam sistem rantai makanan hewan dan organisme yang hidup di perairan laut Hutabarat dan Evans, 2008.
Darmono  2010  menyatakan  bahwa  lautan  merupakan  sabuk  pengaman kehidupan manusia. Namun dilain sisi lautan juga merupakan tempat pembuangan
benda-benda  asing,  menerima  bahan-bahan  yang  terbawa  oleh  aliran  sungai  dari daerah  pertanian,  pembuangan  limbah  rumah  tangga  dan  masih  banyak  bahan
limbah lainnya yang masuk ke laut. Gerlach  1981 dalam The International Oceanographic Commision IOC,
menyatakan  bahwa  pencemaran  laut  merupakan  akibat  dari  perlakuan  manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.  Lebih lanjut dikatakan, pencemaran
adalah  masuknya  zat  atau  energi  kedalam  lingkungan  laut  pesisir  yang menyebabkan efek merusak.  Kerusakan tersebut berakibat pada kehidupan  biota
laut, mengganggu aktifitas laut termasuk penangkapan ikan.
2.4  Lemuru Sardinella lemuru Bleeker 1853