Penyederhanaan Sistem Iuran Berbasis Komoditas

177 Di lapangan, biaya irigasi terutama diberlakukan untuk usahatani padi. Hanya di beberapa blok tertier diberlakukan untuk usahatani non padi, itupun hanya mencakup tebu dan beberapa jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti tembakau. Rata-rata biaya irigasi yang dikeluarkan untuk usahatani padi pada musim hujan, musim kemarau-1, dan musim kemarau-2 masing-masing adalah Rp. 38 000, Rp. 49 000, dan Rp. 123 000hektarmusim Tabel 32. Tabel 32. Biaya irigasi pada usahatani padi di Daerah Irigasi Brantas, 19992000 Musim Tanam I Musim Tanam II Musim Tanam III Komponen biaya irigasi Rp.1000Ha Rp.1000Ha Rp.1000Ha IPAIR 11.7 0.42 12.6 0.44 5 0.16 Iuran P3A 22.3 0.81 24.1 0.84 46 1.52 Irigasi Pompa 3.4 0.12 11.7 0.41 60.5 2.00 Biaya irigasi informal 1.0 0.04 0.9 0.03 1.4 0.04 Total biaya irigasi 38.3 1.39 49.3 1.72 112.8 3.73 Total biaya usahatani 2756.6 100.00 2860.7 100.00 3025.4 100.00

6.7.1. Penyederhanaan Sistem Iuran Berbasis Komoditas

Secara teoritis sistem iuran irigasi berbasis pengusahaan komoditas yang ideal adalah yang sangat rinci, baik dalam konteks rincian komoditas maupun periode pengusahaan. Sistem iuran irigasi seperti itu mendekati volumetric pricing Rodgers, 2002. Akan tetapi sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang sangat rinci hanya dapat diterapkan jika kondisi derajat pertama dan kedua berikut ini dipenuhi. Kondisi derajat pertama adalah terbentuknya persepsi yang kuat di kalangan petani bahwa air irigasi adalah merupakan sumberdaya ekonomi yang langka sehingga untuk mendapatkannya perlu biaya. Kondisi derajat kedua adalah bahwa kelembagaan yang diterapkan dalam sistem distribusi sumberdaya tersebut menggunakan mekanisme pasar meskipun dalam bentuk yang masih sangat sederhana; atau sekurang-kurangnya prinsip pertukaran dapat diterapkan. Kondisi yang kondusif untuk penerapan sistem iuran irigasi yang sangat rinci adalah skala usahatani yang dikelola oleh petani memadai. Dengan kata lain, sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang sangat rinci sulit diterapkan jika struktur penguasaan garapan di wilayah itu terdiri atas unit-unit usahatani skala mikro, sangat beragam dan terpencar. 178 Rata-rata luas garapan usahatani yang dikelola petani di wilayah pesawahan di DAS Brantas maupun Indonesia pada umumnya adalah sekitar 0.34 hektarmusim; bahkan tak kurang dari 40 persen diantaranya kurang dari 0,25 hektar. Komoditas yang diusahakannyapun sangat beragam dan sebagian diantaranya menerapkan sistem tumpangsari. Selain itu, cukup banyak petani yang sebenarnya gantungan nafkah utamanya bukan usahatani tersebut karena lebih dari 50 persen pendapatan rumah tangga justru berasal dari aktivitas luar pertanian. Kesemuanya itu merupakan faktor-faktor yang tidak kondusif untuk penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang rinci. Oleh karena itu yang dapat diterapkan adalah sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang telah disederhanakan. Sudah barang tentu penyederhanaan itu menyebabkan: a sejumlah petani terpaksa membayar lebih mahal dari yang seharusnya, sedangkan petani yang lain membayar lebih murah dari yang semestinya, b turunnya efektivitas sistem iuran irigasi berbasis komoditas dalam mendorong peningkatan efisiensi irigasi. Sasaran dari penyederhanaan sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah agar mudah diterapkan. Penyederhanaan dapat ditempuh dengan melakukan agregasi menurut jenis komoditas, periode pengusahaan, maupun kombinasi dari keduanya. Selain agregasi, dimensi lain yang perlu dipertimbangkan dalam menyederhanakan