148 Jagung hibrida telah banyak diusahakan terutama di Sub DAS Tengah dan
Hilir. Selain ditunjang oleh kemudahan petani memperoleh benih tersebut di kios- kios saprodi setempat, perkembangan aplikasi benih hibrida di lokasi ini juga
terdukung oleh pola kemitraan dengan industri benih dan industri pakan. Serupa dengan kinerja pada usahatani padi, aplikasi teknologi dalam usahatani jagung
juga termasuk intensif. Sejak puluhan tahun yang lalu wilayah pesawahan DAS Brantas
merupakan salah sentra produksi kedele di Indonesia. Produktivitas usahatani kedele pada tahun 19992000 adalah sekitar 13 kuintal kedele osehektar dengan
kisaran 9 – 19 kuintalhektar. Variasi produktivitas antar petani dalam usahatani kedele ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan variasi produktivitas
usahatani padi maupun kedele. Ini dapat disebabkan risiko usahatani kedele lebih tinggi daripada kedua komoditas tersebut.
Produktivitas usahatani Kacang Tanah dan Kacang Hijau masing-masing adalah 14.3 dan 8.6 kuintal osehektar. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata
nasional, akan tetapi untuk rataan Pulau Jawa termasuk angka tersebut termasuk kategori sedang. Kedua jenis komoditas tersebut umumnya diusahakan pada MT
III MK-2. Pada MT II MK-1, partisipasi petani yang mengusahakannya lebih kecil dibandingkan petani yang mengusahakan jagung maupun padi.
5.5.4. Strutur Pendapatan Rumah Tangga Petani
Oleh karena luas garapannya sempit, maka pendapatan yang diperoleh dari usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga anggota
keluarga petani harus bekerja di sektor luar pertanian. Dengan demikian hampir semua petani di irrigated area DAS Brantas adalah part timer farmer. Ini tidak
hanya berlaku pada petani yang lahan garapannya kurang dari 0.5 hektar tetapi juga petani yang menguasai lahan garapan yang lebih luas.
Rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas 19992000 adalah sekitar 5.4 juta rupiahtahun.
Kontribusi pertanian adalah sekitar 67 persen Rp. 3.36 juta, sedangkan non pertanian 33 persen. Sesuai dengan ekosistemnya, peranan usahatani di lahan
149 sawah sangat besar dimana kontribsuinya terhadap total pendapatan rumah tangga
lebih dari separuh 53 persen. Usahatani di pekarangan dan kebun berkontribusi sekitar 7.5 persen. Berburuh tani cukup penting peranannya terutama bagi petani
yang garapannya sempit dan tidak bekerja di luar pertanian yang produktif. Rata- rata pendapatan dari buruh tani mencapai 6.6 persen. Di sektor non pertanian yang
terutama adalah dari usaha perdangan, industri rumah tangga, dan jasa-jasa lain di sektor non formal, dan buruh serta karyawan Tabel 19.
Tabel 19. Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 19992000
Sumber pendapatan Rp. 10
3
Pangsa Pendapatan total
5 376.2 100.0
1. Pendapatan dari pertanian 3 611.5
67.2 1.1. Usahatani
3 254.5 60.5
1.1.1. Usahatani di lahan sawah 2 852.3
53.1 a. Usahatani padi
1 530.2 28.5
b. Usahatani palawija 524.7
9.8 c. Usahatani sayuran
506.9 9.4
d. Usahatani lainnya 290.5
5.4 1.1.2. Usahatani kebunpekarangan, ternak, dll.
402.2 7.5
1.2. Buruh tani 357.0
6.6 2. Pendapatan di luar pertanian
1 764.7 32.8
2.1. Usaha 605.7
11.3 2.2. Buruh, karyawan, pegawai, dan jasa lainnya
652.4 12.1
3. Lainnya 506.6
9.4
: tebu, tembakau, dan lain sebagainya. : menyewakan tanah, menyakapkan tanah, mnyewakan peralatan, kiriman dari
famili, pensiun, dan lain sebagainya.
Distribusi pendapatan per kapita rumah tangga tani di lokasi penelitian agak timpang G = 0.480. Secara kumulatif, 40 populasi lapisan terbawah
hanya menikmati 12 dari total pendapatan seluruh populasi. Di sisi lain 20 populasi lapisan teratas menikmati 53 .
Membahas tentang pendapatan, adalah penting untuk mengetahui lebih lanjut apakah suatu rumah tangga termasuk kategori miskin ataukah tidak miskin.
