Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya

55 Kebijaksanaan pemerintah berperan di dua sisi. Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan sumberdaya air sangat menentukan kinerja pasokan air dalam arti luas maupun pasokan air irigasi khususnya. Peranannya dapat di bidang investasi, penggunaan air antar sektor, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sebagainya. Peranan pemerintah di sisi permintaan dapat berupa kebijaksanaan di bidang harga masukan maupun keluaran, kebijakan di bidang penyediaan modal untuk usahatani, maupun bantuan teknis dalam bentuk pengembangan kemampuan teknis dan managerial petani melalui program penyuluhan pertanian.

3.4.2. Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya

Pada dasarnya distribusi spatial sumberdaya air bersifat alamiah dan ditentukan oleh resultante interaksi hukum-hukum hidrologi dan konfigurasi geografis. Jika menyerahkan sepenuhnya pada pengaruh hukum alam tersebut maka ketersediaan air irigasi bagi petani yang berada di hilir akan sangat tergantung pada penggunaan air irigasi yang dilakukan oleh petani yang berada di hulu. Sebaliknya, ketika air sangat berlebih maka upaya mengatasi dampak kelebihan air yang dialami oleh petani yang berada di hulu juga memerlukan kesediaan petani yang berada di hilir untuk menerima limpahan air dari hulu. Dalam konteks ini ada persepsi yang berlaku umum bahwa: 1. Kelebihan pasokan air pada musim hujan dialami oleh semua pihak baik petani di hulu, tengah, maupun hilir dan cara mengatasinya adalah membuang ke wilayah yang lebih hilir. Cara ini secara teknis paling mudah dilakukan karena secara alamiah air mengalir ke tempat yang lebih rendah dan secara ekonomi ongkos sosialnya paling murah. Selain itu oleh karena terminal terakhir pembuangan limpahan adalah wilayah bebas laut maka persepsi tersebut diterima masyarakat luas. Legitimasinya kuat karena hal tersebut juga dikukuhkan dalam aturan perundang-undangan. 2. Secara historis irigasi dibangun untuk mengatasi kelangkaan air yang dibutuhkan untuk tanaman. Oleh karena itu substansi permasalahan yang lebih mengemuka adalah bagaimana mengatur pembagian sumberdaya yang langka tersebut, bukan membuang kelebihan air. Kedua hal itu berimplikasi bahwa substansi pokok yang menjadi sumber ketergantungan adalah persoalan alokasi pasokan. Sifat ketergantungannya 56 asymetric dimana ketergantungan petani di hilir kepada petani yang berada di hulu jauh lebih tinggi daripada sebaliknya; dan bersifat rekursif dimana pasokan air irigasi untuk petani yang berada di wilayah yang lebih hilir dipengaruhi oleh penggunaan air irigasi para petani yang berada di wilayah yang berada di hulu. Bentuk ketergantungan seperti itu mempengaruhi alokasi optimal air irigasi dalam suatu sistem. Secara teoritik dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan dalam suatu Sistem Irigasi skala besar terdapat tiga Sub Sistem yaitu A, B, dan C dimana A berada di hulu, B di tengah, dan C berada di hilir. Selanjutnya misalkan P 1 , P 2 , dan P 3 masing-masing adalah petani di daerah A, B, dan C yang memproduksi y y 1 untuk A, y 2 untuk B, dan y 3 untuk C. Diasumsikan A, B, maupun C menghadapi harga y yang sama yakni p. Jika diasumsikan bahwa produktivitas usahatani merupakan fungsi dari tingkat ketersediaan air irigasi, maka maksimisasi keuntungan ketiga petani tersebut dapat dituliskan: max 1 1 1 1 y f py y    1 , max 1 2 2 2 2 y y g py y    2 , , max 1 2 3 3 3 3 y y y h py y    3 dimana fungsi f, g, dan h adalah biaya produksi masing-masing petani P 1 , P 2 , dan P 3 . Jika masing-masing petani bebas dan tak ada koordinasi anarchic maka solusi optimal yang dihadapi harus memenuhi kondisi derajat pertama berikut: p y y y y h y y y g y y f          3 1 2 3 2 1 2 1 1 , , , 4 artinya semua petani tersebut menyamakan biaya privat marginal usahataninya dengan harga. Oleh karena p tetap maka hal itu berarti bahwa semakin banyak air yang digunakan di hulu maka semakin sedikit air yang tersedia untuk petani di hilir