sistem iuran berbasis komoditas adalah sistem pembayarannya. Dalam konteks ini, ada dua aspek yang tercakup: 1 modifikasi unit waktu pembayaran per musim, per tahun, dan 2 modifikasi cara pembayaran tunai, bagi hasil. Penyederhanaan melalui metode agregasi yang paling penting adalah dalam aspek periode pengusahaan. Agregasi yang paling lazim adalah berdasarkan musim tanam. Jadi periode pengusahaan tanaman semusim dipilah menjadi tiga Musim Tanam MT yaitu: MT I MH, MT II MK-1, dan MT III MK-2. Secara empiris diketahui bahwa jadwal tanam padi MT I merupakan determinan pola tanam dalam satu tahun. Sebagai contoh, jika tanam padi MT I dapat dilakukan lebih awal maka jadwal tanam MT II dan MT III juga dapat dilakukan lebih awal. Bukan hanya itu, alternatif yang tersedia dalam memilih 179 jenis komoditas juga lebih longgar. Sebaliknya, jika jadwal tanam padi MT I terlambat, maka jadwal tanam MT II maupun MT III terlambat. Implikasinya, alternatif pilihan komoditas menjadi lebih sedikit. Kondisi demikian itu mendorong petani untuk dapat menanam padi musim hujan lebih awal. Akan tetapi, tidak semua petani dapat menerapkannya karena pola pasokan air irigasi maupun curah hujan telah tertentu given, dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah traktor juga terbatas. Kesemua faktor tersebut di atas merupakan masukan yang penting untuk menyusun skenario penyederhanaan. Dengan justifikasi seperti tersebut di atas maka penyederhanaan yang dapat ditempuh adalah mengagregasikan periode pengusahaan menjadi 3: MT I, MT II, MT III. Selanjutnya penghitungan rata-rata nilai air irigasi menurut kelompok komoditas dilakukan dengan cara pembobotan karena adanya variasi bulanan harga bayangan air irigasi. Pembobotannya didasarkan pada luas tanam yang mendekati fenomena empiris. Berdasarkan analisis data primer serta distribusi bulanan luas panen dari data sekunder maka terdapat 5 skenario pola tanam yang mendekati kondisi empiris sebagai berikut Tabel 33. Tabel 33. Skenario penyederhanaan penghitungan komponen pokok iuran irigasi berbasis komoditas berdasarkan jadwal penanaman padi MT I Skenario Jadwal padi MT I Keterangan I Pola 1111 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:1:1:1 II Pola 1221 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:2:2:1 III Pola 1321 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:3:2:1 IV Pola 1231 Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:2:3:1 V Pola rata-rata Rata-rata dari pola 1111 sampai dengan pola 1321 Kategori A : periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Oktober – Januari. Kategori B: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah November – Februari. Kategori C: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Desember – Maret. Kategori D: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Januari – April. 180 Pada level agregat DAS Brantas, pada kelompok komoditas yang sama ternyata nilai air irigasi per tahun antar skenario tidak berbeda. Sebagai contoh, jika pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi maka total nilai air irigasi dalam satu tahun adalah sekitar Rp. 511 000Hath. Pada kelompok komoditas palawijahortikultur-1 nilainya adalah Rp. 234 000Hath, sedangkan untuk palawijahortikultur-2 adalah sekitar Rp. 205 000Hath Tabel 34. Tabel 34. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas Rp. 10 3 Hektar Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi: MT I 45.7 37.5 38.2 32.2 38.4 MT II 83.7 76.1 68.4 79.3 76.9 MT III 381.2 397.8 405.2 399.9 396.0 Setahun 510.6 511.4 511.8 511.4 511.3 Palawijahortikultur-1: MT I 16.7 13.0 12.8 11.2 13.4 MT II 26.6 22.7 20.2 23.1 23.1 MT III 188.0 198.0 199.8 201.9 196.9 Setahun 231.3 233.8 232.8 236.1 233.5 Palawijahortikultur-2: MT I 15.4 12.0 11.7 10.3 12.3 MT II 15.5 12.3 10.5 12.2 12.6 MT III 169.5 181.1 183.3 185.5 179.9 Setahun 200.4 205.4 205.6 208.0 204.8 Tebu Setahun 248.6 248.6 248.6 248.6 248.6 Variasi antar skenario lebih tampak pada nilai air irigasi per musim. Sebagai contoh, pada MT II nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi pada skenario I pola 1111 adalah sekitar Rp. 84 000Hamusim, sedangkan pada skenario III pola 1321 adalah sekitar Rp. 68 000Hamusim. Dipengaruhi oleh variasi bulanan harga bayangan air irigasi dan volume air irigasi yang digunakan dalam usahatani maka variasi antar musim sangat tinggi. Pada skenario V, nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi adalah sekitar Rp. 38 000Ha, Rp. 77 000Ha, dan Rp. 396 000Ha masing-masing untuk MT I, MT II, dan MT III. Untuk kelompok komoditas palawijahortikultur- 1 nilai air irigasi pada musim yang sama adalah sekitar Rp. 13 000Ha, Rp. 23 000Ha, dan Rp. 197 000Ha. Dengan urutan yang sama, untuk kelompok palawijahortikultur-2 nilai irigasi adalah sekitar Rp. 12 000Ha, Rp. 13 000Ha, 181 dan Rp. 180 000Ha. Untuk komoditas Tebu karena umur tanaman ini sekitar setahun dan sebagian besar periode tanam relatif sama maka penyederhanaan melalui teknik agregasi tidak diperlukan. Rata-rata nilai air irigasi yang dikonsumsi tanaman tebu adalah sekitar Rp. 249 000Hatahun. Dengan pola variasi antar musim seperti tersebut di atas, perbedaan antar musim yang lebih kecil adalah pada skenario I. Untuk padi dan palawijahortikultur-1 variasi paling tajam terjadi pada skenario III pola 1321, sedangkan untuk palawijahortukultur-2 adalah pada skenario IV pola 1231. Secara umum kondisi yang terjadi di level agregat tercermin pula di level Sub DAS meskipun ada sedikit variasi. Ini dapat disimak dari hasil analisis sebagaimana tercantum pada Tabel 35 – Tabel 37. Tabel 35. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas Rp. 10 3 Hektar Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi MT I 32.6 26.9 27.6 23.1 27.6 MT II 61.0 55.6 50.1 58.1 56.2 MT III 270.6 282.2 287.5 283.5 280.9 Palawijahortikultur-1 MT I 11.9 9.3 9.2 8.0 9.6 MT II 19.4 16.6 14.8 16.9 16.9 MT III 133.2 140.2 141.5 142.8 139.4 Palawijahortikultur-2 MT I 10.9 8.5 8.4 7.3 8.8 MT II 11.5 9.1 7.8 9.0 9.3 MT III 120.2 128.4 130.0 131.4 127.5 Tebu Setahun 175.9 175.9 175.9 175.9 175.9 Tabel 36. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas Rp. 10 3 Hektar Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi MT I 42.3 34.7 35.4 29.8 35.6 MT II 77.7 70.7 63.6 73.8 71.5 MT III 351.5 366.8 373.6 368.7 365.2 Palawijahortikultur-1 MT I 15.5 12.1 11.9 10.4 12.4 MT II 24.7 21.1 18.8 21.5 21.5 MT III 173.4 182.6 184.3 186.1 181.6 Palawijahortikultur-2 MT I 14.2 11.1 10.9 9.5 11.4 MT II 14.5 11.5 9.8 11.4 11.8 MT III 156.3 167.0 169.0 171.0 165.8 Tebu Setahun 229.3 229.3 229.3 229.3 229.3 182 Tabel 37. Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas Rp. 10 3 Hektar Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi MT I 55.2 45.2 46.0 38.8 46.3 MT II 100.2 90.9 81.8 94.8 91.9 MT III 462.2 482.5 491.5 485.3 480.4 Palawijahortikultur-1 MT I 20.2 15.7 15.4 13.5 16.2 MT II 31.8 27.2 24.1 27.6 27.7 MT III 228.0 240.3 242.5 245.1 239.0 Palawijahortikultur-2 MT I 18.6 14.5 14.2 12.4 14.9 MT II 18.5 14.6 12.5 14.5 15.0 MT III 205.6 219.8 222.4 225.2 218.2 Tebu Setahun 301.7 301.7 301.7 301.7 301.7 Penyederhanaan nilai iuran irigasi dapat pula didekati dengan metode indeks. Metode indeks ditujukan untuk menekankan perbandingan nilai air irigasi