1
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Kota Sibolga merupakan salah satu daerah yang terletak di Provinsi Sumatera Utara.  Masyarakatnya  yang  multietnik  menjadikan  daerah  ini  terkenal  dengan
semboyan “Negeri  berbilang  kaum”.  Berdasarkan  administratif  pemerintahan,
Kota  Sibolga  terdiri  dari  empat  kecamatan,  yakni:  a  Kecamatan  Sibolga  Kota, b Kecamatan Sibolga Utara, c Kecamatan Sambas, dan d  Kecamatan Sibolga
Selatan. Ke empat Kecamatan ini dihuni oleh berbagai etnik, seperti etnik Melayu 2.382  jiwa,  Karo  425  jiwa,  Simalungun  295  jiwa,  TapanuliToba  45.695  jiwa,
Mandailing  4.612  jiwa,  Pakpak  164  jiwa,  Nias  6.293  jiwa,  Jawa  5.283,  Minang 8.793  jiwa,  Cina  3.496  jiwa,  Aceh  2.613,  suku  lainnya  1.690  jiwa.  Total
keseluruhan  berjumlah  81.699  jiwa  Hasil  Sensus  Dinas  Kependudukan  kota Sibolga Thn 2000
Masyarakat  Pesisir  Sibolga  hidup  dalam  sebuah  kebudayaan.  Menurut  Ki. Hajar Dewantara yang dikutip oleh Supartono 2009:31  kebudayaan berarti buah
budi  manusia  dan  hasil  perjuangan  manusia  terhadap  dua  pengaruh  kuat,  yakni alam  dan  zaman.  Kebudayaan  merupakan  bukti  kejayaan  hidup  manusia  untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya. Semua  ini  dilakukan  untuk  mencapai  keselamatan  dan  kebahagian  yang  pada
lahirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan  yang  berkembang  di  Sibolga  disesuaikan  dengan
masyarakatnya yaitu masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang terbentuk adalah
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan  pesisir.  Takari,  dkk  2008:124  menyatakan  bahwa  kebudayaan masyarakat  pesisir  adalah  merupakan  melting  pot  creole  antara  keturunan
beberapa kelopok etnik, seperti: Minangkabau, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Melayu.  Dalam masa yang panjang terus berinteraksi dan membentuk sebuah
kebudayaan,  yang  kemudian  mengidentitaskan  kebudayaannya  sendiri  sebagi kebudayaan  etnik  Pesisir.  Pada  masa  kini,  dalam  konteks  pembangunan  di
Indonesia,  masyarakat  Pesisir  ini,  biasanya  dikategorikan  pula  sebagai  sebuah kelompok etnik.
Kebudayaan  pesisir  meliputi;  1  kesenian  pesisir  terdiri  dari  kesenian sikambang,  tari-tarian,  alat  musik,  tatarias  pengantin,  nama  pelaminan,  pernak
pernik  pelaminan,  irama  vokal;  2  adat  istiadat  pesisir  terkenal  dengan  adat sumando;  3  masakan  khas  pesisir  seperti  kue  dan  gulei  Pasaribu,  2008:54,
81,273. Adat istiadat adalah merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Menurut
Soedarsono dalam Pasaribu, 2008:54 menyatakan bahwa adat istiadat mengatur dan  memberi  arah  kepada  tindakan  dan  karya  manusia,  baik  pikiran-pikiran  dan
ide-ide,  maupun  tindakan  dan  karya  manusia,  dalam  menghasilkan  benda-benda kebudayaan fisiknya. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa adat merupakan
kebiasaan  dari  satu  masyarakat  dalam  mengatur  dan  memberi  buah  pikirannya untuk  menghasilkan  karya  dan  dijadikan  sebagai  sarana  pendukung  pada
masyarakat itu sendiri. Masyarakat  yang  beradat  akan  lebih  tertib  dalam  menjalankan  berbagai
persoalan  kehidupan  bermasyarakat.  Begitu  pula  halnya  dengan  adat  istiadat perkawinan,  memiliki  fungsi  sebagai  pedoman  tingkah  laku  manusia  dalam
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan  upacara  perkawinan.  Masyarakat  Pesisir  Sibolga  memiliki  adat istiadat  yang  disebut  dengan  adat  sumando.  Menurut  Panggabean,  dkk.
