November Surabaya. Pelaksanaan analisis dilakukan pada bulan Juli - September 2011. Analisis dilakukan terhadap komposisi dan frekuensi Fp. Kemunculan
dan komposisi ini dibedakan menjadi; 1 kemunculan makanan dominan atau makanan utama D, 2 kemunculan makanan sekunder S, dan 3 kemunculan
jarang J. Untuk mengetahui nilai frekuensi kemunculan makananmangsa digunakan formula sebagai berikut Yamashita, 1991.
x 100 .......................................................................................6.13 dimana,
= persentase frekuensi kemunculan tiap jenis mangsa j = jumlah lambung yang berisi makanan j
= jumlah lambung yang berisi total makanan. Selanjutnya, untuk mengetahui indeks komposisi nilai makanan yang ada dalam
lambung sampel uji, digunakan formula sebagai berikut Yamashita, 1991. x 100, .......................................................................................6.14
dimana, = indeks komposisi nilai makanan
= jumlah tiap jenis makanan j pada lambung ikan sampel nj = jumlah total makanan dalam lambung ikan sampel.
6.4 Hasil Penelitian
6.4.1 Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru
Kegiatan penangkapan ikan lemuru di Selat bali, sangat intensif dilakukan. Jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan di Selat Bali dalam rangka
pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru adalah purse seine pukat cincin atau lebih dikenal dengan nama slereksleret. Alat tangkap lain yang digunakan adalah
payang, bagan, pukat pantai, dan gillnet. Namun alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap lemuru adalah purse seine, karena hasil tangkapan
yang diperoleh lebih banyak jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya.
Perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam pemanfaatan ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 16.
Pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa secara global alat tangkap yang banyak beroperasi di Selat Bali adalah alat tangkap gillnet sebanyak 75,85, pukat cincin
sebanyak 11,82, bagan sebanyak 6,50, payang sebanyak 2,98 dan pukat pantai sebanyak 2,85. Pukat cincin purse seine, atau masyarakat setempat
mengenal dengan nama sleret lebih banyak dan paling dominan digunakan untuk pemanfaatan ikan lemuru, mengingat alat tangkap ini memiliki kemampuan lebih
untuk menghasilkan lemuru dalam satu kali hauling. Tabel 16 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan untuk
penangkapan lemuru di Selat Bali tahun 2005 – 2010
Perkembangan jumlah alat tangkap No
Tahun Banyuwangi
Jembrana P. Cincin
Payang Gillnet
Bagan P. Pantai
P Cincin Gillnet 1
2005 142 112 276 174
63 74
612 2
2006 166 112 276 174
64 74
1.277 3
2007 185 44 256 129
67 72
1.272 4
2008 185 44 256 129
59 77
1.240 5
2009 203 42 303 129
63 83
1.246 6
2010 203 42 303 129
63 107
1.335
Jumlah 1.084
396 1.670
864 379
487 6.982
Rata-rata 181
66 278
144 63
81 1.163
Sumber: DKP Kabupaten Banyuwangi 2011 dan DPKK Kabupaten Jembrana 2011
Menurut data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi 2011 terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun
2007 yaitu sebesar 53.155,01 ton, sementara hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 7.200,33 ton untuk alat tangkap purse seine. Hasil
tangkapan lemuru dengan menggunakan alat tangkap payang, tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 3.080,19 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah
terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 457.56 ton. Untuk alat tangkap gillnet hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 5.689,92 ton, sedangkan
hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 355,53 ton. Hasil tangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap bagan terjadi pada
tahun 2006 yaitu sebesar 1.540,09 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 179,03 ton. hasil tangkapan lemuru tertinggi
untuk kabupaten Jembrana dengan menggunakan alat tangkap purse seine terjadi tahun 2009 yaitu sebesar 42.930,80 ton, dan hasil tangkapan terendah terjadi
tahun 2005 yaitu sebesar 4.052,60 ton. hasil tangkapan lemuru tertinggi dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar
196,70 ton dan hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 26,30 ton. Untuk alat tangkap gillnet terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 388,00 ton,
sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 1,40 ton Tabel 17.
Tabel 17 Produksi lemuru Selat Bali tahun 2005 – 2010
Sumber: DKP Kabupaten Banyuwangi 2011 dan DPKK Kabupaten Jembrana 2011
1 Purse seine
Purse seine atau pukat cincin, diperkenalkan kepada masyarakat dan nelayan Muncar pada tahun 1974. Perkembangan alat tangkap ini sangat pesat,
bila dibandingkan dengan alat tangkap lain yang digunakan oleh nelayan sebelumnya. hasil tangkapan lemuru yang dihasilkan dari Selat Bali, yaitu oleh
nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana dengan menggunakan alat tangkap purse seine dapat dilihat pada Tabel 17.
Hasil tangkapan tertinggi di Kabupaten Banyuwangi adalah pada tahun 2007 sebesar 53.155,01 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada
tahun 2005 sebesar 7.200,33 Ton. Hasil tangkapan lemuru tertinggi di Kabupaten Jembrana terjadi pada tahun 2009 sebesar 42.930,80 ton, dan hasil tangkapan
terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar 5.887,20 ton Gambar 23.
- 10,000.00
20,000.00 30,000.00
40,000.00 50,000.00
60,000.00
2005 2006
2007 2008
2009 2010
H as
il ta
ng ka
pa n
t on
t hn
Tahun
Banyuwangi Jembrana
Perbedaan jumlah tangkapan yang didaratkan di Kebupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana jelas terlihat. Hal ini dapat dipahami, karena rata-rata
jumlah alat tangkap purse seine yang ada di Kabupaten banyuwangi lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten Jembrana Tabel 17.
Gambar 23 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap purse seine di Selat Bali tahun 2005
– 2010 Berdasarkan data yang diperoleh dari UPPPP Muncar, jumlah purse seine
yang beroperasi tahun 2010 adalah sebanyak 203 unit, sementara itu di Kabupaten Jembrana jumlah purse seine yang beroperasi untuk tahun 2010 sebanyak 107
unit.
2 Payang
Payang, adalah jenis alat tangkap yang hampir menyerupai purse seine, dimana alat tangkap ini juga memilik kantong dibagian tengahnya. Secara umum,
alat tangkap ini digunakan oleh masyarakat Banyuwangi atau terutama nelayan Muncar untuk menangkap ikan tongkol. Namun pada saat sumberdaya lemuru
meningkat jumlahnya, maka alat tangkap ini juga menghasilkan lemuru sebagai hasil tangkapan mereka. Produksi lemuru hasil tangkapan payang tertinggi terjadi
pada tahun 2007 yaitu sebesar 3.080,19 ton dan terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 457.06 ton.