antar kelompok komoditas dan antar musim. Dalam ilustrasi, skenario yang digunakan adalah rata-rata kolom terakhir Tabel 33 – Tabel 36 dan usahatani padi MT I agregat DAS Brantas diperlakukan sebagai basis indeks nilai=1. Untuk level agregat DAS Brantas indeks untuk usahatani padi pada MT II adalah sekitar 2.0; artinya biaya irigasi usahatani padi MT II adalah dua kali lipat daripada MT I. Indeks biaya irigasi untuk usahatani padi MT III adalah sekitar 10, artinya sepuluh kali lipat jika dibandingkan MT I. Tampaknya, hal tersebut berlaku di setiap Sub DAS di wilayah irigasi teknis DAS Brantas Tabel 38. Tabel 38. Indeks biaya irigasi berbasis komoditas untuk usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas Cakupan wilayah Kelompok komoditas Musim Hulu Tengah Hilir DAS Brantas MT I 0.7 0.9 1.2 1.0 MT II 1.5 1.9 2.4 2.0 Padi MT III 7.3 9.5 12.5 10.3 MT I

0.2 0.3

0.4 0.3 MT II 0.4

0.6 0.7

0.6 Palawijahortikultur-1 MT III 3.6 4.7 6.2 5.1 MT I

0.2 0.3

0.4 0.3 MT II 0.2 0.3 0.4 0.3 Palawijahortikultur-2 MT III 3.3 4.3 5.7 4.7 Tebu Setahun 4.6 6.0 7.9 6.5 Biaya usahatani padi MT I diperlakukan sebagai basis perhitungan indeks nilai = 1. 183 Penggunaan indeks sangat fleksibel. Sebagai contoh, jika berdasarkan hasil musyawarah P3A disepakati bahwa tarif iuran irigasi untuk usahatani padi pada MT I di DAS Brantas adalah Rp. 20 000hektar, maka di Sub DAS Hulu biaya irigasi untuk usahatani padi pada musim tersebut adalah sekitar Rp.14 000hektar, sedangkan untuk MT II dan MT III masing-masing sekitar Rp. 30 000hektar dan Rp. 146 000hektar. Di Sub DAS Tengah, tarif iuran irigasi untuk usahatani padi MT I, MT II, dan MT III masing-masing adalah sekitar Rp. 18 000, Rp. 38 000, dan Rp. 190 000hektar. Di Sub DAS Hilir, dengan urutan yang sama tarif iuran irigasi untuk usahatani padi per musim adalah sekitar Rp. 24 000hektar, Rp. 48 000hektar, dan Rp. 250 000hektar. Dengan cara yang sama, juga mudah memperoleh tarif iuran irigasi untuk komoditas non padi. Selain fleksibel, penggunaan angka indeks juga mempunyai efek psikologis yang lebih tinggi. Bahwa nilai air irigasi yang dikonsumsi untuk usahatani padi MT III adalah sepuluh kali lipat jika dibandingkan dengan MT I diharapkan cukup efektif untuk mendorong efisiensi penggunaan air irigasi. Petani dapat menghindari tingginya beban biaya irigasi pada MT III jika pada musim tersebut mengusahakan tanaman palawijahortikultur berdiversifikasi. 6.7.2. Sinergi Diversifikasi dan Sistem Iuran Berbasis Komoditas Untuk Mendorong Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Berbeda dengan volumetric pricing, efektivitas sistem iuran irigasi berbasis komoditas crop pricing sebagai instrumen pendorong efisiensi irigasi bersifat tidak langsung. Sistem ini efektif untuk mendorong peningkatan efisiensi irigasi jika penerapan sistem tersebut mampu mendorong petani untuk menerapkan pola usahatani ke arah komoditas hemat air. Mengingat bahwa padi merupakan komoditas pertanian yang mengkonsumsi banyak air maka pola usahatani yang sesuai untuk menurunkan tingkat penggunaan air adalah pola padi- padi-palawijahortikultur atau padi-palawijahortikultur-palawijahortikultur. Tujuan utama petani dalam berusahatani adalah maksimisasi keuntungan. Sudah barang tentu pilihan terhadap pola tanam tidak hanya mempertimbangkan aspek finansial tetapi juga aspek teknis, bahkan dalam bebarapa hal juga mempertimbangkan aspek sosial budaya. 