1995:191 sumando adalah satu kesatuan ruang lingkup kebudayaan suku Pesisir, yang meliputi adat istiadat, kesenian, bahasa, makanan dan lain-lain. Dari kutipan
di  atas  maka  dapat  dikatakan  bahwa  masyarakat  pesisir  Sibolga  memiliki  adat istiadat perkawinan yang khas, disebut dengan nama perkawinan adat sumando.
Adat  sumando  secara  umum  berdasar  kepada  ajaran-ajaran  agama  Islam. Konsepnya  tercermin  dalam  adat  bersendikan  syarak  dan  syarak  bersendikan
kitabullah.  Artinya  adat  sumando  pada  suku  Pesisir  mendasarkan  ide, pelaksanaan, dan penghayatannya pada ajaran-ajaran Islam.
Dalam Islam dan kebudayaan Pesisir, manusia adalah makhluk sosial, yang selalu  berinteraksi  dengan  sesamanya.  Manusia  sebagai  makhluk  individu
memiliki  berbagai  kelebihan  alamiah  yang  dianugerahi  oleh  Allah.  Selain  itu, manusia  biasanya  membentuk  kelompok  sosial  berdasarkan  berbagai  persamaan
dan  tujuan.  Kelompok  manusia  bisa  saja  berbentuk  keluarga  inti,  keluarga  luas batih,  etnik,  kelompok  profesi,  ras,  bangsa  dan  seterusnya.  Dalam  konteks  ini,
manusia  selalu  ingin  melanjutkan  peradabannya  dan  generasi  keturunannya. Kesinambungan  generasi  ini  penting  agar  manusia  tidak  musnah  di  muka  bumi.
Oleh  sebab  itu,  manusia  dianugerahi  Tuhan  untuk  meneruskan  keturunan  ini melalui  hubungan  perkawinan    yang  diatur  oleh  norma-norma  agama  dan  adat.
Perkawinan  tidak  boleh  bertentangan  dengan  ajaran  agama  dan  norma-norma adat.
Dalam  Al- Qur‟an dijelaskan bahwa di antara kumpulan manusuia di dunia
ini  pernah  eksis  dan  akhirnya  dimusnahkan  oleh  Allah,  karena  berbagai  sebab
Universitas Sumatera Utara
terutama  moralitas. Di antara  kelompok  manusia yang pernah ada  dan kemudian dimusnahkan  Allah  adalah  suku  Ad,  Tsamud,  Madyan,  kaum  Nabi  Luth,  kaum
Nabi  Nuh,  dan  lain-lainnya.  Kaum  Nabi  Luth  misalnya,  dimusnahkan  Allah karena  para  kaum  lelakinya  menyukai  sesama  lelaki.  Kalau  praktik  sebegini
dibiarkan,  tentu  saja  generasi  manusia  akan  musnah,  karena  hubungan  seksual antara  lelaki  dengan  lelaki  atau  antara  perempuan  dengan  perempuan  dapat
dipastikan  tak  akan  dapat  menghasilkan  generasi  manusia  baru.  Yang  benar adalah  hubungan  antara  lelaki  dan  perempuan  yang  sihat  roh  dan  fisiknya,
disahkan  agama,  berhubungan  suami-isteri,  insya  Allah  akan  menghasilkan generasi  manusia.  Agar  generasi  yang  baru  ini  menjadi  pintar,  sehat,  saleh,  dan
menjadi  rahmat  kepada  orang  lain  dan  lingkungan  sekitar,  maka  diperlukan pendidikan, baik pendidikan agama atau ilmu lainnya.
Seorang  pakar  antropologi  Eropah,  Gough  1959  melihat  perkawinan,  di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-
istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi
yang  universal,  Goodenough  memusatkan  pemikirannya  kepada  hak  atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kotrak sosial.