Alat tangkap payang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi untuk menangkap ikan lemuru, sementara nelayan Kabupaten Jembrana tidak
menggunakannya Gambar 24. Alat tangkap payang ini oleh nelayan di
- 500.00
1,000.00 1,500.00
2,000.00 2,500.00
3,000.00 3,500.00
2005 2006
2007 2008
2009 2010
H as
il ta
ng ka
pa n
t on
thn
Tahun
Banyuwangi
0.00 100.00
200.00 300.00
400.00 500.00
600.00 700.00
2005 2006
2007 2008
2009 2010
H as
il ta
n gk
ap an
to n
t h
n
Tahun
Banyuwangi Jembrana
Kabupaten Banyuwangi juga digunakan untuk menangkap ikan selain ikan lemuru, atau lebih tepatnya alat tangkap ini digunakan sesuai dengan musim ikan.
Gambar 24 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Payang di
Selat Bali tahun 2005 – 2010
3 Gillnet
Hasil tangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap gillnet di Selat Bali, selama kurun waktu 6 tahun yaitu dari tahun 2005
– 2010 sangat berfluktuasi. Pada tahun 2009 hasil tangkapan lemuru tertinggi dengan
menggunakan alat tangkap gillnet yaitu 573,58 ton, dan terendah terjadi tahun 2007 yaitu sebesar 201,10 ton Gambar 25.
Gambar 25 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Gillnet di
Selat Bali tahun 2005 – 2010
- 50.00
100.00 150.00
200.00 250.00
2005 2006
2007 2008
2009 2010
H as
il ta
ng ka
pa n
t on
t hn
Tahun
Jembrana
Sementara produksi gillnet yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Jembrana, tertinggi terjadi tahun 2008 sebesar 388,00 ton. Hasil tangkapan terendah terjadi
tahun 1,40 ton.
4 Pukat Pantai
Alat tangkap pukat pantai, merupakan alat tangkap tradisional dan masih banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Jembrana, terutama untuk
penangkapan ikan lemuru. Sementara itu nelayan Kabupaten Banyuwangi tidak menggunakannya. Hasil tangkapan lemuru yang tercatat tidak begitu tinggi bila
dibandingkan dengan alat tangkap lain. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 196,70 ton dan terendah terjadi tahun 2005 yaitu 26,30 ton.
Grafik pada Gambar 26 memperlihatkan fluktuasi jumlah hasil tangkapan lemuru dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai.
Gambar 26
Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap pukat pantai di Selat Bali tahun 2005
– 2010
5 Bagan
Hasil tangkapan lemuru dengan alat tangkap bagan tidak memperlihat hasil tinggi sebagaimana menggunakan alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan
paling tinggi terjadi tahun 2006, yaitu sebesar 1.540,09 ton. Untuk tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan, dan yang paling rendah terjadi tahun 2010 sebesar
178,99 ton Gambar 27. Secara garis besar dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan lemuru selama
kurun waktu 2005 sampai dengan 2010 berfluktuasi. Hasil tangkapan yang lebih
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1800
2005 2006
2007 2008
2009 2010
H a
si l
ta ng
k a
pa n
t on
thn
Tahun
Banyuwangi
besar adalah menggunakan alat tangkap purse seine. Seperti kita ketahui bersama dan sudah diuraikan pada penjelasan terdahulu, bahwa alat tangkap purse seine
merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali.
Gambar 27 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Bagan di Selat
Bali tahun 2005 – 2010
6.4.2 Analisis fungsi produksi perikanan lemuru
Setelah dilakukan penghitungan catch per unit effort CPUE ikan lemuru dengan jenis alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di Selat Bali,
maka dapat dilihat bahwa CPUE rata-rata tertinggi adalah dengan menggunakan alat tangkap purse seine, baik yang mendaratkan hasil tangkapan di UPPPP
Muncar 164,5942 tonunit maupun di PPN Pangambengan Bali 311,1950 tonunit.
Tabel 18 Total tangkapan catch CPUE
standar
dan Effort
standar
ikan lemuru di Selat Bali tahun 2005 - 2010
Tahun C total
CPUE std E std
2005 14.405,22
79,56 181,069
2006 67.627,19
221,47 305,357
2007 81.598,72
368,75 221,284
2008 57.594,10
319,48 180,273
2009 71.866,79
517,24 138,943
2010 56.380,72
360,67 156,322
TOTAL 349.472,75
1.867,17 1.183,248
Rata2 58.245,46
311,19 197,208
Sumber: UPPPP Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Dinas PKK Kabupaten Jembrana 2011, data diolah
2005 2006
2007 2008
2009 2010
10,000.000 -
10,000.000 20,000.000
30,000.000 40,000.000
50,000.000 60,000.000
70,000.000 80,000.000
90,000.000
100 200
300 400
500 600
P e
m a
nf a
a ta
n t
on thn
Upaya Effort
Pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali dilakukan oleh nelayan yang berasal dari Kabupaten Jembrana dengan tempat pendaratan utama di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Pengambengan PPN Pengambengan dan nelayan dari Kabupaten Banyuwangi dengan tempat pendaratan utama di UPPPP Muncar Tabel 18.
Berdasarkan uji kelima metode untuk mendapatkan hasil yang lebih best fit untuk menentukan C
msy
dan E
msy
terhadap 5 lima metode yaitu Schnute, Walter Hilbron, Disequilibrium Schaefer, Equilibrium Schaefer dan Clark,
Yoshimoto dan Pooley CYP terhadap data, maka metode Clark Yoshimoto dan Pooley CYP memenuhi syarat Lampiran 9, dengan persamaan:
Berdasarkan persamaan yang diperoleh dengan menggunakan metode Clark, Yoshimoto dan Pooley CYP, maka dapat dihitung nilai potensi
maksimum lestari C
msy
dan diperoleh hasil sebesar 59.059,61
ton per tahun dan nilai upaya maksimum lestari E
msy
diperoleh sebesar 252,47 unit per tahun. Jika dilihat total pemanfaatan sumberdaya lemuru tertinggi selama periode tahun 2005
– 2010 di Selat Bali terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 81.598,72 ton dan terendah terjadi tahun 2005 sebesar 14.405,22 ton Gambar 28. Berpedoman
kepada nilai C
msy
dan E
msy
hasil perhitungan, maka pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya lemuru sudah mengalami lebih tangkap over fishing.