sehingga produk yang dapat dihasilkan oleh petani yang berada di hilir juga lebih rendah agar biaya privat marginalnya dapat dipertahankan sama dengan harga produk p. Jika ketiga kelompok petani tersebut berada di dalam satu sistem pengelolaan irigasi yang terkoordinasi maka persoalannya adalah bagaimana 57 memaksimumkan keuntungan untuk satu sistem secara keseluruhan. Dengan demikian maksimisasi keuntungan yang dihadapi dalam usahatani adalah: , , , max 1 2 3 1 2 1 3 2 1 , , 3 2 1 3 2 1 y y y h y y g y f y y y y y y           5 dan kondisi derajat pertama yang harus dipenuhi untuk solusi optimal adalah: P 1 : p y y y y h y y y g y y f          1 1 2 3 1 1 2 1 1 , , , 6 P 2 : p y y y y h y y y g       2 1 2 3 2 1 2 , , , 7 P 3 : p y y y y h    3 1 2 3 , , 8 Dari persamaan tersebut tampak bahwa kondisi optimal untuk seluruh sistem mensyaratkan bahwa petani-petani yang berada di hulu harus peduli dengan petani yang berada di hilir. Dengan kata lain, petani di hulu harus ikut menanggung beban petani yang berada di hilir. Biaya sosial marginal potensial yang harus ditanggung oleh petani di Hulu P 1 dan di Tengah P 2 adalah: P 1 : 1 1 2 3 1 1 2 , , , y y y y h y y y g      9 P 2 : 2 1 2 3 , , y y y y h   10 Adalah logis bahwa setiap individu termasuk petani cenderung mendahulukan kepentingan dirinya sebelum orang lain. Implikasinya, implementasi prinsip-prinsip efisiensi dan pemerataan persamaan 6 – 10 dalam alokasi air irigasi pada sistem irigasi skala besar dengan menggunakan mekanisme pasar sangat sulit. Dalam sistem irigasi permukaan skala besar large scale surface irrigation dengan sistem penyaluran air irigasi menggunakan saluran terbuka dan jumlah petani yang tercakup dalam sistem tersebut sangat banyak, mekanisme pasar hampir mustahil diterapkan karena kendala teknis sangat sulit diatasi dan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat menyebabkan adanya resistensi yang sangat tinggi. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah kelembagaan non pasar dengan menerapkan sistem kuota sistem jatah. Dalam sistem jatah, pasokan diatur sedemikian rupa sehingga distribusi air irigasi per satuan luas liter per detik – ltdt antar wilayah 58 hulu, tengah, dan hilir relatif sama. Teknisnya adalah dengan cara mengatur durasi pembukaan buka – tutup pintu-pintu air irigasi baik di saluran primer, sekunder maupun tertier. Pengelolaan irigasi membutuhkan batas yurisdiksi, aturan representasi, dan pengakuan terhadap hak pemilikan yang jelas. Komunitas dan atau wilayah mana saja yang tercakup batas yurisdiksi, siapa melakukan apa aturan representasi, dan bagaimana meletakkan hak kepemilikan dalam sistem organisasi, harus dirumuskan dan dijabarkan dalam bentuk yang dapat dioperasionalkan. Di sisi lain, mengingat jumlah petani yang terlibat sangat banyak maka perlu adanya pemahaman dan persepsi yang sama agar terbentuk aksi kolektif yang konvergen azas-azas dengan pengelolaan irigasi yang efisien dan adil. Pada sistem irigasi teknis skala besar large scale surface irrigation dimana investasi pembangunanpengembangannya dilakukan oleh pemerintah, otoritas distribusi air berada di tangan pemerintah Dinas Pengairan. Di lapangan, Aparat Dinas Pengairan yang secara langsung bertugas mengatur distribusi air irigasi dari saluran induk sampai tertier bekerja berdasarkan petunjuk teknis sistem pembagian air yang merupakan penjabaran operasional dari prinsip tersebut di atas. Dalam istilah setempat petugas tersebut populer dengan sebutan Penjaga Pintu Air. Secara teoritis, sistem jatah sangat mungkin tidak menghasilkan keuntungan maximum untuk seluruh sistem global maximum. Oleh karena itu sistem jatah bukan first best solution untuk maksimisasi keuntungan ataupun efisiensi. Akan tetapi sistem jatah merupakan pendekatan pragmatis yang lebih mudah ditempuh untuk menjamin terpenuhinya azas pemerataan. Terkait dengan kelemahan yang melekat dalam sistem penjatahan maka ada dua prasyarat yang harus dipenuhi agar mekanisme penjatahan berjalan