Perkawinan  adalah  satu  transaksi  yang  menghasilkan  satu  kontrak,  yaitu seorang  lelaki  atau  perempuan,  korporatif  atau  individual,  secara  pribadi  atau
melalui  wakil,  memiliki  hak  secara  terus-menerus  untuk  menggauli  seorang perempuan secara seksual. Hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara
seksual  yang  sedang  dimiliki  atau  kemudian  diperoleh  oleh  orang-orang  lain terhadap  perempuan  tersebut,  sampai  hasil  transaksi  itu  berakhir  dan  perempuan
Universitas Sumatera Utara
yang  bersangkutan  dianggap  memenuhi  syarat  untuk  melahirkan  anak Goodenough, 1970:12-13.
Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam  perkawinan.  Ada  masyarakat  yang  mendasarkan  pada  perkawinan
monogami,  adapula  yang  membolehkan  poligami,  namun  ada  pula  yang membolehkan  perkawinan  dalam  bentuk  penyimpangan  sosial  dan  moralitas
umum, yaitu perkawinan poliandri, yaitu satu perempuan kawin dengan dua atau lebih suami.   Dalam beberapa  kelompok  masyarakat, dua orang lelaki atau lebih
bisa  bersama-sama  menggauli  wanita  secara  seksual,  yang  biasanya  melibatkan sekelompok saudara laki-laki poliandri fraternal. Poliandri sering dihubungkan
dengan  ketidakseimbangan  penduduk,  yang  disebabkan  oleh  kebiasaan membunuh  bayi  perempuan.  Sebagai  contoh,  di  Himalaya,  poliandri  dilakukan
karena tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian  terbatas  luasnya.  Dalam  Islam  praktik  demikian  amatlah  dilarang.
Begitu  juga  hubungan  incest.  Semua  ini  adalah  aturan  Allah  bagi  makhluk manusia ciptaan-Nya, agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak
alam atau generasi keturunannya. Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan.
Agama  Kristen  Protestan  dan  Katholik  secara  umum  hanya  membenarkan  satu laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama
ini  misalnya  Mormon  di  Amerika  Serikat  membenarkan  perkawinan  poligami. Dalam  Islam  pula,  sesuai  dengan  panduan  Al-
Qur‟an  satu  laki-laki  Islam  bisa kawin  dengan  sebanyak-banyaknya  empat  perempuan,  tetapi  ada  syaratnya  yaitu
adil.  Allah  mengingatkan  bahwa  jika  seorang  lelaki  muslim  tidak  dapat  berlaku
Universitas Sumatera Utara
adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran  ayat ini adalah  bahwa  Allah  menciptakan  lebih  banyak  perempuan
dibandingkan  lelaki.  Agar  perempuan-perempuan  dapat  suami,  maka  tentu  saja secara  umum  harus  ada  laki-laki  yang  beristeri  lebih  dari  satu  untuk  melakukan
respons terhadap eksistensi jenis kelamin yang penuh dengan rahasia Ilahi. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami.
Selengkapnya  tentang  aturan  poligami  dalam  Islam  lihat  Al- Qur‟an surat Annisa
ayat 3 berikut ini.
A rtinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
hak-hak  perempuan  yang  yatim  bilamana  kamu  mengawininya, maka  kawinilah  wanita-wanita  lain  yang  kamu  senangi:  dua,  tiga
atau  empat.  Kemudian  jika  kamu  takut  tidak  akan  dapat  berlaku adil
1
, maka kawinilah seorang saja,
2
atau budak-budak yang kamu miliki.  Yang  demikian  itu  adalah  lebih  dekat  kepada  tidak  berbuat
aniaya.”
Upacara  perkawinan  hanyalah  salah  satu  rangkaian  dari  sejumlah  upacara pusingan  siklus  hidup  manusia.  Siklus  hidup  manusia  biasanya  dimulai  dari
1
Berlaku  adil  ialah  perlakuan  yang  adil  dalam  memenuhi  keperluan    isteri  seperti  pakaian, makanan,  perhiasan,  kesehatan, hiburan, tempat tinggal, giliran kunjungan,  rasa  aman, dan  lain-
lain yang bersifat lahiriah.