Gambar 28 Kurva hasil tangkapan lemuru di Selat Bali tahun 2005
– 2010
6.4.3 Standarisasi alat tangkap
Standarisasi terhadap alat tangkap perlu dilakukan, karena berdasarkan data yang ada ikan lemuru dapat ditangkap dengan menggunakan beberapa alat
tangkap yaitu purse seine paling dominan, payang, pukat pantai, gillnet dan bagan. Seperti kita ketahui bersama bahwa kemampuan menangkap dari masing-
masing alat tangkap tersebut berbeda-beda. Tujuan dilakukan standarisasi alat tangkap ini sebagai alat ukur terhadap tingkat kemampuan pemanfaatan satu jenis
alat tangkap sekaligus sebagai indikator pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru secara optimal, dengan harapan pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara
terus menerus dan lestari. Berdasarkan kemampuan menangkap yang berbeda tersebut, maka jumlah
upaya penangkapan oleh masing-masing alat tangkap dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru, merupakan penjumlahan dari upaya masing-masing alat
tangkap yang sudah distandarisasi dengan memasukkan nilai FPI. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa CPUE rata-rata tertinggi dari tahun 2005
– 2010 adalah alat tangkap purse seine yang mendaratkan hasil tangkapannya di
Kabupaten Jembrana. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka alat tangkap ini terpilih sebagai alat tangkap standar dengan FPI sama dengan satu Tabel 19.
Tabel 19 Fishing power index FPI alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru
Tahun FPI
P bwi PR bwi
B bwi GN bwi
PP Jemb PR Jemb
GN Jemb 2005
0.051 0.637
0.030 0.019
0.005 1
0.000 2006
0.124 1.256
0.040 0.007
0.002 1
0.000 2007
0.058 0.779
0.013 0.002
0.003 1
0.000 2008
0.105 0.508
0.008 0.007
0.010 1
0.001 2009
0.080 0.249
0.004 0.004
0.003 1
0.000 2010
0.059 0.222
0.004 0.003
0.002 1
0.000 Rata2
0.080 0.609
0.016 0.007
0.004 1
0.000 Sumber:
Diolah dari data statistik DPK Kabupaten Banyuwangi dan DPKK Kabupaten Jembrana 2011
Keterangan: P bwi
: Payang Banyuwangi
PR bwi :
Purse seine Banyuwangi B bwi
: Bagan Banyuwangi
GN bwi : Gillnet Banyuwangi
PP Jemb : Pukat pantai Jembrana
PR Jemb : Purse seine Jembrana
GN Jemb : Gillnet Jembrana
Upaya penangkapan standar merupakan upaya yang dilakukan oleh masing-masing jenis alat tangkap dan merupakan hasil perkalian effort standar
dengan nilai FPI Tabel 20. Upaya penangkapan Tabel 20 dengan alat tangkap purse seine tertinggi adalah yang mendaratkan hasil tangkapan lemuru di
Kabupaten Jembrana, yaitu tahun 2010 sebanyak 107 unit alat tangkap standar, sedangkan terendah terjadi tahun 2005 dan 2006 yaitu sebanyak 74 unit alat
tangkap standar. Untuk purse seine yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Muncar, upaya penangkapan tertinggi terjadi tahun 2006
sebanyak 142 unit alat tangkap standar, dan terendah tahun 2010 yaitu sebanyak 9 unit alat tangkap standar.
Tabel 20 Nilai upaya penangkapan standar alat tangkap penghasil ikan lemuru
Tahun Upaya penangkapan standar Estd
P bwi PR bwi
B bwi GN bwi
PP Jemb PR Jemb
GN Jemb 2005
6 91
5 5
74 2006
14 208
7 2
74 2007
3 144
2 1
72 2008
5 94
1 2
1 77
1 2009
3 51
1 1
83 2010
2 45
1 107
Rata2 5
105 3
2 81
Sumber: Diolah dari data statistik DPK Kabupaten Banyuwangi dan DPKK Kabupaten Jembrana 2011
Keterangan: P bwi
: Payang Banyuwangi
PR bwi :
Purse seine Banyuwangi B bwi
: Bagan Banyuwangi
GN bwi : Gillnet Banyuwangi
PP Jemb : Pukat pantai Jembrana
PR Jemb : Purse seine Jembrana
GN Jemb : Gillnet Jembrana
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
Muncar
panjang lebar
berat 0.00
10.00 20.00
30.00 40.00
50.00 60.00
Pengambengan
panjang Lebar
berat
Upaya penangkapan alat tangkap payang di Kabupaten Banyuwangi tertinggi terjadi tahun 2006 sebanyak 14 unit alat tangkap standar, dan terendah
adalah tahun 2005, 2007, dan tahun 2010 masing-masing sebanyak 2 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan alat tangkap gillnet yang dioperasikan di
Kabupaten Banyuwangi tertinggi terjadi tahun 2008 yaitu sebanyak 2 unit alat tangkap standar, sedangkan pada tahun 2005-2007 alat tangkap standar tidak
dioperasikan dikabupaten ini. Upaya penangkapan alat tangkap bagan yang dioperasikan di Kabupaten Banyuwangi tertinggi secara berturut-turut terjadi
tahun 2006 sebanyak 7 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan alat tangkap pukat pantai yang dioperasikan di Kabupaten Jembrana tertinggi terjadi
tahun 2008 sebanyak 1 unit alat tangkap standar, berikutnya secara berturut-turut tahun 2005
–2007 dan tahun 2008–2009 tidak ada alat tangkap standar yang dioperasikan di kabupaten ini. Hasil analisis ini digunakan sebagai parameter
untuk analisis model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dengan pendekatan ekosistem bab 9.
6.4.4 Ukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru hasil tangkapan nelayan
Pengukuran ikan lemuru dilakukan selama 6 bulan, yaitu dari bulan Mei –
Oktober 20011. Pengukuran dilakukan di dua tempat yaitu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan dan UPPPP Muncar. Kecenderungan ukuran
ikan lemuru yang ditangkap oleh nelayan berdasarkan pengamatan dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober tertera pada Gambar 29.
Gambar 29 Rata-rata ukuran panjang, lebar dan berat lemuru hasil tangkapan
nelayan bulan Mei – Oktober 2011
Perbedaan ukuran panjang dan berat, hasil tangkapan lemuru yang didaratkan di UPPPP Muncar dan PPN Pangambengan bisa saja terjadi. Perbedaan hasil
tangkapan dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan daerah penangkapan yang dilakukan oleh nelayan masing-masing wilayah. Pada Gambar 29, terlihat bahwa
ukuran panjang, lebar dan berat lemuru hasil tangkapan nelayan di Muncar dan di Jembrana berbeda.