baik. Pertama, pengorganisasiannya harus dikoordinasikan oleh suatu badan yang memiliki otoritas yang legitimasinya didukung oleh kerangka hukum yang berlaku dan secara kelembagaan efektif. Kedua, adanya dukungan infrastruktur yang memadai sehingga secara teknis dapat diimplementasikan. Selain kedua prasyarat 59 tersebut, alokasi air irigasi dengan mekanisme penjatahan juga harus mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. Kuantitas air yang dapat dialokasikan untuk irigasi adalah bervariasi. Meskipun sudah didisain sebagai sistem irigasi teknis, pengaruh curah hujan masih besar karena sistem penyampaian dan pembuangan air menggunakan saluran terbuka. Selain itu, curah hujan langsung jatuh ke hamparan lahan juga merupakan tambahan pasokan air yang tersedia untuk tanaman yang harus diperhitungkan. Di sisi lain harus pula diperhitungkan alokasi air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, dan lain-lain yang berdasarkan aturan perundang-undangan justru mempunyai prioritas yang lebih tinggi. 2. Sebagian besar sumber pasokan air irigasi untuk seluruh sistem terletak di bagian yang lebih hulu, kemudian dialirkan ke arah hilir. Oleh karena itu, air irigasi yang terdapat di hulu lebih tinggi daripada kebutuhannya, sedangkan yang di hilir cenderung lebih rendah dari kebutuhan di wilayah tersebut. 3. Secara keseluruhan, total volume air irigasi yang dilepas dari sumber pasokan lebih tinggi daripada total volume yang sampai di tingkat usahatani karena adanya kehilangan dalam penyaluran. Meskipun demikian karena ada tambahan pasokan air dari curah hujan maka ada kalanya total volume air yang tersedia di hamparan usahatani justru lebih tinggi. 4. Penjatahan air irigasi hanya relevan dilakukan pada periode pasokan air irigasi langka yang biasanya berlangsung sejak Bulan Juni – November. Pada periode lainnya Desember – Mei tidak diperlukan adanya sistem penjatahan karena: 1 kebutuhan tanaman terhadap air dari sistem irigasi lebih rendah dari rata- rata karena sebagian telah terpebuhi dari curah hujan, dan 2 pasokan air irigasi lebih banyak dari rata-rata. 5. Sumber pasokan air irigasi cukup banyak dan tersebar di hulu, tengah, maupun hilir dengan memanfaatkan sumberdaya air dari anak-anak sungai Brantas dan atau dam-dam setempat. Oleh karena itu, Sub DAS Hilir tidak sepenuhnya tergantung pada pasokan air irigasi dari Sub DAS Tengah maupun Sub DAS Hulu; demikianpun halnya pasokan air irigasi untuk Sub DAS Tengah tidak sepenuhnya tergantung pada pasokan dari Sub DAS Hulu. 60 Azas pemerataan yang menjadi acuan dalam mekanisme penjatahan diwujudkan melalui penerapan sistem proporsi sehingga variasi volume pasokan air irigasi antar wilayah ditentukan oleh luas areal layanan irigasi masing-masing wilayah tersebut. Sistem proporsi juga berlaku dalam konteks temporal sehingga fluktuasi pasokan air irigasi di setiap wilayah berbanding lurus pula dengan fluktuasi total volume air irigasi untuk seluruh sistem. Selain itu, dalam alokasi air irigasi harus ada sejumlah volume air yang dicadangkan untuk mengatasi insiden kekekeringan yang mungkin dialami di wilayah-wilayah tertentu. Jadi, kecenderungan untuk bersikap konservatif juga diperlukan mengingat dampak kerugian yang timbul akibat kekeringan dianggap lebih besar daripada potensi kerugian akibat adanya sejumlah kuantitas air irigasi yang tak termanfaatkan. Pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, alokasi spatial melalui sistem jatah tersebut telah berlangsung sejak sistem irigasi tersebut beroperasi. Prosedur teknis tentang tatacara pembagian air dalam operasi dan pemeliharaan irigasi dapat disimak pada Lampiran 1. Alokasi spatial dengan mekanisme penjatahan tersebut di atas menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan supply management - SM. Dalam kondisi air irigasi langka, upaya peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi lebih sesuai jika didekati melalui pengelolaan permintaan demand management – DM Winpenny, 1994; Rosegrant et al, 2002. Berbeda dengan