2
Islam  memperkenankan  poligami  dengan  syarat-syarat  tertentu.  Sebelum  turun  ayat  ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad S.A.W.
Ayat  ini  membatasi  poligami  sampai  empat  orang  saja.  Bagi  Allah  sebagai  pencipta  manusia, pastilah tahu dan paham betul, bahwa kemampuan maksimum manusia untuk berkawin adalah satu
lelaki dengan empat wanita, kalau lebih pasti tidak mampu, terutama untuk berlaku adil terhadap para isterinya. Selain itu pasti ada unsur pembelajaran  lain daripada Allah atas turunnya ayat ini.
Universitas Sumatera Utara
sejak  janin,  lahir,  akil  baligh  atau  dewasa,  khitan,  perkawinan,  memiliki  anak, memasuki keorganisasian, kematin, pascakematian, dan seterusnya.
Secara  sosiologis  dan  agama,  fungsi  utama  perkawinan  adalah  untuk melanjutkan  generasi  keturunan  manusia  sepanjang  zaman,  dan  manjaga
peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu  biologis  manusia,  menerima  dan  memberi  kasih  sayang  kepada  pasangan
hidup,  membina  keluarga,  menyatukan  dua  keluarga  besar,  dan  sebagainya. Dalam hal ini agama dan adat memegang peran utama dalam upacara perkawinan.
Pengabsahan  perkawinan  selalu  melibatkan  para  pemuka  agama  pada  semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan  agama sekali gus.
Demikian  juga  yang  terjadi  pada  masyarakat  Pesisir,  yang  wilayah  budayanya mencakup Tapanuli Tengah dan Sibolga di pantai barat Provinsi Sumatera Utara.
Menurut  Pasaribu  2011:  2  kata  sumando  dalam  bahasa  Batak  artinya cantik  dan  sesuai,  yang  artinya  secara  mendalam  adalah  besan  berbesan.
Sementara  Pengertian  adat  sumando  adalah  mencakup  tatacara  adat  pernikahan daerah  Pesisir  Tapanuli  Tengah  Sibolga  antara  lain:  sejak  mulai  dari  marisik
sampai  kepada  acara  saling  kunjung  kepada  keluarga  kedua  belah  pihak  atau sering disebut tapanggi.
Menurut  Panggabean  dkk.  1995:193  mengenai  asal  mulanya,  adat sumando  berasal  dari  pulau  Poncan,  diawali  dengan  perpindahan  penduduk  dari
Poncan  ke  Sibolga,  dan  kemudian  berkembang  ke  seluruh  daerah  Tapanuli Tengah.  Istilah  sumando  berasal  dari  kata  suman  dalam  bahasa  Batak  berarti
serupa,  atau  terjemahan  bebasnya  dipasuman-suman.  Kemudian  kata  suman  itu berobah  menjadi  sumando  artinya  hampir  serupa  tetapi  tidak  sama  dengan  adat
Universitas Sumatera Utara
sumando  yang  ada  pada  suku  Minangkabau  yang  ada  di  Sumatera  Barat  dan sekitarnya.  Pasaribu  2008:5  mengatakan  bahwa  pengukuhan  adat  tersebut
dilaksanakan  pada  tanggal  1  Maret  1851  dihadapan  Residen  Conprus  Belanda dan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai pedoman.
Pada mulanya adat yang tertinggi berada pada Raja atau Kuria. Seterusnya tingkat  pelaksanaan  adat  berada  pada  empat  lapisan,  yaitu:  fakir  miskin  dada,
orang miskin lamukku, Ata orang kayo dan keturunan raja Bare hasil wawancara 10 Desember 2012 dengan Bapak Fahrudin Sinaga.
Menurut  Panggabean,  dkk.  1995:193  bahwa  ketentuan-ketentuan perkawinan dalam adat sumando tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pernikahan  dapat  terjadi  apabila  pria  meminang  wanita  terlebih  dahulu
dengan  menyerahkan  sejumlah  uang  atau  barang.  Uang  atau  barang disebut  mahar,  sebagai  tanda  pengikat,  bahwa  pada  waktu  tertentu  akan
dilangsungkan  pernikahan  nantinya  dilaksanakan  ijab  qabul  di  hadapan wali  dan  saksi.  Adat  sumando  tidak  mengenal  tuhor  atau  jujuran  seperti
dalam pernikahan adat Batak. b.