Hasil pengukuran yang dilakukan pada bulan Juli 2011 di PPN Pengambengan menunjukan ikan lemuru yang tertangkap rata-rata berukuran
panjang 12,48 cm, sementara di UPPPP Muncar adalah 13,29 cm. Jika dilihat dari kisaran ukuran panjang ikan lemuru, pada bulan Juli 2011 ukuran lemuru
yang didaratkan di PPN Pengambengan dan UPPPP Muncar juga berbeda. Ukuran sempenit yang terdata berada pada kisaran 9,90
– 12,50 cm, sedangkan di UPPPP Muncar ukuran sempenit berada pada kisaran 10,00
– 12,50 cm. Grafik pada Gambar 29, memperlihatkan dengan jelas perbedaan ukuran ikan lemuru
yang tertangkap di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan.
6.4.5 Kebiasaan makan feeding habits ikan lemuru
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap isi lambung ikan lemuru, maka diperoleh hasil bahwa makanan utama lemuru adalah plankton,
namun dari hasil analisa terdapat perbedaan komposisi makanan berdasarkan ukuran ikan lemuru. Saat lemuru berukuran sempenit kecendrungan makanannya
adalah phytoplankton. Pada saat berukuran protolan, kecenderungan komposisi makanannya adalah zooplankton dan ketika berukuran lemuru, dan lemuru kucing,
kecenderungan komposisi makanannya adalah phytoplankton Tabel 21. Kebiasaan makan ikan lemuru sangat tergantung dengan ketersediaan
nutrien di perairan laut Selat Bali. Hasil uji laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui kecenderungan pola makan ikan lemuru menunjukkan bahwa secara
umum ikan lemuru merupakan hewan pemakan plankton plankton feeder.
Tabel 21 Jenis makanan yang ada dalam lambung ikan lemuru sampel
Tanggal kode
sampel Jenis Makanan dalam
Lambung Ikan NS
Nsj
Fp
frekuensi kumunculan tiap jenis mangsa
D S
J 26 Juli „11
Sempenit phytoplankton
3 3
100.00 zooplankton
3 3
100.00 sisik ikan
3 3
100.00 cacing
3 1
33.30 potongan udang
3 2
66.67 3 Agust „11
Protolan phytoplankton
3 3
100.00 zooplankton
3 3
100.00 Potongan Udang
3 3
100.00 Kulit Ikan
3 3
100.00 Cacing
3 1
33.30 sisik ikan
3 1
33.30 11 Agust „11
Lemuru phytoplankton
3 3
100.00 zooplankton
3 3
100.00 Cacing
3 2
66.67 Sisik Ikan
3 2
66.67 Kulit Ikan
3 3
100.00 potongan udang
3 1
33.30 1 Sept „11
L. kucing Phytoplankton 3
3 100.00
Zooplankton 3
3 100.00
Sisik Ikan 3
2 66.67
Cacing 3
2 66.67
Potongan Udang 3
2 66.67
Potongan Copepode 3
3 100.00
Sumber: Data primer berdasarkan uji laboratorium 2011
Komposisi plankton yang ditemukan dari hasil bedah lambung Tabel 22, diketahui bahwa pada saat lemuru berukuran sempenit, kecenderungan pola
makan dan jenis makanannya adalah phytoplankton, dengan indeks komposisi nilai makanan sebesar 48,78. Pada saat berukuran protolan berubah menjadi
pemakan zooplankton 43,75, namun pada saat berukuran lemuru dan lemuru kucing indeks komposisi nilai makanan yang ditemukan pada sampel uji adalah
phytoplankton, yaitu 42,86 untuk lemuru dan 45,46 untuk lemuru kucing. Jenis zooplankton dominan yang terdapat dalam lambung ikan sampel uji adalah
Trichodesmium sp 79, Leptrotintinnus sp 77, dan Triceratium sp 16. Jenis phytoplankton dominan yang terdapat dalam lambung ikan sampel uji adalah
Cascimodiscus sp 45, Spyrogira sp 28, Volvox sp 20, dan Flagilaria sp 6. Hasil uji Laboratotium terhadap jenis plankton yang terdapat di lambung ikan
lemuru sampel dapat dilihat pada Lampiran 11.
Tabel 22 Indeks komposisi nilai makanan dalam lambung ikan sampel uji
Sumber: Data primer berdasarkan uji laboratorium 2011
6.4.6 Daerah penangkapan
Daerah penangkapan ikan lemuru fishing ground, terdapat di sepanjang paparan Jawa dan Bali. Nelayan Banyuwangi dan Jembrana sudah mempunyai
daerah penangkapan mereka masing-masing. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, dan hasil wawancara dengan nelayan
Banyuwangi dan Jembrana, bahwa daerah penangkapan lemuru adalah; 1 untuk paparan Jawa: Klosot, Sembulungan, Wringinan, Tanjung Angguk, dan Karang
Ente, serta Grajagan selatan Jawa; 2 untuk paparan Bali: Pulukan, Seseh, dan Jimbaran.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Mei – Oktober
2011, bahwa daerah penangkapan lemuru berbeda menurut ukuran ikan. Pada wilayah paparan Bali, sempenit yaitu lemuru dengan ukuran panjang 10
– 12,5 cm dan protolan yaitu lemuru dengan ukuran panjang 13
– 14,5 cm lebih banyak tertangkap di wilayah Pulukan. Lemuru dengan ukuran panjang 15
– 17,5 cm di
wilayah perairan Seseh, dan lemuru kucing dengan ukuran panjang 17,9 – 19 cm
lebih banyak tertangkap di Jimbaran. Pada wilayah paparan Jawa, sempenit dan protolan banyak tertangkap di Karang Ente, Wringinan. Namun lemuru dan
lemuru kucing, sebagian besar sering tertangkap di Karang Ente dan sebagian besar di wilayah Jimbaran.
6.5 Pembahasan
Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam bab ini hal-hal yang ingin dibahas berkaitan dengan 1 keragaan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan
oleh nelayan untuk menangkap lemuru, 2 berkaitan dengan fungsi produksi, 3 berkaitan dengan kebiasaan makan lemuru, dan 4 berkaitan dengan sebaran
daerah penangkapan di perairan Selat Bali. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui tingkat pemanfaatan
sumberdaya lemuru yang dilakukan oleh nelayan Selat Bali sangat intensif. Produksi lemuru terus meningkat dan pada tahun 2007 adalah produksi tertinggi
untuk Kabupaten Banyuwangi, sedangkan untuk Kabupaten Jembrana produksi tertinggi terjadi pada tahun 2009. Purse seine atau masyarakat Selat Bali lebih
mengenal dengan nama sleret, yang berarti ditarik, merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap
aktif, dengan cara pengoperasiannya adalah memburu gerombolan ikan. Kegiatan penangkapan lemuru di Selat Bali merupakan kegiatan ekonomi
yang penting, baik itu untuk Kabupaten banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Kontribusi yang dihasilkan cukup besar, terutama untuk memenuhi bahan baku
pengalengan. Kegiatan ini memberikan pendapatan daerah yang cukup besar. Hariyanto et al. 2008 menyatakan bahwa, kegiatan perikanan tangkap sangat
menunjang kegiatan perekonomian daerah dan merupakan penyumbang pendapatan daerah tertinggi.
