4 irigasi Rosegrant et al, 2002, Pasandaran, 2005. Pada tingkat ketersediaan
tertentu, produktivitas air irigasi harus ditingkatkan Molden, 2002; Barker and Kijne, 2001. Sistem pengelolaan irigasi harus diubah dari karakteristik protektif
ke karakteristik produktif Wolter and Burt, 1997. Jika disarikan, orientasi dari semua pendekatan tersebut ternyata konvergen yaitu peningkatan efisiensi irigasi.
Dalam konteks itu sebagian besar pakar menyatakan bahwa peningkatan efisiensi irigasi dengan mengandalkan pendekatan pengelolaan pasokan supply
management tidak lagi memadai. Seiring dengan meningkatnya kelangkaan sumberdaya air dan kompetisi penggunaan antar sektor, pengelolaan permintaan
demand management yang berorientasi pada peningkatan efisiensi semakin dirasakan urgensinya Winpenny, 1994; Grimble, 1999; Rosegrant et al, 2002.
1.2. Rumusan Permasalahan
Di Indonesia pada saat ini ada dua agenda pokok permasalahan yang saling terkait dan perlu segera dipecahkan secara simultan yaitu: 1 peningkatan
efisiensi atau produktivitas irigasi dan 2 peningkatan kemampuan petani untuk berkontribusi dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Peningkatan
efisiensi irigasi harus dilakukan karena: 1. Air irigasi semakin langka.
2. Potensi untuk meningkatkan efisiensi cukup terbuka karena yang dicapai masih sangat rendah.
3. Dampak positif peningkatan efisiensi irigasi terhadap ketersediaan air untuk kepentingan yang lebih luas akan sangat nyata karena pangsa penggunaan air
untuk irigasi sangat besar. 4. Perluasan lahan irigasi baru new construction hanya dapat dilakukan dalam
skala yang sangat terbatas. Peningkatan kontribusi petani untuk membiayai operasi dan pemeliharaan
irigasi terutama di level tertier adalah salah satu program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi PKPI; dan konvergen dengan arah reformasi irigasi yang
lebih menekankan pada partisipasi dan kemandirian petani. Selain itu juga merupakan syarat kecukupan untuk keberlanjutan kinerja irigasi yang efisien.
5 Sejak sepuluh tahun terakhir ini kinerja ketersediaan air irigasi semakin
tidak kondusif untuk mendukung keberlanjutan produktivitas usahatani yang tinggi. Insiden banjir dan kekeringan semakin sering terjadi dan cakupan wilayah
yang terkena semakin meluas Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1996; Sumaryanto dan Friyatno, 1999. Menurunnya kinerja irigasi pada
umumnya terlihat dari: 1 pada musim kemarau, luas areal layanan irigasi cenderung menyusut dari tahun ke tahun, 2 pada areal yang terairi itu,
ketersediaan air yang cukup di musim kemarau cenderung semakin pendek rentang waktunya, dan 3 pada musim hujan hamparan sawah layanan irigasi
semakin rentan terhadap banjir. Penyebab utama menurunnya kinerja irigasi adalah: 1 memburuknya kinerja jaringan irigasi, 2 menurunnya ketersediaan air
yang menjadi sumber air irigasi, dan 3 kombinasi dari keduanya. Memburuknya kinerja jaringan irigasi selain disebabkan oleh disain
jaringan irigasi yang tidak tepat Arif, 1996, juga disebabkan oleh sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau kombinasi dari keduanya Osmet, 1996.
Sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang tidak memadai itu antara lain disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang tersedia. Sebagaimana dinyatakan
dalam Syarif 2002, meskipun sejak 1987 anggaran yang disediakan untuk kegiatan OP mencapai 70 – 80 jutatahun, namun alokasinya sebagian besar
60-85 habis untuk membayar gaji pegawai dan biaya administrasi. Sisanya, yakni sekitar 15-40 pada umumnya hanya cukup untuk membiayai perbaikan-
perbaikan yang bersifat mendesak agar air dapat disalurkan ke tempat yang memerlukan sehingga pemeliharaan rutin seringkali tidak dapat tercukupi.
Penurunan sumber pasokan air irigasi terutama disebabkan oleh menurunnya fungsi sungai yang dicirikan oleh stabilitas debit yang semakin
rendah. Hal ini terkait dengan degradasi lingkungan daerah tangkapan air catchment area yang ternyata sampai saat ini sulit diatasi.
Di Indonesia upaya peningkatan efisiensi irigasi melalui pendekatan pasokan sudah sering dilakukan misalnya melalui sistem irigasi bergilir, sistem
alir terbatas low flow management, sistem alir-putus-alir intermittent, dan sebagainya. Pendekatan ini masih dapat dilanjutkan dan perlu disempurnakan.
6 Meskipun demikian, mengingat bahwa: 1 air irigasi yang tersedia makin langka,
2 upaya untuk menambah ketersediaannya semakin sulit, dan 3 kompetisi penggunaan sumberdaya air antar sektor semakin tinggi, maka pendekatan
tersebut tidak memadai untuk mendorong efisiensi irigasi dan atau produktivitas irigasi. Pendekatan lain yang diharapkan cukup efektif adalah melalui pengelolaan
permintaan demand management. Strategi untuk meningkatkan efisiensi irigasi melalui pendekatan
pengelolaan permintaan dapat ditempuh melalui dua jalur. Jalur pertama adalah melalui maksimisasi output. Artinya, berbasis pada air irigasi yang tersedia
diupayakan agar diperoleh output atau pendapatan yang maksimal. Jalur kedua adalah melalui minimisasi input. Artinya, untuk memproduksi sejumlah output
tertentu atau memperoleh sejumlah keuntungan tertentu diupayakan agar kuantitas air irigasi yang digunakan diminimalkan. Jika sasaran utama efisiensi irigasi
adalah untuk mendukung realokasi air ke sektor lain, maka strategi kedua yang lebih harus diterapkan. Sebaliknya jika realokasi air irigasi ke sektor lain tidak
mendesak maka strategi pertama yang harus ditempuh. Mengacu pada kondisi empiris, dapat dinyatakan bahwa bagi Indonesia yang saat ini harus diprioritaskan
adalah efisiensi irigasi melalui strategi maksimisasi. Instrumen untuk mendorong efisiensi irigasi dan sekaligus juga kondusif untuk meningkatkan kapasitas
pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi dalam pendekatan pengelolaan permintaan melalui strategi maksimisasi produktivitas itu harus memenuhi
kriteria: 1 sesuai dengan azas pengelolan irigasi partisipatif, dan 2 sistem kelembagaannya efisien.
Salah satu instrumen yang layak dipertimbangkan adalah penerapan sistem iuran irigasi berbasis nilai produktivitas marginal sumberdaya tersebut. Dalam
konteks itu ada dua aspek yang secara simultan tercakup yaitu: konsumsi air irigasi untuk usahatani dan nilai ekonomi air irigasi yang mencerminkan tingkat
kelangkaannya. Pemaduan kedua aspek itu dapat ditempuh melalui penciptaan sistem iuran irigasi yang besarannya didasarkan atas perkiraan konsumsi air irigasi
dan harga bayangan sumberdaya tersebut. Dengan cara itu, tercipta insentif untuk menerapkan diversifikasi usahatani ke komoditas pertanian yang lebih hemat air
yang menguntungkan; terutama pada saat air irigasi semakin langka.
7 Penerapan model tersebut membutuhkan kajian melalui pendekatan
normatif maupun positif. Pendekatan normatif berupa valuasi air irigasi untuk mengetahui nilai produktivitas marginal atau harga bayangan air irigasi yang
selanjutnya dipergunakan untuk merumuskan sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas. Dari pendekatan normatif ini juga dihasilkan pola tanam
optimal, yakni pola tanam yang menghasilkan keuntungan usahatani maksimal. Prospek penerapan model tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam
mendayagunakan faktor-faktor yang mempengaruhi arah perubahan menuju sosok normatif tersebut. Faktor-faktor positif kondusif maupun yang sifatnya negatif
terhadap peluang pengembangan diversifikasi usahatani dan tingkat partisipasi petani dalam pembayaran iuran pelayanan irigasi perlu diidentifikasi. Ini dapat
dikaji dengan pendekatan positif berdasarkan kondisi empiris di lapangan. Secara teoritis sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas potensial
untuk mendorong efisiensi irigasi. Dalam batas-batas tertentu, dengan menerapkan sistem ini maka jumlah biaya yang harus dikeluarkan petani untuk irigasi adalah
proporsional dengan kuantitas air irigasi yang dipergunakan. Oleh karena itu ada insentif untuk meningkatkan efisiensi irigasi dan kondusif untuk mendorong
diversifikasi usahatani. Sebaliknya, dengan berdiversifikasi ke komoditas pertanian hemat air maka biaya irigasi yang harus ditanggung petani juga menjadi
lebih rendah. Jadi, ada hubungan sinergis antara sistem iuran berbasis komoditas dengan diversifikasi usahatani.
Kerangka hukum legal framework yang dianut Indonesia menyatakan bahwa sumberdaya air dikuasai negara. Konsep pemilikan individual secara penuh
tidak dibenarkan, dan karenanya sistem distribusi air irigasi melalui mekanisme pasar adalah tidak sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku. Meskipun
demikian bukan berarti bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang formulasinya didasarkan atas hasil valuasi dengan mengasumsikan berlakunya
mekanisme pasar tidak dapat diterapkan. Formulasi yang dihasilkan dari pendekatan ini difokuskan untuk memperoleh ukuran kuantitatifnya, sedangkan
kelembagaan penerapannya dapat dikemas dalam bentuk kelembagaan non pasar agar sesuai dengan kerangka hukum yang dianut.
8
1.3. Tujuan Penelitian