Tanggung jawab rumah tangga dan keluarga berada pada pihak pria. Anak yang dilahirkan memakai marga dari suku orang tua laki-laki.
c. Mengenai  pembagian  harta  pusaka  berlaku  berjenjang  naik,  berjenjang
turun.  Jumlah  harta  pusaka  diterima  seseorang  bergantung  pada  jauh dekatnya  hubungan  kekeluargaan,namun  demikian  harta  pusaka  tempat
tinggal  tinggal  r4umah  diprioritaskan  menjadi  bagian  hak  wanita. Pembagian  harta  warisan  di  antara  yang  bersaudara  pria  dan  wanita
Universitas Sumatera Utara
menjadi  1:1,  dengan  demikian  bukan  menurut  hukum  faraid  dan  bukan pula adat Batak.
d. Apabila terjadi perceraian diantara suami istri maka suami meninggalkan
rumah  kediaman  sedangkan  istri  tetap  tinggal  menempati  rumah  itu. Mengenai harta pembawaan dan yang diperoleh selama pernikahan harta
gonogini ditentukan kemudian. Adat Sumando merupakan
“campuran” dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan  adat  Batak.  Artinya  semua  hal-hal  yang  baik  diterima  dan  yang  tidak  sesuai
dengan tatakrama dan sikap hidup sehari-hari masyarakat Pesisir diabaikan. Itulah disebut  dengan  adat  bersandi  sarak  dan  sarak  bersandi  kitabullah  artinya  adat
berdampingan  dengan  kebiasaan  atau  perilaku  dan  perilaku berlandaskan  kepada kitab Allah wawancara dengan Bapak Fahrudin Sinaga
Orang sumando mempunyai motto yakni  Bulek ai dek dipambulu, bulek kato dek  mufakat,  dek  saiyo  mangko  sakato,  dek  sakato  mangko  sapakat.    Artinya
semua  permasalahan  pada  akhirnya  diputuskan  lewat  musyawarah,  dan  dalam musyawarah  itu akan  disatukan  pendapat  dengan  tujuan  untuk  memperoleh  hasil
yang terbaik wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga. Adat  istiadat  dan  budaya  masyarakat  Sibolga  pada  khususnya  dan  budaya
Melayu  pada  umumnya,  selalu  melakukan  prosesi  upacara  adat  perkawinan dengan  tradisi  kelisanan.  Tradisi  kelisanan  pada  masyarakat  pesisir  Sibolga
dilakukan  untuk  menyampaikan  maksud  dan  tujuan  dilakukannya  suatu  upacara. Upacara  perkawinan  adat  sumando  pada  masyarakat  Pesisir  Sibolga  meliputi:
risik-risik,  sirih  tanyo,  maminang,  manganta  kepeng,  mata  karajo  akad  nikah, dan balik ari.