Alat tangkap lain yang digunakan oleh nelayan Selat Bali adalah gillnet, payang, pukat pantai dan bagan. Walaupun alat tangkap ini tidak memberikan
kontribusi terhadap hasil tangkapan yang diperoleh, namun sangat berkaitan dengan usaha nelayan skala kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, prinsip
pengelolaan terhadap sumberdaya lemuru di Selat Bali perlu dilakukan pengaturan
yang sangat selektif, terutama berkaitan dengan kelangsungan hidup nelayan yang menggantungkan hidup mereka terhadap jenis alat tangkap yang mereka miliki.
Hal yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan adalah memperhatikan pola penangkapan yang dilakukan sehingga pengelolaan sumberdaya dapat dilakukan
secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan, sangat berkaitan dengan
selektifitas alat tangkap yang digunakan dan faktor-faktor lingkungan perairan itu sendiri sebagai habitat ikan target penangkapan. Selektifitas alat tangkap berkaitan
dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Menurut DeAlteris and Riedel 1996, bahwa studi tentang karakteristik dan pemilihan ukuran alat tangkap dan
mata jaring untuk penangkapan ikan, sudah mulai dilakukan sejak awal tahun 1900-an, hal ini dilakukan dalam rangka upaya aplikasi ke arah pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan. Melakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang digunakan oleh
nelayan bertujuan untuk mewujudkan kemampuan suatu jenis alat tangkap dapat berfungsi secara optimal dalam segala aspek. Standarisasi alat tangkap perlu
dilakukan, agar tidak terjadi peningkatan kapasitas dalam pemanfaatan sumberdaya yang berakibat pada lebih tangkap over fishing. Berdasarkan hasil
analisis yang telah dilakukan untuk standarisasi terhadap alat tangkap Tabel 20, dan nilai E
msy
sebesar 252,47 unit per tahun, sementara jumlah alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap standar yang beroperasi di Selat Bali tahun 2010
sebanyak 310 unit dan sudah melebih E
msy
. Mengacu kepada SKB Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun 1992 tentang pengaturan jumlah alat
tangkap purse seine yang boleh beroperasi yaitu sebanyak 273 unit dengan pembagian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur dan 83 unit untuk Provinsi Bali,
maka pengendalian atau pengaturan ulang jumlah alat tangkap yang digunakan harus dilakukan. Upaya pengendalian tersebut perlu dilakukan secara menyeluruh,
baik itu berupa perbaikan peraturan yang ada, juga perlu dilakukan peningkatan pemahaman kepada pelaku usaha, sehingga tujuan pengelolaan berkelanjutan
dapat terwujud.
Berdasarkan SKB Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun 1992 tentang pengaturan jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi
yaitu sebanyak 273 unit dengan pembagian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur dan 83 unit untuk Provinsi Bali, sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian
terdahulu, maka perlu dilakukan evaluasi ulang atau penyesuaian dengan kondisi yang ada saat ini. Menurut Kepala Bidang Perikanan-Dinas Pertanian Kehutanan
dan Kelautan Kabupaten Jembrana berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap SKB tersebut, karena sudah terlalu
lama dan tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan saat ini. Pengaturan ini berlaku untuk alat tangkap purse seine, sementara pengaturan untuk jenis alat
tangkap lainnya belum dilakukan. Hasil wawancara dengan nelayan gillnet yang ada Kabupaten Jembrana, sebagian besar dari mereka belum pernah mengetahui
adanya pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat untuk alat tangkap selain purse seine. Menurut pengamatan kami selama pengumpulan data
di lapangan, memang sangat perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap SKB dua Gubernur seperti yang sudah diuraikan pada penjelasan terdahulu.
Upaya pengendalian jumlah alat tangkap yang digunakan, perlu dilakukan secara menyeluruh, baik itu berupa perbaikan peraturan yang ada, juga perlu
peningkatan pemahaman kepada pelaku usaha, sehingga tujuan pengelolaan berkelanjutan dapat terwujud. Perwujudan pengelolaan berkelanjutan berkaitan
dengan selektivitas alat tangkap yang digunakan. Menurut Sudirman et al 2011, suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas tinggi jika dalam
pengoperasiannya hanya menangkap target spesies dengan ukuran tertentu. Secara ekonomi, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Selat Bali
untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru adalah menguntungkan. Namun demikian hal yang perlu diperhatikan adalah efisiensi alat yang digunakan terhadap hasil
yang didapatkan setiap hari. Lemuru Sardinella lemuru Bleeker 1853 merupakan ikan peruaya. Sifat
peruaya ini berkaitan erat dengan upaya mencari makan yang dilakukan oleh ikan tersebut. Ikan akan mencari dan memilih suatu kombinasi optimum tertentu
terhadap kondisi-kondisi fisik dan biologi lingkungan perairan sebagai habitatnya
Merta dan Nurhakim, 2004. Menurut Indrawati 2000, ikan lemuru cenderung berada pada kondisi perairan dengan suhu antara 26,01°-27,00°C.
Kajian dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanudin dan Praseno 1982, bahwa dari hasil pemeriksaan isi perut, ikan lemuru termasuk pemakan
plankton zooplankton dan phyitoplankton. Perbandingannya yaitu: zooplankton berkisar antara 90,52
– 95,54, sedangkan fitoplankton berkisar antara 4,46 – 9,48 Burhanudin dan Praseno, 1982. Dalam penelitian tersebut tidak dirinci
secara jelas pada kondisi lemuru berukuran berapa yang merupakan pemakan fitoplankton dan zooplankton. Keutamaan dalam penelitian ini terutama untuk
pengujian isi lambung sudah dibedakan berdasarkan ukuran ikan lemuru sesuai dengan penamaan oleh masyarakat pesisir Selat Bali. Berdasarkan hasil yang
diperoleh ternyata lemuru pada saat berukuran sempenit adalah pemakan fitoplankton. Pada saat lemuru berukuran protolan, pola makannya berubah
menjadi pemakan zooplankton, dan ketika berukuran lemuru dan lemuru kucing kembali terjadi perubahan pola makan yaitu sebagai pemakan fitoplankton.