pendekatan SM dimana penyediaan air irigasi untuk suatu wilayah ditentukan oleh pihak pemasok, pada pendekatan DM pasokan air irigasi untuk suatu wilayah tergantung pada permintaan atau kebutuhan petani. Dengan demikian peran aktif petani lebih besar pada pendekatan DM. Selama ini petani sudah sangat terbiasa dengan pendekatan SM sehingga perubahan pendekatan dari SM ke DM membutuhkan proses adaptasi, baik di pihak pemasok maupun pengguna air irigasi petani. Secara teoritis, petani lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan yang sifatnya gradual daripada perubahan yang terjadi secara total dalam waktu singkat. Berdasarkan justifikasi demikian itu, model yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan transisi dari SM ke DM yang dalam penelitian ini diistilahkan DM yang 61 dimodifikasi modified demand management – MDM. Perbedaan antara ketiga jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM Faktor pembeda SM DM MDM Alokasi air termasuk distribusi antar wilayah Ditentukan pemasok Tergantung permintaan Kombinasi dari pendekatan SM dan DM. Pemegang inisiatif utama Pemasok Pengguna air irigasi Kedua belah pihak, sesuai situasi dan kondisi Tingkat kesulitan untuk memenuhi azas pemerataan Rendah Tinggi Sedang Kesesuaiannya untuk mendorong efisiensi Rendah Tinggi Sedang Tingkat kesulitan dalam implementasi Lebih rendah Lebih tinggi Sedang Sebagai salah satu bentuk pendekatan transisi, alokasi spatial air irigasi melalui MDM perlu mengkombinasikan pendekatan SM dan DM. Salah satu prinsip yang diadopsi dari pendekatan SM adalah bahwa dalam alokasi air irigasi, setiap wilayah yang tercakup dalam areal layanan irigasi command area berhak atas pasokan air irigasi sesuai dengan kebutuhan minimalnya. Oleh karena itu, volume air irigasi yang dialokasikan ke setiap wilayah terdiri dari dua komponen yaitu: 1 untuk memenuhi kebutuhan minimal, dan 2 untuk memenuhi permintaan dimana alokasinya mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi. Misalkan air yang terdapat di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 1 W , 2 W , dan 3 W ; sedangkan min 1 w , min 2 w , dan min 3 w melambangkan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS tersebut. Selanjutnya, misalkan air irigasi yang dialokasikan dari Hulu ke Tengah adalah 1 T dengan efisiensi penyaluran 1 c , sedangkan yang dialokasikan dari Tengah ke Hilir adalah 2 T dengan efisiensi penyaluran 2 c . Maka pasokan air irigasi endogen untuk wilayah irigasi di Sub DAS Hulu 1 W , Sub DAS Tengah 2 W , dan Sub DAS Hilir 3 W dengan pendekatan MDM dapat diekspresikan sebagai berikut Gambar 6. 62 Gambar 6. Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan MDM Keterangan: : Reservoir waduk, bendungan, dll. : Saluran sekunder : Saluran primer : Saluran tertier : Blok petak tertier : Saluran pembuang Hulu Tengah Hilir 1 1 1 T W W   dimana: min 1 1 w W  2 1 1 2 2 T T c W W     dimana: min 2 2 w W  2 2 3 3 T c W W    dimana: min 3 3 w W  63 Data ketersediaan air irigasi di level tertier masing-masing Sub DAS diperoleh dari nilai rata-rata debit air irigasi pada petak-petak terier contoh. Untuk memperoleh tingkat ketersediaan air irigasi di level usahatani, angka-angka tersebut dikalikan dengan tingkat efisiensi irigasi di level usahatani on-farm use efficiency – FUEF. Rata-rata FUEF di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir SAPS, 1982 masing-masing adalah 0.75, 0.70, dan 0.65. Dalam penelitian ini, kebutuhan minimum untuk masing-masing Sub DAS diasumsikan setara dengan rata-rata debit air irigasi pada petak-petak tertier yang terjadi pada tahun-tahun kering dari data deret waktu sepuluh tahun 1989 – 1999 dan untuk Sub DAS Tengah dan Hilir diasumsikan mengandalkan sebagian besar pasokan air irigasi dari sumber setempat. Data ini dikumpulkan dari Seksi Cabang Pengairan dimana petak-petak terteir contoh berada dan dilengkapi dengan informasi dari Juru Pengairan di petak-petak tertier yang bersangkutan.

3.4.3. Distribusi Temporal Air Irigasi dan Implikasinya