Universitas Sumatera Utara
Proses  pelaksanana  upacara  pernikahan  adat  sumando  pada  masyarakat pesisir  Sibolga,  tidak  terlepas  dengan  budaya  tradisi  lisan.  Tradisi  lisan  selalu
digunakan  sebagai  media  untuk  menunjang  terlaksananya  acara  dengan  baik  dan sempurna.  Selain  dari  pada  itu,  tradisi  lisan  juga  mencakup  pelbagi  pengetahuan
dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Dalam  pelaksanaan  upacara  pernikahan  ini,  selalu  digunakan  kalimat-
kalimat,  pantun,  pribahasa,  talibun,  dan  lkain-lainnya  yang  diucapkan  oleh telangke  baik  dari  pihak  perempuan  maupun  laki-laki  calon  mempelai.  Tradisi
lisan  ini  merupakan  ekspresi  dari  filsafat  hidup  etnik  Pesisir  di  Sibolga  dan Tapanuli Tengah. Contoh pantun, kalimat, talibun, dan sejenisnya itu dapat dilihat
pada contoh cuplikan konteks berikut ini. a
Pantun Bahasa Pesisir
Arti dalam Bahasa Indonesia Anak Cino babaju sitin
Ala sitin cukolat pulo Ambo hino lagipun miskin
Ala miskin mularat pulo Anak Cina berbaju satin
Berbaju satin cokelat pula Hamba hina lagi pun miskin
Sudah miskin melarat pula
b Talibun
Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia
Ala gaharu cindano pulo Kok  ala  tau  mangapo  batanyo
pulo Sudah gaharu cendana pula
Sudah tahu mengapa bertanya pula
c Kalimat-kalimat adat sumando saat marisik:
Bahasa Pesisir Arti dalam Bahasa Indonesia
Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syukur  alhamdulillah  marilah sama-sama
kita haturkan
Assalamu‟alalikum  warahmatullahi wabarakatuh,
Syukur alhamdulillah
marilah sama-sama
kita ucapkan
ke
Universitas Sumatera Utara
keharibaan  Allah  SWT,  karena atas rahmatnya berupa kesehatan
dan kelapangan
langkah, sehingga  kito  dapek  bakumpu  di
rumah kami ko.Seiring salam dan salawat  kito  kapado  Rasulullah
Muhammad
SAW nan
ala mambaok  kito  dari  alam  nan
kalam  kapado  alam  nan  panuh kebahagian sampei saat kiniko.
Sadang mato hari basinar tarang, angin  bahambus  manyapu  alam,
sadang  ambun  bararak  tenggi, ruponyo  manjadi  tando  tamu
datang  karumah  kamiko.  Duduk di  pondok  dagang  sangsei,  na
mambuek  hati  raso  kasanang. Kadatangan  dusanak  ka  rumah
kamiko,  harapan  kami  manjadi sabuah  kahormatan  bagi  kami
urang  nan  kurang  budi,  miskin pulo bahaso.
haribaan  Allah  SWT,  karena  atas rahmat-Nya  berupa  kesehatan  dan
kelapangan  langka,  sehingga  kita dapat berkumpul di rumah kami ini.
Seiring  salamn  dan  salawat  kita kepada
Rasulullah Muhammad
SAW  yang  membawa  kita  dari alam yang kelam kepada alam yang
penuh  kebahagiaan  sampai  saat kini.  Sedang  matahari  bersinar
terang,  angin  berhembus  menyapu alam,  sedang  awan  berarak  tinggi,
rupanya menjadi tanda tamu datang ke rumah kami ini. Duduk di rumah
kami  apa  adanya,  membuat  hati merasa  senang.  Kedatangan  para
tamu  ke  rumah  kami  ini,  harapan kami  menjadi  kehormatan  bagi
kami  sebagai  orang  yang  kuyrang budi,  serta  miskin  pula  bahasa
kami.
Sebait pantun di atas mencerminkan diri bahwa hamba yang merujuk kepada pengantin  pria  adalah  seorang  yang  miskin  dan  melarat.  Artinya  sang  hamba
tersebut  tidak  memiliki  harta  dunia  sebagaimana  yang  selalu  disyaratkan  dalam semua  perkawinan  di  dunia  ini.  Ini  adalah  bentuk  dari  ekspresi  diri  yang
merendah-rendahkan  kedudukan,  yang  lazim  dilakukan  dalam  budaya  Pesisir. Orang  yang  merendah-rendah  seperti  itu  dipandang  sebagai  ekspresi  rendah  hati
dan tidak sombong. Pantun ini terdiri dari empat baris dalam sebait. Baris pertama dan kedua adalah sampiran, sementara baris ketiga dan keempat adalah isi. Antara
sampiran dan isi biasanya memiliki kaitan yang erat pula secara kebahasaan. Contoh kedua adalah talibun atau karmina yaitu pantun yang terdiri dari dua
rangkap  atau  baris.  Talibun  ini  adalah  menggunakan  kata-kata  yang  umum dijumpai di dalam budaya Pesisir. Ala gaharu cindano pulo Kok ala tau mangapo
Universitas Sumatera Utara
batanyo pula. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula, atau pura-pura saja tidak tahu sebenarnya sangat tahu.