Dhulked 1962 menyatakan bahwa Sardinella longiceps dewasa adalah pemakan phyitoplankton dan diduga bahwa ada perubahan pola dan kebiasaan makan
setelah ikan menjadi besar. Teori yang disampaikan oleh Dhulked 1962 terbukti dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh terhadap sampel uji, bahwa pada saat lemuru berukuran sempenit, kecenderungan pola makan dan jenis
makanannya adalah phytoplankton sebesar 48.78 Tabel 22. Pada saat berukuran protolan berubah menjadi pemakan zooplankton 43.75, namun pada
saat berukuran lemuru dan lemuru kucing komposisi makanan yang ditemukan pada sampel uji lebih banyak phytoplankton yaitu 42.86 untuk lemuru dan
45.46 untuk lemuru kucing Tabel 22. Perubahan pola makan bisa disebabkan oleh ketersediaan zat hara yang terdapat pada suatu wilayah perairan.
Berkurangnya sumber makanan bagi ikan pelagis terutama ikan lemuru sangat mempengaruhi ketersediaan biomass sumberdaya dan selanjutnya dapat
mengurangi hasil tangkapan Campo et al, 2006. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya hasil tangkapan, salah satunya dipengaruhi
oleh ketersediaan jumlah zat hara atau sumber makanan yang tersedia di suatu
perairan, karena daerah tersebut menjadi feeding ground ikan. Daerah feeding ground merupakan daerah penangkapan yang baik bagi nelayan.
Sebagaimana sudah diuraikan di atas bahwa ikan lemuru merupakan ikan pelagis kecil dan bersifat peruaya. Selama siang hari gerombolan ikan berada
dekat dengan dasar perairan, sedang pada malam mereka bergerak ke lapisan permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Terkadang gerombolan
lemuru ditemukan di atas permukaan selama siang hari ketika cuaca berawan dan gerimis. Walaupun sering ditemukan pada siang hari, namun ikan lemuru lebih
gampang ditangkap pada malam hari. Habitat juvenil lemuru sering ditemukan diperairan dangkal dan menjadi
target dari alat tangkap tradisional, seperti liftnet, gillnet, dan lain lain. Lemuru ukuran juvenile ini sering tertangkap di teluk Pang-Pang, dekat ujung
Sembulungan dan semenanjung Senggrong di sisi pulau Jawa. Sedangkan sisi pulau Bali sering tertangkap di Teluk Jimbaran. Ukuran terkecil ikan lemuru
kurang dari 11cm nama lokal disebut sempenit secara umum dapat ditemukan mulai bulan Mei-September dan kadang-kadang meluas sampai bulan Desember.
ikan yang lebih besar menghuni perairan lebih dalam dan secara umum semakin ke arah selatan ukuran ikan bertambah panjang dan besar.
Daerah penangkapan bisa berubah. Faktor utama yang mempengaruhi perubahan tersebut karena ikan lemuru sifatnya beruaya. Ruaya terjadi karena
adanya kepentingan untuk mencari makan, pembesaran, proses reproduksi, dan bisa juga terjadi karena perubahan lingkungan perairan. Perubahan lingkungan
perairan menyebabkan perubahan sebaran suhu, salinitas dan kandungan zat hara sebagai sumber makanan. Menurut Whitehead 1985, habitat ikan lemuru
menghuni suatu daerah dengan area yang luas, yaitu di sebelah timur Samudera Hindia, yaitu. Pukhet, Thailand, pantai selatan Jawa Timur dan Bali, Australia
Barat, dan Samudera Pasifik dari Pulau Jawa sebelah utara sampai Pilipina, Hong Kong, Taiwan bagian selatan dan Jepang.
Nelayan memberikan nama kepada daerah penangkapan yang ada di perairan Selat Bali secara turun-temurun. Nama tersebut diberikan berdasarkan
nama daratan yang terdekat pada saat operasi penangkapan berlangsung baik
berupa tanjung, teluk atau tanda-tanda lainnya. Nama daerah penangkapan yang ada di Selat Bali berdasarkan hasil pencatatan selama penelitian terdapat 8 nama
daerah penangkapan yaitu : Klosot Wringinan; Senggrong; Tanjung. Angguk; Karang. Ente; Grajagan, ke lima daerah ini terletak di paparan Jawa, sedangkan
daerah penangkapan Pulukan; Seseh; Ulu watu terletak di paparan Bali. Selain itu daerah penangkapan lainnya adalah Teluk Pang-pang, Teluk Banyubiru, dan
Teluk Senggrong yang merupakan daerah penangkapan alat bagan tancap dan bagan apung.
Lemuru Sardinella Lemuru Bleeker 1853 menghuni perairan tropis yang ada di daerah Indo-Pacific. Menurut Whitehead 1985, sebagaimana sudah
diuraikan pada penjelasan terdahulu bahwa, habitat ikan lemuru menghuni suatu daerah dengan area yang luas, yaitu di sebelah timur Samudera Hindia, yaitu.
Pukhet, Thailand, pantai selatan Jawa Timur dan Bali, Australia Barat, dan Samudera Pasifik dari Pulau Jawa sebelah utara sampai Pilipina, Hong Kong,
Taiwan bagian selatan dan Jepang. Di sebelah tenggara pulau Jawa dan Bali, konsentrasi ikan Lemuru sebagian besar berada di Selat Bali.
6.6 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan terhadap analisis sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali ini
sebagai berikut: 1. Berdasarkan perhitungan CPUE, maka diperoleh CPUE rata-rata tertinggi
dengan menggunakan alat tangkap purse seine 311,1950 ton per unit 2. Berdasarkan hasil perhitungan fungsi produksi, maka diperoleh nilai C
msy
sebesar 59.059,63 ton pertahun, sedangkan nilai E
msy
adalah 252,47 unit dan diindikasikan sudah over fishing atau dalam kondisi kehati-hatian.
3. Hasil pengukuran panjang, lebar dan berat lemuru yang dilakukan selama periode bulan Mei-Oktober 2011, menunjukkan bahwa ukuran lemuru yang
tertangkap tidak mengalami penurunan. 4. Berdasarkan hasil uji bedah lambung terhadap sampel ikan lemuru, terbukti
bahwa lemuru merupakan plankton feeder.
7 ANALISIS KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN
DAN PERAN KELEMBAGAAN 7.1
Pendahuluan
Secara umum masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari bersosialisasi antar sesama penghuni suatu wilayah atau tempat tinggal terkecil
yaitu desa. Dalam kehidupan bersosial, tidak tertutup kemungkinan terjadi konflik. Sebuah konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat
dianggap sebuah atau sebagai suatu yang tidak fungsional. Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama dalam
bentuk organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai timbul. Pada masyarakat dengan kehidupan yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas
dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan antara pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dengan yang dipimpin, dan perbedaan berdasarkan kekayaan
Moeis, 2008. Selanjutnya dikatakan bahwa, stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti sistem berlapis-lapis dalam masyarakat.