Badan Pusat Statistik BPS melalui kegiatan SUSENAS selalu menghasilkan angka garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan untuk wilayah pedesaan yang
150 dihasilkan dari data SUSENAS Desember 1998, SUSENAS Februari 1999, dan
SUSENAS Agustus 1999 masing-masing adalah sekitar Rp. 72 780, Rp. 74 272, dan Rp. 69420 per kapita per bulan. Publikasi-publikasi BPS yang terbaru
cenderung menggunakan hasil SUSENAS Desember 1998. Dengan mengikuti angka garis kemiskinan di pedesaan sebagaimana
dilakukan oleh BPS, ternyata dari seluruh rumah tangga petani contoh 480, terdapat 248 rumah tangga 51.7 yang berada di bawah garis kemiskinan.
Artinya, lebih dari separuh petani padi tergolong rumah tangga miskin. Angka ini lebih tinggi dari proporsi penduduk miskin di pedesaan Jawa Timur hasil analisis
BPS yaitu 32.1 BPS, 2000. Jadi, jika dihubungkan dengan fakta bahwa petani adalah himpunan bagian dari penduduk pedesaan, maka penelitian ini – sekali lagi
– menunjukkan bukti empiris bahwa secara absolut maupun relatif, bagian terbesar penduduk miskin di pedesaan memang petani.
Jika ditelaah lebih rinci ternyata rumah tangga petani yang paling rentan terhadap kemiskinan adalah ditemukan pada kelompok pemilikan sawah di bawah
0.5 hektar. Pada kelompok rumah tangga petani yang tidak memiliki sawah sendiri, 69 diantaranya berada di bawah garis kemiskinan. Sementara itu rumah
kelompok rumah tangga yang pemilikannya 0.5 hektar ke bawah, 55 diantaranya ternyata juga berada di bawah garis kemiskinan Tabel 20.
Tabel 20. Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok pemilikan lahan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 19992000
Kelompok Pemilikan lahan sawah Hektar 0-0.50 0.51-1.00 1.01- 1.50 1.50
Di bawah garis kemiskinan:
Jumlah 77
140 30
1 -
Rumah tangga 69.4
54.5 35.3
5.0 -
Pendapatan Rp.10
3
kapitatahun 426.2
479.7 558.7
371.5 -
Pendapatan dari pertanian 66.2
79.7 78.9
70.9 -
Pendapatan dari non pertanian 33.8
20.3 21.1
29.1 -
Di atas garis kemiskinan:
Jumlah 34
117 55
19 7
Rumah tangga 30.6
45.5 64.7
95.0 100.0
Pendapatan Rp.10
3
kapitatahun 2015.2 1982.1 2095.3
3286.2 3671.2 Pendapatan dari pertanian
50.6 72.2
66.2 73.6
64.5 Pendapatan dari non pertanian
49.4 27.8
33.8 26.4
35.5
151 Proporsi rumah tangga petani yang berada di bawah garis kemiskinan
adalah sedikit ditemukan pada kelompok rumah tangga yang memiliki lahan sawah yang lebih luas. Hal ini disebabkan: 1 kontribusi pendapatan rumah
tangga yang diperoleh dari usahatani dari lahan sawah masih dominan sehingga makin luas lahan garapan makin banyak pendapatan yang diperolehnya, dan 2
teknologi usahatani yang diterapkan oleh petani pemilik maupun petani yang lahan garapan usahataninya berasal dari pihak lain ternyata tidak banyak berbeda
sehingga rata-rata pendapatan per hektar yang diperoleh petani pemilik lebih tinggi karena tidak harus menanggung biaya sewa lahan atau bagi hasil.
Fenomena di atas juga merupakan bukti empiris bahwa perkembangan sektor non pertanian di pedesaan belum cukup untuk mereduksi dominasi peranan
distribusi tanah sebagai determinan tingkat kemiskinan di wilayah tersebut. Ini disebabkan jenis-jenis kegiatan luar pertanian yang berkembang di pedesaan
produktivitasnya relatif rendah. Peluang rumah tangga petani untuk tidak berada di bawah garis
kemiskinan cukup besar jika rumah tangga tersebut memiliki lahan sawah di atas satu hektar. Sebagaimana tampak pada Tabel 20 tersebut di atas, proporsi rumah
tangga yang berada di atas garis kemiskinan pada kelompok rumah tangga petani yang memiliki sawah 1 – 1.5 hektar ternyata mencapai 95 persen. Bahkan pada
kelompok rumah tangga yang memiliki lahan sawah di atas 1.5 hektar semuanya berada di atas garis kemiskinan.
VI. VALUASI AIR IRIGASI DAN PENENTUAN IURAN PELAYANAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS USAHATANI