Pada  contoh  ketiga  terdapat  kalimat-kalimat  dalam  bahasa  Pesisir,  yang mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, seperti ucapan salam, syukur kepada Allah
sebagai Tuhan, salam dan salawat kepada nabi Muhammad, dan lain-lain. Inti dari paragraf  ini  adalah  mengucapkan  selammat  datang  kepada  tetamu  dari  pihak
pengantin laki-laki yang datang ke pihak rumah pengantin wanita. Dalam wacana ini  terdapat  makna-makna  budaya  dan  kearifan  lokal.  Misalnya  bahwa  sebagai
tuan  rumah  biasanya  pihak  perempuan  selalu  merendahkan  keadaan.  Demikian juga pihak tetamu selalu merendah-rendahkan keadaannya, tidak meninggi apalagi
menyombongkan diri. Menurut  Endaswara  2008:151  tradisi  lisan  adalah  karya  yang
penyebarannya  disampaikan  dari  mulut  kemulut  secara  turun  temurun.  Adapun ciri  tradisi  lisan  yaitu:  1  lahir  dari  masyarakat  yang  polos,  belum  melek  huruf,
dan  bersifat  tradisional;  2  menggambarkan  budaya  milik  kolektif  tertentu  yang tidak jelas siapa penciptanya; 3 lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran,
jenaka,  dan  pesan  mendidik;  4  sering  melukiskan  tradisi  kolektif  tertentu;  5 tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, dan
6 tradisi lisan sering bersifat menggurui. Tradisi  lisan  yang  paling  sering  atau  populer  dalam  kehidupan  masyarakat
pesisir  Sibolga  adalah  baralek  gadang  pada  upacara  perkawinan  adat  sumando. baralek  gadang  merupakan  salah  satu  tradisi  lisan  pada  masyarakat  Pesisir
Sibolga, yang dimulai dari marisik sampai balik ari. Baralek gadang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
dua kata, yaitu baralek dan gadang. Baralek artinya perhelatan, sementara gadang artinya besar wawancara dengan bapak Fahrudin Sinaga.
Kata  kelisanan  dalam  penelitian  ini  hanya  merupakan  suatu  istilah  yang dipakai  dalam  menjelaskan  BG  pada  upacara  perkawinan  adat  sumando
masyarakat pesisir Sibolga yang menggambarkan situasi komunikasi lisan. Tradisi kelisanan dengan tradisi lisan tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Dalam
KBBI  1984:603  didefinisikan  arti  dari  lisan  dan  kelisanan  itu  adalah  perkataan yang diucapkan dengan mulut bukan dengan tulisan.
Dalam  upacara  baralek  gadang,  yang  memegang  peranan  penting  dalam upacara  adalah  talangkai.    Menurut  Nainggolan  2005:1  talangkai  merupakan
orang  yang  memilik  peranan  penting  dalam  mengatur  prosesi  atau  tata  cara upacara  sehingga  nantinya  dapat  terlaksana  dengan  sempurna.  Tradisi  kelisanan
baralek  gadang  mengandung  makna  makna  semiotik  sosial,  dan  nilai-nilai kearifan lokal, selain itu tradisi lisan berfungsi sebagai sistem nilai, pengetahuan
tradisional, hukum, sistem kepercayaan, dan agama. Menurut  Sibarani  2012:112  kearifan  lokal  adalah  kebijaksanaan  atau
pengetahuan  asli  suatu  masyarakat  yang  berasal  dari  nilai  luhur  tradisi  budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan
pada  nilai  budaya,  maka  dapat  juga  didefinisi  dengan  cara  lain  yakni  kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan
kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka kajian ini
difokuskan  untuk  menganalisis  tradisi  kelisanan  baralek  gadang  pada  upacara perkawinan
adat sumando
masyarakat Pesisir
Sibolga, serta
untuk
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan  bagaimana  praktik-praktik  tradisi  lisan  pada  upacara  baralek gadang,  terkait  dengan  sistem  kehidupan  masyarakat  pesisir  Sibolga.  Untuk