Stratification berasal dari stratum strata yang berarti lapisan. Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara
bertingkat hierarki. Selama ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, maka barang sesuatu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang
berlapis-lapis dalam masyarakat. Penghargaan terhadap suatu bentuk barang, dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, bisa berupa tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan atau berupa keturunan dari orang terhormat. Nelayan, yang hidup di pesisir pantai, mempunyai ciri khas atau pola
kehidupan tersendiri. Ini terjadi dikarenakan kondisi alam pesisir dan kehidupan laut yang keras, juga disebabkan oleh ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
sumberdaya yang terdapat di perairan laut. Berkaitan dengan hal tersebut, nelayan harus bisa dan mampu dalam menyesuaikan diri dan beradaptasi sebagaimana
halnya sifat ikan yang beruaya, laut yang tidak ada batas-batas kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Persoalan yang membelit nelayan adalah terkait dengan aspek ekologi, yaitu minim teknologi dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan,
aspek sosial yaitu masih tergolong miskin, dan aspek ekonomi yaitu pendapatan yang masih minimrendah. Menurut Hanson 1984 vide Amanah 2006,
pendapatan nelayan bervariasi sesuai dengan daerah dimana nelayan itu berada. Pendapatan nelayan yang hidup di Jawa Timur tidak sama dengan nelayan yang
hidup di Bali, walaupun mereka sama-sama memanfaatkan Selat Bali sebagai sumber mata pencaharian.
Pengembangan dan peningkatan sebuah kelembagaan tidak terlepas dari kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan dan menjalankan kelembagaan. Dunn
1998 menyatakan bahwa kebijakan dan analisis yang dilakukan, merupakan satu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan
argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan. Argumen dan informasi tersebut bermanfaat ditingkat politik
untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Bunch 1991 vide Anantanyu 2009 mengemukakan pembangunan kelembagaan tidak sekedar memindahkan
kerangka organisasi, akan tetapi harus bisa memberikan “perasaan” tertentu.
Dalam rangka upaya pemberdayaan nelayan, seharusnya ada instrumen kebijakan yang efektif dan mampu mengurangi sistem sosial yang tidak
memungkinkan nelayan kecil keluar dari lingkaran kemiskinan Kusumastanto, 2012. Lebih lanjut disampaikan perlu diciptakan skenario baru berupa model-
model pembiayaan untuk pemberdayaan nelayan melalui penguatan kelembagaan dan kemampuan berbisnis bagi masyarakat pesisir beserta dengan implikasinya di
lapangan, hendaknya hal inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah.
Modal utama untuk membentuk sebuah organisasi atau kelompok nelayan adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial dapat diartikan sebagai suatu
rangkaian nilai-nilai atau norma informal yang dimiliki secara bersama diantara para kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara mereka
Fukuyama, 2000 vide Anantanyu, 2009. Inti dari modal sosial adalah adanya kepercayaan dan kerjasama.
Kelembagaan atau sering juga disebut dengan institusi, sangat berkaitan dengan perilaku atau tingkah laku seseorang atau organisasi dalam mengambil
suatu keputusan dalam menetapkan sebuah kebijakan. Menurut North 1990 vide Hero 2012, bahwa dalam sebuah institusi terdapat aturan main, norma-norma,
larangan, kontrak yang sifatnya mengatur dan mengendalikan perilaku individu yang terdapat dalam sebuah organisasi atau masyarakat. Sebuah kelembagaan
terbentuk atau dibentuk bertujuan untuk mengurangi adanya semacam ketidakpastian pemanfaatan sumberdaya tertentu.
Kelembagaan berkembang dari pemikiran secara ekonomi dan merupakan sandaran dalam pengambilan atau pembuatan suatu kebijakan dalam merancang
mekanisme peraturan yang akan diterapkan dan sangat erat kaitannya dengan kebijakan secara ekonomi Yustika, 2006 vide Hero, 2012. Secara ekonomi,
kelembagaan nelayan yang terdapat di Selat Bali belum meenunjukkan peran yang berarti. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, kelembagaan yang ada berjalan
secara sendiri-sendiri dan belum terkoordinasi dengan baik, terutama dalam penglolaan sumberdaya perikanan lemuru.
Masyarakat yang berada disekitar Selat Bali, yaitu Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, memanfaatkan Selat
Bali sebagai sumber kehidupan mereka. Kabupaten Banyuwangi, dengan jumlah penduduk sebesar 1.610.909 jiwa BPS, 2011, sebanyak 22.955 orang dari
masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan DKP Kabupaten Banyuwangi, 2011. Kecamatan Muncar, merupakan sentra produksi perikanan terbesar di Provinsi
Jawa Timur. Jumlah penduduknya adalah sebesar 128.924 jiwa dan merupakan jumlah terbesar dari jumlah penduduk yang ada di kecamatan seluruh Kabupaten
banyuwangi BPS Kabupaten Banyuwangi, 2011. Namun yang menjadi nelayan adalah sebanyak 14.624 orang.
Kabupaten Jembrana, dengan jumlah penduduk hasil registrasi yang dilakukan tahun 2010 berjumlah 261.638 jiwa. 130.062 jiwa adalah laki-laki,
131.576 jiwa adalah perempuan. Penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Negara sebesar 77.818 jiwa atau sebesar 29.74 BPS Kabupaten Jembrana, 2010.
Menurut data dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Kabupaten Jembrana 2010, jumlah nelayan yang terdata untuk tahun 2010 di Kabupaten
Jembrana sebanyak 10.053 orang. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Banyuwangi, maka jumlah nelayan yang ada di Kabupaten Jembrana lebih sedikit.
7.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kehidupan sehari-hari nelayan perikanan lemuru di Kabupaten Jembana dan Kabupaten
Banyuwangi, menyangkut stratifikasi sosial ditinjau dari aspek tingkat kesejahteraan. Secara ekonomi melihat kemampuan masyarakat nelayan dalam
meningkatkan kesejahteraannya dari hasil usaha penangkapan yang dilakukan. Peran kelembagaan yang ada, dan secara organisasi mempunyai kapasitas dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali.
7.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data
7.3.1 Kebutuhan data
Kebutuhan data untuk mengetahui kondisi sosial masyarakat nelayan setempat dilakukan wawancara langsung dengan responden yaitu berupa
pertanyaan dalam bentuk kuisioner kepada nelayan. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari nelayan dan hubungan sosial dalam
masyarakat, pendapatan yang diperoleh. Data kelembagaan, berkaitan dengan kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya baik kelembagaan
pemerintah yang berkompeten dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dan organisasi kenelayanan yang ada di Kabupaten
Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Peraturan tentang pemanfaatan sumberdaya lemuru yang ada, untuk mewujudkan strategi kebijakan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali.