184 Sebagian besar petani adalah berusahatani dengan luas garapan yang sempit dan pendapatan dari usahatani pada umumnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Oleh karena itu sebagian besar petani tidak hanya berusahatani tetapi juga bekerja sebagai buruh tani ataupun bekerja di sektor non pertanian. Implikasinya, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelayakan teknis – ekonomi – sosial suatu pola tanam merupakan sub set dari himpunan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan petani dalam keseluruhan. Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pola tanam yang menghasilkan keuntungan tertinggi belum tentu dipilih oleh petani jika penerapan pola tanam tersebut mengakibatkan hilangnya kesempatan petani untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan di luar usahatani dan secara keseluruhan total pendapatan rumah tangga petani justru turun. Contoh lain, suatu pola tanam yang secara teoritis dapat meningkatkan pendapatan cukup besar belum tentu poluler di kalangan petani jika penerapannya membutuhkan jadwal pengusahaan yang sangat ketat sehingga risiko kerugian akibat melesetnya jadwal tanam berpotensi sangat merugikan. Untuk mengetahui sejauh mana pola diversifikasi mampu menekan konsumsi air irigasi dan meningkatkan pendapatan dilakukan simulasi dengan enam skenario pola tanam. Sesuai dengan kondisi ekosistem dan tradisi petani, pada keenam skenario tersebut padi selalu diusahakan terutama pada musim hujan. Keenam pola tanam tersebut adalah: 1 padi-padi-padi artinya dalam satu tahun mengusahakan tanaman padi, 2 pada musim MT I dan MT II mengusahakan tanaman padi sedangkan pada musim MT III mengusahakan palawijahortikultur-1 pola tanam padi-padi-PH1, 3 padi-padi-PH_2, 4 padi-PH_1-PH_1, 5 padi-PH_1-PH_2, dan 6 padi-PH_2-PH_2 Tabel 29. Tingkat konsumsi air irigasi pada Tabel 29 itu hanyalah sebagian dari total konsumsi air dimana sebagian diantaranya terpenuhi dari sumber lain, terutama air hujan. Angka tersebut juga lebih rendah jika dibandingkan dengan total volume air irigasi yang dilepaskan dari sumber pasokan utama karena dalam penyediaan air irigasi harus diperhitungkan pula volume air yang hilang selama penyaluran dan aplikasi di lapangan. 185 Tabel 39. Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas Konsumsi air irigasiHa Keuntungan Rp.10 3 Ha Pola tanam Musim Volume m 3 Rp. 10 3 Bersih Tunai MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4 MK1 7 671 83.7 546.8 2 871.7 MK2 8 564 381.0 178.2 2 288.6 Padi-padi-padi Setahun 19 544 510.4 1 286.2 8 008.7 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4 MK1 7 671 83.7 546.8 2 871.7 MK2 4 103 187.8 442.3 3 360.6 Padi-padi-PH_1 Setahun 15 083 317.3 1 550.3 9 080.8 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4 MK1 7 671 83.7 546.8 2 871.7 MK2 3 731 169.4 568.8 3 156.1 Padi-padi-PH_2 Setahun 14 711 298.8 1 676.8 8 876.2 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4 MT II 2 109 26.6 792.3 4 100.2 MT III 4 103 187.8 442.3 3 360.6 Padi-PH_1-PH_1 Setahun 9 521 260.1 1 795.8 10 309.3 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4 MT II 2 109 26.6 792.3 4 100.2 MT III 3 731 169.4 568.8 3 156.1 Padi-PH_1-PH_2 Setahun 9 149 241.7 1 922.3 10 104.7 MT I 3 308 45.7 561.1 2 848.4 MT II 1 933 15.5 689.1 3 337.3 MT III 3 731 169.4 568.8 3 156.1 Padi-PH_2-PH_2 Setahun 8 973 230.6 1 819.1 9 341.8 Usahatani yang terbanyak mengkonsumsi air irigasi adalah pola tanam padi-padi-padi, sedangkan yang terendah adalah pola padi-PH_2-PH_2. Pola padi-padi-padi membutuhkan air irigasi dua kali lipat daripada pola padi-PH_2- PH_2. Pola tanam padi dua kali MT I dan MT II yang dilanjutkan dengan palawijahortikultur dapat menurunkan konsumsi air irigasi sekitar 23 - 25 jika dibandingkan dengan pola tanam padi 3 kali per tahun. Keuntungan usahatani tertingi diperoleh pada pola tanam Padi – PH_1 – PH_1 yaitu sekitar Rp. 1.8 juta yang dalam bentuk tunai adalah sekitar Rp. 10.3 juta per hektar per tahun. Air irigasi yang dikonsumsi untuk pola tanam ini sekitar 9 500 m 3 per hektar per tahun dengan rincian: konsumsi air irigasi untuk usahatani padi MT I sekitar 3 300 m 3 serta untuk usahatani palawijahortikultur kategori-1 pada MT II dan MT III masing-masing sekitar 2 100 m 3 dan 4 100 m 3 . 