1.2 Perumusan Masalah
Ikan lemuru Sardinella lemuru Bleeker 1853, pada musimnya tersedia secara melimpah sehingga penangkapan dapat dilakukan secara efektif. Dalam
kondisi seperti ini, waktu untuk mencari gerombolan ikan menjadi lebih pendeksingkat. Penangkapan secara besar-besaran akan terjadi, dan nelayan akan
berlomba-lomba untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Jika keadaan ini terus berlangsung dan cenderung tidak terkendali, maka akan menyebabkan
terjadi penangkapan yang berlebihan overfishing. Pada awalnya terjadi lebih tangkap pertumbuhan growth overfishing, dan kalau keadaan ini terus
berlangsung akan disusul oleh lebih tangkap rekruitmen recruitment overfishing. Sejak tahun 1975, pengaturan penangkapan ikan lemuru di Selat Bali sudah
dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan dengan SK No.123KptsUm1975, tentang pengaturan besaran mata jaring pada bagian
kantong. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan tersebut, ditindak lanjuti oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Bali dengan menerbitkan Surat
Keputusan Bersama SKB, tentang jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi. SKB tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, dan
perubahan terbaru dilakukan pada tahun 1992 yaitu penetapan jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Selat Bali sebanyak 273 unit, dengan
pembagian untuk Provinsi Jawa Timur sebanyak 190 unit dan untuk Provinsi Bali sebanyak 83 unit.
Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Jawa Timur tahun 2009, sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, bahwa hasil tangkapan ikan lemuru
untuk Provinsi Jawa Timur di Selat Bali mencapai 45.057,0 ton dengan nilai Rp. 87.205.830.000,-. Apabila dibandingkan dengan data tahun 2008 yaitu sebesar
31.219,300 ton dengan nilai Rp.59.316.670.000,- jelas terlihat bahwa terjadi peningkatan hasil tangkapan lemuru untuk wilayah Provinsi Jawa Timur. Hal ini
dapat dipahami, karena industri pengolahan ikan lemuru lebih banyak terdapat di Jawa Timur tepatnya di Muncar. Namun untuk tahun 2010 terjadi penurunan hasil
tangkapan yaitu sebesar 27.058,00 ton dengan nilai Rp. 89.130.518.000,-. Hasil tangkapan ikan lemuru untuk Provinsi Bali tahun 2009 adalah 26.817,9 ton,
dengan nilai sebesar Rp. 59.998.750.000,- dan untuk tahun 2010 juga terjadi penurunan yaitu 38.662,9 ton dengan nilai Rp. 67.057.930.000,-. Melihat hasil
tangkapan yang berfluktuasi, dan seperti yang telah disampaikan pada uraian sebelumnya, kemungkinan pemanfaatan sumberdaya lemuru terindikasi
mendekati lebih tangkap over fishing. Pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru Sardinella lemuru Bleeker
1853 di Selat Bali, dalam pelaksanaannya sering menghadapi kendala ataupun permasalahan yang perlu dianalisis dan perlu mendapatkan jawaban serta solusi
agar sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan lestari. Untuk itu, secara spesifik permasalahan pokok dalam pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dapat dirumuskan melalui beberapa pertanyaan penelitian research question sebagai berikut:
1 Bagaimana pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan? Apakah berpengaruh langsung atau tidak langsung.
2 Bagaimana tingkat pemanfaatan ikan lemuru Sardinella lemuru Bleeker 1853 di Selat Bali? Apakah sudah mengarah kepada over fishing, mengingat
kegiatan penangkapan dilakukan secara intensif. 3 Bagaimana upaya penangkapan, jenis alat tangkap dan teknologi yang
digunakan untuk pemanfaatan perikanan lemuru Sardinella lemuru Bleeker 1853 di Selat Bali?
4 Secara ekonomi, apakah pengusahaan sumberdaya perikanan lemuru menguntungkan, secara sosial apakah sering terjadi konflik, dan bagaimana
peran kelembagaan yang ada dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali?
5 Secara dinamik, apakah pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru jika ditinjau secara biologi, ekologi, sosial dan ekonomi serta dengan
pertimbangan effort sudah mengarah kepada pengelolaan secara berkelanjutan dan lestari?.
Secara prinsip, pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru Sardinella lemuru Bleeker 1853 di Selat Bali, perlu disusun suatu model yang dapat
dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan pada masa yang akan datang, dengan mempertimbangkan interaksi antara biotik
dan abiotik yang terjadi di lingkungan perairan Selat Bali.
1.3 Batasan Masalah