7.3.2 Metode analisis data
Analisis kondisi sosial nelayan lemuru yang ada di Provinsi Jawa Timur dan di Povinsi Bali, dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan melihat apakah ada
perbedaan tingkat sosial pada masing-masing provinsi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Disamping itu juga dilihat bagaimana
sistem bagi hasil antara ABK dan pemilik kapal, tingkat kekerabatan, penanganan konflik serta melihat peran kelembagaan atau organisasi nelayan yang ada di dua
Provinsi. Secara ekonomi, dilihat perbandingan kebutuhan biaya untuk melaut, harga ikan hasil tangkapan serta keuntungan yang diperoleh, serta tingkat
pendapatan nelayan. Model yang digunakan untuk analisis secara ekonomi dilakukan dengan
pendugaan berdasarkan model biologi Schaefer 1957 dan model ekonomi Gordon 1954, yang lebih dikenal dengan model Gordon-Schaefer Wiyono,
2001. Jika total penerimaan dari usaha penangkapan yang dilakukan TR, dan
jika harga rata-rata ikan berdasarkan hasil survei adalah p, fungsi produksi ikan hasil tangkapan yang diperoleh berdasarkan perhitungan adalah Yt, maka:
...............................................................................................7 Untuk mengetahui total biaya penangkapan TC digunakan model pendugaan
dengan persamaan: .....................................................................................................8
dimana: c : total pengeluaran cost rata-rata unit penangkapan ikan
f : jumlah upaya penangkapan standar sehingga dengan demikian dapat diketahui penerimaan bersih keuntungan dari
usaha penangkapan yang dilakukan π, dengan formula sebagai berikut: ...................................................................9
Berdasarkan analisis dan perhitungan yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali, ditinjau dari segi peran dari masing-masing kelembagaan yang ada di
Kabupaten Banyuwangi dan Kebupaten Jembrana. Peran masing-masing kelembagaan tersebut baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan
dijabarkan secara deskriptif kualitatif.
7.4 Hasil Penelitian
7.4.1 Kelayakan hidup nelayan perikanan lemuru di Selat Bali ditinjau secara ekonomi
Alat tangkap yang digunakan nelayan di Selat Bali, yaitu oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana terdiri dari purse seine, payang,
gillnet, pukat pantai dan bagan. Secara ekonomi, masing-masing alat tangkap dapat memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Berdasarkan keuntungan yang
diperoleh, maka akan meningkatkan strata mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Perhitungan secara ekonomi terhadap masing-masing alat tangkap
dapat diuraikan sebagai berikut:
1 Purse seine
Kapal purse seine yang dioperasikan oleh nelayan baik di Kabupaten Banyuwangi dan Jembrana lebih banyak menggunakan kapal motor tempel.
Bahan dasar kapalperahu adalah kayu dengan panjang rata-rata 18 – 21 meter,
tenaga penggerak yang digunakan adalah motor tempel sebanyak 9 buah untuk sistem 2 perahu dan 5 buah untuk sistem 1 perahu. Umumnya nelayan
menggunakan tenaga penggerak dengan merek yanmar berkekuatan 50 – 150 PK.
Jumlah nelayan yang terlibat dalam operasi penangkapan sebanyak 45 – 55
orang. Lama operasi untuk satu trip adalah 12 jam sampai dengan 1 hari, namun dalam satu bulan purse seine beroperasi sebanyak 18-21 kali trip.
Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh dari wawancara dengan nelayan yang ada di Kabupaten Banyuwangi, pendapatan kotor yang mereka
terima dalam satu tahun adalah Rp. 5.429.790.072,-. Setelah dikurangi biaya- biaya sebesar Rp. 479.723.261,- dan juga setelah dikurangi biaya penyusutan
sebesar Rp. 22.333.333,-, maka keuntungan bersih yang diperoleh dalam waktu satu tahun adalah sebesar Rp. 4.927.733.477,-. Pendapatan nelayan purse seine
Kabupaten Jembrana rata-rata dalam satu tahun adalah Rp. 20.275.920.000,-, setelah dikurangi biaya
– biaya sebesar Rp. 685.435.680,- dan setelah dikurangi biaya penyusutan per tahun sebesar Rp. 47.116.667,-, maka keuntungan bersih
yang diperoleh adalah sebesar Rp. 19.543.367.653,- Tabel 23 dan 24.
2 Payang
Alat tangkap payang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi untuk menangkap ikan lemuru. Perahu yang digunakan adalah perahu kayu,
berukuran panjang 6 – 8 meter. Motor penggerak menggunakan mesin tempel
dom feng berkekuatan 10 – 15 PK. Jumlah ABK yang mengoperasikan alat
tangkap payang ini sebanyak 4 – 6 orang. Lama waktu operasi dalam satu hari
atau satu trip adalah 12 jam. Jumlah operasi penangkapan yang dilakukan selama satu bulan adalah 27
– 28 hari. Pendapatan payang, sebelum pengurangan biaya-biaya selama satu tahun
adalah sebesar Rp. 226.200.000,-. Biaya-biaya yang digunakan untuk operasi selama satu tahun adalah sebesar Rp. 51.195.896,-, setelah dikurangi biaya
penyusutan sebesar Rp. 1.666.667,- maka pendapatan bersih untuk satu tahun adalah Rp. 173.337.437,- Tabel 23.
Tabel 23 Analisis secara ekonomi kegiatan perikanan lemuru di Kabupaten Banyuwangi tahun 2011
No Jenis Alat
Tangkap Pendapatan
Rptahun Pengeluaran
Rptahun Penyusutan
Rptahun Keuntungan
bersih Rptahun
1 Purse seine
5.429.790.072 479.723.261 22.333.333 4.927.733.477 2
Gillnet 174.000.000
27.566.667 1.245.000 145.188.333 3
Payang 226.200.000 51.195.896 1.666.667
173.337.437 4
Bagan 47.839.896 14.907.067 1.008.333 31.924.496
3 Gillnet
Alat tangkap gillnet yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi berbeda dengan yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Jembrana. Namun alat
tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan lemuru. Perahu gillnet yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi, terbuat dari kayu dengan
panjang 6-7 meter. Tenaga penggerak menggunakan mesin tempel merek dom feng dengan kekuatan 10-15 PK. Jumlah tenaga kerja adalah sebanyak 4-6 orang,
dengan lama operasi penangkapan untuk satu trip adalah 12 jam atau sering mereka menyebutnya selama satu hari one day fishing, sehingga dalam satu
bulan jumlah hari operasi biasanya dilakukan selama 27-28 hari.