186 Pendapatan terendah adalah pada pola tanam padi – padi – padi yaitu sekitar Rp. 1.29 jutatahun yang dalam bentuk tunai sekitar Rp. 8 jutatahun. Konsumsi air irigasi untuk pola ini sekitar 19 500 m 3 per hektar per tahun dengan rincian untuk MT I, MT II, dan MT III masing-masing sekitar 3 300 m 3 , 7 700 m 3 , dan 8 600 m 3 . Nilai air irigasi per hektar untuk masing-masing musim tersebut adalah sekitar Rp. 40 000, Rp. 78 000, dan Rp. 398 000. Tingginya biaya air irigasi untuk usahatani padi pada MT III mungkin efektif untuk mendorong petani agar pada musim tersebut mengusahakan komoditas selain padi. Peluang penerapannya cukup terbuka mengingat bahwa selama ini partisipasi petani dalam usahatani padi pada MT III memang relatif rendah. Buktinya, data di lapangan menunjukkan bahwa pada MT III proporsi petani yang mengusahakan tanaman padi kurang dari 5 . Dalam menentukan pilihan terhadap alternatif pola tanam tersebut di atas, ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan utama yaitu: 1 ekspektasi keuntungan usahatani, 2 pengaturan jadwal pengusahaan, dan 3 modal usahatani. Secara teknis pola padi–padi–padi, padi–padi–PH_1, ataupun padi– PH_1–PH_1 membutuhkan pengaturan jadwal yang sangat ketat. Ini disebabkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu siklus produksi sejak pengolahan tanah sampai panen dalam usahatani padi ataupun PH_1 sekitar 4 bulan. Khusus untuk pola padi–PH_1–PH_1 selain jadwalnya sangat ketat modal yang dibutuhkannya juga lebih tinggi. Pola tanam yang jadwalnya lebih longgar akan tetapi masih menghasilkan keuntungan usahatani yang relatif tinggi peringkat kedua adalah pola tanam padi–PH_1–PH_2. Peringkat berikutnya adalah pola padi–PH_2–PH_2 dan pola padi–padi–PH-2. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa pola tanam yang secara teknis maupun ekonomi diperkirakan paling layak adalah pola padi – PH_1 – PH_2, padi – PH_2 – PH-2 ataupun padi – padi – PH_2. Dalam praktek tidak semua petani harus menerapkan pola tersebut sehingga pola tanam dalam satu petak tertier homogen. Akan tetapi pola tanam yang sangat beragam juga berimplikasi pada kesulitan pengelolaan air irigasi maupun pengumpulan iuran irigasi dari petani anggota P3A yang bersangkutan. 187 Contoh penerapan iuran irigasi berbasis komoditas yang telah disederhanakan adalah sebagai berikut. Misalkan di suatu P3A atau Gabungan P3A di Sub DAS Brantas Tengah, dari hasil rapat pleno P3A disepakati bahwa jumlah biaya irigasi untuk komponen penunjang sebagai insentif pengumpulan iuran disepakati sebesar Rp. 5 000Ha per musim; sedangkan pola tanam yang diterapkan petani ada 7 macam yaitu: 1 padi-padi-padi, 2 padi-padi-PH_1, 3 padi-padi-PH_2, 4 padi-PH_1-PH_1, 5 padi-PH_1-PH_2, dan 6 padi- PH_2-PH_2, dan 7 tebu. Misalkan pula yang dijadikan sebagai basis penghitungan komponen pokok adalah padi MT I dan disepakati nilainya adalah Rp. 25 000Ha. Maka, jumlah iuran irigasi berbasis komoditas yang harus dibayar oleh petani di wilayah tersebut adalah sebagai berikut Tabel 40. Tabel 40. Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di wilayah pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah RpHektar Per Musim Tanam Pola tanam MT I MT II MT III Setahun Padi-padi-padi 30 000 55 000 263 000 338 000 4 - 6 Padi-padi-PH_1 30 000 55 000 133 000 208 000 2 - 4 Padi-padi-PH_2 30 000 55 000 122 000 197 000 1 - 3 Padi-PH_1-PH_1 30 000 19 000 133 000 172 000 1 - 3 Padi-PH_1-PH_2 30 000 19 000 122 000 161 000 1 - 3 Padi-PH_2-PH_2 30 000 13 000 122 000 155 000 1 - 3 Tebu 166 000 2 - 3 Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total biaya usahatani tunai. Tampak bahwa dalam satu tahun jumlah biaya irigasi yang dikeluarkan oleh petani yang menerapkan pola tanam padi-padi-padi cukup besar yaitu sekitar Rp. 340 000 per hektar. Jumlah tersebut turun cukup signifikan jika petani menerapkan pola tanam padi-padi-palawijasayuran. Jadi, dalam batas-batas tertentu disinsentif bagi petani yang ingin menerapkan pola tanam padi setahun tiga kali. Di sisi lain kondisi tersebut dapat diartikan pro diversifikasi usahatani di lahan sawah. Perhatikan bahwa biaya irigasi yang terendah adalah jika petani menarapkan pola tanam padi-PH_2-PH_2. Biaya irigasi untuk usahatani adalah sekitar Rp. 170 000hektartahun, yang berarti lebih tinggi sekitar 50 persen jika dibandingkan dengan rata-rata biaya irigasi pada kondisi aktual. 188 Iuran irigasi berbasis komoditas seperti tertera pada Tabel 40 tersebut mungkin terasa lebih mahal bagi petani yang selama ini lahan sawahnya cukup air sepanjang tahun. Akan tetapi bagi petani yang selama ini lahan irigasinya tidak cukup air sehingga pada MT III harus mengeluarkan sejumlah uang untuk irigasi pompa, jumlah tersebut secara relatif sebanding. Bahkan jika diperbandingkan dengan biaya irigasi yang harus dikeluarkan oleh petani yang usahataninya sangat tergantung pada irigasi pompa, jumlah tersebut relatif rendah. Sebagai contoh, biaya irigasi yang dikeluarkan petani pengguna irigasi pompa di daerah pesawahan non irigasi teknis di Bengawan Solo Hilir Bojonegoro dalam usahatani padi adalah sekitar 15 – 20 dari produksi kotor sistem bagi hasil, sedangkan di Blora adalah sekitar Rp. 320 000hektarmusim; dan di Indramayu adalah sekitar Rp. 170 000hektarmusim Sumaryanto et al, 1999. Implikasi dari iuran irigasi berbasis komoditas adalah meningkatnya insentif untuk penerapan pola tanam yang pro penghematan konsumsi air irigasi yang dapat diwujudkan melalui diversifikasi usahatani. Ini kondusif untuk meningkatkan pendapatan petani tetapi kurang kondusif untuk peningkatan produksi padi. Secara total, luas tanam padi per tahun mungkin menjadi lebih kecil daripada kondisi sekarang dan dampaknya adalah turunnya produksi padi. Secara teoritis dampak negatif ini dapat diminimalkan dengan cara meningkatkan produktivitas usahatani padi dan atau melalui perluasan areal pesawahan baru. Dalam konteks yang lebih luas, oleh karena jumlah iuran irigasi berbasis komoditas sangat dipengaruhi oleh harga bayangan air irigasi tingkat kelangkaan air irigasi, maka model ini sebenarnya juga merupakan pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi terhadap air irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya. Sebagai salah satu bentuk iuran yang sifatnya baru inovasi, sudah barang tentu bahwa penerapan iuran irigasi berbasis komoditas membutuhkan pendekatan kelembagaan yang tepat. Belajar dari pengalaman, kelembagaan seperti itu dapat dirumuskan melalui suatu kaji tindak, antara lain dalam wujud proyek rintisan. Identifikasi faktor-faktor strategis untuk kajian seperti itu dapat dirumuskan dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi partispasi petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi sebagaimana dibahas dalam Bab berikutnya Bab VII.

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS