9.5 Pembahasan
Pembahasan  dalam  bab  ini  berkaitan  dengan  penyusunan  skenario  model keberlanjutan  pengelolaan  perikanan  lemuru  di  Selat  Bali.    Skenario  tersebut
merupakan  langkah  dasar  penentuan  kebijakan  keberlanjutan  pengelolaan perikanan lemuru secara lestari dan ramah lingkungan.
Sumberdaya  alam  secara  keseluruhan  bersifat  dinamis,  termasuk sumberdaya perikanan lemuru yang ada  di perairan Selat Bali.  Pencapaian hasil
yang  optimum  dalam  pengelolaan  sumberdaya  perikanan,  tidak  terlepas  dari sistem  dinamik.  Namun,  secara  keseluruhan  dinamika  ekosistem  sumberdaya
perikanan  dan  intervensi  yang  dilakukan  oleh  manusia  dalam  rangka  memenuhi kebutuhan  hidup  dapat  mempengaruhi  kondisi  sumberdaya  perikanan  baik
langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan,  haruslah  berorientasi  kepada  pemecahan  masalah  secara
ilmiah  berdasarkan  sifat-sifat  biologi,  ekologi,  dan  ekonomi  serta  sosial  budaya masyarakat  dan  nelayan  perikanan  lemuru  yang  berada  di  sekitar  perairan  Selat
Bali. Pengelolaan harus dilakukan dengan merumuskan suatu rencana pengelolaan berbasis  masyarakat  dan  pendekatan  secara  ekosistem,  dan  berwawasan
lingkungan  Zhang at al,  2009. Keberlanjutan  pengelolaan  sumberdaya  perikanan  ini  mengarah  kepada
pengelolaan  sumberdaya  yang  berwawasan  lingkungan  perairan  beserta  dengan daya  dukungnya,  sehingga  pemanfaatan  sumberdaya  dapat  dilakukan  secara
berkelanjutan  dan  terjaga  secara  lestari.  Disamping  itu  kesejahteraan  nelayan melalui   pengembangan usaha perikanan yang mereka lakukan dapat ditingkatkan
namun tetap memperhatikan daya dukung lingkungan Degnbol 2002. Berdasarkan  hasil  simulasi  yang  sudah  dilakukan,  dapat  dilihat  bahwa
pengaturan jumlah effort, dalam hal ini berkaitan dengan jumlah unit alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan Selat Bali
harus  segera  diatur  ulang  atau  diturunkan  menjadi  165  unit  skenario  3.    Jika dilihat secara eksplisit, hal ini terkesan ekstrim, namun jika dilihat secara implisit,
pangaturan  seperti  ini  sangat  wajar,  karena  ketersediaan  sumberdaya  lemuru berfluktuasi sesuai dengan kondisi lingkungan perairan Selat Bali itu sendiri.
Secara sosial, pengurangan unit alat tangkap yang mencapai 40 dari hasil perhitungan E
msy
,  bisa dipastikan akan berdampak buruk, karena menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga kerja yang demikian banyak.   Seperti  kita ketahui
bersama bahwa, satu kapal purse seine bisa menyerap tenaga kerja sebanyak 45- 55  orang.    Untuk  mengantisipasi  hal  ini  perlu  dilakukan  sosialisasi  dari  pihak
pemerintah  baik  pusat maupun  daerah tentang  pengaturan  yang  dilakukan  dalam rangka  mewujudkan  keberlanjutan  pengelolaan  perikanan  lemuru  secara  lestari
dan  ramah  lingkungan.  Langkah  pertama  yang  harus  dilakukan  adalah mengevaluasi SKB tahun 1992, merumuskan dengan pasti dalam bentuk Rencana
Pengelolaan  Perikanan  RPP,  serta  mencari  solusi  yang  tepat  untuk mengantisipasi meledaknya tenaga pengangguran sebagai akibat pengurangan unit
panangkapan  lemuru.    Antisipasi  lain  yang  dapat  dilakukan  adalah  mengalihkan unit  alat  tangkap  pure  seine  untuk  menangkap  jenis  ikan  pelagis  lainnya  yang
terdapat di perairan Selat Bali atau melakukan relokasi nelayan. Zulbarnaini  2002,  menyatakan  bahwa  berdasarkan  hasil  penelitian  dan
kajian  yang  sudah  dilakukan  dalam  rangka  pengelolaan  sumberdaya  lemuru  di Selat  Bali,  jumlah  alat  tangkap  purse  seine  yang  layak  dioperasikan  adalah
sebesar  130  unit.  Mengingat  ketersediaan  sumberdaya  tidak  bisa  diprediksi dengan  tepat,  dan  jika  pengurangan  jumlah  effort  menjadi  165  unit  yang  boleh
beroperasi,  artinya  tidak  tertutup  kemungkinan  dilakukan  revisi  terhadap  Surat Keputusan dua  Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali nomor 238 dan
674 tahun 1992, yang mana di dalam SKB tersebut ditetapkan jumlah kapal purse seine  yang  diijin  melakukan  penangkapan  di  perairan  Selat  Bali  sebanyak  273
unit,  dengan  rincian  190  unit  untuk  Provinsi  Jawa  Timur  dan    83  unit  untuk Provinsi  Bali.    Hasil  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Merta  1992  memberikan
beberapa  alternative  untuk  keberlanjutan  pengelolaan  perikanan  lemuru  di  Selat Bali.    Salah  satu  alteranatif  tersebut  adalah  jumlah  kapal  purse  seine  yang
beroperasi  berdasarkan  SKB  dua  gubernur  Provinsi  Jawa  Timur  dan  Bali sebanyak  273  unit  sesuai  SIUP  dikurangi  menjadi  252  unit.    Dalam  penelitian
ini,  sesuai  dengan  pembahasan  pada  bab  6  bahwa  hasil  perhitungan  E
msy
adalah 252,47  unit.    Jadi  hasil  ini  sesuai  atau  mempunyai  kemiripan  dengan  hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Berdasarkan  hasil  perhitungan  analisis  sumberdaya  perikanan  lemuru sebagaimana  sudah  diuraikan  pada  bab  6,  bahwa  E
msy
perikanan  lemuru  adalah sebesar 252,47 unit.  Namun demikian, berdasarkan hasil analisis dinamik, jumlah
tersebut  tidak  bisa  diterapkan,  karena  dengan  jumlah  tersebut  pola  grafik  yang muncul  menunjukkan  ketersediaan  sumberdaya  yang  menurun.    Kondisi
sumberdaya  yang  menurun  tidak  dapat  memaksimalkan  pertumbuhan  biomass. Jika  hal  ini  dibiarkan  terus  meneruskan  bisa  dipastikan  pada  satu  titik  tertentu
sumberdaya  yang  ada  akan  habis.  Upaya  penangkapan  yang  terus  meningkat mengakibatkan  rente  ekonomi  yang  diperoleh  semakin  kecil,  karena  biaya  yang
dikeluarkan  lebih  tinggi  bila  dibandingkan  dengan  penerimaan  yang  diperoleh, atau  lebih  tepatnya  nelayan  hanya  menerima  opportunity  cost  dari  usaha
penangkapan yang dilakukan. Waktu,  dalam  analisis  model  dinamik  dijadikan  sebagai  patokan  dalam
melakukan  keberlanjutan  pengelolaan  perikanan  lemuru.    Maksudnya  disini adalah, unsur waktu yang digunakan dalam pengelolaan perikanan lemuru terkait
dengan  pilihan,  apakah  akan  dimanfaatkan  sekarang  atau  nanti.    Rente  yang dihasilkan  dari  analisis  dinamik  pada  masa  yang  akan  datang  sangat  berpatokan
kepada hasil pemanfaatan sumberdaya lemuru yang dilakukan pada masa kini. Pertumbuhan  secara  alami  tetap  berlangsung  dan  akan  berjalan  dengan
baik  sepanjang  kondisi  lingkungan  perairan  juga  dalam  kondisi  baik. Pertumbuhan secara alami akan mempengaruhi produktifitas biomass sumberdaya
lemuru.    Produktifitas  biomass  dapat  dipengaruhi  oleh  kondisi  lingkungan perairan  yaitu  faktor  oseanografi  dan  klimatologi.    Parameter  oseanografi  yang
berpengaruh adalah sebaran klorofil-a.  Sebaran klorofil-a, sangat mempengaruhi keberadaan  sumber  makanan  bagi  lemuru  karena  lemuru  merupakan  planton
feeder , banyak atau sedikit sebaran klorofil-a  yang ada di satu kawasan perairan dipengaruhi oleh zat hara yang terkandung dalam perairan,  ditunjang oleh proses
upwelling yang
terjadi, sehingga
ketersediaan makanan
menjamin keberlangsungan  hidup  lemuru.    Faktor  klimatologi  yang  berpengaruh  adalah
angin.    Angin  yang  terjadi  di  Selat  Bali  berpengaruh  terhadap  perubahan  arus permukaan.    Arus  permukaan  yang  terjadi  berakibat  pada  pengadukan  massa  air
sehingga  unsur-unsur  hara  yang  terdapat  di  bawah  permukaan  air  naik
kepermukaan sehingga proses jejaring makanan berlangsung dengan baik. Secara dinamik,  faktor-faktor  tersebut  berpengaruh  terhadap  pertumbuhan  biomass.
Meskipun  secara  umum  faktor-faktor  tersebut  tidak  dapat  dikendalikan  oleh manusia,  namun  berdasarkan  hasil  analisis  secara  regresi  linier  ternyata
memberikan pengaruh sebesar 43,5.  Sedangkan 56,5 dipengaruhi oleh faktor manusia yang memanfaatkan sumberdaya itu sendiri. Kematian, sebagai pengaruh
ekologi, terjadi karena adanya mangsa dan pemangsa, mati akibat umur, dan bisa disebabkan oleh kondisi ekstrim yang terjadi di lingkungan perairan.