menganalisis  data  penelitian,  peneliti  menggunakan  teori  semiotik  sosial  yang dikembangkan  oleh  Halliday  1978.  Alasan  menggunakan  teori  semiotik  sosial
dalam  menganalisis  tradisi  kelisanan  baralek  gadang  adalah  untuk  memberi penjelasan bahwa kegiatan berbahasa pada tradisi kelisanan baralek gadang pada
upacara  perkawinan  adat  sumando  masyarakat  Pesisir  Sibolga  memiliki  simbol- simbol  dan  makna  yang  saling  berhubungan  antara  Penguasa  Tuhan  dengan
alam, serta menjelaskan makna yang terkandung pada tradisi kelisanan tersebut. Menurut  Halliday  1978:108  bahasa  merupakan  semiotik  sosial.  Sistem
semiotik bahasa meliputi unsur-unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur- unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks
sosial.  Konteks  sosial  adalah  merupakan  unsur  yang  mendampingi  bahasa  dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa
atau  teks  terbentuk,  juga  merupakan  semiotik.  Konsep  umum  yang  terpenting dalam  teori  semiotik  sosial  bahasa  menurut  Halliday  1978:108  adalah  teks,
situasi,  register,  kode,  sistem  linguistik  meliputi  sistem  semantik,  dan  struktur sosial.
Selanjutnya semiotik sosial menurut Halliday dalam Sinar, 2010:21 adalah sistem makna dan simbol yang direalisasikan melalui sistem linguistik, dalam hal
ini  sistem  linguistik  terwujud  dengan  penggunaan  bahasa  pada  upacara  adat berbentuk  tradisi  lisan.  Dengan  menggunakan  teori  semiotik  sosial,  peneliti
mencoba untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi  media  yang  digunakan  selama  prosesi  dan  mengungkapkan  makna  yang
Universitas Sumatera Utara
terkandung dalam teks tradisi kelisanan Baralek gadang pada upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga.
Pada  masa  sekarang  pengetahuan  masyarakat  tentang  tradisi  kelisanan baralek  gadang  pada  upacara  perkawinan  adat  sumando,  belum  dikembangkan
baik melalui jalur pendidikan ataupun jalur lain, sehingga tradisi kelisanan baralek gadang  pada  upacara  perkawinan  adat  sumando  pesisir  Sibolga  semaki  hari  kian
terabaikan.  Padahal  bila  dikaji  dan  dianalisis,  makna  semiotik  sosial  yang  ada dalam  tradisi  lisan  tersebut  mengandung  nilai  kearifan  lokal  dan  mengandung
nilai-nilai filosofi adat dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat tersebut. Berdasarkan  uraian  di  atas,  ada  beberapa  pertimbangan  peneliti  dalam
menyikapi masalah ini, di antaranya. 1  Masyarakat  Sibolga  merupakan  masyarakat  yang  multietnik  yang
membentuk  satu  kesatuan  budaya  masyarakat  Pesisir  dengan  motto negeri  berbilang  kaum,  namun  etnik  setempat  adalah  etnik  Pesisir,
sebagai tuan rumah. 2  Perkawinan  bagi  masyarakat  pesisir  Sibolga  dikenal  dengan  adat
sumando. 3  Proses  pernikahan  adat  sumando  dimulai  dari  marisik  sampai  dengan
tapanggi dipandu oleh seorang talangkai. 4  Talangkai  mempunyai  peranan  yang  sangat  penting  dalam  tradisi
kelisanan  baralek  gadang  pada  upacara  perkawinan  masyarakat  pesisir Sibolga.  Di  mana  saat  talangke  menggunakan  kata-kata  dalam
menyampaikan maksud dan tujuan memiliki makna kearifan lokal. 5  Perkembangan  budaya  yang  begitu  cepat,  tradisi  kelisanan  baralek
gadang  pada  upacara  perkawinan  adat  sumando  masyarakat  Pesisir Sibolga masih tetap hidup berdampingan dengan budaya modern.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Rumusan Masalah