Faktor ekosistem perairan lainnya, seperti sebaran terumbu karang, padang lamun,  dan  hutan  mangrove  yang  ada  di  sekitar  perairan  Selat  Bali,  tidak  dapat
dimasukkan dalam analisis dinamik, karena ikan lemuru merupakan ikan pelagis dan daerah penyebarannya lebih ke tengah laut.   Namun demikian, jika kegiatan
yang  dilakukan  oleh  pelaku  usaha  di  wilayah  darat,  tanpa  ada  pengawasan  yang intensif  dari  pihak-pihak  berkompeten,  maka  tidak  tertutup  kemungkinan  akan
berpengaruh terhadap kondisi perairan di lokasi daerah penangkapan lemuru. Berdasarkan hasil simulasi secara dinamik, dan untuk mencegah terjadinya
eksploitasi  yang  berlebihan  terhadap  sumberdaya  perikanan  lemuru  dapat dilakukan  beberapa  usulan  perbaikan  agar  pemanfaatan  sumberdaya  perikanan
lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari sebagai berikut:
1. Pembatasan  jumlah  alat  tangkap
;  Sebagaimana  skenario  3  dari  hasil simulasi dinamik, pengendalian ketersediaan sumberdaya perikanan lemuru
harus  dilakukan  pembatasan  jumlah  alat  tangkap  purse  seine.    Hal  ini dilakukan untuk mempertahan kondisi sumberdaya lemuru  dan sumberdaya
tersebut  dapat  tumbuh  secara  alami  untuk  berkembang  sampai  dengan ukuran tertentu yang layak untuk ditangkap dan mempunyai nilai ekonomis
tinggi.
2. Pengaturan  waktu  tangkap
;  Pengaturan  waktu  tangkap  perlu  dilakukan, karena lemuru lebih bersifat musiman, dimana pada musim-musim tertentu
lemuru  yang  tersedia  sesuai  dengan  ukurannya  masing-masing,  maka pengaturan  waktu  tangkap  dianggap  salah  satu  alternatif    yang  sangat  baik
dalam  rangka  upaya  pengelolaan  sumberdaya  perikanan  lemuru  secara
berkelanjutan.  Hal  yang  belum  bisa  diketahui  sampai  sekarang  adalah berapa jumlah ikan lemuru tertangkap oleh nelayan berdasarkan ukuran ikan
sesuai  penamaan  di  Selat  Bali  dan  pada  bulan  apa  masing-masing  ukuran ikan  tersebut  ditangkap.  Jika  data  masing-masing  ukuran  ikan  hasil
tangkapan  tersebut  tercatat  dan  terdata  dengan  baik,  maka  sangat  mudah untuk  melakukan  pengaturan  waktu  tangkap,  jika  waktu  tangkap  dapat
diterapkan  maka  pengelolaan  sumberdaya  lemuru  secara  berkelanjutan  dan lestari dapat terwujud.
3. Pengaturan ukuran mata jaring;
. Dengan pengaturan ukuran mata jaring, maka  lemuru  berukuran  kecil  yaitu  5
–  10  cm  yang  biasa  disebut  oleh masyarakat  pesisir  Selat  Bali  dengan  sempenit  dapat  lolos  atau  tidak
tertangkap.    Usulan  yang  pernah  dibuat  berdasarkan  hasil  penelitian  Merta 1992,  bahwa  ukuran mata  jaring  purse  seine  pada  bagian  kantong  adalah
1  inchi  dan  pada  bagian  badanpenghadang  adalah  2,5  inchi,  namun  pada kenyataannya  di  lapangan  sampai  saat  penelitian  ini  dilakukan,  nelayan
setempat  masih  menggunakan  ukuran  mata  jaring  ¾  inchi  pada  bagian kantong.
Tiga  hal  tersebut  di  atas,  merupakan  hal  pokok  yang  perlu  mendapat perhatian  dalam  melakukan  pengelolaan  sumberdaya.    Secara  dinamik,  sudah
dibuktikan bahwa jumlah alat tangkap yang ideal dioperasikan di Selat Bali untuk penangkapan  lemuru  adalah  165  unit  skenario  3,  karena  dapat  memberikan
kontribusi  secara  berkelanjutan  terhadap  ketersediaan  sumberdaya.    Hal  ini ditunjukkan  pada  Gambar  34,  dimana  biomass  yang  ada  masih  memungkinkan
untuk  tumbuh  dan  berkembang,  sehingga  nelayan  dapat  memanfaatkan sumberdaya dalam jangka waktu yang lebih lama.
Purse  seine,  sebagai  alat  tangkap  unggulan  dan  dapat  dikembangkan sebagai  alat  tangkap  untuk  pemanfaatan  sumberdaya  perikanan  lemuru  di  Selat
Bali.    Namun  pengembangan  alat  ini  perlu  kontrol  dari  pihak  yang  berkompeten dalam  rangka  pengendalian  pemanfaatan  sumberdaya.  Purse  seine,  sebagai  alat
tangkap aktif  sangat memungkinkan untuk menghasilkan ikan dalam jumlah yang banyak  untuk  sekali  hauling.    Untuk  itu  pengaturan  ukuran  mata  jaring  purse